Suatu lingkungan binaan dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, misalnya kebutuhan religius, dan sosial-budaya. Oleh karena itu, secara fisik tata rakit pusat kota kerajaan Islam juga dilengkapi dengan tempat ibadah.
Dalam hal ini di Kota Yogyakarta tempat ibadah itu adalah Masjid Gedhe Kauman yang terletak di sebelah barat Alun-alun Utara. Secara simbolis hal itu merupakan langkah transendensi untuk menunjukkan keberadaan sultan, yaitu di samping sebagai pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalaga), juga sebagai sayidin panatagama khalifatullah (wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama (panatagama) di kasultanan.
Masjid Gedhe Kauman dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I, dengan K.Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Adapun penghulu pertamanya yaitu Kiai Faqih Ibrahim Diponingrat. Secara umum, Masjid Gedhe Kauman mempunyai ciri yang sama dengan masjid-masjid kuno lain di Jawa, yaitu beratap tumpang tiga dengan mustaka, berdenah bujur sangkar, mempunyai serambi, mempunyai pawestren, serta mempunyai kolam di tiga sisi masjid. Namun, Masjid Gedhe Kauman mempunyai ciri-ciri unik di antaranya mempunyai gapura depan berbentuk semar tinandhu, di halaman depan terdapat sepasang bangunan pagongan untuk tempat gamelan sekaten, mustakanya dihiasi stiliran daun kluwih, di halaman terdapat pohon sawo kecik, dan masih mempunyai maksurah meskipun tidak difungsikan lagi. Sebagai suatu bangunan suci, komponen-komponen Masjid Agung ada yang selain bersifat fungsional juga mempunyai aspek simbolik. Komponen tersebut misalnya atap yang bertumpang tiga dimaknai sebagai simbol Iman-Islam-Ihsan, dan atap tumpang yang menyatu di satu titik melambangkan keesaan Allah Swt..
Di dalam perjalanan sejarahnya, Masjid Gedhe Kauman mengalami beberapa peristiwa, di antaranya gempa bumi besar yang merusakkan sebagian bangunannya, perbaikan-perbaikan, maupun penambahan dan pengurangan. Salah satu contoh perubahan itu adalah saat ini di sekeliling masjid (utara – timur – selatan) sudah tidak ada kolam sebagaimana kondisi awalnya.
Masjid Gedhe Kauman sebagai masjid jami’ kerajaan mempunyai fungsi sebagai tempat beribadah, tempat upacara-upacara keagamaan, pusat syiar agama, dan tempat penegakan tata hukum keagamaan. Pagongan di halaman masjid – sisi utara untuk gamelan Kiai Nogowilogo dan selatan untuk Kiai Gunturmadu – berkaitan erat dengan fungsi masjid untuk upacara ritual keagamaan dan syiar agama, yaitu Sekaten pada bulan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Perlu diketahui bahwa selain dibunyikan gendhing-gendhing dalam upacara Sekaten juga diadakan garebeg dengan gunungannya yang prosesinya dimulai dari keraton, dan diakhiri di dalam lingkungan Masjid Gedhe. Perpaduan unsur seni-budaya untuk dakwah tersebut sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Demak pada abad ke-16, dan terus berlanjut sampai sekarang. Adapun penegakan hukum dimanifestasikan dengan pengadilan Surambi untuk urusan perdata, perkawinan, dan warisan.
Untuk mengungkap masa pembangunan masjid, dan beberapa peristiwa yang terjadi pada Masjid Gedhe Kauman ada prasasti-prasasti dalam huruf dan bahasa Arab maupun Jawa di lingkungan masjid yang menceritakannya (silahkan baca Bab 4 buku ini).
Seluruh kompleks Masjid Gedhe dikelilingi oleh pagar tembok tinggi dan di sebelah utaranya terdapat Dalem Pengulon yaitu tempat tinggal serta kantor abdi dalem pengulu, serta di sebelah barat masjid ada beberapa makam, di antaranya makam Nyai Ahmad Dahlan. Abdi dalem pengulu inilah yang membawahi para abdi dalem bidang keagamaan lainnya, seperti abdi dalem pamethakan, suronoto, modin.
Kawasan di sekitar masjid tersebut merupakan pemukiman para santri ataupun ulama. Pemukiman tersebut dikenal dengan nama Kauman, dan Suronatan. Dalam perjalanan historis Yogyakarta, kehidupan religius di kampung tersebut menjadi inspirasi dan tempat yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan keagamaan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang dipimpin oleh KH. A. Dahlan.