Plengkung Gading, salah satu pintu masuk benteng Kraton Yogyakarta.
Plengkung Gading, salah satu pintu masuk benteng Kraton Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta dikelilingi oleh cepuri (=benteng dalam yang langsung melingkupi keraton), dan baluwarti (=benteng luar yang melingkupi keraton dan beberapa pemukiman di sekitarnya serta beberapa bangunan komponen kota). Benteng-benteng tersebut mempunyai makna simbolik, yaitu berkaitan dengan kesakralan wilayah yang dihuni oleh penguasa beserta kerabatnya. Selain itu, benteng juga memiliki makna praktis, yaitu berkaitan dengan usaha pertahanan dari serangan musuh. Berkaitan dengan makna yang terakhir itu, maka baluwarti Keraton Yogyakarta dilengkapi pula dengan jagang, yaitu parit pertahanan. Tembok baluwarti tersebut secara keseluruhan tebalnya sekitar     4 m dan di setiap sudutnya terdapat bastion yang dalam bahasa Jawa disebut tulaktala.

Keadaan benteng dan sekitarnya pada zaman dahulu digambarkan dalam gubahan tembang Mijil berikut.

Ing Mataram betengira inggil,

Ngubengi kadhaton,

Plengkung lima mung papat mengane,

Jagang jero, toyanira wening,

Tur pinacak suji,

Gayam turut lurung.

Sebagaimana digambarkan dalam tembang di atas, untuk memasuki kawasan di dalam lingkup baluwarti ada lima buah pintu gerbang utama, yaitu: gerbang Nirbaya, Jagabaya, Jagasura, Tarunasura, dan Madyasura. Namun, yang terbuka sampai sekarang hanya empat gerbang, yakni: Tarunasura di sebelah timur Alun-alun Ler, Nirbaya di sebelah selatan Alun-alun Kidul, Jagabaya di sisi barat baluwarti, dan Jagasura di sebelah barat Alun-alun Ler. Gerbang-gerbang ini dihubungkan dengan berbagai jalur dan simpul jalan yang mendukung kegiatan komunikasi dan transportasi antarkawasan.

Kawasan di dalam lingkup baluwarti, biasa disebut Jeron Beteng, sampai saat ini masih menunjukkan ciri-ciri kawasan tradisional yang dahulu berhubungan langsung dengan keraton, baik fisik maupun sosial. Perubahan tidak terjadi secara drastis. Pola perkampungan tradisional masih terlihat nyata baik dari bangunan­-bangunan berarsitektur Jawa yang masih banyak terdapat di kawasan itu, dari toponim-toponim yang khas, maupun dari aspek sosial berupa orang-orang yang masih menyandang gelar yang terkait dengan sultan dan keraton.