Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan berupa aneka ragam budaya yang begitu luar biasa. Sudah semestinya bangsa Indonesia bersyukur karena karunia tersebut tidak dicurahkan kepada bangsa-bangsa lainnya di dunia. Bangsa Indonesia berdiri di atas tiang penyangga yang terdiri atas beragam suku, agama, adat-istiadat, bahasa, dan kesenian yang diikat menjadi satu dengan tali Bhineka Tunggal Ika. Sebagai generasi penerus kita wajib menjaga tiang persatuan itu untuk terus berdiri kokoh agar rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak roboh.

    Akhir-akhir ini tiang penyangga rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia hendak dirobohkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara menghembuskan sentimen yang menyinggung unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Mereka mengusik persatuan Indonesia dengan menebar berita bohong (hoax), memproduksi ujaran kebenciaan, hingga melakukan aksi teror.

      Sungguh miris rasanya saat mengetahui berbagai tindakan yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata dilakukan oleh anak bangsa Indonesia sendiri. Sebagai generasi penerus seharusnya kita malu melihat realita tersebut menjadi bagian dari kehidupan Indonesia sehari-hari. Terlebih lagi para pendiri bangsa (founding fathers) sudah menggoreskan sejarah betapa pentingnya menjunjung tinggi persatuan dalam kebinekaan Indonesia. Bahkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, nenek moyang kita sudah mengajarkan bagaimana menjalin kehidupan yang harmoni dalam masyarakat yang plural. Sikap menghargai kemajemukan yang telah dicontohkan para pendahulu itulah yang harus diteladani oleh generasi sekarang untuk menumbuhkan  kembali nilai-nilai persatuan yang sudah tertanam di bumi Nusantara.

Meneladani Sikap Toleransi dari Peradaban Mataram Kuno

     Nilai-nilai persatuan sudah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara sejak zaman dahulu. Sikap toleransi yang tinggi telah mengakar kuat di dalam kehidupan antarumat beragama di era peradaban Mataram Kuno sekitar abad 9 Masehi. Puncak kerukunan hidup beragama pada masa itu terjadi saat dua dinasti besar di Jawa Tengah yang berbeda keyakinan, telah menjalin persaudaraan melalui ikatan pernikahan. Putra mahkota dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu yaitu Rakai Pikatan menikah dengan Pramodhawardani dari Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.

     Dari ikatan persatuan yang terjalin erat di antara kedua dinasti tersebut, kemudian muncul gagasan untuk membangun percandian dalam satu kompleks yang luas secara gotong-royong. Di dalam kompleks percandian itu dibangun candi-candi yang bersifat Hindu dan Buddha. Candi yang bersifat Hindu yaitu Candi Prambanan, sedangkan Candi yang bersifat Buddha yaitu Candi Sewu. Mahakarya yang dibangun berlandasan semangat persatuan itu, kini telah menjadi Situs Warisan Dunia bernama Prambanan Temple Compounds yang ditetapkan oleh UNESCO World Heritage Commiittee pada tahun 1991 dengan No. C. 642.

      Jejak-jejak kehidupan harmonis dalam kebinekaan pada masa peradaban Mataram Kuno juga dapat dilacak di perbukitan Prambanan atau yang dikenal dengan sebutan Siwa Plateau. Di sana mengandung beragam warisan budaya peradaban Mataram Kuno yang sangat tinggi berupa permukiman kuno, situs, struktur, dan bangunan candi, antara lain Situs Ratu Boko (Hindu-Buddha), Stupa Sumberwatu (Buddha), Situs Sumur Bandung (Hindu), Situs Dawangsari (Buddha), Arca Ganesha (Hindu), Candi Banyunibo (Buddha), Candi Barong (Hindu), dan Candi Ijo (Hindu). Walaupun warisan budaya tersebut memiliki latar belakang agama yang berbeda, namun dapat berdiri berdampingan satu sama lain. Hal itu mencerminkan bahwa masyarakat pendukungnya sudah memiliki rasa toleransi yang tinggi.

     Semangat toleransi dari generasi pendahulu yang terpancar dari warisan budaya yang ditinggalkannya, khususnya dari era peradaban Mataram Kuno, kini mulai digali dan dimaknai kembali oleh generasi penerus.  Aneka ragam warisan budaya itu telah menjadi sumber belajar bagi semua elemen masyarakat dalam upaya merajut persatuan bangsa, dengan memanfaatkannya sebagai ruang inspiratif untuk berkreativitas, wahana reflektif untuk membangun solidaritas, dan media edukatif untuk menanamkan pendidikan karakter kepada generasi muda.

Cagar Budaya: Inspirasi dalam Berkarya

       Kreativitas memang selalu memancarkan daya hidup. Sebuah produk kreativitas dapat menginspirasi seseorang untuk berkreativitas apabila direfleksikan dengan laku kreatif. Hal itulah yang tercermin dari kreativitas masyarakat sekitar situs Cagar Budaya dalam membuat aneka macam suvenir, batik tulis, jumputan, dan kerajinan lainnya. Mereka membuat berbagai produk tersebut karena terinspirasi dari Cagar Budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh misalnya, mereka membuat beragam motif batik yang terinspirasi dari ragam hias bangunan candi.

      Masyarakat kreatif di sekitar situs tersebut adalah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mendapat pembinaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembinaan terhadap pokdarwis dilakukan dengan memberikan berbagai macam pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi masyarakat di sekitar situs. Pengembangan potensi dilakukan dengan cara memanfaatkan warisan budaya nenek moyang untuk melakukan internalisasi, membangun kemitraan, melaksanakan fasilitasi, serta meningkatkan kapasitas masyarakat melalui Program Pemberdayaan Masyarakat.

      Ada empat kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang berpartisipasi dalam pameran ini, yakni Pokdarwis “Tlatar Seneng” Desa Sambirejo-Prambanan, Pokdarwis “Prabu Boko” Desa Bokoharjo-Prambanan, Pokdarwis “Panangkaran” Desa Tirtomartani-Kalasan, dan Pokdarwis “Surocolo Gua Jepang” Desa Seloharjo-Pundong. Dalam pameran ini masing-masing kelompok sadar wisata akan menyuguhkan produk kreativitas terbaiknya. (Ferry A.)

Ayo Kunjungi, Lindungi, dan Lestarikan Cagar Budaya …

PEMBUKAAN

Tanggal : Kamis, 21 Juni 2018

Waktu   : Pukul 15.00 WIB – selesai

Tempat : Taman Tebing Breksi Prambanan, Sleman, DIY

PAMERAN

Tanggal : 21 Juni – 25 Juni 2018

Waktu   : Pukul 08.00 – 20.00 WIB

Tempat : Taman Tebing Breksi Prambanan, Sleman, DIY