Keberadaan bangunan pesanggrahan yang ada di Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan keraton diawali dengan mendirikan berbagai bangunan bangsal di pelataran kedaton, benteng keliling di dalam (cepuri) maupun di luar (baluwarti) keraton, jagang (parit), kemudian disusul pembangunan sarana dan fasilitas pendukung lainnya. Salah satunya yaitu pesanggrahan.
Pesanggrahan adalah bangunan peninggalan berupa tempat peristirahatan khusus untuk raja beserta keluarganya. Istilah pesanggrahan berasal dari kata “sanggrah” yang artinya singgah sebentar atau beristirahat sejenak. Ada beberapa pesanggrahan yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I, yaitu Ambarketawang, Krapyak, dan Tamansari.
- Pesanggrahan Ambarketawang
Sebelum Keraton Yogyakarta selesai dibangun, Sultan Hamengkubuwono I dan keluarganya tinggal sementara di Pesanggrahan Ambarbinangun (Gamping). Nama Ambarketawang berasal dari kata ”ambar” artinya harum dan “ka-tawang” berarti atas atau tinggi. Makna nama tersebut yaitu “suatu tempat tinggi yang harum”.
Diperkirakan Pesanggarahan Ambarketawang dibangun sebelum Perjanjian Giyanti. Dahulu dikenal bernama Purapara artinya istana sebagai tempat singgah pada saat berpergian ataupun berburu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan Pesanggrahan Ambarketawang sudah ada sejak zaman Mataram (Kartasura), difungsikan untuk pesanggrahan pada waktu raja dengan pengiringnya sedang berburu (mbedag-pikat) hewan di hutan Beringan dan sekitarnya.
- Pesanggrahan Tamansari
Pesanggrahan Tamansari memiliki beragam fungsi dan arti penting bagi eksistensi Kasultanan Yogyakarta sebagai tempat pesiar, benteng pertahanan, panepen dan sebagainya. Keberadaan Pesanggrahan Tamansari bisa dikatakan merupakan akumulasi pengalaman Sultan Hamengku Buwono I tentang strategi pertahanan, seni, religius, serta filosofinya yang dituangkan dalam wujud karya arsitektur. Tamansari berarti taman yang asri atau indah.
Pembangunan Pesanggrahan Tamansari ditandai dengan candra sengkala Catur Naga Rasa Tunggal tahun Ehe, 1684 Jw (1758 M). Pelaksana pembangunan Tamansari yaitu Tumenggung Mangundipura, dengan dukungan logistik dari Bupati Madiun, yaitu Raden Rangga Prawirasentika dan para bupati mancapraja lainnya.
Sebagai ganti dari kewajiban tersebut, maka Raden Rangga Prawirasentika kemudian diperbolehkan tidak menyampaikan pajak atau paosan setiap tahunnya. Dukungan logistik tersebut tidak sampai selesai, karena biaya dan tanggung jawabnya sangat besar.
Pesanggrahan Tamansari dapat diselesaikan pembangunannya pada 7 Syawal 1691 Jawa atau 17675 M ditandai dengan candra sengkala Lajering Sekar Sinesep Peksi. Bangunan-bangunan yang berada di kompleks Tamansari pada awalnya berjumlah 59 bangunan, tetapi saat ini yang masih dapat dikenali secara utuh berjumlah 21 bangunan.