Sultan Hamengku Buwana II dikenal sangat menyukai dan membangun banyak pesanggrahan sejak menjadi Putra Mahkota sampai masa pemerintahannya, oleh karena itu juga dikenal sebagai “Raja pembangunan pesanggrahan”. Selama periode sebagai Putra Mahkota (1765 M – 1792 M) sudah mulai membangun beberapa pesanggrahan, yaitu Pesanggrahan Rejawinangun, Purwareja, Pelem Sewu, dan Reja Kusuma.
Pesanggrahan Rejawinangun terletak di dekat Sungai Gajah Wong atau sekitar Lokasi Kebun Binatang Gembira Loka sekarang, tapak pesanggrahan tersebut saat ini menjadi nama sebuah kampung, yaitu Kampung Rejawinangun. Sebagaimana disebutkan Gubernur Jan Greeve, dalam kunjungannya ke Pesanggrahan Rejawinangun pada 13 Agustus 1788 M, bahwa pesanggrahan tersebut disamping sebagai tempat pesiar juga untuk tempat latihan prajurit putri Langen Kusumo Putra Mahkota. Saat ini tinggalan yang masih tersisa, yaitu di sisi barat sungai di daerah kampung Warung Bata. Berupa kolam dan beberapa bangunan gedong, benteng pesanggrahan di dekat Sekolah Dasar di kampung Peleman dan Tinalan, dan patung manuk beri.
Demikian juga Pesanggrahan Rejakusuma pada perkembangannya menjadi beberapa nama kampung atau dusun, antara lain: Dusun Rejakusuman, Sokowaten, Segaran, Umbul, dan Tamanan. Tinggalan yang masih ada yaitu Gedong Temanten dan beberapa reruntuhan gedong, serta struktur pagar di persawahan. Letak pesanggrahan tersebut di tenggara kota, yaitu antara Sungai Code dan Gajah Wong, Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Periode setelah menjadi raja antara 1792 M sampai dengan 1810 M Hamengku Buwana II membangun banyak pesanggrahan lagi di sekeliling khutagara dan negara agung, antara lain : Sanapakis dan Tlogo Ji, Ambar Ketawang (barat kota); Gua Seluman, Pengawat Reja, Wana Catur, Cendhanasari dan Tanjungtirta (sekitar Lapangan terbang Adisutjipto dan kawasan Kecamatan Banguntapan, Bantul sekarang); Pelem Sewu (sekitar Jetis); Tegal Yasa, Kuwarasan, dan Demak Ijo (barat laut kota sebelah timur Sungai Bedog); Madya Ketawang, Bantul Karang Kepek, dan Toyatemumpang Kanigoro, dan Indrakila (selatan dan barat daya kota); Kudur Brubuh Kadisana (sekarang daerah Berbah, Sleman); serta beberapa pesanggrahan yang perlu dilacak keberadaan dan keletakannya, antara lain : Alas Jeruk Legi, Alas Prapti, Redi Cemara, Gunung Prau, Sukarini, Banyak Sak, Preh Binatur, dan Tegal Pengawe (Seret Rerenggan Kraton, 1981, Babad Mangkubumi, 1981, Punika Pemut Yasan Dalem Kelangenan, 1830, dan 200 tahun Kota Yogyakarta, 1956). Pesanggrahan-pesanggrahan tersebut sebagian besar sudah sulit dikenali secara utuh, yaitu tinggal reruntuhan gugusan bangunan, sebagian menjadi toponim kampung atau desa, dan ada yang hilang sama sekali. Hal ini tentunya menantang siapa saja yang concern untuk menggali dan melakukan eksplorasi serta pendokumentasian pusaka budaya tersebut. (Ign. Eka Hadiyanta – Ferry A.)