Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.  Manusia menggunakan air dalam hampir semua aktivitas sehari-hari, antara lain untuk minum dan membersihkan diri. Bagi masyarakat yang mendiami lingkungan yang mengandung potensi penyediaan air yang mencukupi dan mudah diperoleh, hal ini  tidak menjadi permasalahan. Akan tetapi,  untuk lingkungan yang sulit mendapatkan air kondisi ini akan menjadi permasalahan  Demi kelangsungan hidupnya maka manusia akan berusaha untuk mengantisipasinya.

        Salah satu lingkungan yang tidak mengandung potensi penyediaan air adalah  Situs Ratu Boko.  Di masa lampau di situs ini tidak ditemukan sumber air dan hujan merupakan pemasok kebutuhan air. Untuk mengatasi permasalahan air masyarakat masa lampau membuat penampungan air dengan cara membentuk kolam-kolam penampung air,  dengan cara menggali batuan induk dan dipahat sedemikian rupa membentuk kolam-kolam sebagai penampung air hujan untuk jangka waktu yang cukup lama. Lapisan batuan induk sedimen yang tersementasi memiliki sifat tidak mudah menyerap air dan meloloskan air.

        Berdasarkan analisis konstekstual antara kolam-kolam dengan bangunan atau temuan purbakala yang berada di sekitarnya, dapat diketahui bahwa penyediaan air di Situs Ratu Boko untuk memenuhi kebutuhan profan dan sakral. Kebutuhan yang bersifat profan misalnya untuk mandi dan  memasak, sedangkan yang bersifat sakral ditujukan untuk melaksanakan ritual keagamaan. Penggunaan air dalam ritual keagamaan di Situs Ratu Boko dapat ditelusuri melalui keberadaan kolam di sebelah timur Candi Pembakaran dan di depan Gua Wadon.

     Masyarakat masa lampau selain mampu membuat penampungan air juga mampu mengelola air. Sebagai bukti adalah keberadaan temuan saluran air kuna dan talud. Saluran air kuna yang terdapat di Situs Ratu Boko bersifat lepas dari suatu struktur atau fragmentaris,  dan masih terikat pada suatu struktur. Saluran-saluran air tersebut umumnya terbuat dari batu putih (tufa)  yaitu bahan yang banyak tersedia di lingkungan situs.  Pada beberapa bagian, saluran air dibuat atau dibentuk langsung dengan memotong batuan induk, sesuai dengan arah aliran air yang dikehendaki.

       Masyarakat pada masa lalu juga sudah melakukan upaya penghematan air, agar tidak terbuang percuma. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan saluran air yang menghubungkan kelompok kolam yang berdenah persegi dengan kelompok kolam yang berdenah bulat. Air yang mengalir dari teras yang lebih tinggi maupun yang berasal dari hujan, ditampung dalam kolam-kolam persegi yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan saluran. Jika salah satu kolam penuh maka luapan airnya akan tertampung dalam kolam lainnya setelah melalui saluran penghubung. Demikian pula jika kolam yang persegi telah penuh maka luapan airnya akan dialirkan ke kelompok kolam bulat. Masing-masing kolam bulat pun satu dengan lainnya dihubungkan dengan saluran, sehingga secara keseluruhan dapat terjadi keseimbangan.

     Berdasarkan hasil penelitian terhadap aspek hidrologi yang pernah dilakukan, keberadaan saluran air di Situs Ratu Boko dilatarbelakangi beberapa tujuan yaitu:

  • Mengalirkan air hujan ke tempat-tempat yang dikehendaki untuk ditampung.
  • Mengurangi erosi tanah sekaligus menjaga tanah sekitar agar kondisinya tetap baik.

       Hubungan antara keberadaan saluran air dengan upaya mengurangi erosi dan menjaga kondisi tanah dapat ditelusuri dari konteks temuan saluran air dengan karakteristik tanah di lingkungannya. Tanah di Situs Ratu Boko memiliki tingkat kedalaman efektifnya rendah, terdiri  atas tanah grumosol, dan latosol yang memiliki tingkat permeabilitas rendah serta rentan terhadap erosi. Kondisi tanah yang demikian rupa menyebabkan air hujan yang turun jika tidak terkendali alirannya akan menghanyutkan tanah sehingga terjadilah erosi. Hal ini akan diperparah dengan tingkat kedalaman efektif tanahnya yang rendah, dapat menyebabkan semakin meluasnya lapisan batuan induk yang tersingkap. Oleh karena itu, dengan saluran –saluran airnya masyarakat Situs Ratu Boko pada masa lampau berusaha mengendalikan air hujan agar pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan hidupnya tidak terganggu.

        Upaya adaptasi masalah air juga menghasilkan jejak-jejak berupa talud yang sekarang tampak membatasi setiap teras di Situs Ratu Boko. Tanah yang melingkupi situs memiliki sifat rentang terhadap erosi padahal ketersediaannya  terbatas di beberapa bagian situs. Jika hujan turun, air tidak hanya mengalir dari teras yang lebih tinggi menuju ke teras yang lebih rendah, melainkan juga menghanyutkan tanah. Oleh karena itulah dibuat talud-talud yang antara lain berperan dalam mengurangi tingkat erosi lahan.

      Salah satu kolam di Situs Ratu Boko yaitu kolam yang berada di teras III.  Kolam ini berada di sebelah timur Candi Pembakaran berukuran 54 m x 23 m dengan kedalaman 2,2 meter. Kolam ini pernah diekskavasi  pada tahun 1993, 1995, 1996, 1998, 2007, dan 2008. Pada tahun 2015 kolam ini dibersihkan, yaitu dengan mengangkat tanah yang berada di dalam kolam dan dibuang di sekitar Alun-Alun. Pada waktu kegiatan ini ditemukan blok-blok batu-batu putih. Blok-blok batu putih tersebut kemudian disusun coba, ternyata berupa pagar kolam.  Berdasarkan susun coba tersebut diketahui bahwa kolam ini dikelilingi pagar dari batu berukuran lebar 0,9 m dan tinggi  1,8 m. Pada tahun 2017 dilaksanakan studi kelayakan untuk mengetahui apakah pagar tersebut layak untuk dipugar atau tidak. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa pagar layak dipugar  dan selanjutnya pada tahun 2018 diadakan studi teknis untuk mengetahui RAB dan teknis pemugarannya. (Tri Hartini – Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY)