Semburat cahaya matahari di ufuk timur menandai hari baru pada 11 Desember 2009, sebuah pagi yang biasa saja bagi kebanyakan orang. Semua orang bersiap memulai hari dengan bekerja, termasuk para pekerja konstruksi di kompleks Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Tak ada pikiran aneh atau obrolan misterius dari para pekerja yang sedang membangun fondasi perpustakaan universitas swasta tertua di Indonesia ini. Di benak mereka hanyalah mengerjakan sebuah rancang bangun sebagaimana yang telah lama mereka lakoni. Tak ada yang menyangka bahwa hari itu nantinya menjadi hari yang sangat istimewa.
Menggali, mengaduk dan mengeruk tanah untuk fondasi dilakukan seperti biasanya. Namun, semua pekerja saling melempar tatapan penuh heran saat alat eskavator mereka membentur sebuah batu yang bentuknya unik. Sebuah bentuk yang dikenali lewat memori mereka saat menyaksikan bangunan monumental bernama candi yang berdiri kokoh di sekitar Prambanan dan di tempat-tempat lainnya. Semakin digali, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa batuan ini bukanlah batu biasa.
Para pekerja ini kemudian meneruskan temuan mereka kepada pihak kampus hingga dilaporkan ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta (BP3 DIY) yang kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Laporan temuan tersebut langsung ditindaklanjuti dengan diterjunkannya tim ahli untuk melakukan survei lapangan hingga ekskavasi atau penggalian, guna mengungkap temuan mencurigakan tersebut.
Benar saja, tim ahli kemudian berkesimpulan bahwa struktur batuan yang mencurigakan itu adalah struktur candi. Akhirnya segala aktivitas pembangunan fondasi perpustakaan dihentikan untuk sementara waktu. Semua sepakat bahwa bangunan bersejarah ini harus diselamatkan.
Penemuan ini sontak menjadi buah bibir, tak hanya di kalangan civitas akademika Universitas Islam Indonesia, tapi berbagai lapisan masyarakat. Tak ada yang menyangka bahwa ternyata selama ini, di bawah lingkungan kampus yang setiap hari mereka lalui, tersimpan sebuah mahakarya yang dipersembahkan sebagai tempat peribadatan di masa lalu.
Para arkeolog kemudian menemukan berbagai macam benda seperti struktur batuan berdenah bujur sangkar yang diduga sebagai candi induk. Selain itu, ditemukan pula struktur berdenah persegi panjang yang diduga sebagai candi perwara atau candi pendamping bagi candi induk.
Di dalam candi induk, ditemukan arca Dewa Ganesha, lingga dan yoni serta wadah gerabah. Berbeda halnya dengan candi perwara, di sini ditemukan arca Nandi, lingga dan yoni serta dua lapik padma yang mengapit arca Nandi, lingga dan yoni tersebut.
Melihat bentuk dan jumlah temuan struktur batuan, kuat dugaan bahwa bangunan ini kemungkinan memiliki struktur atap yang berbahan kayu. Hal itu dikuatkan pula dengan tak ditemukannya struktur tangga menuju lantai candi. Para arkeolog curiga bahwa tangga dari candi ini juga menggunakan struktur berbahan kayu yang tentu saja sudah sulit untuk ditemukan kembali.
Temuan lainnya yang tak kalah mengundang segudang pertanyaan yaitu peripih, mangkuk perunggu, manik-manik hingga lempengan emas dan perak. Masih di kompleks candi ini ditemukan pula fragmen gerabah, mata uang berbahan emas serta perak. Semakin banyak jumlah temuan, maka akan semakin banyak pula pertanyaan yang harus dipecahkan.
Satu persatu, berbagai ahli berdatangan untuk mengungkap secara pasti terkait mengapa dan sejak kapan candi ini bisa tertimbun di dalam tanah. Hipotesis para ahli kemudian muncul bahwa candi ini terkubur oleh material-material yang dimuntahkan oleh Gunung Merapi. Material tersebut melaju melalui aliran-aliran sungai sekitar candi hingga membentuk endapan dan akhirnya melenyapkannya dari permukaan tanah.
Tak ketinggalan, epigraf juga mencoba mengungkapkan tulisan yang tertera dalam temuan lempengan emas. Hal ini menjadi sangat penting untung mengungkap fakta sejarah dari latar belakang pembangunan candi ini
Pertanyaan lain yang cukup menghantui para ahli adalah terkait fungsi dan bentuk asli dari candi ini. Dugaan sementara bahwa candi ini berlatar agama Hindu, hal ini diperkuat dengan penemuan arca Dewa Ganesha yaitu Dewa Ilmu Pengetahuan, arca Nandi sebagai wahana atau tunggangan Dewa Siwa serta lingga dan yoni melambangkan Dewa Siwa yang menyatu dengan Dewi Parwati (perlambang kesuburan).
Hal yang masih menjadi misteri hingga kini adalah wujud asli bangunan candi ini hingga dan untuk siapa candi ini dibangun. Tak mudah memang bagi para ahli untuk mengungkap latar peristiwa dari candi yang diduga berusia puluhan abad lamanya. Dibutuhkan kajian dari berbagai disiplin ilmu agar misteri ini bisa diungkap secara baik dan meyakinkan.
Setelah proses ekskavasi dirasa cukup, tantangan berikutnya adalah bagaimana negoisasi antara niat awal membangun perpustakaan dan upaya mempertahankan keberadaan temuan bersejarah ini. Hal inilah yang menjadikan peristiwa penemuan candi ini menjadi sangat unik. Rancang bangun perpustakaan pun berubah dan menyesuaikan bentuk serta posisi candi ini.
Akhirnya perpustakaan dibangun dengan model sedikit melengkung dan menjadikan candi ini sebagai bagian dari halaman perpustakaan. Tentu ini menjadi sebuah kebanggaan bagi Universitas Islam Indonesia, memiliki perpustakaan satu-satunya di Indonesia yang berada tepat berdampingan dengan situs sejarah yang diduga berasal dari sekitar abad 8-9 Masehi.
Peresmian purna pugar candi dan pendirian perpustakaan UII dilakukan secara bersamaan pada 17 Oktober 2011. Candi ini kemudian diberi nama Candi Kimpulan, karena ditemukan di Dusun Kimpulan, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, pihak UII memberikan nama sendiri bagi candi ini yaitu Pustakasala sebagai pengingat bahwa candi ini ditemukan saat pembangunan perpustakaan kampus. Temuan-temuan lepas dari candi ini kemudian disimpan dalam sebuah ruang di perpustakaan dan didedikasikan sebagai sebuah museum yang menjadi pusat informasi temuan arkeologis Candi Kimpulan.
Temuan ini pun menjadi momentum untuk menguatkan kembali semangat toleransi antar umat beragama. Hal ini dikarenakan Universitas Islam Indonesia bersedia merawat dan melestarikan temuan yang berlatar agama Hindu di kampus yang berlatar belakang agama Islam ini.
Kini siapa pun bisa berkunjung untuk menyaksikan secara langsung dari mahakarya leluhur yang tak ternilai harganya ini. Mempelajari bagaimana sebuah temuan arkeologis dirawat dan dilestarikan. Begitulah jalannya sejarah, awal pagi yang biasa itu berubah menjadi sebuah momentum istimewa, menemukan kembali Rumah Tuhan.
(*Ditulis oleh Erwin DJ. Tulisan ini mengantarkan penulisnya meraih juara kedua lomba menulis feature dalam kegiatan Jelajah Budaya Virtual yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020)