Sungai adalah saksi bagaimana sejarah peradaban tercipta. Karena pertimbangan aliran sungailah, orang-orang bugis Wajo dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona hijrah dari kerajaan Gowa ke daerah kerajaan Kutai menetap sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) sebagai pemukiman baru mereka. Inilah cikal bakal kota Samarinda dan awal mula diperkenalkan nama Samarenda/Samarinda, yang pada akhirnya berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi ditetapkan sebagai hari jadi Kota Samarinda pada tanggal 21 Januari 1668 M.
Sungai Karang Mumus salah satu anak Sungai Mahakam yang membelah kota Samarinda ke arah utara. Sungai Mahakam sendiri merupakan sungai terpanjang di Indonesia, setelah sungai Barito. Anak sungai Karang Mumus merupakan sarana transportasi penting dalam menggerakkan sektor ekonomi, sosial dan budaya serta akses menuju kota-kota lainnya di Kalimantan Timur. Karena itu di sekitaran Kawasan karang mumus sarat akan peninggalan bangunan-bangunan kuno bersejarah.
Tinggalan Sejarah yang ada di Kawasan Sungai Karang Mumus
Sekitar tahun 1945 sampai 1950 disekitar Sungai Karang Mumus tepatnya di sepanjang jalan Pangeran Suriansyah dan Yos Sudarso banyak dibangun rumah-rumah kuno yang terbuat dari papan. Hal ini disebabkan karena Pada abad ke-20 Samarinda banyak didatangi etnis Tionghoa. Dalam kedatangannya, mereka bertujuan untuk berdagang dengan membuka pertokoan yang berdekatan dengan pasar, di sekitar kawasan Straat Te-eng atau yang kini dikenal Jalan Yos Sudarso, Bloem Straat atau Jalan Mulawarman, Jalan Niaga Timur eks Kompleks Pinang Barbaris serta kawasan lainnya. Kedatangan awal etnis Tionghoa ke Kalimantan Timur telah dikonfirmasi sejak masa Aji Batara Agung Dewa Sakti, namun pada abad ke-19 Hindia Belanda yang saat itu menguasai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara memberikan wilayah kepada etnis Tionghoa sebagai tempat mendirikan pemukiman di sekitaran Hilir Sungai Karang Mumus, Samarinda. Lokasi Samarinda pada kala itu menjadi pusat bandar Kerajaan Kutai. Dimana Samarinda merupakan tempat titik kumpul para pedagang dari arah Hulu Mahakam dan Hilir Mahakam. Sehingga melihat letaknya yang cukup strategis dari sisi ekonomi, Kampung Pecinan pun menjadi pusat perputaran ekonomi.
Dikawasan ini juga banyak terdapat pertokoan dan perkantoran, selain itu juga terdapat warung-warung kopi yang didirikan oleh warga cina yang biasa disebut “helan”. Pada umumnya pertokoan ini dibuat dari kayu dengan lebar berkisar antara empat sampai dengan enam meter dan pada bagian belakang dipergunakan sebagai tempat tinggal. Pada saat itu sistem rumah susun/bertingkat belum ada, setelah tahun 1960 sistem rumah susun/bertingkat mulai bermunculan dan dimulailah pembangunan pertokoan bertingkat dua.
Peninggalan bangunan bersejarah yang ditinggalkan oleh warga Tionghoa masih dapat kita jumpai hingga saat ini, diantaranya bangunan rumah ibadah (Klenteng Thien Ie Kong), bangunan rumah tinggal, bangunan took/kedai yang memiliki gaya arsitektur khas China. Meskipun kondisi saat ini sudah bercampur dengan bangunan usaha dan pertokoan, namun beberapa bangunan kuno masih terlihat menarik sesuai arsitektur bangunan aslinya.