Judul
Edisi
Penerbit
Unduh
Catatan Redaksi
: Buletin Narasimha
: No. 07/VII/2014
: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta
: Pembelajaran Pelestarian Cagar Budaya
Ada beragam potensi cagar budaya yang berada di sekitar kehidupan kita. Di seluruh wilayah tanah air Republik Indonesia pada umumnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya, potensi budaya dari berbagai macam periodisasi sangat besar. Potensi itu dalam wujud yang beragam, baik berupa budaya yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). Bermacam potensi itu mengkonfigurasikan berbagai corak atau pun gaya tertentu yang khas dan unik. Keunikan cagar budaya tersebut eksistensinya mempunyai koherensi dengan konteks kultural era yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, suatu urgensi untuk mengetahui, memperhatikan, dan memahaminya. Oleh karena itu, upaya pelestarian cagar budaya merupakan langkah strategis yang harus dilakukan sejak dini dan secara berkelanjutan. Sejak dini aspek pelestarian harus diinternalisasikan kepada masyarakat luas. Bagaimana proses internalisasi dilakukan? Tentu dapat dilakukan dengan membangun proses pembelajaran pelestarian cagar budaya sejak dini. Di samping itu, memberikan pemahaman tentang berbagai hal yang inheren dengan eksistensi cagar budaya.
Mengingat, eksistensi berbagai potensi cagar budaya pada era modern saat ini khususnya yang tangible menghadapi berbagai macam tantangan dan ancaman. Suatu hal yang kontradiksi dan menjadi sebuah keprihatinan manakala kita semua menengok keberadaan cagar budaya bangsa dari hari ke hari semakin mengalami penurunan kuantitas, kualitas, dan menjadi sasaran ancaman. Kondisi itu bukanlah suatu cerita yang tak berdasar tetapi di berbagai daerah fenomena degradasi kondisi keberadaan cagar budaya tersebut terus terjadi. Di samping itu, kondisi kontemporer saat ini di lingkungan masyarakat ada kecenderungan melunturnya perhatian dalam aspek-aspek historis-kultural khususnya dan aspek-aspek humaniora pada umumnya. Trend “budaya popular” yang massif menjadi tantangan upaya pemanfaatan dan pengembangan budaya klasik yang mempunyai signifikansi, baik ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, agama, dan pendidikan. Eksistensi cagar budaya tentunya harus tetap terjaga dan dapat menjadi aspek yang dapat diacu nilai pentingnya pada era kontemporer saat ini.
Apabila tidak ditanggulangi tentu akan menuju kepunahan. Mensikapi tentang kondisi yang terjadi tersebut tentu kita tidak boleh pesimis. Ada sesuatu yang harus kita lakukan manakala untuk merubah sikap dari pesimisme menjadi optimisme. Mengingat pesimisme merupakan fenomena yang mengekspresikan “kekalahan sebelum bertanding” yang muncul sebagai akibat adanya apatisme kompleks yang ada di dalam masyarakat. Optimisme adalah sikap yang dicerahi oleh adanya harapan, aktivitas, dan dinamika hidup. Akan tetapi, optimis pada dasarnya tidak begitu saja datang dan menjadi sikap setiap orang dalam memahami keberadaan cagar budaya. Artinya, untuk menghadirkan sikap optimis itu tidak dapat secara instant atau cara “cepat saji” diperoleh, yaitu melalui proses yang berkelanjutan.
Proses pembelajaran tidak hanya sebatas waktu, tetapi juga terkait dengan pilihan-pilihan sasaran yang dapat disemai dan dikembangkan dalam jangka panjang. Pilihan sasaran itu tentunya dapat ditujukan kepada generasi muda yang produktif, khususnya anak-anak pelajar, baik tingkat dasar dan menengah. Proses panjang, berkelanjutan, dan pilihan kepada generasasi penerus terutama anak-anak usia sekolah itu tentunya harus menggunakan sarana transfer pengetahuan yang sesuai dan tepat. Melalui jalur pendidikan kiranya akan mempunyai kesesuaian dengan pilihan-pilihan tersebut di atas. Metode pendidikan khususnya dalam pembelajaran pelestarian cagar budaya tersebut tidak hannya sebatas bersifat formal saja tetapi juga bisa melalui model informal dan bahkan ekstrakurikuler. Komitmen, konsistensi, dan keberlanjutan aksi akan dapat membangun sebuah integritas atau sikap yang berkepribadian. nasional.