Sejarah Kepenjaraan di Indonesia
Sejarah kepenjaraan di Hindia Belanda sudah dimulai sejak 1872. Hal ini ditandai dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi di Hindia Belanda). Kitab ini berlaku sejak 1 Januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonansi pada 6 Mei 1872.
Sebelum tahun 1872, peraturan yang diberlakukan untuk orang hukuman disesuaikan dengan peraturan adat-istiadat daerah setempat. Sejak tahun 1872 peraturan yang berlaku untuk semua orang di Hindia Belanda didasarakan pada Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi di Hindia Belanda).
Pada tahun 1872 tidak ada hukuman penjara atau kurungan bagi orang Indonesia, yang ada adalah hukuman kerja, hukuman mati dan denda. Orang hukuman ditampung dalam Gestraften Kuartier untuk kemudian pada pagi harinya digiring ke tempat-tempat pekerjaan yang berada di luar tembok penampung. Keadaan orang hukuman pada saat itu sangat menyedihkan. Kekurangan makanan, namun harus bekerja keras. Akibat penderitaan yang berat tersebut, maka banyak para napi yang melarikan diri.
Pada tahun 1905 muncul kebijakan (policy) baru bagi orang-orang hukuman. Orang-orang hukuman mulai dipekerjakan di dalam lingkungan tembok penampung, akibat banyak kasus pelarian diri orang hukuman tersebut. Untuk keperluan policy baru ini, tempat-tempat penampungan yang sudah didirikan yaitu di Batavia, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta, Padang dan Makasar diubah menjadi penjara-penjara pusat. Di samping itu dibangun pula pusat-pusat penampungan wilayah baru seperti Cepiring, Madiun, Pekalongan dan Malang. Dengan demikian sistem Gestraften Kuartier dirubah menjadi Centraale Gevangenissen atau penjara-penjara pusat.
Dalam penjara-penjara pusat belum diadakan klasifikasi antara orang hukuman dengan orang tahanan antara laki-laki dan perempuan, antara anak-anak dan orang dewasa, karena yang diutamakan membuat takut. Berbagai ukuran bangunan dari penjara-penjara pusat terdiri dari bangunan-bangunan yang besar dengan kapasitas penampungan besar pula. Untuk mengadakan usaha pemisahan antara berbagai kategori diadakan batasan-batasan fisik yang berupa tembok-tembok pemisah.
Dengan diberikannya pekerjaan terhadap sebagian besar dari para pekerja paksa di dalam lingkungan tembok bangunan maka di dalam lingkungan tembok didirikan juga tempat-tempat pekerjaan yang besar dengan tujuan untuk dapat memberi pekerjaan yang beraneka ragam terhadap semua orang hukuman yang ada di dalam penjara pusat. Meskipun pada periode itu orang-orang hukuman diusahakan bekerja di dalam tembok penampung, namun dalam pelaksanaannya orang hukuman masih sering melakukan kerja di luar tembok seperti pembuatan saluran irigasi di Jember dan Lumajang tahun 1915, proyek-proyek besar di Nusakambangan dan tambang batubara di Ombilin, Sumatra Barat.
Dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( WVS) tahun 1918 dan Gestechten Reglement pada tahun 1917 maka sistem penjara pusat diganti dengan penjara-penjara pelaksana hukuman. Perubahan sistem ini terjadi di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia Belanda, Hijmans. Pada notanya tertanggal 10 September 1921 yang ditujukan kepada Direktur Justisie, Hijmans melihat bahwa dalam penjara-penjara pusat orang-orang hukuman sangat sulit sekali melakukan perbaikan moral karena tidak dilakukan pengklasifikasian terhadap orang hukuman. Hijmans berpendapat bahwa dalam usaha memperbaiki moral orang hukuman perlu diadakan pengklasifikasian.
Untuk mendukung pelaksanaan tersebut, maka didirikanlah tempat-tempat penampungan tersendiri bagi orang tahanan yang belum terpidana yaitu Huizen van Bewaring di Jakarta dan Surabaya tahun 1928, Martapura (Palembang), Tabanan, Klungkung (Bali), Sekayu (Palembang) dan Balige (Tapanuli). Selain itu juga dilakukan pengklasifikasian antara orang hukuman anak-anak dan wanita. Bagi orang hukuman anak-anak didirikan penjara anak-anak I Madiun tahun 1921 dan didirikan penjara anak-anak di Tangerang dan penjara wanita Tangerang. Dengan demikian sistem pelaksanaan hukuman mulai terlaksana pada tahun 1921 dan terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1942.
Pada tahun 1942 ketika Indonesia di bawah pendudukan Jepang, sistem kepenjaraan Indonesia saat itu memasuki sebuah lembaran sejarah yang hitam di mana sistem penjara pada periode tersebut sama halnya dengan zaman hukuman kerja paksa tahun 1872. Tenaga orang-orang hukuman saat itu sangat menyedihkan karena dimanfaatkan untuk kepentingan militer Jepang. Orang hukuman kekurangan makan sementara wabah penyakit mudah menular sehingga mengakibatakan angka kematian yang tinggi.
Setelah Indonesia merdeka, urusan kepenjaraan dipegang oleh Pemerintah Republik Indonesia. Surat edaran yang pertama kali dikeluarkan dalam sejarah kepenjaraan RI adalah surat edaran yang dikeluarkan di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 No. 6.8 /588 oleh Menteri Kehakiman RI, Prof Mr Soepomo. Surat edaran yang pertama tersebut menyatakan bahwa semua penjara telah dikuasai oleh RI dan perintah-perintah yang belaku dari Menteri Kehakiman RI atau Kepala Bagian Urusan Penjara Mr Noto Soesanto yang telah ditunjuk pada waktu itu.
Pada tanggal 26 Januari 1946 oleh Kepala Bagian Penjara dikeluarkan surat edaran yang berisi petunjuk-petunjuk tentang kepenjaraan yang diurus oleh Negara Indonesia. Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa Reglement Penjara (Staatblad 1917 No. 78) dianggap masih berlaku. Namun dalam pelaksanaannya Reglement Penjara ini dilengkapi juga surat-surat edaran dan keputusan dari Pemerintah RI contohnya tentang pemberian remisi (potongan hukuman). Pada masa kolonial pemberian remisi berkenaan dengan hari kelahiran Ratu Belanda, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemberian remisi dilakukan setiap tanggal 17 Agustus.
Pada tanggal 27 April – 7 Mei 1964 diadakan konferensi dinas direktur-direktur penjara seluruh Indonesia bertempat di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut didahului oleh amanat Presiden RI, Ir Soekarno. Amanat Presiden Soekarno memberikan arti yang sangat penting bagi pembaruan hukuman penjara di Indonesia yaitu merubah nama penjara menjadi pemasyarakatan, orang yang dipenjara kalau sebelumnya menggunakan istilah orang hukuman maka pada konferensi tersebut diubah menjadi narapidana/napi.
Realisasi hasil konferensi yaitu pada tanggal 17 Juni 1964 oleh Wakil Kepala Direktorat dikeluarkan instruksi tentang perubahan nama kantor-kantor dan kesatuan-kesatuan dalam lingkungan direktorat dengan menggunakan istilah pemasyarakatan sebagai pengganti istilah penjara (surat Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan No. J.H. 6.8 /506). Berubahnya sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan tidak lepas dari pengaruh internasional yaitu penetapaan Standard Minimum Rules (SMR) PBB dan Comisi International Penal and Penitenary (IPPC) tanggal 1 Juli 1952.
Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan
Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan di Yogyakarta merupakan salah satu penjara pusat yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dalam rangka menampung orang hukuman pada masa lalu. Bangunan ini didirikan sekitar tahun 1917. Adapun bangunan- bangunan yang dibangun berfungsi sebagai barak-barak kerja yang diperuntukkan bagi para tahanan. Orang-orang hukuman yang ada dikenakan hukuman kerja seperti penyamakan kulit, pembuatan sepatu maupun kerja paksa lainnya.
Bentuk bangunan Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan bergaya indis dengan ciri-ciri khusus, yaitu pintu dan jendela berukuran besar dan plafonnya tinggi. Selain itu terdapat detail khas antara lain tritisan yang relatif kecil, balustrade dari teralis besi, daun pintu luar dari kayu berbentuk krepyak dan daun pintu dalam dari kaca serta mempunyai pilar-pilar.
Bangunan ini terdiri atas kantor, barak-barak dan sel tahanan. Bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011. Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan terletak di Jalan Taman Siswa No. 6 Yogyakarta.
(Penulis: Himawan Prasetyo, S.S. , Pamong Budaya Ahli Muda di BPCB Yogyakarta)