Gedung Societeit Militer beralamat di Jalan Sriwedani No. 1, Ngupasan, Yogyakarta. Bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.
Latar belakang sejarah Gedung Societeit Militer tidak terlepas dari pendirian Benteng Vredeburg dan permukiman orang Belanda di kota Yogyakarta. Munculnya permukiman masyarakat Belanda di Yogyakarta tidak lepas dari adanya kebijakan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet) dari pemerintahan pusat di Batavia tahun 1903 yang mengakibatkan kota-kota di Jawa mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat seperti yang terjadi di Yogyakarta antara tahun 1900-1930. Dengan terbitnya undang-undang ini, maka berubahlah corak pemerintahan Hindia Belanda dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal inilah yang mendasari terbentuknya sistem kotapraja (staadgemeente) yang bersifat otonom.
Kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia telah memberi pengaruh yang luas pada aspek kehidupan. Berdasarkan dokumen-dokumen yang ditemukan, orang-orang Belanda pada mulanya hanya bertempat tinggal di Loji Kecil (sebelah timur Benteng Vredeburg), kemudian berkembang ke jalan Setjodiningratan ( dahulu Kampemensstraat), kemudian ke jalan Bintaran, Jetis, dan Kotabaru. Peninggalan-peninggalan bangunan kolonial menunjukkan bahwa masyarakat Belanda sudah mempunyai fasilitas yang lengkap baik sarana pendidikan, keagamaan, dan hiburan.
Gedung Societeit Militer termasuk dalam lingkungan Loji Kecil. Masa pembangunannya belum dapat diketahui secara pasti, karena belum ditemukan dokumen yang menjelaskan hal tersebut. Diperkirakan bangunan Societeit Militer didirikan setelah pendirian Societeit de Vereeniging dan sebelum pendirian Societeit Pakualaman tahun 1908.
Pada awalnya di sebelah selatan gedung Societeit Militer berupa lapangan. Lapangan itu digunakan untuk latihan baris-berbaris tentara Belanda. Di sebelah utara gedung Societeit Militer merupakan kuburan Belanda. Kuburan ini diperuntukkan bagi mereka yang berpangkat Perwira. Nama-nama yang tertera di batu nisan antara lain : Weisemen-Klaring, Klaring-Emmen, Emmen-Schalk, Schalk-Kraag, Kraag-Weijnschenk, Weijnschenk-Dom, dan sebagainya(sekarang menjadi bagian dari Pasar Beringharjo).
Pendirian bangunan societeit pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Kota Yogyakarta tidak hanya untuk kepentingan sipil tetapi juga bagi kalangan militer. Pada awalnya gedung Societeit Militer digunakan untuk rekreasi keluarga militer Belanda yang bertempat tinggal di lingkungan Loji, baik itu berada di Loji Kecil maupun Loji Besar. Pada liburan akhir pekan atau hari penting lainnya seperti hari kelahiran Ratu Wilhelmina, di gedung ini digelar berbagai pertunjukan seperti sulapan, tonil Sam Pek Eng Thay, drama Hamlet, dansa, dan pertunjukan musik atau muziekenten keluarga militer Belanda dengan dirigen Van Der Wallen. Gedung ini juga digunakan untuk berlatih anggar. Ada seorang dokter Belanda bernama Dr. Hoven Kamp dengan keluarganya sering menyaksikan pertunjukkan di gedung Societeit Militer. Hoven Kamp bertempat tingggal di sebelah timur laut gedung ini, yaitu di belakang Apotek J. Van Gorkom.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, bangunan tersebut dikuasai oleh Kenpetai, yaitu polisi militer Jepang di bawah Komandan Nakamiwa dan wakilnya, Kabayasi. Oleh tentara Jepang, bangunan ini digunakan sebagai tempat aktivitas tentara semacam balai pertemuan dan tempat latihan samurai dengan memakai tongkat pada siang hari.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bangunan ini dipakai untuk Markas Besar Polisi Tentara (MBPT). Salah seorang tentara yang pernah bermarkas di gedung ini adalah Kapten Tjokropranolo (pengawal pribadi Jenderal Sudirman dan mantan Gubernur DKI Jakarta tahun 1977-1982). Pada masa Gerakan 30 September, gedung ini tetap digunakan untuk instansi militer yang dikelola Departemen Pertahanan dan Keamanan sampai tahun 1977. Pada tahun 1982 bangunan ini direhabilitasi, direvitalisasi, dan difungsikan sebagai tempat kegiatan pendidikan dan kebudayaan.
Bangunan Societeit Militair terdiri atas 3 ruang yaitu ruang utama berdenah segi empat, beratap limasan, dan berfungsi sebagai ruang pertemuan. Ruang sayap selatan berdenah huruf L, beratap limasan dan kampung berfungsi sebagai ruang tamu, pembuatan minum, dan dapur. Sayap utara berdenah segi empat, beratap kampung, dan berfungsi untuk ruang ganti para pengunjung.
Pascareformasi tahun 1998, bangunan ini direvitalisasi kembali dan mengalami alih fungsi sebagai kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Budaya, Dinas Kebudayaan, Daerah Istimewa Yogyakarta.