Rumah Tradisional Banjar (Keluarga Ibu Tinah)

0
2452

Salah satu rumah adat Banjar di Kabupaten Tanah Laut adalah rumah milik Ibu Nyoo Giok Tin atau dipanggil Ibu Tinah yang merupakan warga keturunan Cina. Keberadaan bangunan ini melengkapi sejarah keberadaan bangsa Cina yang bermukim di wilayah Kalimantan Selatan khusunya di Tanah Laut daerah Parit Mas. Kehadiran Bangsa Cina ke Borneo adalah karena alasan perdagangan dan konflik yang terjadi di negaranya. Beberapa faktor tersebut membuat mereka membangun sebuah perkampungan dan memiliki keturunan di tempat ini. Pemilihan lokasi tidak serta-merta ditunjuk begitu saja, melainkan memiliki kriteria yang dianggap dapat menghidupinya, yaitu lahannya subur dan dekat dengan sumber air.

Rumah Ibu Tinah tampak samping
(Doc. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur)

Menurut penuturan beliau dan Bapak Phoe Sin Kim (saudara Ibu Tinah), rumah ini diperkirakan berusia 200 tahun lebih. Rumah ini terletak di Jl. Parit Mas, Kelurahan Angsau, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Wilayah Parit Mas merupakan lokasi pendulangan emas yang masih aktif dari dulu hingga sekarang. Bapak Phoe Sin Kim juga menjelaskan bahwa pada awalnya di wilayah ini terdapat beberapa unit rumah tipe banjar yang didiami oleh 26 kepala keluarga yang semuanya adalah keturunan Cina. Berdasarkan data beliau, pada tahun 1974 terdapat 24 marga Cina yang mendiami wilayah ini, antara lain: Go, Tan, Tjioe, Lim, Tong, Pang, Law, Tjia, Tho, Phoe, Hoo, Nyoo, Oey, Tjong, Yap, Thio, Kwe, Tjeng, Oe, The, Tjoe, Cie, Kho, dan Lic. Namun, warga Cina tersebut sekarang sudah banyak yang hijrah dan menjual tanah beserta rumahnya kepada orang lain. Saat ini rumah-rumah tersebut sudah dihancurkan. Satu-satunya rumah yang masih tersisa adalah rumah Ibu Tinah.

Tradisi pembuatan Rumah Banjar di wilayah ini cukup unik karena menurut cerita, rumah tidak akan dibangun sebelum mendapatkan kayu ulin jenis pamanang yang dapat terapung. Kayu tersebut tergolong langka, karena diyakini memiliki unsur gaib sehingga tidak banyak orang yang mampu membuat rumah semasa itu. Biasanya setelah kayu ditemukan, selanjutnya kayu tersebut harus disimpan pada kuda-kuda bagian atas pintu ruang utama. Setelah bangunan selesai dibuat kemudian di masing-masing ujung tiang bagian selasar dan ruang utama diberi emas dan intan sebagai daya tarik bagi orang yang melewati rumah tersebut untuk datang dan bertandang ke rumah tersebut.

Rumah Ibu Tinah tampak samping
(Doc. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur)

Arsitektur yang diperlihatkan oleh rumah hunian tersebut, menyerupai rumah palimasan yang ada di masa Kesultanan Banjar dan digunakan sebagai tempat tinggal para saudagar kaya dengan mata pencaharian berupa penambang emas, perak dan intan.

Deskripsi Arkeologis

Secara geografis, rumah ini berada pada posisi 50 N 0252960 9578740 dengan ketinggian 28 meter di atas permukaan laut. Rumah menghadap ke arah utara atau jalan raya. Pada halaman rumah terdapat rumput, pohon belimbing, dan gundukan tanah. Akses menuju rumah tersebut tergolong mudah, dapat ditempuh dengan roda dua dan roda empat dari pusat kota. Adapun, batas bangunan tersebut adalah jalan raya (Jl. Parit Mas) di sebelah utara, batas Selatan adalah kebun pisang, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan rumah bapak Phoe Sin Kim, dan di sebelah barat berbatasan dengan rumah Ayah dari Ibu Tinah.

Rumah Ibu Tinah merupakan rumah panggung dengan denah persegi empat, panjang bangunan mencapai 27.16 Meter dan lebar 9.50 Meter. Komponen-komponen rumah terbuat dari bahan kayu ulin, damar, dan meranti. Kayu ulin digunakan pada komponen tiang utama dan tiang penyangga. Sedangkan kayu damar digunakan pada lantai rumah dan kayu meranti digunakan pada dinding bangunan. Ruangan rumah terdiri dari lantai pelataran teras, tangga, teras atau selasar (pelatar), ruang utama atau ruang tamu (panampik basar/ambin sayup), ruang tengah (palidangan) yang diapit oleh anjung kanan dan anjung kiri (anjung kiwa), ruang makan dan masak (padapuran), ruang penyimpanan padi dan ruang bersih-bersih.

Lantai pelataran teras memiliki denah berbentuk segi empat dengan panjang 1.93 Meter dan lebar 1.13 Meter yang telah disemen (awalnya dari papan kayu ulin). Bentuk atap pelataran teras berupa limasan dengan menggunakan sirap dari bahan kayu ulin, serta terdapat pilar dengan hiasan geometris yang juga berfungsi sebagai penopang atap. Bagian atap pada pelataran juga diberi plafond dari kayu ulin yang dipasang secara horizontal.

Tangga rumah memiliki pegangan atau railing, dengan 5 (lima) buah anak tangga yang terbuat dari kayu ulin. Menurut penjelasan Bapak Phoe Sin Kim mengenai kelima anak tangga, masing-masing memiliki makna yang menyimbolkan perjalanan manusia di dunia yaitu; anak tangga pertama bermakna lahir, kedua bermakna hidup, ketiga mati, keempat lahir dan makna kelima adalah kehidupan. Dari makna pembuatan tangga diharapkan agar generasi dari pemilik rumah dapat berumur panjang dengan usaha yang lebih maju dari nenek moyang mereka. Pada pegangan tangga seharusnya terdapat kayu penutup yang sama bentuknya dengan pagar selasar, namun karena sudah lapuk, maka kayu penutup tersebut lepas dan hilang.

Tangga dan pegangan (railing)
(Doc. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur)

Teras atau selasar rumah dibuat persegi empat dengan ukuran panjang 4.09 Meter dan lebar 3.25 Meter. Terdapat pagar selasar yang diberi hiasan berbentuk segitiga dan lingkaran yang menyimbolkan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kehidupan. Selain itu, dahulunya hanya saudagar kaya yang mampu memiliki ukiran pada pagar selasar. Lantai selasar dibuat dari bahan kayu ulin yang dipasang secara vertikal dan direkatkan dengan pasak yang kemudian diganti dengan paku yang didatangkan dari Negeri Kincir Angin (Belanda).

Ruang utama yang merupakan bagian yang paling luas berbentuk persegi empat dengan panjang 11.13 Meter dan lebar 4.09 Meter. Menuju ke ruang utama dapat diakses melalui pintu utama yang terletak pada dinding depan dengan tinggi 2.10 meter dan lebar 81 cm. Pintu utama memiliki dua daun pintu dengan ukiran vertikal dan horizontal pada masing-masing sudut. Pada bagian atas pintu yang berfungsi sebagai ventilasi terdapat ukiran menyerupai cabai yang menyimbolkan keberanian dan semangat bagi orang Cina. Gagang pintu yang awalnya terbuat dari kayu ulin, diganti dengan bahan besi. Dari informasi Bapak Phoe Sin Kim ukuran pintu tersebut memiliki makna, dimana angka delapan menjadi angka keberuntungan sehingga pintu harus memiliki unsur delapan dalam ukurannya.

Dalam ruangan tersebut terdapat empat jendela, baik dinding kanan dan kiri yang saling berhadapan dan dilengkapi dengan jeruji berjumlah tujuh batang terbuat dari kayu berbentuk lingkaran. Fungsi penempatan jeruji pada masa itu adalah untuk menghindarkan penghuni rumah dari binatang buas yang mungkin saja dapat menyerang kapan saja. Jendela yang masih berjeruji berada di dinding kiri, sedangkan jendela tanpa jeruji berada di dinding kanan bagian belakang. Jumlah jeruji kayu pada setiap jendela adalah tujuh batang dengan kondisi yang masih terlihat kuat.

Ruang utama diberi dinding pembatas (tawing halat), untuk memisahkan antara ruang utama dan kedua yang menjadi ciri khas dari rumah Tradisional Banjar. Tawing halat memiliki dua pintu yang berbentuk segi empat dan tidak memiliki daun pintu, dengan ukiran pada bagian atas pintu menyerupai buah cabai bertangkai. Keunikan lain dari tawing halat tersebut, tidak dibuat secara permanen melainkan menggunakan teknik pasang tak bertiang. Saat ini, dinding pada tawing halat digunakan untuk meletakkan foto-foto leluhur mereka, namun fungsi awalnya sebagai tempat upacara bersembahyang dan menyimpan abu jenazah leluhur mereka yang diletakkan di atas meja beserta kue dan buah-buahan.

Dinding pembatas (tawing halat)
(Doc. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur)

Pada sebelah kanan dan kiri depan tawing halat terdapat pintu yang mengarah ke ruang tidur. Ruang tidur ini adalah ruang tambahan, dengan memanfaatkan anjung (ruang yang tidak berdinding dengan fungsi awal sebagai tempat beristirahat) kemudian diberi dinding dan pintu untuk menjadi ruang tidur.

Ruang tengah (palidangan) merupakan ruangan kedua setelah ruang utama dengan akses melalui 2 (dua) buah pintu yang berukuran tinggi 2.10 meter dan lebar 81 cm yang terletak pada kanan dan kiri dinding pembatas atau tawing halat. Ruang tersebut berdenah persegi panjang dengan 2 buah ruangan pada kanan dan kiri yang biasa disebut anjung kanan dan anjung kiwa dengan ukuran keduanya panjang 5.10 Meter dan lebar 2.68 Meter. Pada awalnya, anjung tidak memiliki dinding pembatas, hanya lantai sisi kiri dan kanan dibuat lebih tinggi dibanding lantai tengah untuk memberi tanda bahwa tempat tersebut dianggap penting karena merupakan tempat beristirahat setelah beraktivitas di pagi hari. Namun, untuk kebutuhan privasi penghuni rumah, maka anjung diberi dinding, dimana pintu masuknya berada di kanan dan kiri depan tawing halat. Ruangan dibuat sederhana tanpa ada ukiran, hanya terdapat 2 (dua) buah jendela dengan 2 (dua) daun pintu yang juga memiliki jeruji dari kayu. Dinding kanan pada anjung saat ini, telah dilapisi dengan seng dikarenakan kayu mengalami pelapukan dan rembesan air ketika hujan, sedangkan kamar sebelah kiri masih dipertahankan untuk bagian jendela namun tidak difungsikan sebagai ventilasi udara lagi, dikarenakan ruangan tersebut telah ditutup rapat karena penggunaan pendingin ruangan (AC).

Ruang selanjutnya adalah ruang keempat atau ruang dapur dengan denah yang lebih luas dibandingkan dengan ruang lainnya panjang ruangan 8.76 Meter dan lebar 8.64 Meter. Untuk masuk ke ruang dapur dapat melewati satu pintu yang menyatu dengan dinding tambahan sebelah kiri yang berbentuk persegi empat dan memiliki dua daun pintu dengan ukiran horizontal dan vertikal pada semua sisi. Terdapat pula satu jendela yang menyatu dengan dinding tambahan sebelah kanan yang awalnya difungsikan sebagai pintu menuju penjijipan. Areal yang digunakan sebagai tempat mencuci piring dan pakaian (penjijipan) berdinding kayu dan berpintu seng, dengan kondisi lantai dan dinding luar sudah mengalami pelapukan, penjamuran serta aus. Sedangkan di dapur terdapat atang atau tempat meletakkan tungku yang terbuat dari tanah berada di sebelah kanan ruang dapur, namun tidak lagi memiliki selasar tempat menyimpan kayu bakar yang biasanya dikenal dengan nama salayan. Atang berbentuk seperti meja yang lantainya di lapisi tanah liat dan dicampur dengan pasir.  Lantai ruang dapur dibuat lebih rendah dibanding teras, ruang pertama dan ruang kedua, karena peristiwa kebakaran di tahun 2001.

Selain dapur dan penjijipan, terdapat ruang tanpa dinding yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi dan barang-barang bekas yang dilengkapi dengan satu jendela. Tambahan dua pintu pada bagian belakang dan satu jendela pada tempat penyimpanan padi, sedangkan pada dinding di bagian tungku masak terdapat satu jendela yang daun jendelanya masih terlihat asli dan terbuat dari kayu ulin. Awalnya dinding dapur dibuat dari kulit kayu damar, namun karena musibah kebakaran sehingga harus diganti dengan kayu damar.

Atap berbentuk limasan dengan bahan dari sirap kayu ulin. Komponen atap terdiri dari kuda-kuda, kaso dan atap sirap. Bagian atap sebagian telah diganti dengan seng dan genteng.

Kondisi Keterawatan

Dari hasil dokumentasi yang dilaksanakan, dapat diperoleh data kondisi keterawatan rumah Ibu Tinah sebagai berikut:

  1. Kondisi lingkungan rumah tidak terawat, terlihat dari banyaknya sampah berserakan di halaman, tidak adanya penataan halaman yang teratur, tanah kosong di sekitar rumah ditanami pohon pisang, kopi, pepaya dan juga tumbuhan liar lainya. Selain itu, di bagian samping kiri rumah terdapat pondasi yang lebih tinggi sehingga ketika hujan air akan tergenang di bagian kolong rumah dan menyebabkan tanah dipenuhi lumpur dan lumut;
  2. Kondisi tangga dan dinding depan sudah mulai lapuk akibat dimakan rayap dan berjamur;
  3. Kerusakan pada daun pintu berupa jamur, retak halus, aus dan lapuk, sedangkan pada bagian gagang pintu sudah mengalami korosi;
  4. Dinding pembatas (tawing halat) mengalami lapuk, berjamur dan terlihat kusam. Demikian pula pada ukiran di bagian atas dinding terdapat jamur karena kondisinya lembab;
  5. Atap sirap sudah banyak yang lapuk dan berlubang akibat dimakan rayap, sehingga diberi tambalan seng pada atap yang rusak agar ketika hujan air tidak masuk ke dalam rumah. Kondisi rangka bangunan dipenuhi sarang laba-laba dan sangat berdebu.