Tinggalan arkeologis sebagai sisa aktivitas manusia masa lalu dengan latar belakang lingkungan sosial dan lingkungan alamnya merupakan gambaran sejarah budaya suatu masyarakat. Pengetahuan tentang budaya masa lalu cukup penting bagi kehidupan masa kini dan masa depan, mengingat adanya keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bielawski menyebutkan “the past is understood as part of the present”.

Megalitik adalah bahasa umum terhadap tinggalan budaya dengan mempergunakan batu besar.  Megalitik secara harafiah berasal dari dua kata, yakni mega (besar) dan lithos (batu), sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah. Namun, megalitik tidak hanya merupakan tradisi batu besar, menurut Fritz A. Wagner berpendapat megalitik tidak hanya diartikan sebagai batu besar, karena objek yang berasal dari batu kecil pun dapat dimasukkan ke dalam pengertian megalitik, apabila objek-objek tersebut jelas dibuat dengan tujuan sakral seperti pemujaaan nenek moyang. Pendapat Wagner tersebut telah menggiring pada semacam ‘hukum’ bahwa budaya megalitik selalu berkaitan erat dengan aspek religi atau kepercayaan. Namun, dibalik tradisi megalitik tersebut ahli prasejarah secara umum berpendapat adanya alam pikiran yang bersifat religious, khususnya pemujaan arwah nenek moyang.

Penyebaran kebudayaan megalitik di Indonesia menurut Heine Geldern datang dari India dan Malaka. Lebih lanjut Heine Geldern membagi dua gelombang persebaran tradisi megalitik di Indonesia berdasarkan tinggalan arkeologisnya, yaitu: pertama, Zaman Megalitik Tua (± 2500-1500 SM) sebagai bagian dari  zaman Neolitik yang diwakili oleh temuan menhir, dolmen, punden berundak, jalan batu, budaya beliung persegi serta bangunan lain yang bersifat monumental, dan kedua adalah Zaman Megalitik Muda (± 1000 SM-1000 M) sebagai bagian dari zaman Perundagian yang diwakili oleh kubur batu, dolmen, sarkofagus, bangunan batu yang oranamental, dan mengenal logam. Ditambahkan pula oleh Haris Sukendar, budaya megalitik yang datang ke Indonesia dibagi dalam dua gelombang, yakni megalitik tua dan megalitik muda. Artefak seperti dolmen, menhir, dan teras berundak digolongkan ke dalam megalitik tua. Sedangkan, peti kubur, arca megalitik, dan bejana batu termasuk ke dalam megalitik muda.

Bentuk dan jenis hasil budaya megalitik beragam, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, batu dakon, lumpang batu, dan arca megalitik. Dari sekian banyak jenis ragam budaya megalitik tersebut, salah satu yang paling umum dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia adalah menhir. Di wilayah Indonesia, menhir termasuk budaya megalitik yang persebarannya merata di seluruh wilayah.

Menhir secara isitilah diartikan sebagai batu tegak atau batu yang didirikan tegak yang sudah atau belum dikerjakan, dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk tujuan sebagai batu peringatan orang yang telah mati Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh dan sekaligus menjadi lambang orang-orang yang diperingati.

Di dalam masyarakat Minangkabau istilah yang dipergunakan untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan pengertian yang biasanya dipergunakan dalam dunia keilmiahan, terutama bagi arkeolog di Indonesia. Berdasarkan pe­nelitian terdahulu kata menhir yang berasal dari bahasa Breton -Inggris Utara, berarti batu berdiri. Sedangkan kata batu tagak jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri, seperperti arti yang biasa digunakan dalam dunia keilmiah­an, para arkeolog di Indonesia (Herwandi: 1993: 1).

Menhir adalah produk tradisi megalitik, tradisi yang telah muncul semenjak prasejarah yang menggunakan batu-batu besar sebagai materi kebudayaan; mega berarti besar, lithos berarti batu. Lebih jelasnya menhir termasuk salah satu produk budaya yang terikat erat dengan tradisi batu besar. Sejarah pendirian menhir telah meliputi kurun waktu yang cukup lama, berlangsung semenjak zaman neolitik.

Menhir pada awalnya dapat digolongkan ke dalam produk tradisi megalitik tua yang telah muncul semenjak awal tradisi itu, meskipun demikian tradisi pendirian menhir masih berlanjut sampai sekarang ini. Prinsip pendirian menhir berkaitan erat dengan unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang, dan sering dihubungkan dengan kesakralan dan kesaktian lelu­hur. Hal ini terjadi karena manusia pendukung tradisi megalitik beranggapan bahwa nenek moyang yang telah meninggal, arwahnya dianggap ma­sih hidup terus di dunia arwah, dan bersemayam di tempat-tempat yang tinggi. Oleh sebab itu tidak jarang menhir dijadikan seba­gai benda sakral,  didirikan di tempat-tempat yang tinggi, atau dibuat sedemikian rupa menghadap ke tem­pat-tempat yang dianggap suci.