“Sekarang ini persatuan bangsa kita sedang diuji. Perpecahan di antara sesama anak bangsa sering kali dipicu oleh perkataan dan perbuatan yang menajamkan perbedaan, menyinggung unsur SARA yaitu suku, agama, ras dan antargolongan. Atas dasar keprihatinan terhadap kondisi itu, pameran ini hadir untuk merekatkan persatuan bangsa Indonesia. Sudah seharusnya kita belajar dari leluhur yang dapat hidup berdampingan meski memiliki perbedaan keyakinan,” kata Ari Setyastuti, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Pameran Cagar Budaya bertema “Merajut Persatuan dalam Kebinekaan” yang digelar pada 21 s.d 25 Juni 2018 di Taman Tebing Breksi Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pameran Cagar Budaya “Merajut Persatuan dalam Kebinekaan” hendak mengajak generasi sekarang untuk menengok kembali bagaimana masyarakat pada masa peradaban Mataram Kuno abad 9-10 Masehi bisa membangun kehidupan yang harmoni meski memiliki agama yang berbeda. Kerukunan antarumat beragama pada masa itu tercermin pada warisan budayanya yang masih dapat dilihat sampai sekarang berupa permukiman kuno, situs, candi, dan struktur yang memiliki latar belakang agama berbeda-beda, namun letaknya berdekatan satu sama lain. Beberapa warisan budaya tersebut berada di wilayah Prambanan, antara lain Candi Prambanan (Hindu), Situs Ratu Boko (Hindu-Buddha), Stupa Sumberwatu (Buddha), Situs Sumur Bandung (Hindu), Situs Dawangsari (Buddha), Arca Ganesha (Hindu), Candi Banyunibo (Buddha), Candi Barong (Hindu), dan Candi Ijo (Hindu).
Tujuan diselenggarakannya pameran ini agar generasi muda bisa meneladani sikap toleransi yang telah dipraktikkan oleh masyarakat pada masa peradaban Mataram Kuno. Dengan demikian, nilai-nilai persatuan nenek moyang pada zaman dahulu bisa menginspirasi generasi sekarang untuk terus menjaga persatuan bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ferry A.)