Situasi Gereja dilihat dari Barat laut. (Dok. BPCB DIY 2008)

     Pada awalnya, permukiman orang-orang Eropa dibangun di kawasan bernama Loji Cilik atau Loji Kecil. Kawasan ini semakin meluas hingga ke daerah di sebelah timur Sungai Code, yang kemudian dinamakan dengan Bintaran. Permukiman Bintaran dikembangkan dan diperluas oleh pemerintah Belanda, sehingga banyak orang-orang Belanda yang menetap. Meningkatnya jumlah umat Katolik dan untuk melengkapi fasilitas pemukiman berupa tempat peribadatan maka dibangunlah Gereja Katolik Santo Yusup. (Setyastuti, Ari, dkk. 2009: 174)

Gereja Katolik Santo Yusup adalah gereja Jawa pertama di Yogyakarta. Pembangunan gereja diperuntukkan bagi kaum pribumi yang berada di bagian tenggara Yogyakarta. (Putra, 2005: 9). Gereja Katolik Santo Yusup dikenal pula dengan sebutan Gereja Bintaran karena terletak di kawasan Bintaran. Gereja Katolik Santo Yusup didirikan karena penuhnya jemaat di Gereja Kidul Loji. Ini membuktikan meningkatnya umat Katolik pribumi di Yogyakarta.

 

Kesadaran perlunya ruang ibadah yang lebih luas membuat Romo A. van Driessche, SJ dan Dawoed memelopori pendirian Gereja Katolik Santo Yusup. Gereja Santo Yusup dibangun pada 1933–1934, dan diresmikan pada 8 April 1934 oleh Romo A.TH. Van Hoof SJ. Romo pertama yang memimpin gereja adalah Romo A.A.C.M de Kupyer SJ yang dibantu oleh Romo A. Soegijapranata. (Sombu, dkk, 2015: 4)

Gereja katolik santo yusuf bintaran kidul NO. 5 dilihat dr utara. (Dok. BPCB DIY 2011)

Gereja Multifungsi

Di samping berfungsi untuk tempat ibadah, Gereja Santo Yusup Bintaran ternyata juga berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Dalam perjuangan kemerdekaan tahun 1947-1948, Gereja Katolik Santo Yusup aktif digunakan sebagai tempat perjuangan. Pada Januari 1946 pemerintahan Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, karena Jakarta telah dikuasai oleh Belanda. Hal ini diikuti warga sipil yang mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Saat Soekarno diasingkan ke Bangka tahun 1947, Soekarno mengungsikan Fatmawati di Gereja Katolik Santo Yusup. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi Fatmawati dari serdadu Belanda. 

Saat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Gereja Santo Yusup Bintaran menjadi tempat bagi Romo A. Soegijapranata dan gerilyawan Katolik saling berkomunikasi. Keberadaan Romo A. Soegijapranata yang lama di Bintaran, membuat banyak gerilyawan berkonsultasi dengan beliau. Hal ini menunjukkan bahwa gereja juga menjadi fasilitas pendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gereja Santo Yusup pernah digunakan untuk menggelar Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pertama pada 7-12 Desember 1949. Kongres tersebut diprakasai oleh I.J Kasimo. (Laporan Pendataan, 2008: 10)

Detail Gereja dilihat dari Timur laut. (Dok. BPCB DIY 2008)

Arsitektur Gereja

Gereja Santo Yusup dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama J.H van Oijen B.N.A. Pembangunannya oleh Hollandsche Beton Maatschappij. Seluruh landasan bangunan gereja adalah beton. Gereja Santo Yusup berarsitektur bangunan Eropa dan Jawa. Bangunan awal gereja berukuran panjang 36 m hingga di bagian bangku tempat komuni, bagian kiri dan kanan sepanjang 20 m, lebar bagian tengah 10 m, dan setiap sisinya 5 m. Keseluruhan bangunan Gereja Santo Yusup terbagi menjadi empat kelompok ruang, antara lain gedung gereja, panti paroki, gedung komunikasi sosial keuskupan agung Semarang, dan pastoran. (Laporan Pendataan, 2008: 12-14)

Gereja bagian dalam dilihat dari Utara. (Dok. BPCB DIY 2008)
Ruang Gereja dilihat dari Tenggara. (Dok. BPCB DIY 2008)

Gereja Santo Yusup menghadap ke utara dan memanjang ke selatan. Terdapat dua pintu gerbang yang berada di sebelah utara dan barat. Atap gereja ini unik, berbentuk setengah lingkaran. Pada ujung atap terdapat lonceng yang digantungkan sebagai hiasan. Gereja Santo Yusup memiliki keunikan yakni terdapat rooster atau kisi-kisi berjumlah 72 buah sebagai masuknya sinar matahari. Setiap sisi dinding gereja dipasang lukisan berwarna dan berbingkai kayu yang menggambarkan kisah kesengsaraan Tuhan Yesus. Terdiri dari 7 panel di sebelah kanan maupun sebelah kiri.

Ruang utama dalam gereja berada di ujung selatan bangunan, disebut Panti Imam. Panti Imam digunakan untuk pusat upacara penting yang sakral. Terdapat meja besar yang digunakan sebagai perlengkapan penyelenggaraan misa yang disebut altar. Gereja Santo Yusup memiliki dua altar yakni altar lama dan altar baru. Pembuatan altar baru dikarenakan pastur misa kudus membelakangi umat pada saat menggunakan altar lama. Untuk itu, Konsili Vatikan II tahun 1965 memutuskan untuk membuat altar baru agar pastur dapat menghadap ke umat. Sebelah timur dan barat gereja terdapat kamar sebagai tempat perlengkapan upacara. (Laporan Pendataan, 2008: 23-24)

Di sisi timur terdapat ruang Sankristi digunakan untuk persiapan imam dan pembantunya (misdinar dan prodiakon paroki) sebelum menuju altar. Di sisi sayap kanan dan kiri memiliki ruang pengakuan dosa yang digunakan untuk menerima sakramen tobat secara pribadi. Selain itu, Gereja Santo Yusup memiliki Panti Paroki yang terdiri dari aula dan ruang-ruang rapat.

            Gereja Santo Yusup Bintaran ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan SK Menteri PM.25/PW.007/MKP/2007 Tentang Penetapan Situs dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gereja Santo Yusup sekarang beralamat di Jalan Bintaran Kidul No.5, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta.

 

Referensi:

Putra, Augustinus Madyana. 2005. “Penataan Kembali Ruang Dalam Gereja Bintaran Yogyakarta dengan Menggunakan Strategi Konservasi”, dalam Jurnal Arsitektur Komposisi, Vol. 3, No. 1, April 2005

Laporan Pendataan Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta 2008.

Sambu, Alwin Suryono, Laurentia Carrisa, William Sasmita, “Pelestarian Makna Kultural Gereja Santo Yusup Bintaran di Yogyakarta Dengan Pendekatan Arsitektur”, dalam Laporan Penelitian Hibah Monodisiplin, Universitas Parahyangan, 2015.

Setyastuti, Ari, dkk. 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.

 

 

Ditulis oleh:

Adhestalini Intan Galdhira

Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro

 

*Penulis adalah mahasiswa yang magang di Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY