Revi Handayani.,S.Pd,.M.Hum
Tugu ini adalah tugu Polisi Wanita (Polwan) yang berada di Bukittinggi. Dibangun dalam rangka untuk memperingati lahirnya Polisi Wanita pertama yang ada di Indonesia dilahirkan di Bukittinggi. Dengan, dibukanya sekolah Polisi Wanita Pertama di Bukittinggi maka, sampai kini diperingati sebagai hari jadinya Polwan yaitu pada tanggal 1 September 1948. Terletaknya tugu ini tepat di persimpangan tiga jalan Sudirman dengan jalan H. Agus Salim Bukittinggi. Jalan tersebut merupakan bekas stasiun kereta api tepatnya, di depan Kantor PT Pos Indonesia Cabang Bukittinggi. Keberadaan tugu tersebut merupakan bukti dalam sejarah lahirnya Polwan di Bukittinggi, yang sekaligus merupakan lahirnya Polisi Wanita pertama di Indonesia.
Tugu Polwan ini berukuran 6 x 6 x 8 m dengan ukuran taman 21 m x 12 m. Tugu Polwan ini, diresmikan tepatnya tanggal 27 april 1993 oleh Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Jenderal Polisi Banurusman. Bersamaan dengan dikirimkanya telegram Kapolri, telah memberikan konstribusi terhadap benda-benda bernilai sejarah untuk dilestarikan. Ini menandakan sudah adanya perhatian dari pihak pusat sejarah Polri untuk mau bekerjasama dengan Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) dalam pengelolaan peningalan-peningalan yang bernilai sejarah khususnya monument, tugu, prasasti yang akan dibukukan pendataanya dalam monument Polri. Beserta pada saat ini juga Kapolri memberikan himbauan kepada seluruh para Kapolda untuk mulai meningkatkan kinerja Pusat Sejarah Polri tahun angaran 2013. Karena mengingat batapa pentingnya arti dari sejarah tersebut, dan memberitahukan kepada khalayak ramai yang mungkin tidak faham akan sejarah berdirinya tugu tersebut, dan mengapa didirikan.
Tugu Polwan Bukittinggi saksi bisu perjuangan perempuan Minangkabau pada masa kemerdekaan. Polisi wanita lahir dan berkembang di daerah Sumatera Barat, yang dihuni oleh penduduk yang dominannya mempunyai suku yaitu Minangkabau. Keberadaan tugu tersebut memberikan bukti sejarah betapa, keberadaan perempuan dalam sebuah Institusi Polri telah menunjukan sebuah eksistensi atau hal baru. Sehingga memberikan pengalaman baru bagi perempuan. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Hasril Chaniago. Pada awal kemunculanya selama proses pendidikan dan latihan selain itu, polwan juga banyak medapat tantangan dari berbagai pihak. Tantangan yang paling berat adalah sindiran yang cukup berat yang melecehkan pribadi seorang wanita adalah mengatakan “mereka tersesat di dunia laki-laki” adanya pandangan yang seperti itu merupakan hal yang umum di tengah masyarakat pada waktu itu. Mereka mengangap perempuan Minang yang bekerja di luar rumah sangat diangap tabu, karena angapan umum masyarakat pada waktu itu perempuan hanya boleh bekerja pada lingkungan domestik saja yaitu pada seputar rumah, anak, dan kasur sementara di sektor publik adalah urusan laki-laki. Begitulah pandangan masyarakat pada saat itu, yang merupakan sindiran tajam bagi pribadi seorang wanita.
Bukittinggi adalah Suatu daerah yang dominan masyarakatnya berasal dari suku Minangkabau. Suatu suku yang menjunjung tinggi, menghormati perempuan sebagai orang yang patut dilindunggi. Karena secara kodratnya perempuan adalah makhluk yang identik dengan sifat lemah,lembut, dan jauh dari kesan kekerasan. Sebagai makhluk yang memiliki sifat demikian. Sosok seorang perempuan patut untuk dilindunggi oleh seorang laki-laki. Polwan untuk pertama kalinya diterima secara umum, hanyalah berupa pegawai polisi yang perempuan yang dijadikan sebagai petugas pemeriksa bagi perempuan pelaku, saksi, ataupun korban kejahatan. Kebutuhan akan adanya tenaga wanita di dalam lingkup kepolisian makin dirasakan perlu seiring dengan tindak kejahatan yang kebanyakan dialami oleh perempuan. Akhirnya gagasan tentang Polwan dapat direalisasikan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengikuti pendidikan kader kepolisian.
Pada tahap ini mulailah terpilih 6 orang dari 9 orang calon Polwan. Selain itu, hal ini merupakan tahap awal dimana baru dilakukan perekrutan pertama dalam sejarah Polri untuk tingkat Perwira, dan merekrut perempuan-perempuan tersebut menjadi polisi. Pendidikan untuk keenam pionir ini dilakukan di Bukittinggi Sumatera Barat, tepatnya pada tanggal 1 September 1948 yang selalu diperingati sebagai ulang tahun Polwan pada setiap tahunnya. Keenam Polwan itu adalah Nelly Pauna, Mariana Mufti, Rosnalia Taher, Djasmaniar Husein, Rosmalina Promono, dan Dahniar Sukotjo. Tujuannya adalah untuk membantu pertempuran melawan tentara Belanda dalam perang, maka tenaga Polwan tersebut sanggat dibutuhkan, karena keadaan sangat genting. sejak itulah 3 dari 6 orang Polwan tersebut langsung diangkat menjadi Pembantu Inspektur Polisi Tingkat II, yaitu Nelly Pauna, Djasmaniar Husein, dan Rosmalina Pramono mereka langsung bergabung dengan Kesatuan Polisi di daerah gerilya.