Pada masa Hamengku Buwana III tidak banyak, pesanggrahan ataupun tempat pesiar atau fasilitas pendukung kraton didirikan, yaitu ada lima tempat antara lain: Wanayasa, Plasa Kuning (Masjid Pathok Negara), Telaga Muncar (Kaliurang, Sleman), Ngandongsekar, dan Telaga Gumenggeng (Puniko Pemut Yasan Damen Kelangenan, 1830). Dengan demikian, antara pemerintahan Hamengku Buwana I sampai dengan Hamengku Buwana III kira-kira 35 (tiga puluh lima) buah pesanggrahan yang didirikan di sekitar kuthagara dan negara agung. Konflik dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif dan cenderung fluktuatif menjadikan Kraton Yogyakarta, terutama masa Sultan Hamengku Buwana III tidak semarak di dalam membangun pesanggrahan. Di sisi lain masa pemerintahannya juga berlangsung singkat kira-kira tiga tahun dan mengalami naik turun tahta sampai dua kali (1810 M – 1811 M, 1812 M – 1814 M). Bahkan pesanggrahan yang dibangun pada saat itu dan sesudahnya juga cenderung terfokus untuk kepentingan tempat rekreasi keluarga saja. Tentunya hal ini berbeda dengan pendahulunya yang lebih variatif dan komplit di dalam membangun serta kepentingan peruntukan bangunannya. Sebagaimana ayahandanya Hamengku Buwana II, masih tetap mempertimbangkan strategi pertahanan di dalam mendirikan pesanggrahan. Hal itu dapat diketahui dari tata letak dan bentuk bangunan-bangunannya.
Konflik dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif terus berlanjut pada masa Hamengku Buwana III dan mengalami klimaksnya pada masa Hamengku Buwana IV dan Hamengku Buwana V, karena saat itulah mulai adanya proses pertentangan internal di satu sisi dan infiltrasi pihak eksternal yaitu Belanda dan Inggris. Kondisi tersebut akhirnya bermuara munculnya perang Pangeran Dipanegara (Perang Jawa) antara tahun 1825 M sampai dengan 1830 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian memunculkan penetrasi tajam pemerintah Hindia Belanda, sebagai akibat reaksi dan konsekuensi logis pasca perang. Akhirnya hal itu mengakibatkan dampak yang kompleks di kraton. Termasuk dalam hal ini perubahan sikap Belanda terhadap kraton terutama saat diadakan kontrak politik ketika ada pengangkatan putra mahkota dan penobatan raja baru. Akibat lain yaitu semakin menyempitnya wilayah kekuasaan kraton, serta adanya perubahan misi pembangunan pesanggrahan. Dengan demikian, periode tahun 1814 M sampai dengan 1855 M kasultanan dapat dikatakan mengalami kondisi sulit dan tidak ada pembangunan fisik secara besar-besaran. (Ign. Eka Hadiyanta – Ferry A.)