Pesanggrahan adalah sebuah lingkungan binaan merupakan fasilitas pendukung keberadaan kraton. Nama pesanggrahan berasal dari kata Jawa Kuna “sanggraha” yang berarti berkumpul, perjamuan, dan perlindungan. Tambahan awalan pe –  dan akhiran – an menjadikan maknanya sebagai tempat untuk berkumpul, melakukan perjamuan, dan tempat perlindungan (Mardiwarsito, 1986 : 506, Prawiroatmojo, 1981: 166). Dengan demikian pesanggrahan adalah berkaitan erat sebagai tempat berkumpul, melakukan perjamuan dalam rangka pesiar bagi raja dan kerabat, bahkan juga untuk perlindungan.

        Sultan Hamengku Buwana I sebagai peletak dasar dinasti Hamengku Buwana yang bertahta 1755 – 1792 M di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di samping membangun kraton dan juga fasilitas pendukung eksistensi kerajaannya. Salah satu fasilitas pendukung itu adalah pesanggrahan. Pembangunan fasilitas itu disesuaikan dengan latar belakang pengalaman pribadi dan pengalaman kolektif serta konteks dan tantangan zamannya yang diwarnai konflik dan peperangan. Pesanggrahan yang dibangun pada masa Hamengku Buwana I antara lain Pesanggrahan Ambarketawang, Tamansari, Sanasewu, Karanggayam, serta tempat perburuan kijang di Krapyak.

1. Pesanggarahan Ambarketawang

        Pada saat pendirian kraton Sultan Hamengku Buwana I beserta kerabat dan pendukungnya menempati sementara Pesanggrahan Ambarketawang, di daerah Gunung Gamping. Tempat tersebut pada dasarnya juga merupakan “benteng” atau “istana” yang keberadaannya sudah ada sejak masa Kerajaan Mataram, dahulu dikenal dengan nama Pura Para. Dari nama tersebut dapat dilacak keberadaannya, yaitu “pura” atau sering disebut puri berarti benteng, istana, juga bisa disebut tempat tinggal raja. Kata “para” berarti datang, mendatangi, dan menghampiri (PJ Zoetmlder, 1995). Dengan demikian Pura Para dapat diartikan, sebagai benteng dan istana untuk persinggahan atau juga sering disebut sebagai pesanggrahan. Nama Pesanggrahan Ambarketawang merupakan nama baru yang diberikan oleh Sultan Hamengku  Buwana I, mengandung arti “tempat tinggi (tawang) yang semerbak harum (ambar = ngambar arum = harum).

         Kepindahannya ke Ambarketawang, Gamping dilakukan pada hari Kamis Pon, tanggal 3 Sura, tahun Wawu, 1681 (9 Oktober 1755 M). Keberadaannya di Gamping ditandai dengan candra sengkala pak dipa ngupakara anake (1681) (Darmosugito, 1956). Dilihat dari kata-katanya sengkalan tersebut mempunyai makna “pimpinan yang dekat dengan rakyat, yaitu sikap kebapakan di dalam mengelola (ngupakara) rakyat dan kawula”. Di sisi lain, dari kata ngupakara yang diartikan mempunyai watak enam, maka dapat diketahui bahwa pada saat itu Hamengku Buwana I memang baru mempunyai enam putra, yaitu GP. Adipati Anom, GKR. Bendara, BPH. Hangabehi, BRAy. Jayaningrat, GRM. Sundara (Hamengku Buwana II), dan BPH. Demang.

Pendapa Pesanggrahan Ambar Ketawang (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Pendapa Pesanggrahan Ambar Ketawang (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

2. Pesanggrahan Tamansari

Pesanggrahan Tamansari dibangun pada tahun 1758 M, membujur dari barat (Gerbang Pagelaran) membelah jalan sebelah utara Regol Gadhungmlathi ke arah timur sampai dengan Segaran Pulo Gedong di sebelah tenggara kraton. Pesanggrahan itu dibangun mendahului pembangunan benteng terluar atau baluwarti yang mengelilingi kedhaton. Luas lingkungannnya dahulu tidak kurang dari 36 Ha, sedangkan saat ini tinggal 12,6, Ha. Pesanggrahan ini mencerminkan lingkungan binaan yang komplit, baik untuk kepentingan pertahanan, religius, kebun, pertamanan, pengairan, dan relaksasi bagi raja dan keluarganya. Nama Tamansari berasal dari kata “Taman” dan “Sari” yang mempunyai arti taman yang indah (endah) atau asri (WJS. Poerwodarminto, 1939).

Gapura masuk sisi timur Pesanggrahan Tamansari (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Gapura masuk sisi timur Pesanggrahan Tamansari (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

 

Kompleks Pemandian putri raja di Pesanggrahan Tamansari (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Kompleks Pemandian putri raja di Pesanggrahan Tamansari (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

 

Kompleks Pesanggrahan Tamansari tampak dari atas (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Kompleks Pesanggrahan Tamansari tampak dari atas (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)

3. Pesanggrahan Sanasewu dan Karanggayam

     Pesanggrahan Sanasewu dan Karanggayam terletak di sebelah barat kraton, sekarang masuk wilayah Kasihan. Kondisi saat ini tinggal beberapa puing bangunan dan dinding pagar. Sedangkan Karanggayam dahulu untuk tempat semedi atau kontemplasi (Babad Ngayogyakarta dan Serat Rerenggan).

4. Tempat Perburuan Kijang di Krapyak

Krapyak adalah tempat perburuan kijang dan menjangan untuk kraton. Dahulu Sultan beserta kerabat apabila sedang berburu dikawal oleh prajurit Jager, saat ini menjadi nama toponim kampung 0,5 km sebelah utaranya. Tempat perburuan tersebut yang masih dapat dikenali secara utuh tinggal gugusan bangunan panggung. Panggung Krapyak tersebut dalam konsep kosmologis kraton merupakan bagian dari sumbu filosofis dan garis poros imajiner. Bangunan tersebut secara filosofis melambangkan awal keberadaan manusia, hal itu mempunyai koherensi dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah barat lautnya. Kondisi saat ini lingkungan tempat perburuan kijang tersebut sudah menjadi perkampungan penduduk yaitu dibagi menjadi beberapa Dusun, yaitu Dusun Krapyak Kulon, Dusun Krapyak Wetan, nJanganan, dan Babadan. (Ign. Eka Hadiyanta – Ferry A.)

Gedong Panggung Krapyak (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)
Gedong Panggung Krapyak (Foto dok. BPCB D.I. Yogyakarta)