Di hamparan kaki Gunung Merapi sisi selatan sejauh mata memandang akan kita temui berbagai gugusan grha para dewa dan yang sangat monumental yaitu Prambanan. Kini Prambanan merupakan lingkungan pedesaan yang berada di tepian Sungai Opak dan secara administratif berada di persimpangan wilayah perbatasan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Prambanan sebuah nama melegenda yang dalam konteks kekinian dapat didekati dalam berbagai dimensi kehidupan. Predikat  sebagai bagian integral entitas budaya Mataram Kuno dapat dilihat dari mahakarya budaya yang ada.

    Eksistensi mahakarya yang dikonfigurasikan ke dalam berbagai wujud grha para dewa, tidak lepas dari peran tokoh-tokoh yaitu Sri Maharaja Rakai Pikatan, Pramodha Wardhani, Rakai Kayuwangi Dyah  Lokapala, dan tentu seluruh potensi wangsa serta kawulanya bergotong royong. Ada khasanah literasi yang menjadi acuan yaitu Prasasti Siwa Grha yang juga mencatat angka tahun  pendirian pada tahun 778 Saka (856 M). Konfigurasi candi tidak hadir dalam ruang kosong, tetapi terkait dengan aspek-aspek spiritualitas yang secara kosmologis dapat diidentifikasi ke dalam dimensi makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik).  Oleh karena itu, aspek filosofis, simbolik maupun fungsional praktis selalu hadir dan menjadi kekuatan di dalam bangunan percandian yang merupakan grha para dewa itu. Keberadaan Gunung Merapi, sungai,  dan alam lingkungannya menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, eksistensi candi terkait dan mempunyai korelasi positif dengan potensi sumber daya lingkungannya.

    Grha para dewa yang sangat monumental tidak dapat dipisahkan dengan nama Prambanan. Sebagai bagian  entitas budaya Mataram Kuno abad IX Masehi, nama Prambanan dapat dipahami sebagai wujud konfigurasi mahakarya wastu citra  atau arsitektural masa klasik yang tiada bandingnya, baik dalam bentuk, langgam gaya, relief, ragam hias, dan kearifan lokal teknologi konstruksi dari susunan batu lepas yang saling mengkait.  Berbagai candi baik dalam macam-macam bentuk, jenis,dan latar belakang kehidupan  eksis menjadi pandu kehidupan yang penuh makna dan  nilai-nilai. Selain Candi Prambanan apabila diidentifikasi ada nama-nama: Candi Sewu, Candi Lumbung, dan Candi Bubrah. Gugusan Candi Sewu dalam prasasti yang ditemukan disebut Manjusrigrha berangka tahun 714 Saka  (792 M), mengingatkan kita pada  sebuah karya persembahan buah perbuatan mulia dan keutamaan yang diperoleh dari perintah nareswara kepada segenap manusia (Kusen, 1992).

     Prambanan sebagai mahakarya peradaban berupa penanda arsitektur atau wastu citra klasik ada berbagai dimensi yang  selalu aktual dan relevan diketengahkan untuk kehidupan kita sekarang. Aktualisasi nilai-nilai kehidupan yang ada harus dikedepankan, niti laku secara komprehensif adalah salah satu cara kita saat ini untuk dapat memahami apa yang ada dibalik pesona  Prambanan.

Heru Londo, “Prambanan”, Akrilik di atas kanvas, 90 x 120 cm

Memaknai Niti Laku

     Niti laku adalah gabungan 2 (dua) kata yaitu niti dan laku. Niti berarti  proses memeriksa, meneliti, dan menyusuri atau menapak jejak. Laku berarti cara, jalan,    perjalanan, laku, perbuatan dan bertapa. Dengan demikian, niti laku mempunyai   pemahaman dari dua aspek yaitu lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah niti laku bermakna menyusuri dan meneliti proses perbuatan ataupun perjalanan yang telah terjadi atau napak tilas. Sisi batiniah niti laku bermakna memeriksa dan meneliti laku bertapa. Makna niti laku adalah sebuah tingkah laku yang baik, sehingga berbagai nilai dan makna Prambanan dalam rentang waktu dan dinamikanya dapat ditelusuri kembali.

     Menguak Prambanan akan menemukan beberapa nilai yang inheren dandapat dipelajari bersama, baik terkait dengan budaya yang tidak berwujud (intangible) maupun yang berwujud (tangible). Aspek-aspek spiritualitas, filosofis, dharma, virtue, ketokohan, dedikasi, integritas, kearifan lokal teknologi, arsitektural, ragam hias, dan lingkungan menjadi sesuatu nilai yang spesifik dan luar biasa.  Sebagai mahakarya peradaban masa klasik, eksistensi Prambanan merupakan hasil kearifan lokal pengetahuan,  kerja kolektif   para ahli bangunan, arsitek, citra leka, artisan batu, pujangga, dan para empu yang memberikan dharma kepada rajanya.

    Tidaklah berlebihan apabila Prambanan lahir dan eksis sebagai buah proses askese kehidupan masyarakat pada zamannya. Dapat dikatakan bahwa keberadaannya menjadi  bermakna karena hasil proses dinamika sebuah wangsa yang berkolaborasi dengan segenap potensi dan kondisi masyarakat yang mampu menjalankan sikap hidup asketik, bijak memanfaatkan sumber daya alam, dan mampu mengatasi tantangan lingkungannya. Menyitir pendapat Prof. Sartono bahwa asketisme adalah sikap dan pola perilaku olah jiwa atau mesu budi yang mengedepankan aspek-aspek motivasi religius dengan semangat kerja. Konfigurasi sikap yang ditunjukkan adalah laku hidup yang mengedepankan sisi spiritualitas, kedisiplinan, kejujuran,  rela berkorban,dan semangat melakukan sesuatu yang konkret.

     Dalam perspektif historis bahwa bangunan percandian di wilayah Prambanan ada, eksis, mengalami kemunduran, hancur, ditemukan kembali, ditemu-kenali, diidentifikasi kembali, dilestarikan, direkonstruksi, dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh karena itu, niti laku juga dapat dimaknai melakukan refleksi terhadap bagaimana masyarakat sekarang dapat memperlakukan jejak peradaban dalam konteks  upaya pelestarian, baik pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Niti laku juga untuk mengerti dan memahami berbagai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan pendidikan. Dalam konteks universal juga untuk mengerti dan memahami  nilai penting  luar biasa Prambanan  yang telah diakui  dunia internasional melalui UNESCO sejak 25 tahun yang lalu.

Merajut Oase Budaya  di Prambanan Temple Compounds

     Aktivitas melukis dan membuat sketsa bersama oleh para perupa di kawasan Candi Prambanan dilakukan bukanlah tanpa alasan. Mereka datang  menggoreskan cat di atas kanvas dan mencoretkan tinta ataupun warna hitam di atas kanvas maupun kertas  adalah untuk mengabadikan mahakarya peradaban yang berdiri megah dan kokoh. Melukis dan membuat sketsa bersama-sama merupakan bagian dari cara melakukan niti laku terhadap mahakarya peradaban. Secara reflektif  niti laku para perupa tidak hanya berwujud laku fisik lahiriah, tetapi juga melibatkan ekspresi laku batiniah yang akan melahirkan sisi artisitik, estetik, dan mempunyai kedalaman makna.

   Dalam konteks pelestarian cagar budaya dan tata kelola pengembangan serta pemanfaatan  Warisan Budaya Dunia Prambanan, maka rangkaian peristiwa melukis bersama merupakan proses merajut oase budaya yang harus diperkuat dan dilakukan secara berkelanjutan.  Mengingat aktivitas itu belum  dilakukan secara berkesinambungan dan masih menjadi sesuatu yang ensidental dan langka.  Persepsi dan interpretasi pelukis tentang candi menjadi sesuatu yang tidak terduga, mempunyai keunikan, dan mengesankan. Objek candi dihadirkan kembali di atas kanvas  dan kertas menjadi karya seni yang menarik dan unik. Seolah hasil karya para pelukis itu mewakili imajinasi, perasaan bahkan kegelisahan yang dikonfigurasikan dengan wujud dan rupa secara bebas.

    Karya lukisan dengan objek kompleks percandian dan lingkungannya tentu kental dengan sifat subjektivitas pelukis, baik dalam menentukan sudut pandang, pewarnaan, goresan, maupun mengekspresikan karya lukisannya. Objek sama kadangkala memberikan penafsirannya berbeda pula. Sifat subjektivitas itulah yang menarik untuk secara bebas diterjemahkan dan diinterpretasikan, bahkan menurut orang per orang  tentu akan menghadirkan pandangan dan persepsi yang berbeda pula.

    Aspek seni dan keindahan dapat menghadirkan apresiasi, bahkan sebagaimana  pendapat  RM. Sosrokartono dalam dialognya dengan Ir. Sukarno (1932), dapat menjadi pelunak rasa benci kepada sesama dan akhirnya bisa menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan diawali dan akan terwujud  dengan cara bagaimana kita dapat mengekspresikan kreativitas karya estetik dengan spirit kebudayaan dan kemanusiaan. Rupa, goresan, guratan, dan ragam hias yang diekspresikan dalam bentuk tertentu, dapat menginspirasi  serta menjadi daya ubah konkret dalam proses yang berperadaban.

    Masa lampau selalu menawarkan wahana belajar, di banyak warisan budaya kita, baik Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Borobudur, dan masih banyak yang lain bahwa dalam proses kehidupannya telah  mengalami keterputusan peradaban. Terbukti di pusat-pusat peradaban masa klasik yang pada zamannya mempunyai kekuatan literasi verbal akhirnya bergeser dengan munculnya berbagai tradisi lisan ataupun  foklor  untuk memaknai realita jejak peradaban yang telah ada sebelumnya.  Fakta lain menunjukkan bahwa  sebagai artefak masa lalu yang dahulu ada, berfungsi, kemudian ditemukan kembali berupa reruntuhan   yang sudah  tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat pendukungnya. Akhirnya, bukti-bukti arkeologi itu ditemukan, diidentifikasi kembali, dan diekspose  kepada publik oleh arkeolog dan indiolog yang mempunyai perhatian dengan artefak kita.

    Apa yang dapat dikerjakan para pelaku budaya pada saat sekarang? Tentu harus mau berkomitmen dan meniti laku di “jalan kebudayaan”, yaitu  mencintai dan memahami candi bukan sebagai artefak mati saja. Memahami  harus sampai menyentuh kepada  apa  yang tersurat, tersirat, dan disimbolkan dalam berbagai bentuk dan ragam hias. Memaknai Prambanan dalam alur proses kehidupan sebagaimana  para cendekiawan dan  artisan dahulu adalah mau berproses  secara substantif, seperti dikatakan Mudji Sutrisno, S.J. ada pada posisi ruh budaya yang memuliakan kehidupan. Mengingat candi apabila dilihat dengan mata budi dan mata hati akan tergelar  berbagai nilai  estetika  yang dapat memberi tuntunan kehidupan yang inspiratif dan mencerahkan.

    Jalan kebudayaan itulah yang harus menjiwai berbagai laku  yang akhirnya membentuk  atmosfer pembelajaran di Prambanan. Dinamika berkesenian dan jalan berkebudayaan dalam konteks luas tentu akan menjadi denyut nadi dan nafas yang selaras  dengan eksistensi Prambanan sebagai hasil mahakarya peradaban yang penuh pesona. Manusia adalah subjek kehidupan  yang mampu berekspresi melalui proses memberi makna hidup dan kemampuannya untuk menyadari kebudayaan sebagai laku tindakan yang membuahkan karya-karya budaya. Mereka semua bukanlah objek dan penonton yang berdiri dalam      ruang hampa. Akan tetapi, mereka berproses menjadi subjek dinamis pelaku kebudayaan yang disebut sebagai the signifying creatures atau homo significans (Sutrisno, 2014). Wajah kebudayaan masa klasik diharapkan menjadi  inspirsasi, sumber kreativitas  aktual, nafas hidup, bagian intuisi serta spirit laku budaya manusia  dan   institusi yang berinteraksi di kawasan lindung budaya.

Para pelukis Yogyakarta sedang mengabadikan keindahan Candi Prambanan pada saat event “Melukis Bersama Sang Maestro” yang digelar 25 -26 Oktober 2016

Warna warni  dan Refleksi Kehidupan

      Candi Prambanan mempunyai gugusan 16 bangunan di halaman pusat dan 224 perwara di sekelilingnya. Di halaman pusat terdapat 3 (tiga) buah candi utama, yaitu Candi Brahma, Candi Siwa, dan Candi Wisnu. Ketiga candi itu untuk memuja Dewa Trimurti atau tiga kekuatan Brahman.  Dewa Brahma sebagai pencipta dengan sakti Dewi Saraswati atau Dewi Ilmu Pengetahuan; Dewa Wisnu sebagai pemelihara dengan sakti Dewi Laksmi atau Sri; Dewa Siwa sebagai perusak dengan sakti Dewi Durga. Memaknai keberadaan tiga dewa di dalam Trimurti tentu menggambarkan warna-warni kehidupan  dan keyakinan   yaitu unsur penciptaan, pemeliharaan, dan perusak. Dalam ranah bentuk  dan simbol  akan mempunyai konfigurasi dan pemaknaan yang berbeda. Sedangkan dalam  ranah temporal seolah hal itu menjadi bagian dari putaran roda waktu yang dinamis dalam  konteks gerak  cakra manggilingan.

    Bagi manusia di dalam mengantisipasi berbagai warna kehidupan dalam cakra manggilingan yang dinamis adalah bagaimana dapat mengkonfigurasikan  perannya dengan mempertimbangkan asas keseimbangan.Wujud nyata peran manusia dalam kehidupan, seperti dikemukakan Abraham Maslow adalah sejauhmana dapat menunjukkan totalitas hidup sebagai wahana aktualisasi diri. Aktualisasi diri dengan mempertimbangkan asas keseimbangan diperlukan, agar apapun yang tercipta harus dipelihara untuk menjamin keberlanjutan, sehingga proses kerusakan akan dapat dikendalikan. Walaupun rusak itu pasti terjadi, karena sesuatu yang fana akan menjadi rengkuhan ketidakabadian. Terutama hal itu terwakili dalam proses perjalanan daur kehidupan yaitu tata kala matahari yang berjalan sesuai ritmenya. Ritme waktu layaknya perjalanan matahari sebagaimana yang dirasakan manusia, diawali terbit dari ufuk timur, puncak eksis pada siang hari, dan diakhiri surut  di barat pada sore hari.

      Dalam konteks Manjusrigrha kita akan mendapatkan inspirasi dari seorang Bodhisattwa yang berkuasa dalam membasmi kebodohan (avidya) dan dikaitkan dengan Amittabha dan Aksobhya yang bertangan dua. Tangan kanan membawa pedang untuk menebas kebodohan dan tangan kiri membawa buku  atau pustaka sebagai Prajnaparamita sutra lambang kebijaksanaan untuk mengganti avidya menjadi vidya (Magetsari, 1981). Kebijaksanaan hidup yang mengutamakan penguasaan ilmu    melalui proses literasi merupakan pijar-pijar kehidupan yang memicu perubahan ke arah  kebaikan  untuk menggapai perbaikan.

TAL-S, Bandung Bondowoso, Akrilik di atas kanvas, 80 x 120 cm

Tingkatan dalam Arsitektur Candi

     Ada tiga tingkatan kehidupan atau Triloka dalam memaknai arsitektur candi Hindu, yaitu kaki candi (Bhurloka), tubuh candi (Bhuvarloka), dan atap candi (Svarloka). Masing-masing  tingkatan mempunyai makna, yaitu Bhurloka  adalah dunia fana di bumi yang mempunyai makna alam bawah dan dalam situasi kegelapan. Bhuvarloka adalah  dunia tengah yang melambangkan dunia untuk disucikan atau bersih.   Pada bagian  tubuh  candi merupakan  tempat untuk meletakkan arca-arca  dewa serta relief-relief  cerita awatara Dewa Wisnu. Svarloka adalah  di bagian atap candi yang mempunyai makna dunia atas dan melambangkan dunia para dewa, serta merupakan tempat persembahan.

     Dalam agama Buddha, candi mempunyai tiga tingkatan atau Tridhatu, yaitu kaki candi (Kamadhatu), tubuh candi (Rupadhatu), dan atap candi (Arupadhatu). Kamadhatu adalah bagian kaki atau dasar candi yang melambangkan kehidupan manusia yang penuh dosa. Rupadhatu adalah bagian tubuh candi yang melambangkan kehidupan yang mementingkan kehidupan duniawi atau nafsu keduniawian. Arupadhatu adalah bagian atap candi yang melambangkan manusia  telah mencapai nirwana, yaitu kehidupan yang mengutamakan keselamatan jiwa.

      Gambaran proses perjalanan kehidupan manusia dari tataran : bawah – tengah – dan atas yang mengacu pada bentuk utuh arsitektur candi,  dapat memberikan inspirasi yang dapat diaktualisasikan. Inspirasinya adalah  pentingnya berbuatan yang baik dan  menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan dunia fana yang gelap. Untuk menuju dunia yang bersih dan dekat dengan Dewata ataupun Yang Maha Tinggi, maka perlu usaha dan proses penyucian diri dengan melepaskan diri dari belenggu ketamakan, keserakahan, dan mengumbar hawa nafsu  duniawi. Sempurnanya menjadi manusia apabila setiap insan menyadari bahwa diri pribadinya itu tidak sempurna, sehingga membutuhkan  panduan kehidupan yang konkret.

Harman, “Pesona Prambanan”, Akrilik di atas kanvas, 60 x 80 cm

Damai  dan  Harmoni

      Kawasan Prambanan  eksis dengan beberapa gugusan  candi dari latar belakang agama Hindu dan Buddha yang letaknya saling berdekatan. Tentu hal ini bukanlah fenomena kesejarahan yang tanpa makna. Akan tetapi, fenomena itu dapat memberikan inspirasi kepada kita sekarang, bahwa damai dan harmoni dalam realita keberagaman pada dasarnya mempunyai pengalaman  sejarah yang panjang. Kondisi itu dalam konteks kehidupan berbangsa dapat dimaknai sebagai kerukunan yang hadir secara alami dan mengalir dalam alam pikiran dan pola perilaku yang bisa diterima oleh segenap masyarakat. Lahir dan menguatnya kerukunan tidak dapat begitu  saja hadir tanpa kondisi masyarakat yang berkeadilan, menjunjung kebenaran, tenggang rasa, dan saling menghormati.

       Di dalam masyarakat yang sangat kompleks dan beragam saat ini ada fenomena sosial yang kadangkala paradoksal. Sering kali terjadi menyeruak ke permukaan yaitu  adanya fenomena yang merusak tatanan kedamaian dan harmoni. Kondisi itu tentu kontraproduktif dengan berbagai prinsip tatanan sosial masyarakat yang kondusif dan tata tentrem yang menjadi idaman bersama, bahkan telah menjadi cita-cita dan diwujudkan bersama-sama sejak puluhan abad lalu. Apabila kita mengutip kakawin  Sutasoma karya Mpu  Tantular masa Majapahit abad XIV Masehi ada prinsip Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (beraneka ragam tetapi satu kesatuan tidak ada kebenaran yang mendua). Prinsip Bhineka Tunggal Ika ini menjadi pedoman hidup berbangsa dan pilihan rasional logis masyarakat Indonesia saat ini yang kondisinya sangat majemuk.

       Tampaknya ada kesinambungan di antara para protagonis kehidupan yang berkeadaban, bahwa damai dan harmoni merupakan kondisi yang diidamkan dan  pilihan bijak dalam masyarakat yang majemuk atau multikultur pada masa klasik hingga abad teknologi dewasa ini. Oleh karena itu, semua berkepentingan untuk menolak berbagai hal yang dapat mencabik-cabik kedamaian dan rasa nyaman tenteram masyarakat. Damai dan harmoni adalah pilihan bijak bagi  manusia yang mempunyai  entitas budaya kehidupan dan ingin menjadikan manusia semakin rukun dan menampakkan wajah manusiawi (humanis). Spiral kekerasan, kebencian, dan intoleransi  harus diputus karena akan menjadikan sumber lahirnya kondisi tidak kondusif bahkan keresahan yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan. Pengalaman sejarah dan fenomena budaya kita sudah selayaknya menjadi tempat untuk belajar dan merefleksi diri. Terkait hal itu tidak salah apabila kita mengutip pendapat  Cicero, bahwa “tidak mau belajar dari sejarah akan menjadi kanak-kanak selamanya.”

Ramayana  – Krsnayana

      Cerita epik Ramayana dan Krsnayana dipahatkan di dinding tubuh candi dalam bentuk relief  yang bernilai seni sangat tinggi, baik di Candi Siwa,  Candi Brahma, dan  Candi Wisnu. Prabu Rama dari Ayodya melawan Dasamuka atau Rahwana dari Alengka, dan Prabu Krsna dari Dwaraka mengalahkan Kamsa.Wisnu sebagai dewa pemelihara turun ke dunia ke dalam sepuluh bentuk atau dasa awatara untuk mengenyahkan angkara murka di dunia. Awatara Wisnu Ramayana muncul saat  zaman Tretayuga yaitu kondisi Negara dalam keadaan penuh gejolak dan kejahatan ada di mana-mana yang mengancam manusia.

       Krsnayana adalah inkarnasi Dewa Wisnu menjadi Prabu Krsna. Awatara ini muncul saat kondisi  zaman Dwaparayuga. Kondisi ini ditandai dengan mulai merebaknya kelicikan dan kebohongan, banyak orang lebih mengutamakan ritus. Siapapun orangnya yang melaksanakan ritual-ritual keagamaan akan dihormati, walaupun secara substansial kehidupannya kurang mengimplementasikan prinsip hidup dengan dharma maupun  kesalehan sosial. Apabila kondisi Tetrayuga dan Dwaparayuga dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik akan lahirlah kondisi zaman Kaliyuga, yaitu era lahirnya kehancuran masyarakat.

      Awatara  Wisnu dalam kedua pokok cerita  didedikasikan untuk  memberantas nafsu dunia yang berupa angkara murka dan kejahatan. Pertarungan kejahatan dan kebaikan muncul ke dalam berbagai konfigurasi dan intensitasnya. Kejahatan  selalu ada dan bahkan dapat menjadi ancaman setiap manusia, kadangkala sampai pada kondisi yang meresahkan dan menakutkan. Upaya memberantas kejahatan dan angkara murka sebagaimana digambarkan dalam cerita Ramayana dan Krsnayana membutuhkan soliditas, beragam cara, dan partisipasi semua pihak. Dalam cerita epik Ramayana dan Krsnayana diteguhkan bahwa kebaikan akan dapat mengalahkan kegelapan dan nafsu jahat yang menghancurkan. Inspirasi pentingnya bahwa upaya mewujudkan kebaikan tidak pernah hadir begitu saja namun harus melalui proses waktu, tekad bersama, konsensus bersama, itikad baik, integritas, tidak pantang menyerah, dan landasan spiritualitas.

Yoyok Suroso, “Rama Shinta”, Akrilik di atas kanvas 60 x 80 cm

Anoman Obong dan Simbol  Hitam – Putih

     Pada dasarnya angkara murka dan kejahatan muncul karena  manusia tidak dapat mengendalikan dan menghilangkan hawa nafsu duniawi. Keangkuhan Dasamuka yang merasa paling sakti ternyata runtuh oleh daya upaya kolektif, gotong royong, dan api Anoman. Api  sering diwakili dengan warna merah menyala. Hal ini dalam  simbol sering diartikan keberanian, semangat, agresivitas, dan gairah.  Daya api  dalam adegan “Anoman Obong” mampu meluruhkan kekuatan masif  keangkuhan kota raja Alengka. Dorongan niat berbakti  sebagai wujud dedikasi  kepada Prabu Rama dan rasa kesetiaan merupakan sumber kepastian yang mengalahkan keragu-raguan. Prinsip aktual  yang dapat dipetik   adalah kepastian melangkah ke depan akan membuahkan keberhasilan  dan keragu-raguan akan menyebabkan kegagalan.

      Kekuatan api mempunyai makna tertentu yaitu merupakan wujud adanya semangat yang berkobar-kobar. Bung Karno dalam pidatonya pada saat meresmikan Candi Siwa 20 Desember 1953 mengatakan bahwa “Ambillah apinja dan djangan abunja (neem de vlam en niet de as), djikalau bangsa kita dapat mewarisi api jang gemilang itu akan dapat kita mendjadi bangsa jang besar kembali” ( KR 21 Desember 1953). Makna untaian kata itu adalah bahwa kita sebagai anak bangsa harus mampu menempatkan kebudayaan bangsa sebagai panduan hidup untuk dapat memetik pelajaran  menjadi bangsa besar. Kebudayaan dengan berbagai aspeknya harus dapat diambil inspirasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan menjadi api semangat dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya jangan terjebak untuk mengambil abunya  sebagai residu yang tidak bermakna dan faktor-faktor negatif yang dapat  memperlemah semangat kolektif, daya nalar kritis, kohesivitas sosial,   dan kemampuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

      Hitam – putih merupakan warna yang sering  dikaitkan  dengan  simbol tertentu. Simbol hitam – putih sejak dulu hingga kini selalu ada dan sering ditemui dalam dinamika kehidupan. Dalam realita kehidupan selalu ada dua aspek yang sering bertolak belakang bahkan cenderung dalam posisi polarisasi bahkan sering dimaknai dengan tabiat baik – buruk. Dalam khasanah  simbolik warna “hitam sering dimaknai sebagai hal yang buruk” dan “putih sebagai kesucian dan kebaikan”.

Yoyok Suroso, “Anoman Obong”, Akrilik di atas kanvas, 60 x 80 cm

    Dalam khasanah literasi  cerita epik Ramayana secara tersurat merupakan wujud pertarungan antara watak dan perilaku  buruk melawan kebaikan. Secara simbolik juga dapat dikatakan sebagai pertarungan antara yang hitam dan putih. Dua aspek watak yang sering tampil secara bersamaan. Hal ini mengingatkan kita pada tampilan pakaian sosok wanara Anoman. Si kera putih Anoman  di dalam  seni pertunjukan kita, baik wayang wong maupun sendratari mengenakan pakaian warna dominan putih dengan dibalut  kain kotak-kotak hitam – putih dipinggangnya. Apa makna warna itu semua? Putih sering disebut mewakili makna simbolik psikologis antara lain  kemurnian, kebenaran, kedamaian, dan kesucian. Hitam sering untuk mewakili makna simbolik antara lain perlindungan, kekuatan, misteri, kemarahan, dan kejahatan.

Krisnadi Kusuma W., “Ramayana”, Akrilik di atas kanvas 60 x 80 cm

      Apa yang ada pada diri wanara Anoman menunjukkan bahwa kebenaran dan kesetiaan kepada junjungannya Prabu Rama dan Dewi Sinta telah ditunjukkan dengan mampu mengemban dan menyelesaikan tugas kerajaan dengan baik. Berbagai kekuatan penghalang warna hitam penuh misteri, kemarahan, dan kejahatan terbukti mampu diredam, dialeniasi, dan disubordinasikan. Dengan demikian, kebenaran hakiki  dan keadilan harus  tampil sebagai kekuatan superioritas yang mampu meredam niat dan tindakan  menyimpang dan kejahatan yang merugikan.

      Pada dasarnya suatu simbol dapat menjadi inspirasi dan daya kekuatan, jika berbagai bentuk, rupa dan suatu pernyataan  dapat  diformulasikan menjadi tindakan konkret. Kita diberi hak untuk menentukan pilihan dan pilihan itu tentu menjadi sebuah keputusan yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pilihan dharma sebagai tindakan benar dan bertanggung jawab menjadi keutamaan yang harus dilaksanakan dan membuang perilaku sebaliknya yaitu adharma. Prambanan adalah bagian memori kolektif kita yang harus dapat diaktualisasikan, menginspirasi, dan menjadi bagian jalan kebudayaan untuk kehidupan yang berkeadaban. (Ign. Eka Hadiyanta – Kepala Unit Kerja Dokumentasi dan Publikasi BPCB DIY)

Valentinus Rommy Iskandar, “Selfie in The Jungle”, Sand + Akrilik di atas kanvas, 100 x 120 cm