Pada periode pemerintahan Hamengku Buwana VI sampai dengan Hamengku Buwana VIII ada beberapa pesanggrahan yang didirikan, berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, misi, bentuk, dan tata ruangnya juga sudah berbeda. Pesanggrahan yang didirikan memang untuk kepentingan pesiar saja dan bangunannya menggunakan atap dengan struktur kayu. Pesanggrahan-pesanggrahan kraton yang didirikan, antara lain: Pesanggrahan Ambarbinangun, Ambarrukmo, dan Ngeksiganda.

1. Pesanggrahan Ambarbinangun

        Pesanggrahan Ambarbinangun terletak di sebelah selatan  Pesanggrahan Sanapakis, yaitu sebelah timur Sungai Bedog. Sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Nama Ambarbinangun berasal dari kata “ambar” yang berarti harum dan “binangun” dari kata dasar bangun, arti keseluruhan yaitu suatu tempat yang dibangun dengan cita rasa keharuman dan keasrian. Pesanggrahan tersebut dibangun pada masa Hamengku Buwana VI, yaitu bulan Sya’ban tahun Be 1784 Jw (1855 – 1856 M), ditandai dengan candrasengkala yaitu tirta haslira sabdaning ratu. Maknanya yaitu suatu pembuatan tempat pemandian, petirtaan, dan pesanggrahan atas titah raja. Daerah tersebut mudah mencari sumber air mengingat lingkungannya yang dekat dengan sungai bedog. Pesanggrahan tersebut kemudian dibangun kembali atau disempurnakan pada masa Hamengku Buwana VII yaitu pada tahun 1850 Jw (1920 M). Pesanggrahan ini difungsikan sebagaimana peruntukannya sampai dengan awal pemerintahan Hamengku Buwana IX. Pada tahun 1940-an Hamengku Buwana IX dengan beberapa pejabat Belanda juga pernah melakukan pesiar ke Pesanggrahan Ambarbinangun.

         Keberadaan kompleks pesanggrahan masih dapat dikenali secara baik dan saat ini dialihfungsikan untuk kegiatan pemuda, kepramukaan, dan olahraga. Akan tetapi, di dalam alih fungsi ini ada beberapa pemanfaatan yang merubah karakter ruang. Pertama, pemanfaatan kolam di belakang gadri menjadi ruang pertemuan. Kedua, pembangunan rumah-rumah untuk pondok pemuda yang berada di kawasan dalam pesanggrahan di bagian belakang, sehingga terkesan merubah citra keaslian setting pesanggrahan. Artinya, beberapa bangunan baru yang didirikan di kawasan itu berpotensi merubah otentisitas keberadaan pesanggrahan dan lingkungannya.

Pesanggrahan Ambarbinangun (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Pesanggrahan Ambarbinangun (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

2. Pesanggrahan Ambarrukma

           Pesanggrahan Ambarrukma terletak di daerah timur laut kota, direnovasi dan dikembangkan oleh Hamengku Buwana VII pada tahun 1825 Jw (1895) dan diselesaikan pada tahun 1827 Jw (1897 M). Nama Ambarrukma berasal dari kata “ambar” yang berarti harum dan “rukma” yang berarti emas, kemilau. Dengan demikian, makna nama itu yaitu sebuah tempat yang harum yang luhur kemilau laksana emas. Pesanggrahan tersebut dahulu bernama Harja Purna yang pembangunannya dirintis oleh Hamengku Buwana VI pada tahun Alip, 1787 Jw (1859) dan diselesaikan pada tahun Ehe, 1788 Jw (1860 M). Nama Harja Purna, berasal dari kata “harja” yang berarti kesejahteraan dan “purna” berarti kesempurnaan, sehingga makna nama itu, yaitu keselamatan atau kesejahteraan yang sempurna. Pada awalnya fungsi pesanggrahan ini adalah tempat untuk menyambut para pejabat Belanda dari Kasunanan Surakarta yang datang ke Kasultanan Yogyakarta. Hal itu dilakukan pada saat jaringan jalan kereta api belum ada. Pesanggrahan Ambarrukma direnovasi sebagaimana yang terlihat sekarang ini berkaitan dengan pemanfaatannya sebagai tempat istirahat raja beserta keluarga dan para sentana.

Pendapa yang terdapat di Pesanggrahan Ambarrukma (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Pendapa yang terdapat di Pesanggrahan Ambarrukma (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

         Pada tanggal 19 Jumadilawal, tahun Alip, 1851 Jw (30 Januari 1921 M) Pesanggrahan Ambarrukma mulai menjadi tempat kediaman tetap bagi Hamengku Buwana VII bersama permaisuri GKR Kencana. Kepindahannya dari kraton ke Ambarrukma dilakukan setelah Hamengku Buwana VII “pensiun” sebagai sultan (lereh keprabon) pada tanggal 18 Jumadilawal, tahun Alip, 1851 Jw (29 Januari 1921 M). Menetap di Kedhaton Ambarrukma sampai dengan waktu mangkat (wafat), yaitu pada malam Jumat Kliwon, 29 Rabingulakhir, tahun Ehe, 1851 Jw (30 Desember 1921) dan dimakamkan di Pasareyan Saptarengga, Pajimatan, Imagiri, Kabupaten Bantul. Sedangkan GKR. Kencana tetap menetap di Kedhaton Ambarrukma sampai dengan wafat pada tahun 1931. Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwana VII setelah lereh keprabon kemudian digantikan oleh putranya, yaitu GPH. Purubaya yang kemudian bergelar Hamengku Buwana VIII pada 29 Jumadilawal, tahun Alip, 1851 Jw (8 Pebruari 1921) (Mandoyokusumo, 1958: 51).

Balekambang yang terdapat di Pesanggrahan Ambarrukma (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Balekambang yang terdapat di Pesanggrahan Ambarrukma (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

         Pada Juni tahun 1949 sampai dengan Maret 1950 tempat tersebut dipinjamkan untuk tempat pendidikan Inspektur Polisi Republik Indonesia dan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman pada tahun 1947 sampai dengan 1964. Pada tahun 1964 halaman samping pesanggrahan didirikan sebuah hotel hasil dana perampasan perang dari jepang: bahkan pengembangan hotel tahun 1970 di sisi baratnya dibangun dengan membongkar gandhok kiwo (kiri) pesanggrahan. Di samping itu, bagian halaman depan pesanggrahan kemudian digunakan untuk jalan besar dan bagian sisi utara gerbang dahulu untuk kerajinan. Sedangkan di kebun sebelah barat pendapa, dalem, dan bale kambang pada tahun 2004 dibangun sebuah plaza atau mall yang megah, sehingga keberadaan pesanggrahan berada di tengah-tengah bangunan bertingkat (mall dan hotel).

3. Pesanggrahan Ngeksiganda

        Pada masa Hamengku Buwana VIII membuat sebuah pesanggrahan dengan nama Ngeksiganda, terletak di kawasan dataran tinggi Kaliurang, Pakem, Sleman. Nama Ngeksiganda berasal dari kata “Ngeksi atau eksi” berarti mata dan “ganda”, berarti bau harum. Dengan demikian, Ngeksiganda mempunyai arti “mata harum” atau nama lain dari Mataram. Bangunannya dahulu merupakan milik seorang warga Belanda, yaitu sebagai tempat peristirahatan yang dibangun pada awal abad XX. Tempat peristirahatan tersebut kemudian pada tahun 1927 dibeli oleh Hamengku Buwana VIII. Akhirnya dimodifikasi dan dilengkapi untuk dijadikan sebagai tempat pesanggrahan kraton. Bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda bercorak indis sebagaimana bangunan orang-orang Belanda di Kota Yogyakarta umumnya dan Kaliurang khususnya. Akan tetapi, di beberapa bagian bangunan menampakkan adanya perubahan dan penambahan, hal ini setelah dipakai untuk pesanggrahan. Penambahan-penambahan bangunan salah satunya yaitu untuk fasilitas ruang gamelan di depan bangunan induk dan pagar seketheng yang dilengkapi dengan kelir. Perbedaan dengan pesanggrahan-pesanggrahan masa Hamengku Buwana VI-VII, yaitu corak dan tata ruangnya. Pada masa itu bangunan pesanggrahan masih bercorak tradisional Jawa, dengan struktur bangunan, antara lain pendapa, pringgiran, dalem, gadri, gandok, dan pawon, kemudian dilengkapi dengan pemandian atau pasiraman.

Pesanggarahan Ngeksiganda (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Pesanggarahan Ngeksiganda (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

        Pada masa revolusi fisik atau perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1947-1948 (clash I) oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX Pesanggrahan Ngeksiganda tersebut dipinjamkan untuk fasilitas penginapan peserta perundingan. Perundingan dilaksanakan mulai tanggal 29 Oktober 1947 dalam rangka penyelesaian konflik antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Hindia Belanda. Penyelesaian konflik antara Republik Indonesia dengan Hindia Belanda diprakarsai dan sekaligus bertindak sebagai tim mediator, yaitu Komisi Tiga Negara (KTN), anggotanya terdiri dari wakil tiga negara, yaitu Amerika Serikat (FP. Graham), Australia (Richard C. Kirby), dan Belgia (Paul van Zeeland) (Yudhastawa M., 1996).

Perundingan Kaliurang (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Perundingan Kaliurang (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

        Beberapa pesanggrahan tersebut di atas, juga perlu dijaga kelestariannya dengan melakukan langkah-langkah pengamanan,  pemeliharaan, dan perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, serta publikasi. Untuk yang belum diketemukan kembali keberadaannya perlu dilakukan pelacakan dengan melakukan penelusuran dari berbagai sumber, baik kepustakaan maupun survei lapangan. (Ign. Eka Hadiyanta – Ferry)