Uang Kertas Minangkabau: Sebuah Kajian Seni Rupa dan Makna
Oleh: Arif Budiman
Uang kertas sebagai alat pembayaran dan penukaran ekonomi adalah bagian dari artefak sebuah karya seni rupa. Eksistensi sosial yang dilekatkan kepada selembar uang kertas menjadikan ia bernilai tinggi. Uang kertas menjadi alat kesepakatan yang sah, atas fungsi yang dimilikinnya.
Untuk memahami nilai seni pada selembar uang kertas bisa diperoleh dengan usaha membaca simbol-simbol kebudayaan yang ada pada masyarakat, tetapi hadir pada tampilan visual uang kertas tersebut dalam bentuk gambar. Ini adalah kekhasan tersendiri dan menempatkan uang kertas itu berbeda dari artefak yang lain, karena memiliki nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik.
Pada uang kertas terkandung nilai-nilai estetika di dalam perupaannya. Keindahan itu tersusun atas warna, garis, bentuk, huruf, gambar pun teknik cetak yang khas. Keberadaan uang kertas juga menyangkut significant idea. Pada pengungkapannya bisa dilakukan dengan peninjauaan aspek tujuan, fungsi, ide, konsep serta nilai filosofis. Artinya artefak uang kertas sarat dengan berbagai informasi terkait objek visual yang meliputi teks dan gambar yang menyertainya seperti petunjuk tentang negara mana yang mengeluarkan, siapa yang menandatangani, tahun berapa uang dicetak, nomor seri dan objek visual berupa gambar yang bisa memiliki tafsiran yang beragam.
Sebagai sebuah karya seni rupa uang kertas menjelaskan ekspresi jiwa masa pada saat ia disepakati. Hubungannya dengan lingkungan tidak saja sebagai media alat pembayaran, tetapi juga memancarkan suatu ideologi atas kekuasaan pada masa ia diberlakukan, ini tergambar dari idiom-idom visual yang ditampilkan oleh senimannya.
Demikian yang terdapat pada uang kertas daerah atau Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang terbit di Sumatera selanjutnya dikenal dengan nama Uang Republik Indonesia Daerah Propinsi Sumatera (URIPS) thun 1947 sampai 1949. Uang kertas Sumatera ini harus terbit karena Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama di Indonesia tidak bisa disebarkan ke Sumatera karena meletusnya perang Agresi Militer Belanda ke I tahun 1947 dan ke II tahun 1948.
Pemerintah Republik Indonesia akhirny mengeluarkan peraturan pemerintah yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah, yang berlaku secara terbatas di daerahnya masing-masing. Atas dasar tersebut pemerintah daerah tingkat propinsi, keresidenan dan kabupaten menerbitkan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) 1947 – 1949.
ORIDA pertama di Sumatera adalah uang kertas Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (URIPS) tadi, emisi pertama uang tertanggal 11 April 1947 lewat maklumat Gubernur Sumatera Teunku Mohammad Hasan No.92/KO tanggal 8 April 1947.
Demikian di Minangkabau juga diterbitkan uang kertas. Menariknnya lagi hampir semua uang URIPS yang beredar di Sumatera dicetak di Bukittinggi. Hal ini menjadi sangat menarik jika ditelusuri makna pun ideologi yang ada pada rupa selembar ung kertas daerah tersebut. Seperti gambar uang kertas dibawah ini, yang merupakan bagian kecil dari uang kertas URIPS emisi Bukittingi.
Uang kertas Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (URIPS) 10 (Sepuluh) Rupiah, emisi Bukitinggi, 17 Januari 1948.
Mata uang kertas URIPS pecahan 10 Rupiah ini secara global menggunakan ikon-ikon budaya Minangkabau. Tanda-tandanya, pertama terlihat dari sosok Tuanku Imam Bonjol, sebagai tokoh Islamis di Minangkabau yang berjuang menumpas Belanda. Sosok ini diilustrasikan dengan corak figuratif, melalui goresan tangan dengan teknik garis dan asir. Sehingga sosok tersebut kelihatan jelas, kasatmata dengan sosok aslinya. Ini menandakan keekspresifan desainnya dalam menyampaikan gagasan, kesungguhan atas konsep uang itu sendiri sebagai alat bayar dan tukar. Mencoba menghadirkan ideologi yang dimiliki oleh sosok yang dirupakan – Tuanku Imam Bonjol, yang hendaknya menjiwai dan meninggikan nilai uang kertas itu sendiri di mata penggunannya.
figur Tuanku Imam sebagai penanda untuk memberikan semangat pada syuhada dan mubarok yang berjuang (di perang Agresi Belanda), untuk mengatakan dengan sikap, bahwa tanah yang dipijak kompeni tersebut adalah tanah ber-tuah!.
Gesture wajah yang ditampilkan Tuanku Imam menampakkan wajah marah, mukanya sinis, keningnya dirupakan berkerut petanda berfikir dengan tatapan mata yang tajam petanda marah – negeri tumpah darah yang dipertahankan (dahulu) untuk generasi penerusnya kembali diacak-acak oleh Belanda. Kehadirannya dalam ilustrasi uang kertas untuk memberikan semangat, mengingat (kembali) pejuangan yang pernah dilakukannya. Dirupakan dalam uang kertas menjadi material informasi dan alat provokasi pada masyarakat.
Selain itu, Tuanku Imam dirupakan dengan menggunakan pakaian Gamis, dan kepala dililiti Sorban dengan posisi menyilang, menjadi petanda sosok yang Islamis dan santun, baik budi. Dagunya yang berjenggot lebat menandakan waktu, menjurus pada pengalaman yang banyak, mengunyah “asam garam” kehidupan, sehingga membuat ia menjadi sosok yang berilmu dan tawadhu’.
Untuk menghormati budi dan jasa Tuanku Imam yang telah wafat, sosok ilustrasi diberikan bingkai dari roset, memiliki makna sebagai petanda penghormatan kepada para pejuang yang gugur di medan tempur. Pola-pola seperti ini, pada saat sekarang masih bisa dijumpai, misalnya ketika ada salah seorang perwira atau mantan pejuang meninggal, fotonya dikalungkan bunga, pun saat menyambut kedatangan seorang tamu, juga dikalungkan bunga di lehernya. Seyogyanya apa yang dilakukan pada visual uang kertas di sosok Tuanku Imam, demikian halnya sebagai tanda hormat dan menghargai sebuah pengorbanan dan jasa.
Di bagian sisi sudut sebelah kanan, divisualkan secara realis dengan teknis garis dan asir rumah adat Minangkabau, rumah Gadang. Mengambil sudut pandang perspektif, sehingga tidak berkesan datar (flat) dan memberikan nilai ruang yang lebih hidup, serta tidak monoton atau statis, karena diungkapkanya selurus dengan rumah Gadang yang sebenarnya.
Rumah Gadang ini adalah tempat tinggal bagi sebuah kaum pada adat Minang. Rumah Gadang yang digambarkan menjadi tanda untuk mempertegas wilayah berlakunya uang kertas tersebut, hanya di Minangkabau.
Rumah Gadang adalah ikon dari kebudayaan Minangkabau dan, aspek fisik yang paling penting dari sistem matrilineal – mahsab menurut garis keturunan ibu. Rumah Gadang menjadi tempat tinggal, tempat berlindung dan tempat dilangsungkannya musyawarah pada kaum itu sendiri. Rumah Gadang juga menjadi bagian dari harta pusaka tinggi yang diwariskan pada pihak perempuan dalam kaumnya.
Menurut Ibenzani Usman, rumah Gadang adalah ‘cahayo nagari’ (cahaya negeri) – hiasan nagari sehingga ia menjadi lambang kebesaran suku (clan). Pada kebesaran, kebagusan dan ukiran-ukiran rumah Gadang dapat diketahui kekayaan suatu keluarga di Minangkabau.
Membangun rumah Gadang tidaklah semudah membangun rumah biasa, diperlukan perhitungan yang sangat matang, mulai dari mencari tukang – arsitek, hingga mendirikan tonggak tuo (tiang pertama/tua) yang kayunya harus direndam di sebuah sungai dulu dalam jangka waktu tahunan supaya kuat, serta dilekatkan nilai-nilai luhur melalui bacaan-bacaan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa. Ditingkat perayaan pendiriang tonggak tuo itu sendiri juga ada prosesi adat yang sangat kompleks hingga harus mambantai (menyembelih) kerbau. Sampai pada penerapan motif-motif yang digunakan sebagai ‘baju’ rumah Gadang itu sendiri juga harus diperhitungkan ragam hiasnya.
Sesungguhnya tampilan motif yang melekat di rumah Gadang itu sendiri terutama di bagian muka, samping kiri dan kanan adalah cerminan kebesaran kaum perempuan. Dapat ditafsirkan sebagai pantulan jiwa wanita yang ingin kelihatan cantik, megah pada bagian tertentu tubuhnya, terutama di bagian bibir atau wajahnya. (Couto, 2008: 62) Visual kecantikan itu bisa dilihat dari ukirannya yang bersumber dari stilisasi flora (tumbuh-tumbuhan) dan bentuk-bentuk geometris.
Rumah Gadang pada visual uang kertas ini adalah rumah Gadang dari kelarasan (distrik di Minangkabau/dasar pemerintahan menurut adat) Koto Piliang. Tandanya terlihat pada atapnya yang berbentuk tanduk kerbau atau yang disebut dengan Gonjong. Gonjong yang dimiliki bertingkat-tingkat, mulai dari dua, enam bahkan ada yang sampai dua belas. Tanda lain juga terlihat pada lantai yang digunakan yaitu bertingkat – ada batasan (ditinggikan) antar lantai satu dan dua atau disebut pula dengan anjuang.
Di sisi sebelah kiri dengan corak realis menyerupai bentuk aslinya dimunculkan ilustrasi Rangkiang. Rangkiang yang muncul pada uang kertas ini adalah Rangkiang Si Tangguang Lapa (Si Tanggung Lapar), yaitu rangkiang yang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan padi yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya. Tanda ini menyiratkan kesiapsediaan bekal untuk menghadapi perang – Agresi Militer Belanda yang sedang berkecamuk di Minangkabau.
Awan tebal yang menyelimuti di belakang Rumah Gadang seyogyanya memiliki artian dilema besar yang sedang dihadapi Negera Republik Indonesia, yang dalam konteks visual uang ini ada di Minangkabau. Awan adalah sekelompok atau gugusan butiran es yang berada di atmosfer, ketika sudah padat akan turun hujan. Hujan mengkonotasikan rasa sedih, duka, bencana akan tetapi juga bisa berbahagian, karena hujan adalah rahmat dan rejeki dari Yang Kuasa.
Di Minangkabau, awan menjadi tanda kehati-hatian. Pepatah Minang mengungkapkan Gabak di hulu tando ka hujan, cewang dilangik tando ka paneh (gelap – awan hitam tanda akan hujan dan, cerah di langit tanda akan panas). Maknanya adalah kehati-hatian, siap sedia, resposif kapanpun melihat dan mengamati situasi. Prinsip ini jelas berguna sekali saat kondisi sedang genting atau masa perang yang membutuhkan kecermatan.
Di samping Rangkiang ada pohon kelapa, pohon kelapa dimaknai sebagai sebuah kemakmuran, karena seluruh tubuh pohon tersebut memiliki manfaat. Diilustrasikan lebih jauh, adalah bermakna masa depan. Kelak perjuangan yang dilakukan akan membuahkan kemakmuran untuk masa depan generasi penerus negeri ini yang lebih baik dan dicontohkan pada idiom pohon kelapa.
Keterangan di bawah gambar muncul teks “BERLAKU UNTUK DAERAH BARAT”. Posisi tulisan tersebut berada dalam sebuah bidang persegi panjang yang diblok biru, kemudian di atas blok itu dituliskan teks tadi berwana putih, sehingga memberikan kesan hitam – putih atau positif – negatif. Ini adalah ‘hukum’ gestalt yaitu pengorganisasian komponen-komponen yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan sehingga menimbulkan sensasi. Pada tulisan ini berkaitan dengan kesinambungan pola (continuity). Pun demikian dengan angka “10” pada empat sisi sudut dari uang kertas.
Kemudian angka “10” yang dilanjutkan dengan kata “SEPULUH” – “RUPIAH”, yang berada di tengah-tengah (center), menjadi center of interest sebagai tanda nominal mata uang URIPS yang diterbitkan. Visual angka “10” diberikan kesan tekstur semu, sehingga memiliki kesan timbul atau embossed, yang diciptakan melalui teknik asir dengan memperhatikan arah pencahayaan (lighting) sehingga “10” memiliki kesan plastis dan ekpresif. Demikian juga dengan kata “SEPULUH”, juga berkesan timbul, yang seolah-olah sedikit tinggi dari permukaan kertas, ini terjadi karena penerapan tebal-tipisnnya garis. Bedanya kata “SEPULUH” diposisikan melengkung seperti bergelombang, sehingga memberikan aksentuasi (penekanan) dibandingkan komponen visual yang lain sehingga tidak berkesan kaku, statis berbeda dari yang lain. Akan tetapi bentuk bergelombang ataupun melengkung ini memberikan makna rancak (bagus), aktif, bergerak.
Kemudian diikuti di bawahnya kata “RUPIAH” pun dengan posisi melengkung – bergelombang sama dengan “SEPULUH”. Dari penggunaan tipografi, semua huruf yang diterapkan pada uang kertas ini tidaklah standar sebagaimana lazimnya penggunaan huruf. Jika diklasifikasi dalam jenis huruf pada uang kertas ini menggunakan jenis huruf serif atau berkait yang ditandai typeface yang rucing/berkaki dan memiliki tebal tipis di anatominya, serta huruf san serif yang lebih tegap, kokoh dan jelas tanpa kait/kaki. Angka “10” dan kata “RUPIAH” yang menggunakan huruf Roman berkesan tegas, feminim dan anggun. “REPUBLIK INDONESIA PROPINSI SUMATERA” menggunakan huruf Egyptian dengan cirinya berkaki membentuk persegi, memiliki kesan kokoh, kuat, kekar dan stabil. Sedangkan kata “SEPULUH”, “BERLAKU UNTUK DAERAH BARAT” dan, “TANDA PEMBAJARAN JANG SAH”, menggunakan huruf script yang digoreskan dengan tulisan tangan, bisa menggunakan pena, kuas atau benda tajam lainnya. Kesan yang mucul dari script sendiri adalah keakraban dan urgent
Sejatinya penerapan tipografi pada mata uang kertas ini memang jauh dari estetika huruf yang pernah ada. Akan tetapi itulah kondisi faktual pada masa itu, di tengah perang gerilya, menghadapi Agresi Militer Belanda ke II tahun 1948. Aspek keterbacaan, penekanan (dalam arti besar kecil huruf) lebih diutamakan sebagai signifikasi walau pun ada yang divisualkan terlalu kecil (midi) ataupun terlalu besar (maxi), tak menjadi persoalan. Kendati jarak antar huruf (kerning) dan jarak antar baris (leading) dan jarak antar kata (word spacing) harus dibiarkan.
Corak dekoratif mengindahkan visual uang kertas ini, susunan daun yang melingkar rapat dan berhimpit (roset) di sepanjang frame yang membentuk persegi sehingga menjadi pembatas desain dengan kertas ditampilkan secara dekoratif
Ornamen di Minangkabau atau yang sering didengungkan dengan istilah ragam hias. Bentuk melengkung kemudian ditambahkan lagi pola serupa di dalam lengkungan tersebut, pada uang kertas ini, mengidentifikasikan pada motif Buah Palo Patah (Buah Pala Patah) pada sisi kanan, kiri dan atas frame uang kertas. Sementara itu untuk mengisi latar belakang bidang mata uang digunakan teknis arsir untuk membedakan positif dan negatif objek.
Kondisi zaman yang darurat mata uang ini hanya dicetak menggunakan satu warna saja (monokrom). Warna biru tua, yang memberikan kesan sederhana dan melambangkan warna primer, warna pokok, warna inti dan warna yang paling mudah diperoleh, artinya tidak lagi dilakukan pencapuran/pengadukan warna. Marian L David dalam buku Design in Dress Biru memberikan sugesti damai, konservatif, menahan diri, iklas dan terhormat. Akan tetapi biru juga bisa mengartikan depresi.
Di Minangkabau sendiri biru bisa bermakna dingin, sejuk dan, jika di kontekskan pada daerah Luhak Limopuluah Koto, daerah dimana uang ini dicetak di Halaban, biru berarti ramah dan setia sebagaimana diungkapkan pada pepatah Aianyo Janiah Ikannyo Jinak (airnya jernih, ikannya jinak).
Komposisi dari seluruh elemen visual uang kertas ini dibuat asimetris (tidak sama bobot ukurannya) dengan fokus pada angka 10 sebagai key (kunci) untuk menentukan ukuran bidang ke kanan dan ke kiri yang disini dengan dua ilustrasi Tuanku Imam Bonjol dan Rumah Gadang. Sehingga kelihatan seimbang.
Komposisi asimetris, dengan titik fokus berada pada angka 10 sebagai key ukuran ke kanan (ilustrasi arsitektur Rumah Gadang) dan ke kiri (ilustrasi Tuanku Imam Bonjol).
Secara keseluruhan isi pesan pada mata uang URIPS nominal 10 rupiah wilayah Barat adalah cara daerah memperkenalkan local identity-nya melalui simbol-simbol yang ada pada narasi adat, fakta sejarah (perjuangan para tokoh-tokoh daerah itu) untuk membangkitkan semangat pergerakan, perjuangan, pada masa awal kemerdekaan sangat dibutuhkan untuk persatuan (persatuan (jamak/banyak) entitas, bukan kesatuan (satu) entitas) Indonesia.
Daftar Bacaan
Amura, H, Sejarah Revolusi Kemerdekaan di Minangkabau, Jakarta: Penerbit
Pustaka Antara, 1979.
Couto, Nasbahry, Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau, Padang: Penerbit UNP
Press, 2008
Dharmaprawira, Sulasmi., Warna: Teori dan Kreatifitas Penggunannya, Bandung:
Penerbit ITB, 2002.
Dharsono, Estetika, Bandung: Penerbit Rekayasa Sains Bandung, 2007.
Kartiwa, Suwati., Mata Uang Indonesia dan Perjuangan Pemuda, Jakarta:
Penerbit Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, 2009.
Navis, A.A., Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Piliang, Amir Yasraf., Semiotika dan Hipersemiotika, Bandung: Penerbit Matahari,
2012.
Sanyoto, Ebdi Sanyoto., Elemen-elemen Seni dan Desain, Yogyakarta, Penerbit
Jalasutra, 2010.
Sidiq, Fajar., Nirmana (Desain Elementer), Yogyakarta: Penerbit Jurusan Seni Lukis
STSRI “ASRI” – Pustaka ISI Yogyakarta, 1987.
Sihombing, Danton., Tipografi dalam Desain Grafis, Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Wiratsongko., Bank Notes and Indonesian Coin, Jakarta: Yayasan SO1 Maret &
Bank Tabungan Negara Indonesia, 1991.
Baskoro Suryo Banindro, Bahasa Rupa Uang Kertas Indonesia Masa Revolusi. Tesis
tidak diterbitkan, Yogyakarta, Program Pasca Sarjana-ISI Yogyakarta, 2010
Ibenzani Usman, Seni Ukir Tradisional Pada Rumah Adat Minangkabau: Teknik,
Pola dan Fungsinya. Disertasi tidak diterbitkan, Bandung, Program Doktoral
Institut Teknologi Bandung (ITB), 1984.