Di hamparan kaki Gunung Merapi sisi selatan sejauh mata memandang akan kita temui berbagai gugusan grha para dewa dan yang sangat monumental yaitu Prambanan. Kini Prambanan merupakan lingkungan pedesaan yang berada di tepian Sungai Opak dan secara administratif berada di persimpangan wilayah perbatasan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Prambanan sebuah nama melegenda yang dalam konteks kekinian dapat didekati dalam berbagai dimensi kehidupan. Predikat sebagai bagian integral entitas budaya Mataram Kuno dapat dilihat dari mahakarya budaya yang ada.
Eksistensi mahakarya yang dikonfigurasikan ke dalam berbagai wujud grha para dewa, tidak lepas dari peran tokoh-tokoh yaitu Sri Maharaja Rakai Pikatan, Pramodha Wardhani, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, dan tentu seluruh potensi wangsa serta kawulanya bergotong royong. Ada khasanah literasi yang menjadi acuan yaitu Prasasti Siwa Grha yang juga mencatat angka tahun pendirian pada tahun 778 Saka (856 M). Konfigurasi candi tidak hadir dalam ruang kosong, tetapi terkait dengan aspek-aspek spiritualitas yang secara kosmologis dapat diidentifikasi ke dalam dimensi makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Oleh karena itu, aspek filosofis, simbolik maupun fungsional praktis selalu hadir dan menjadi kekuatan di dalam bangunan percandian yang merupakan grha para dewa itu. Keberadaan Gunung Merapi, sungai, dan alam lingkungannya menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, eksistensi candi terkait dan mempunyai korelasi positif dengan potensi sumber daya lingkungannya.
Grha para dewa yang sangat monumental tidak dapat dipisahkan dengan nama Prambanan. Sebagai bagian entitas budaya Mataram Kuno abad IX Masehi, nama Prambanan dapat dipahami sebagai wujud konfigurasi mahakarya wastu citra atau arsitektural masa klasik yang tiada bandingnya, baik dalam bentuk, langgam gaya, relief, ragam hias, dan kearifan lokal teknologi konstruksi dari susunan batu lepas yang saling mengkait. Berbagai candi baik dalam macam-macam bentuk, jenis,dan latar belakang kehidupan eksis menjadi pandu kehidupan yang penuh makna dan nilai-nilai. Selain Candi Prambanan apabila diidentifikasi ada nama-nama: Candi Sewu, Candi Lumbung, dan Candi Bubrah. Gugusan Candi Sewu dalam prasasti yang ditemukan disebut Manjusrigrha berangka tahun 714 Saka (792 M), mengingatkan kita pada sebuah karya persembahan buah perbuatan mulia dan keutamaan yang diperoleh dari perintah nareswara kepada segenap manusia (Kusen, 1992).
Prambanan sebagai mahakarya peradaban berupa penanda arsitektur atau wastu citra klasik ada berbagai dimensi yang selalu aktual dan relevan diketengahkan untuk kehidupan kita sekarang. Aktualisasi nilai-nilai kehidupan yang ada harus dikedepankan, niti laku secara komprehensif adalah salah satu cara kita saat ini untuk dapat memahami apa yang ada dibalik pesona Prambanan.
Memaknai Niti Laku
Niti laku adalah gabungan 2 (dua) kata yaitu niti dan laku. Niti berarti proses memeriksa, meneliti, dan menyusuri atau menapak jejak. Laku berarti cara, jalan, perjalanan, laku, perbuatan dan bertapa. Dengan demikian, niti laku mempunyai pemahaman dari dua aspek yaitu lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah niti laku bermakna menyusuri dan meneliti proses perbuatan ataupun perjalanan yang telah terjadi atau napak tilas. Sisi batiniah niti laku bermakna memeriksa dan meneliti laku bertapa. Makna niti laku adalah sebuah tingkah laku yang baik, sehingga berbagai nilai dan makna Prambanan dalam rentang waktu dan dinamikanya dapat ditelusuri kembali.
Menguak Prambanan akan menemukan beberapa nilai yang inheren dandapat dipelajari bersama, baik terkait dengan budaya yang tidak berwujud (intangible) maupun yang berwujud (tangible). Aspek-aspek spiritualitas, filosofis, dharma, virtue, ketokohan, dedikasi, integritas, kearifan lokal teknologi, arsitektural, ragam hias, dan lingkungan menjadi sesuatu nilai yang spesifik dan luar biasa. Sebagai mahakarya peradaban masa klasik, eksistensi Prambanan merupakan hasil kearifan lokal pengetahuan, kerja kolektif para ahli bangunan, arsitek, citra leka, artisan batu, pujangga, dan para empu yang memberikan dharma kepada rajanya.
Tidaklah berlebihan apabila Prambanan lahir dan eksis sebagai buah proses askese kehidupan masyarakat pada zamannya. Dapat dikatakan bahwa keberadaannya menjadi bermakna karena hasil proses dinamika sebuah wangsa yang berkolaborasi dengan segenap potensi dan kondisi masyarakat yang mampu menjalankan sikap hidup asketik, bijak memanfaatkan sumber daya alam, dan mampu mengatasi tantangan lingkungannya. Menyitir pendapat Prof. Sartono bahwa asketisme adalah sikap dan pola perilaku olah jiwa atau mesu budi yang mengedepankan aspek-aspek motivasi religius dengan semangat kerja. Konfigurasi sikap yang ditunjukkan adalah laku hidup yang mengedepankan sisi spiritualitas, kedisiplinan, kejujuran, rela berkorban,dan semangat melakukan sesuatu yang konkret.
Dalam perspektif historis bahwa bangunan percandian di wilayah Prambanan ada, eksis, mengalami kemunduran, hancur, ditemukan kembali, ditemu-kenali, diidentifikasi kembali, dilestarikan, direkonstruksi, dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh karena itu, niti laku juga dapat dimaknai melakukan refleksi terhadap bagaimana masyarakat sekarang dapat memperlakukan jejak peradaban dalam konteks upaya pelestarian, baik pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Niti laku juga untuk mengerti dan memahami berbagai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan pendidikan. Dalam konteks universal juga untuk mengerti dan memahami nilai penting luar biasa Prambanan yang telah diakui dunia internasional melalui UNESCO sejak 25 tahun yang lalu.
Merajut Oase Budaya di Prambanan Temple Compounds
Aktivitas melukis dan membuat sketsa bersama oleh para perupa di kawasan Candi Prambanan dilakukan bukanlah tanpa alasan. Mereka datang menggoreskan cat di atas kanvas dan mencoretkan tinta ataupun warna hitam di atas kanvas maupun kertas adalah untuk mengabadikan mahakarya peradaban yang berdiri megah dan kokoh. Melukis dan membuat sketsa bersama-sama merupakan bagian dari cara melakukan niti laku terhadap mahakarya peradaban. Secara reflektif niti laku para perupa tidak hanya berwujud laku fisik lahiriah, tetapi juga melibatkan ekspresi laku batiniah yang akan melahirkan sisi artisitik, estetik, dan mempunyai kedalaman makna.
Dalam konteks pelestarian cagar budaya dan tata kelola pengembangan serta pemanfaatan Warisan Budaya Dunia Prambanan, maka rangkaian peristiwa melukis bersama merupakan proses merajut oase budaya yang harus diperkuat dan dilakukan secara berkelanjutan. Mengingat aktivitas itu belum dilakukan secara berkesinambungan dan masih menjadi sesuatu yang ensidental dan langka. Persepsi dan interpretasi pelukis tentang candi menjadi sesuatu yang tidak terduga, mempunyai keunikan, dan mengesankan. Objek candi dihadirkan kembali di atas kanvas dan kertas menjadi karya seni yang menarik dan unik. Seolah hasil karya para pelukis itu mewakili imajinasi, perasaan bahkan kegelisahan yang dikonfigurasikan dengan wujud dan rupa secara bebas.
Karya lukisan dengan objek kompleks percandian dan lingkungannya tentu kental dengan sifat subjektivitas pelukis, baik dalam menentukan sudut pandang, pewarnaan, goresan, maupun mengekspresikan karya lukisannya. Objek sama kadangkala memberikan penafsirannya berbeda pula. Sifat subjektivitas itulah yang menarik untuk secara bebas diterjemahkan dan diinterpretasikan, bahkan menurut orang per orang tentu akan menghadirkan pandangan dan persepsi yang berbeda pula.
Aspek seni dan keindahan dapat menghadirkan apresiasi, bahkan sebagaimana pendapat RM. Sosrokartono dalam dialognya dengan Ir. Sukarno (1932), dapat menjadi pelunak rasa benci kepada sesama dan akhirnya bisa menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan diawali dan akan terwujud dengan cara bagaimana kita dapat mengekspresikan kreativitas karya estetik dengan spirit kebudayaan dan kemanusiaan. Rupa, goresan, guratan, dan ragam hias yang diekspresikan dalam bentuk tertentu, dapat menginspirasi serta menjadi daya ubah konkret dalam proses yang berperadaban.
Masa lampau selalu menawarkan wahana belajar, di banyak warisan budaya kita, baik Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Borobudur, dan masih banyak yang lain bahwa dalam proses kehidupannya telah mengalami keterputusan peradaban. Terbukti di pusat-pusat peradaban masa klasik yang pada zamannya mempunyai kekuatan literasi verbal akhirnya bergeser dengan munculnya berbagai tradisi lisan ataupun foklor untuk memaknai realita jejak peradaban yang telah ada sebelumnya. Fakta lain menunjukkan bahwa sebagai artefak masa lalu yang dahulu ada, berfungsi, kemudian ditemukan kembali berupa reruntuhan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat pendukungnya. Akhirnya, bukti-bukti arkeologi itu ditemukan, diidentifikasi kembali, dan diekspose kepada publik oleh arkeolog dan indiolog yang mempunyai perhatian dengan artefak kita.
Apa yang dapat dikerjakan para pelaku budaya pada saat sekarang? Tentu harus mau berkomitmen dan meniti laku di “jalan kebudayaan”, yaitu mencintai dan memahami candi bukan sebagai artefak mati saja. Memahami harus sampai menyentuh kepada apa yang tersurat, tersirat, dan disimbolkan dalam berbagai bentuk dan ragam hias. Memaknai Prambanan dalam alur proses kehidupan sebagaimana para cendekiawan dan artisan dahulu adalah mau berproses secara substantif, seperti dikatakan Mudji Sutrisno, S.J. ada pada posisi ruh budaya yang memuliakan kehidupan. Mengingat candi apabila dilihat dengan mata budi dan mata hati akan tergelar berbagai nilai estetika yang dapat memberi tuntunan kehidupan yang inspiratif dan mencerahkan.
Jalan kebudayaan itulah yang harus menjiwai berbagai laku yang akhirnya membentuk atmosfer pembelajaran di Prambanan. Dinamika berkesenian dan jalan berkebudayaan dalam konteks luas tentu akan menjadi denyut nadi dan nafas yang selaras dengan eksistensi Prambanan sebagai hasil mahakarya peradaban yang penuh pesona. Manusia adalah subjek kehidupan yang mampu berekspresi melalui proses memberi makna hidup dan kemampuannya untuk menyadari kebudayaan sebagai laku tindakan yang membuahkan karya-karya budaya. Mereka semua bukanlah objek dan penonton yang berdiri dalam ruang hampa. Akan tetapi, mereka berproses menjadi subjek dinamis pelaku kebudayaan yang disebut sebagai the signifying creatures atau homo significans (Sutrisno, 2014). Wajah kebudayaan masa klasik diharapkan menjadi inspirsasi, sumber kreativitas aktual, nafas hidup, bagian intuisi serta spirit laku budaya manusia dan institusi yang berinteraksi di kawasan lindung budaya.
Warna warni dan Refleksi Kehidupan
Candi Prambanan mempunyai gugusan 16 bangunan di halaman pusat dan 224 perwara di sekelilingnya. Di halaman pusat terdapat 3 (tiga) buah candi utama, yaitu Candi Brahma, Candi Siwa, dan Candi Wisnu. Ketiga candi itu untuk memuja Dewa Trimurti atau tiga kekuatan Brahman. Dewa Brahma sebagai pencipta dengan sakti Dewi Saraswati atau Dewi Ilmu Pengetahuan; Dewa Wisnu sebagai pemelihara dengan sakti Dewi Laksmi atau Sri; Dewa Siwa sebagai perusak dengan sakti Dewi Durga. Memaknai keberadaan tiga dewa di dalam Trimurti tentu menggambarkan warna-warni kehidupan dan keyakinan yaitu unsur penciptaan, pemeliharaan, dan perusak. Dalam ranah bentuk dan simbol akan mempunyai konfigurasi dan pemaknaan yang berbeda. Sedangkan dalam ranah temporal seolah hal itu menjadi bagian dari putaran roda waktu yang dinamis dalam konteks gerak cakra manggilingan.
Bagi manusia di dalam mengantisipasi berbagai warna kehidupan dalam cakra manggilingan yang dinamis adalah bagaimana dapat mengkonfigurasikan perannya dengan mempertimbangkan asas keseimbangan.Wujud nyata peran manusia dalam kehidupan, seperti dikemukakan Abraham Maslow adalah sejauhmana dapat menunjukkan totalitas hidup sebagai wahana aktualisasi diri. Aktualisasi diri dengan mempertimbangkan asas keseimbangan diperlukan, agar apapun yang tercipta harus dipelihara untuk menjamin keberlanjutan, sehingga proses kerusakan akan dapat dikendalikan. Walaupun rusak itu pasti terjadi, karena sesuatu yang fana akan menjadi rengkuhan ketidakabadian. Terutama hal itu terwakili dalam proses perjalanan daur kehidupan yaitu tata kala matahari yang berjalan sesuai ritmenya. Ritme waktu layaknya perjalanan matahari sebagaimana yang dirasakan manusia, diawali terbit dari ufuk timur, puncak eksis pada siang hari, dan diakhiri surut di barat pada sore hari.
Dalam konteks Manjusrigrha kita akan mendapatkan inspirasi dari seorang Bodhisattwa yang berkuasa dalam membasmi kebodohan (avidya) dan dikaitkan dengan Amittabha dan Aksobhya yang bertangan dua. Tangan kanan membawa pedang untuk menebas kebodohan dan tangan kiri membawa buku atau pustaka sebagai Prajnaparamita sutra lambang kebijaksanaan untuk mengganti avidya menjadi vidya (Magetsari, 1981). Kebijaksanaan hidup yang mengutamakan penguasaan ilmu melalui proses literasi merupakan pijar-pijar kehidupan yang memicu perubahan ke arah kebaikan untuk menggapai perbaikan.
Tingkatan dalam Arsitektur Candi
Ada tiga tingkatan kehidupan atau Triloka dalam memaknai arsitektur candi Hindu, yaitu kaki candi (Bhurloka), tubuh candi (Bhuvarloka), dan atap candi (Svarloka). Masing-masing tingkatan mempunyai makna, yaitu Bhurloka adalah dunia fana di bumi yang mempunyai makna alam bawah dan dalam situasi kegelapan. Bhuvarloka adalah dunia tengah yang melambangkan dunia untuk disucikan atau bersih. Pada bagian tubuh candi merupakan tempat untuk meletakkan arca-arca dewa serta relief-relief cerita awatara Dewa Wisnu. Svarloka adalah di bagian atap candi yang mempunyai makna dunia atas dan melambangkan dunia para dewa, serta merupakan tempat persembahan.
Dalam agama Buddha, candi mempunyai tiga tingkatan atau Tridhatu, yaitu kaki candi (Kamadhatu), tubuh candi (Rupadhatu), dan atap candi (Arupadhatu). Kamadhatu adalah bagian kaki atau dasar candi yang melambangkan kehidupan manusia yang penuh dosa. Rupadhatu adalah bagian tubuh candi yang melambangkan kehidupan yang mementingkan kehidupan duniawi atau nafsu keduniawian. Arupadhatu adalah bagian atap candi yang melambangkan manusia telah mencapai nirwana, yaitu kehidupan yang mengutamakan keselamatan jiwa.
Gambaran proses perjalanan kehidupan manusia dari tataran : bawah – tengah – dan atas yang mengacu pada bentuk utuh arsitektur candi, dapat memberikan inspirasi yang dapat diaktualisasikan. Inspirasinya adalah pentingnya berbuatan yang baik dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan dunia fana yang gelap. Untuk menuju dunia yang bersih dan dekat dengan Dewata ataupun Yang Maha Tinggi, maka perlu usaha dan proses penyucian diri dengan melepaskan diri dari belenggu ketamakan, keserakahan, dan mengumbar hawa nafsu duniawi. Sempurnanya menjadi manusia apabila setiap insan menyadari bahwa diri pribadinya itu tidak sempurna, sehingga membutuhkan panduan kehidupan yang konkret.
Damai dan Harmoni
Kawasan Prambanan eksis dengan beberapa gugusan candi dari latar belakang agama Hindu dan Buddha yang letaknya saling berdekatan. Tentu hal ini bukanlah fenomena kesejarahan yang tanpa makna. Akan tetapi, fenomena itu dapat memberikan inspirasi kepada kita sekarang, bahwa damai dan harmoni dalam realita keberagaman pada dasarnya mempunyai pengalaman sejarah yang panjang. Kondisi itu dalam konteks kehidupan berbangsa dapat dimaknai sebagai kerukunan yang hadir secara alami dan mengalir dalam alam pikiran dan pola perilaku yang bisa diterima oleh segenap masyarakat. Lahir dan menguatnya kerukunan tidak dapat begitu saja hadir tanpa kondisi masyarakat yang berkeadilan, menjunjung kebenaran, tenggang rasa, dan saling menghormati.
Di dalam masyarakat yang sangat kompleks dan beragam saat ini ada fenomena sosial yang kadangkala paradoksal. Sering kali terjadi menyeruak ke permukaan yaitu adanya fenomena yang merusak tatanan kedamaian dan harmoni. Kondisi itu tentu kontraproduktif dengan berbagai prinsip tatanan sosial masyarakat yang kondusif dan tata tentrem yang menjadi idaman bersama, bahkan telah menjadi cita-cita dan diwujudkan bersama-sama sejak puluhan abad lalu. Apabila kita mengutip kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular masa Majapahit abad XIV Masehi ada prinsip Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (beraneka ragam tetapi satu kesatuan tidak ada kebenaran yang mendua). Prinsip Bhineka Tunggal Ika ini menjadi pedoman hidup berbangsa dan pilihan rasional logis masyarakat Indonesia saat ini yang kondisinya sangat majemuk.
Tampaknya ada kesinambungan di antara para protagonis kehidupan yang berkeadaban, bahwa damai dan harmoni merupakan kondisi yang diidamkan dan pilihan bijak dalam masyarakat yang majemuk atau multikultur pada masa klasik hingga abad teknologi dewasa ini. Oleh karena itu, semua berkepentingan untuk menolak berbagai hal yang dapat mencabik-cabik kedamaian dan rasa nyaman tenteram masyarakat. Damai dan harmoni adalah pilihan bijak bagi manusia yang mempunyai entitas budaya kehidupan dan ingin menjadikan manusia semakin rukun dan menampakkan wajah manusiawi (humanis). Spiral kekerasan, kebencian, dan intoleransi harus diputus karena akan menjadikan sumber lahirnya kondisi tidak kondusif bahkan keresahan yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan. Pengalaman sejarah dan fenomena budaya kita sudah selayaknya menjadi tempat untuk belajar dan merefleksi diri. Terkait hal itu tidak salah apabila kita mengutip pendapat Cicero, bahwa “tidak mau belajar dari sejarah akan menjadi kanak-kanak selamanya.”
Ramayana – Krsnayana
Cerita epik Ramayana dan Krsnayana dipahatkan di dinding tubuh candi dalam bentuk relief yang bernilai seni sangat tinggi, baik di Candi Siwa, Candi Brahma, dan Candi Wisnu. Prabu Rama dari Ayodya melawan Dasamuka atau Rahwana dari Alengka, dan Prabu Krsna dari Dwaraka mengalahkan Kamsa.Wisnu sebagai dewa pemelihara turun ke dunia ke dalam sepuluh bentuk atau dasa awatara untuk mengenyahkan angkara murka di dunia. Awatara Wisnu Ramayana muncul saat zaman Tretayuga yaitu kondisi Negara dalam keadaan penuh gejolak dan kejahatan ada di mana-mana yang mengancam manusia.
Krsnayana adalah inkarnasi Dewa Wisnu menjadi Prabu Krsna. Awatara ini muncul saat kondisi zaman Dwaparayuga. Kondisi ini ditandai dengan mulai merebaknya kelicikan dan kebohongan, banyak orang lebih mengutamakan ritus. Siapapun orangnya yang melaksanakan ritual-ritual keagamaan akan dihormati, walaupun secara substansial kehidupannya kurang mengimplementasikan prinsip hidup dengan dharma maupun kesalehan sosial. Apabila kondisi Tetrayuga dan Dwaparayuga dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik akan lahirlah kondisi zaman Kaliyuga, yaitu era lahirnya kehancuran masyarakat.
Awatara Wisnu dalam kedua pokok cerita didedikasikan untuk memberantas nafsu dunia yang berupa angkara murka dan kejahatan. Pertarungan kejahatan dan kebaikan muncul ke dalam berbagai konfigurasi dan intensitasnya. Kejahatan selalu ada dan bahkan dapat menjadi ancaman setiap manusia, kadangkala sampai pada kondisi yang meresahkan dan menakutkan. Upaya memberantas kejahatan dan angkara murka sebagaimana digambarkan dalam cerita Ramayana dan Krsnayana membutuhkan soliditas, beragam cara, dan partisipasi semua pihak. Dalam cerita epik Ramayana dan Krsnayana diteguhkan bahwa kebaikan akan dapat mengalahkan kegelapan dan nafsu jahat yang menghancurkan. Inspirasi pentingnya bahwa upaya mewujudkan kebaikan tidak pernah hadir begitu saja namun harus melalui proses waktu, tekad bersama, konsensus bersama, itikad baik, integritas, tidak pantang menyerah, dan landasan spiritualitas.
Anoman Obong dan Simbol Hitam – Putih
Pada dasarnya angkara murka dan kejahatan muncul karena manusia tidak dapat mengendalikan dan menghilangkan hawa nafsu duniawi. Keangkuhan Dasamuka yang merasa paling sakti ternyata runtuh oleh daya upaya kolektif, gotong royong, dan api Anoman. Api sering diwakili dengan warna merah menyala. Hal ini dalam simbol sering diartikan keberanian, semangat, agresivitas, dan gairah. Daya api dalam adegan “Anoman Obong” mampu meluruhkan kekuatan masif keangkuhan kota raja Alengka. Dorongan niat berbakti sebagai wujud dedikasi kepada Prabu Rama dan rasa kesetiaan merupakan sumber kepastian yang mengalahkan keragu-raguan. Prinsip aktual yang dapat dipetik adalah kepastian melangkah ke depan akan membuahkan keberhasilan dan keragu-raguan akan menyebabkan kegagalan.
Kekuatan api mempunyai makna tertentu yaitu merupakan wujud adanya semangat yang berkobar-kobar. Bung Karno dalam pidatonya pada saat meresmikan Candi Siwa 20 Desember 1953 mengatakan bahwa “Ambillah apinja dan djangan abunja (neem de vlam en niet de as), djikalau bangsa kita dapat mewarisi api jang gemilang itu akan dapat kita mendjadi bangsa jang besar kembali” ( KR 21 Desember 1953). Makna untaian kata itu adalah bahwa kita sebagai anak bangsa harus mampu menempatkan kebudayaan bangsa sebagai panduan hidup untuk dapat memetik pelajaran menjadi bangsa besar. Kebudayaan dengan berbagai aspeknya harus dapat diambil inspirasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan menjadi api semangat dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya jangan terjebak untuk mengambil abunya sebagai residu yang tidak bermakna dan faktor-faktor negatif yang dapat memperlemah semangat kolektif, daya nalar kritis, kohesivitas sosial, dan kemampuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Hitam – putih merupakan warna yang sering dikaitkan dengan simbol tertentu. Simbol hitam – putih sejak dulu hingga kini selalu ada dan sering ditemui dalam dinamika kehidupan. Dalam realita kehidupan selalu ada dua aspek yang sering bertolak belakang bahkan cenderung dalam posisi polarisasi bahkan sering dimaknai dengan tabiat baik – buruk. Dalam khasanah simbolik warna “hitam sering dimaknai sebagai hal yang buruk” dan “putih sebagai kesucian dan kebaikan”.
Dalam khasanah literasi cerita epik Ramayana secara tersurat merupakan wujud pertarungan antara watak dan perilaku buruk melawan kebaikan. Secara simbolik juga dapat dikatakan sebagai pertarungan antara yang hitam dan putih. Dua aspek watak yang sering tampil secara bersamaan. Hal ini mengingatkan kita pada tampilan pakaian sosok wanara Anoman. Si kera putih Anoman di dalam seni pertunjukan kita, baik wayang wong maupun sendratari mengenakan pakaian warna dominan putih dengan dibalut kain kotak-kotak hitam – putih dipinggangnya. Apa makna warna itu semua? Putih sering disebut mewakili makna simbolik psikologis antara lain kemurnian, kebenaran, kedamaian, dan kesucian. Hitam sering untuk mewakili makna simbolik antara lain perlindungan, kekuatan, misteri, kemarahan, dan kejahatan.
Apa yang ada pada diri wanara Anoman menunjukkan bahwa kebenaran dan kesetiaan kepada junjungannya Prabu Rama dan Dewi Sinta telah ditunjukkan dengan mampu mengemban dan menyelesaikan tugas kerajaan dengan baik. Berbagai kekuatan penghalang warna hitam penuh misteri, kemarahan, dan kejahatan terbukti mampu diredam, dialeniasi, dan disubordinasikan. Dengan demikian, kebenaran hakiki dan keadilan harus tampil sebagai kekuatan superioritas yang mampu meredam niat dan tindakan menyimpang dan kejahatan yang merugikan.
Pada dasarnya suatu simbol dapat menjadi inspirasi dan daya kekuatan, jika berbagai bentuk, rupa dan suatu pernyataan dapat diformulasikan menjadi tindakan konkret. Kita diberi hak untuk menentukan pilihan dan pilihan itu tentu menjadi sebuah keputusan yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pilihan dharma sebagai tindakan benar dan bertanggung jawab menjadi keutamaan yang harus dilaksanakan dan membuang perilaku sebaliknya yaitu adharma. Prambanan adalah bagian memori kolektif kita yang harus dapat diaktualisasikan, menginspirasi, dan menjadi bagian jalan kebudayaan untuk kehidupan yang berkeadaban. (Ign. Eka Hadiyanta – Kepala Unit Kerja Dokumentasi dan Publikasi BPCB DIY)