Arsitektur Betang Tumbang Gagu (Kajian Bentuk, Fungsi dan Nilai Penting) Oleh Etha Sriputri

0
15504
 Memasyarakatkan Jingle “Kunjungi, Lindungi, Lestarikan” sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Pelestarian Cagar Budaya Oleh. Yadi Mulyadi

Arsitektur Betang Tumbang Gagu 

(Kajian Bentuk, Fungsi dan Nilai Penting)

Oleh Etha Sriputri

Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur

Abstrak

Rumah panjang (long house) merupakan salah satu arsitektur venankular atau arsitektur tradisional yang hanya ada di Kalimantan dan masih dapat dijumpai dibeberapa daerah dengan penamaan yang berbeda-beda, namun secara umum memiliki bentuk yang sama berupa rumah panggung. Rumah panjang, yang oleh masyarakat  Suku Dayak Ngaju disebut sebagai betang merupakan perwujudan dari kealifan local, bukan hanya sekedar rumah, tetapi juga memiliki makna lebih sebagai satu kesatuan yang mengikat para penghuninya dalam aturan yang berorientasi pada kepercayaan kaharingan. Pada masa lalu, pelaksanaan upacara tiwah dilaksanakan di betang, yang memerlukan berbagai fasilitas pendukung untuk pelaksanaan upacara tersebut, sehingga betang selalu berasosiasi dengan lumbung, sapundu, sandung, dan tiang pantar. Sebagai salah satu arsitektur tradisional yang masih ada, kajian nilai penting terhadap betang merupakan hal yang penting dilakukan dengan tujuan pelestarian.

Kata Kunci; Arsitektur tradisional, betang, kepercayaan kaharingan, tiwah, bentuk, fungsi dan nilai penting, pelestarian.

Pendahuluan

Latar Belakang

Arsitektur venakular atau arsitektur tradisional/rumah tradisional merupakan salah satu wujud budaya masyarakat penutur bahasa Austronesia yang menyebar di Asia Tenggara hingga ke Madagaskar. Dalam bukunya Ensiklopedi Venankular Architecture Paul Oliver mengatakan:

 “Vernacular Architecture is now a term most widely used to denote indigenous, tribal, folk, peasant, and traditional architecture”

Koentjaraningrat (1997) mendefinisikan arsitektur tradisional sebagai suatu pencerminan wujud/zaman tertentu yang mempunyai ciri khas dan asli daerah tersebut, dan sudah menyatu secaa seimbang, serasi dan selaras dengan masyarakat, adat istiadat, dan lingkungan. Berbeda dengan Djauhari Sumintardja (1978), yang mengatakan “rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Adanya beberapa perbedaan rumah tradisional di Indonesia, tetapi juga memiliki beberapa memiliki kesamaan secara general (Arya Abieta, dkk; Tanpa Tahun;60-61) yakni:

  1. Ritual kepercayaan sebagai acuan pembentukan ruang;
  2. Beradaptasi dengan alam dan iklim setempat;
  3. Memiliki bentuk atap yang dominan;
  4. Memiliki konstruksi kayu;
  5. Sebagian besar merupakan rumah panggung;
  6. Memiliki pondasi di atas tanah.

Bentuk  yang sama juga terlihat pada rumah tradisional Suku Dayak di Kalimantan yang disebut rumah panjang (long house). Penamaan lokal untuk rumah panjang  di Kalimantan berbeda-beda, yaitu  Lamin di Kalimantan Timur, Balai di Kalimantan Selatan, Radakng di Kalimantan Barat dan Betang di Kalimantan Tengah. Bagi Suku Dayak, rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi mencerminkan satu kesatuan budaya Suku Dayak yang saling terkait antara religi, sistem sosial/masyarakat, sistem pengetahuan, bahasa, sistem mata pencaharian hidup, kesenian, dan sistem peralatan hidup dan teknologi serta kearifan lokal/adaptasi terhadap alam atau lingkungan sekitar.

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih memiliki banyak  rumah betang. Sebagian daerah ini didiami Suku Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Suku Dayak Besar yang mendiami Pulau Kalimantan, dan terbagi dalam 4 suku kecil, dan ke 4 suku terbagi dalam 90 suku-suku paling kecil (Tjilk Riwut,2007;266). Pola pemukiman suku Dayak Ngaju berada di pinggir sungai-sungai besar maupun sungai-sungai kecil dan membentuk pola pemukiman linear (memanjang) mengikuti aliran sungai dari hulu hingga ke hilir. Pola ini disebabkan oleh peranan sungai sebagai   sarana komunikasi dan transportasi utama bagi penduduk sekitar. Dengan demikian, maka penempatan betang selalu berada/berorientasi di tepi sungai. Selain betang, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal beberapa bentuk rumah yang dikelompokkan dalam empat yakni:

  1. Rumah tinggal; betang, huma gantung, pasha dukuh, tingkap.
  1. Rumah ibadah: Pasha Patahu.
  2. Rumah musyawarah: Dan
  3. Rumah penyimpanan: lepau, pasah lisung, dan pasah raung.

 Pada umumnya rumah panjang berbentuk rumah panggung tapi pada beberapa daerah memiliki pembagian ruang yang berbeda-beda, seperti Radakng di Kalimantan Barat (Dayak Kanayatn) dan Lamin di Kalimantan Timur (Dayak Benuaq). Perbedaan pembagian ruang terletak  pada bagian depan rumah panjang berupa aula, sedangkan bilik-bilik berjejer di belakang aula. Pada Balai di Kalimantan Selatan (Dayak Meratus), aula ditempatkan pada bagian tengah dan bilik-bilik ditempatkan disekeliling aula (Hartatik, 2009;244). Sedangkan betang di Kalimantan (khususnya suku Dayak Ngaju di tepi Sungai Kalang) memiliki pola pembagian ruang yang berbeda, balai kandang (biasa digunakan dalam upacara adat ataupun sebagai tempat musyawarah adat) ditempatkan di pintu masuk utama atau di tengah-tengah rumah dan di samping kiri dan kanan ditempatkan bilik-bilik serta aula (tempat bersantai para penguin betang) yang memanjang berada di depan bilik-bilik. Pada bagian belakang dan samping, terdapat teras menghubungkan antara bangunan utama dan bagian dapur.

Perbedaan pembagian ruang di Betang Tumbang Gagu  berdampak pada bentuk dan fungsi arsitektur bangunan tersebut serta keterkaitan dengan benda-benda/bangunan lainnya, seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung, dan tiang pantar. Penelitian terhadap rumah panjang sudah beberapa dilakukan oleh para peneliti lainnya, seperti Hartatik dan Imam Hindarto dalam beberapa jurnal Naditira Widya[1] yang mengangkat nilai-nilai dalam rumag betang. Penulis mencoba untuk mengangkat tema yang sama terkait dengan kajian bentuk dan fungsi serta nilai penting berdasarkan undang-undang cagar budaya pada rumah tradisional Suku Dayak (Betang Tumbang Gagu) sebagai salah satu upaya dalam bidang pelestarian arsitektur venankular atau arsitektur tradisional.

Maksud dan Tujuan

Penelitian terkait dengan rumah panggung di Kalimantan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Namun kajian terhadap bentuk arsitektur (khususnya Betang Tumbang Gagu) belum pernah dilakukan, demikian juga dengan pola pembagian ruang, serta kajian terhadap nilai penting rumah panjang. Tujuan  penulisan adalah untuk memberikan gambaran terhadap rumah panjang (Kalimantan Tengah) serta sebagai salah satu upaya dalam pelestarian dengan mengkaji nilai penting berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya.

Permasalahan

Rumah panjang betang merupakan salah satu arsitektur tradisional yang berasal dari Suku Dayak yang masih dapat ditemui di beberapa daerah di Kalimantan. Pembuatan dan pendirian rumah betang yang merupakan bangunan tradisional masyarakat Suku Dayak, saat ini sudah mulai ditinggalkan. Faktor yang menyebabkan berkurangnya pembuatan dan pendirian rumah betang dimulai   pada tahun 1904 ketika Pemerintah Hindia-Belanda berusaha memusnakan rumah panjang dengan alasan rentan terhadap kebakaran dan tidak higienis.  Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah pusat  pada tahun 1970 – an dengan pencanangan program Resettlemen Penduduk (Respen) yang pada intinya menempatkan penduduk pada tempat yang layak huni (Hartatik, 2009;248). Dengan kebijakan ini, maka   sebagian masyarakat mulai memilih membangun tempat tinggal mereka secara individu, yang menyebabkan jumlah rumah betang semakin berkurang karena tidak ada lagi masyarakat yang membangun rumah betang. Sementara betang-betang yang sudah ada, semakin lama semakin rusak dan hancur. Dengan demikian, keberadaa rumah betang semakin terpinggirkan, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang hidup di hulu sungai atau di daerah pedalaman saja yang masih tetap mempertahan tradisi mereka.

Penulis mencoba mengangkat nilai-nilai budaya (bentuk dan fungsi) yang masih terlihat pada arsitektur rumah tradisional (Betang Tumbang Gagu) pada Suku Dayak Ngaju dan nilai-nilai penting berdasarkan pada Undang-Undang Cagar Budaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian rumah adat betang di Kalimantan Tengah.

Metodologi

Metodologi penelitian merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode, yang penting artinya dalam suatu penelitian tertentu.  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode observasi lapangan dengan melakukan beberapa perbandingan  dan melakukan kajian pustaka terkait dengan arsitekur tradisional dan kajian berdasarkan Undang-undang Cagar Budaya.

 Lokasi

Betang Tumbang Gagu secara administratif berada Desa Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur  dan secara astronomis berada pada 49 M 0665475 UTM  9864585. Untuk menuju betang ini dapat ditempuh dengan dua jalur, yang pertama melalui Kabupaten Katingan di daerah Tumbang Samba kemudian dari pelabuhan kapal menggunakan perahu bermotor dengan waktu tempuh 5 sampai 6 jam perjalanan kearah hulu Sungai Katingan. Perjalanan sungai ini melewati beberapa  desa dan   riam, yaitu Tumbang Samba Desa Napu Desa Sahur – Desa Batu Badinding – Riam- Desa Ranta Asem – Desa Tumbang Kalene – Riam Mangkikit – Desa Tumbang Marak – Desa Tumbang Hange – Desa Tumbang Parie – Riam Sangkai – Desa Tumbang Paku –Riam Tabera – Desa Buntut Leleng – Riam Leleng – Desa Puluk Leleng – Desa Rangen Surai –Desa Tumbang Hiran (Kecamatan Marikit) – Desa Tumbang Dakei – Desa Tumbang Bembon – Desa Tumbang Labaning – Desa Pendatanggaring Lama. Sesudah sampai desa terakhir, perjalanan dilanjutkan  dengan berjalan kaki sekitar ± 6 km dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Perjalanan melalui jalur kedua dapat ditempuh melewati  daerah Tumbang Hiran kemudian menyusuri Sungai Kalang hingga sampai di depan Betang Tumbang Gagu.

Hasil dan Analisis

Betang Tumbang Gagu atau juga dikenal dengan sebutan Betang Antang Kalang, dibangun selama  7 (tujuh) tahun, dimulai pada tahun 1870 dan baru ditempati pada tahun 1878. Pada awalnya, betang ini ditempati  oleh 6 (enam) kepala keluarga  yang mendirikan bangunan tersebut, yakni (1) Boruk Dawut (2) Pangkong Iding Dandu (3) Singa Jaya Antang Kalang (4) Manis Bin Lambang Dandu (5) Rais Bin Lambang Dandu (6) Bunter dan Karamu.

Foto 1 Perbandingan Betang Tumbang Gagu pada lalu (Dok.Pak Dodi) dan sekarang, nampak banyak yang berubah, bahkan kerangking/jorong/tokau/lepau (lumbung padi) hanya tersisa tiangnya saja (Dok. BPCB Kalimantan Timur, 2016)

Salah satu pendiri betang yakni Singa Jaya Antang berasal dari daerah Sungai Kahayan di kampung Bukit Rawi, cucu dari Tamanggung Rawi. Singa Jaya Antang merupakan tokoh masyarakat Dayak  Tumbang Gagu yang ikut terlibat dalam perjanjian rapat damai yang disebut sebagai Perjanjian Tumbang Anoi[2]. Rapat dilaksanakan pada tanggal 22 Mei s/d 24 juli 1894 di Tumbang Anoi[3]  dan melibatkan hampir semua Suku Dayak yang berada di pulau Kalimantan, termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam. Tujuan diadakan rapat ini adalah untuk menyelesaikan konflik di antara mereka, yang salah satu hasil kesepakatan rapat  tersebut adalah pelarangan tradisi ngayau. Perjanjian Tumbang Anoi merupakan salah satu peristiwa penting dan bersejarah serta masih tersimpan dalam ingatan kolekstif  masyarakat Dayak di wilayah  Kalimantan.

Betang Tumbang Gagu
Lanscape Betang Tumbang Gagu (Dok. BPCB Kalimantan Timur, 2016)

Betang Tumbang Gagu terletak di tepi Sungai Kalang dengan luas   lahan 1.880 m2,    berupa rumah panggung berbentuk persegi empat panjang dengan ukuran panjang bangunan 58,7 m, lebar 26,40 m, dan tinggi 15,68 m dari permukaan tanah. Pada bagian depan terdapat selasar yang memanjang dari tepi Sungai Kalang hingga ke betang dengan ukuran panjang 50,5 m dan lebar 160 m. Tiang – tiang penyangga betang terdiri atas tiang jihi dan tungket dengan jumlah keseluruhan sebanyak 256 tiang dengan ukuran yang bervariasi. Pada bagian depan rumah dan belakang rumah terdapat sebuah hejan atau tangga untuk menuju ke dalam betang, terbuat dari kayu ulin   utuh berukuran tinggi 7,10 m dengan diameter ± 35 cm dan memiliki 20 anak tangga. Pembagian ruang dalam betang terdiri atas balai kandang yang tepat berada di tengah bangunan. Di dalam balai ini terdapat 2 (dua) buah meriam yang dibeli oleh Antang Kalang, berukuran panjang masing-masing 153 dan 120 cm, diameter meriam masing-masing 20 dan 17 cm, dan ukuran lubang penyulut berdiameter 1,5 dan 0,8 cm.

Jumlah bilik dalam rumah betang ada 6 (enam) buah yangditempatkan di samping kiri dan kanan balai. Masing-masing bilik dimiliki oleh keenam pendiri betang,  dengan urutan, bilik pada bagian hulu hingga ke hilir masing-masing ditempati oleh Boruk Dawut, Pangkong Iding Dandu, Singa Jaya Antang Kalang, Manis bin Lambang Dandu, Rais bin Lambang Dandu, Bunter dan Karamu. Pada bagian depan bilik yang menghubungkan masing-masing ruang (balai kandang dan bilik-bilik)  terdapat aula  serta teras pada bagian belakang dan samping sebagai penghubung antara bangunan utama dan dapur yang dibuat terpisah dari bangunan utama. Pada sisi belakang dan samping betang, terdapat  6 (enam) dapur yang disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga yang ada pada waktu itu. Denah dapur mengikuti bangunan betang, berbentuk persegi empat panjang,  masing-masing dapur saling berdempetan. Saat ini, dapur yang masih digunakan hanya tinggal dua saja, sedangkan yang lainnya mengalami kerusakan (sudah tidak layak pakai karena kondisi bangunan yang sudah rusak parah) bahkan ada yang sudah rubuh.

Bagian atap bangunan betang menggunakan atap sirap dari kayu ulin. Berdasarkan informasi  juru pelihara (Mira Rindu), betang ini sudah dua kali mengalami perbaikan[4] atap, dengan menggunakan bahan yang sama yakni atap sirap dari kayu ulin. Pada bubungan atap terdapat ukiran burung enggang dan dawen pangintar

Rumah Betang  pada umumnya berasosiasi dengan lumbung/lepau yang berada di dekat selasar ( namun hanya tinggal tiang-tiangnya saja), sapundu, sandung, dan tiang pantar yang ditempatkan pada halaman depan. Jumlah Sapundu sebanyak 12 buah yang ditempatkan di dekat sandung atau   biasa disebut sapundu gapit. Sedangkan sapundu  yang berada di tepi Sungai Kalang disebut sapundu lepas. Sandung berada di tengah-tengah halaman depan betang dan hanya berjumlah 1 (satu ) buah. Sementara Tiang Pantar berjumlah 9 (sembilan) tiang, berada di dekat sandung. Kondisi lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, sebagian mengalami kerusakan berupa retak, patah dan pelapukan.

Bahan utama untuk pembuatan dan pendirian rumah  betang yaitu kayu ulin atau juga disebut kayu Besi (Eusideroxylon zwageri) dan kayu meranti (Shorea Dipterocarpaceae). Kayu ulin merupakan salah satu kayu yang terkenal kuat dan merupakan tanaman endemik yang hanya hidup di hutan Kalimantan dan Sumatera. Kayu ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 200 cm. Pohon ulin tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 m di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring. Pertumbuhan pohon ulin biasanya tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa. Pohon ulin juga tahan terhadap perubahan cuaca, suhu, kelembaban dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Penyebutan lain untuk kayu ulin di berbagai daerah antara lain bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera Selatan), belian, tabulin, telian, tulian dan ulin (Kalimantan) Kayu ulin tahan akan serangan rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Dengan kelebihan tersebut, maka wajar jika dikatakan kayu ulin disebut sebagai  kayu sepanjang masa dan kayu primadona. Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah dibelah.

Kayu Meranti termasuk dalam marga shorea, family dipterocarpaceae. Jumlah spesiesnya mencapai 130 jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan Kalimantan dan Sumatera. Dalam dunia perdangangan, meranti dikenal dengan berbagai jenisnya, yaitu meranti kuning, meranti merah, dan meranti putih. Pohon meranti memiliki tinggi berkisar antara 30,40 m sampai 70 meter dengan batang lurus dan bulat, bebas  cabang  dari 20 sampai 30 meter. Pohon meranti mempunyai  diameter berkisar 50, 100, hingga 450 cm dan   memiliki daya tahan yang relatif baik, struktur yang agak kasar, kepadatan kayu rata-rata 630 kg/ m3, mengandung pigmen yang larut dalam air. Pada umumnya pohon meranti mengalami masa berbunga dan berbuah 4 – 7 tahun sekali dan termasuk jenis kayu yang keras dengan bobot rendah, sedang, hingga berat.

 Kajian Bentuk

Kajian bentuk terhadap Betang Tumbang Gagu lebih ditekankan pada struktur bangunan, termasuk proses pembuatan dan pendirian bangunan yang dimulai dari bagian bawah, tengah hingga pada bagian atas bangunan. Kajian ini juga mencakup  kajian terhadap lumbung, sapundu, sandung, dan tiang pantar yang merupakan satu kesatuan pada betang, disertai beberapa upacara terkait dengan kepercayaan kaharinga. Berikut penjabarannya:

Bagian bawah

  • J I H I

Jihi merupakan istilah lokal untuk menyebut  tiang yang berukuran besar yang tembus hingga ke bagian tengah bangunan (morplat) dan biasanya dipasang pada setiap sudut serta pada bagian panjang rumah/bangunan. Jihi  inilah yang menentukan kekuatan pondasi bangunan, sehingga bahan yang digunakan haus berkualitas tinggi, seperti kayu ulin/tabalien yang sudah tua. Dengan beban yang cukup tinggi, maka kayu yang dipilih juga harus berukuran besar dan  disesuaikan dengan besar/luasan bangunan. Untuk mendukung kekuatan jihi dan beban yang disandangnya, maka jihi ditanam  dan ditancapkan ke tanah dengan kedalaman ± 1,7 – 2 m, sedangkan sisa yang keatas panjangnya harus mencakup sampai bagian tengah bangunan. Ukuran jihi bervariasi antara 3,6 s.d 5,8 m dengan diameter 40 – 60 cm. Di dalam kepercayaan masyarakat lokal,  biasanya dalam satu rumah betang terdapat jihi yang dianggap sakral, begitupun rumah Betang Tumbang Gagu, jihi ini berada di tengah bangunan yang tembus ke atas balai kandang, dengan tinggi 3,89 m dan berdiameter 60 cm. Masyarakat setempat mempercayai bahwa jihi tersebut mempunyai kekuatan penolak bala dan dapat dijadikan sebagai obat untuk berbagai penyakit. Dengan kepercayaan tersebut, banyak warga yang kemudian mengambil serpihan jihi untuk dijadikan sebagai obata maupun penolak bala.

  • T U N G K ET

Tungket merupakan istilah lokal untuk menyebut  batang kayu yang lebih kecil dari jihi dan berfungsi untuk membantu jihi sebagai pondasi atau penguat bagian bawah, terutama menguat bagian lantai.  tungket dipasang dibagian tengah berada diantara jihi. Satu bangunan memerlukan banyak tungket, tungket juga tidak kalah penting kalau dibandingkan dengan jihi, sehingga dalam pemilihan kayu tungket digunakan kayu berkualitas tinggi seperti kayu besi/ kayu ulin. Ukuran tinggi tungket antara 3,66 – 4.93 m dan berdiameter 15 – 47cm.

  • B A H A T

Bahat  terbuat dari kayu ulin yang sudah dibentuk menyerupai bentuk balok kayu   dan ditempatkan di antara jihi dan  tungket.

  • G A H A N G A N / G E L A G A R

Gahangan dipasang di atas bahat yang berfungsi sebagai penahan langsung dari lantai, sehingga pemasangan gahangan/gelagar lebih rapat dari pemasangan bahat.

  • L A S E H

Laseh atau lantai rumah, terbuat dari beberapa jenis bahan kayu, antara lain kayu ulin, kayu kahui, kayu lanan, kayu meranti, kayu karuing dan lain-lainnya dan dipasang cukup rapat. dalam pembuatan laseh pada betang ini masih menggunakan alat sederhana, hal itu terlihat dari adanya bekas-bekas pengerjaan yang….. pada laseh. (sederhana gimana??? )

Proses pembuatan dan pendirian bangunan.

Cara atau teknik pembuatan komponen rumah relatif sama, baik pembuatan jihi, tungket, gahagan, bahat, dan laseh. Bahan kayu yang digunakan untuk jihi dan tungket , bukan kayu yang masih hidup tetapi yang sudah rubuh/mati, sehingga yang tersisa hanya bagian keras (teras) saja. Bagian teras yang begitu besar dibelah dengan  alat yang disebut baji yang terbuat dari kayu tabalien, dengan panjang ± 30 – 40 cm, dan besarnya seukuran pergelangan tangan. Pada salah satu ujung kayu   tersebut ditajamkan, kemudian ditancapkan pada ujung kayu yang akan dibelah, dan selanjutnya dipukul dengan keras- keras sampai  terbelah. Satu pohon kayu yang besar bisa mencapai 4 atau 8 biji jihi atau beberapa biji bahan lainnya. Proses selanjutnya adalah manarah, yaitu membersihkan atau mengolah bahan mentah tersebut sampai menjadi bahan setengah jadi, dengan alat yang disebut dengan beliung. Pengolahan selanjutnya yaitu membentuk kayu seperti yang diinginkan dan memperhalusnya. Bahan setengah jadi tersebut kemudian dibawa ke desa untuk dilakukan proses pengolahan selanjutnya.

Sesudah bahan untuk pembuatan bagian bawah bangunan terkumpul, maka selanjutnya menentukan hari yang baik untuk mendirikan bangunan. Pelaksanaan pendirian bangunan biasanya dilaksanakan pada dini hari, sekitar pukul 04.00, diiringi dengan upacara kecil yang disebut marasih petak.[5] Proses pendirian bangunan diawali dengan menggali tanah untuk meletakkan jihi dan tungket, yang disesuaikan dengan  kebutuhannya. Tiang pertama yang didirikan adalah jihi, yang ditempatkan pada sudut – sudut bangunan (menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju ada istilah jihi bakas (tertua/sulung) dan ada jihi busu (bungsu). Pendirian jihi dilakukan dengan mendahulukan jihi bakas dan diakhiri dengan  jihi busu. Setelah semua jihi terpasang, dilanjutkan dengan pendirian tungket  pada lubang yang sudah tersedia. Jumlah tungket yang diperlukan dalam satu bangunan ditentukan dari luas bangunan tersebut. Bentuk jihi pada umumnya bulat karena terbuat dari satu batang kayu utuh, dan pada bagian tengah jihi diberi lubang sekitar 10 – 15 cm. Pembuatan lobang ini dimaksudkan untuk tempat meletakkan bahat.

Setelah jihi dan tungket terpasang, maka proses selanjutnya adalah pemasangan bahat. Sesuai kepercayaan mayarakat, bahat  tidak boleh bersambung, yang bermakna bahwa rejeki yang menempati rumah tidak terputus-putus, melainkan selalu berkecukupan. pemasangan bahat  ditempatkan di atas tungket, sedangkan pada baris timur-barat dan utara-selatan, ujungnya menancap pada lubang yang terdapat pada bagian tengah jihi. Setelah bahat terpasang, maka di atas bahat tersebut dipasangkan gahangan (gelagar), yang dipasang dalam bentuk melintang, dengan jarak antara gahangan   sekitar 40 – 50 cm. Langkah selanjutnya adalah    pemasangan komponen rumah bagian atas, sedangkan pemasangan lantai dilakukan kalau bagian atas dan atap sudah selesai. (Willem,1981/1982:95-104)

Bagian tengah

  • G U N T U N G

Guntung atau tiang dinding, merupakan tiang yang dipasang berdiri di setiap sisi rumah, yang menghubungkan antara bahat di setiap sisi. Di samping fungsi guntung sebagai penentu kuatnya konstruksi bagian tengah juga berfungsi sebagai tempat menempelnya dinding. Ujung guntung bagian atas dibuat pangguti (pen) yaitu diperkecil sehingga bisa dimasukkan ke dalam lubang yang terdapat pada handaran, sedangkan ujung bagian bawah dibuat tiat yaitu dibelah separuh kira-kira 5 – 10 cm.

  • H A B A N T A N G  D I N D I N G

Habantang dinding dipasang sekeliling bangunan rumah, sejajar dan berhimpitan dengan dinding. Jumlah garis habatang dinding tergantung dari tinggi rumah bagian tengah, yang biasanya terdiri atas tiga baris habantang dinding untuk setiap bangunan/rumah.

  • D I N D I N G

Untuk pembuatan dinding bangunan/rumah dipergunakan kayu yang keras yaitu tabalien atau kahui. Dalam pembuatan dinding dilakukan dengan cara  dibelah dengan beliung. Untuk meletakkan dinding pada guntung atau jihi dinding maka digunakan pasak kayu, yang sebelumnya perlu dilubangi terlebih dahulu untuk memasukkan pasak tersebut  dengan lebar hingga 2 jengkal.

Proses pembuatan dan pendirian bagian tengah bangunan

Sebelum mendirikan bagian tengah bangunan, bahan –bahan yang disebutkan di atas sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Langkah pertama yang dilakukan yaitu pendirian guntung yang bertumpu  pada handaran.  teknik pemasangannya sudah diukur dan diatur lebih dulu, yaitu dengan membuat lubang  (sloop) sehingga sesuai dengan keperluan banyaknya guntung. Demikian juga dengan handaran yang dibuatkan lubang menghadap ke bawah. Jumlah dan jaraknya  tergantung dengan jumlah guntung. Pada kedua ujung guntung  dibuat pangguti, dengan panjang kurang lebih 5 – 10 cm. Setelah semua proses selesai, maka langkah selanjutna adalah memasang pada tempatnya masing-masing. Setelah pemasangan guntung, dalam arti sudah dianggap kuat lengkap dengan pasak, maka proses selanjutnya pemasangan habantang dinding. Pemasangan dinding dilakukan  setelah bagian atas termasuk atap selesai dikerjakan (Willem, 1981/1982;104-108).

Bagian Atas

  • H A N D A R A N (morplat)

Handaran berfungsi sebagai tumpuan ujung kasau bagian  bawah, yang sekaligus berfungsi  sebagai penahan kekuatan bangunan bagian atas. Handaran sebelah bawah diberi lubang kira-kira berjarak 1 m, yang berfungsi sebagai tempat menempelnya ujung guntung bagian atas yang sudah diberi pangguti.

  • B A P A H A N (balok tarik)

Bapahan merupakan istilah untuk balok tarik pada struktur kuda-kuda pada bangunan atap rumah. Teknik  pemasangannya dilakukan secara berdiri atau melintang pada sisi lebar rumah, dengan kedua ujung bapahan  ditempel/ dilekatkan pada setiap ujung tiang dinding bagian atas yang sudah dibuat pangguti. Jumlah bapahan untuk satu bangunan tergantung banyaknya jihi.

  • T U L A N G B A B U N G A N (tulang bubungan)

Tulang babungan merupakan komponen bangunan bagian atas yang cukup penting, oleh karena itu biasanya mengggunakan kayu tabalien (kayu besi). Jumlah tulang babungan sama dengan banyaknya bapahan, karena posisi tulang babungan persis di atas bapahan dan guntung.

  • T U L A N G U L E T (tatean balawau)

Tulang ulet merupakan sebutan untuk  kayu yang dipasang memanjang di atas tulang babungan  mengikuti panjang rumahdan dipasang sebelah menyebelah. Fungsi tulang ulet  untuk memperkuat atau menahan kasau supaya tidak lentur.

  • K A S A U D A N    R E N G

Kasau dipasang berjejer menurut/mengikut panjangnya rumah/bangunan, kira-kira 1 m dari ujung kasau bagian bawah ditempel pada handaran, dan ujung kasau bagian atas pada kayu warung (hok), kedua ujung kasau bagian atas sebelah menyebelah dipasang tidak simetris melainkan silang, pemasangan demikian sangat dipengaruhi kepercayaan orang dayak, sekarang pemasangan tidak seperti dulu, melainkan kedua ujung kasau diatas harus simetris. Setelah pemasangan kasau, baru dipasang reng untuk keperluan pemasangan atap, reng terbuat dari kayu yang kuat, tapi mudah dibelah biasanya dari kayu rimpuang, kasau biasanya dari kayu tamehas.

  • T U L A N G R A W U N G (nok)

Tulang rawung (nok) terbuat dari kayu kuat dan ukurannya agak besar, sama besarnya dengan handaran dan tatean balawau, pemasangannya membujur dari ujung ke ujung rumah dan selalu pada ujung tulang ulet (tiang kuda-kuda) atau ujung kaki kuda-kuda atas (Willem, 1981/1982;109-113).

Asosiasi dengan benda lainnya

  • Lumbung/Lepau

Lumbung atau lepau merupakn tempat penyimpanan padi, pada masa lalu jumlah lepau pada Betang Tumbang gagu sebanyak 2 (lihat foto 1), tetapi kini hanya tersisa bekas tiangnya saja dan tidak lagi dimanfaatkan seperti sebelumnya. Lepau mempunyai ukuran panjang 359 cm, lebar 178 cm dan tinggi 150 cm.

  • Sapundu

Sapundu yang ada di Betang Tumbang Gagu berjumlah 12 buah dengan ukuran yang beragam. Pendirian sapundu mempunyai aturan sendiri berdasarkan kepercayaan kaharingan, sapundu ada dua macam yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit yakni sapundu yang diletakkan didekat sandung biasanya tidak lebih dari tujuh buah, sapundu gapit biasanya melambangkan pekerjaan, kesenangan atau keahlian si mati dan berkaian erat dengan kerbau yang dikurbankan. Dan yang kedua sapundu lepas, yang diletakkan tidak berdekatan dengan sandung (Bambang, Sugiayanto,2000;59), sapundu ini diletakkan di tepi Sungai Kalang. Pada sapundu gapit maupun sapundu lepas terlihat adanya motif hias berupa tetat atau motif tangga terbalik. Kondisi sapundu yang masih utuh hanya beberapa saja, sedangkan sapundu lainnya dalam keadaan rusak. Bentuk pahatan manusia pada sapundu bermacam- macam, seperti pahat seorang wanita yang sedang membawah bejana air, seorang pria yang digambarkan sedang duduk dan seorang pria yang berdiri tegap sambil memenang pisau, serta adapula digambarkan dengan sikap tangan yang disilangkan ke dadanya. Ukuran tinggi sapundu bervariasi antara 3,40 -3,18 m dan berdiameter 49- 28 cm.

  • Sandung

Sandung berada di halaman depan betang, ditempatkan diatas satu tiang dengan tinggi 4,10 m dan berdiameter 45 cm, sedangkan pada bagian atasnya berbentuk rumah kecil yang sudah dicat warna hijau. Hanya ditemukan 1 buah sandung, pada sandung terdapat motif hias tangga terbalik atau tetat dan motif tumpal atau gigi belalang pada bagian dinding sandung. Kondisi sandung masih dalam kondisi baik.

 

  • Tiang Pantar

Tiang pantar diletakkan tidak jauh dari sandung, jumlah tiang pantar sebanyak 7 yang berukuran tinggi antara 7,8 – 6,60 m dan berdiameter 45 – 31 cm. Tiang pantar yang dibuat dari kayu ulin utuh dan terdapat motif hias berupa tetat, dan bagian atas dibentuk menyerupai lingkaran atau bentuk kepala burung enggang. Kondisi tiang pantar beberapa dalam keadaan baik, namun ada juga tiang yang sudah rubuh dan patah.

Kajian Fungsi

Kajian fungsi terhadap betang tumbang gagu memuat tentang makna penempatan betang dan pembagian fungsi ruang, serta makna ukiran baik pada betang, maupun pada sapundu, sandung, tiang pantar serta upacara-upacara yang dilakukan dibalik pendirian betang yang dikaitkan dengan kepercayaan kaharingan.

Pendirian betang tidak lepas dari kepecayaan yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju, terdapat beberapa upacara yang dilakukan sebelum betang didirikan, yang dibagi dalam tiga tahap yakni pada saat sebelum betang didirikan, pada saat betang didirikan dan upacara saat betang selesai didirikan, berikut penjabarannya:

Upacara sebelum betang didirikan

Upacara ini diawali dengan mengambilan bahan baku di hutan atau biasa disebut baramu, ada dua jenis upacara yang dilakukan yakni

  • Manawursahut, atau bernazar agar mereka terhindar dari malapetaka atau kecelakaan seperti terluka oleh senjata tajam, tertimpa kayu atau digigit binatang buas, tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada pitik (binatang kecil seperti bajing) agar menjaga mereka selama di hutan. Upacara ini dilakukan sebelum masuk ke hutan.
  • Marasih petak, pengertian marasih petak ialah memeriksan atau membersihkan tanah atau perwatasan, mengukurnya serta membuat patok-patokan diatas tanah dimana bangunan akan didirikan, pada saat itu biasanya dilakukan upacara kecil yang disebut marasih petak tujuan dilaksanakannya upacaraini adalah semacam permohonan kepada mahluk halus atau penjaga daerah tempat bangunan akan didirikan agar pindah ketempat lain, sehingga baik pada saat permulaan pendirian sampai selesai mendirikan bangunan bahkan sampai mereka menghuni rumah tersebut (Willem,1981/1982;121).

Upacara pada saat mendirikan betang

Pada saat mendirikan bangunan, dilakukan upacara mampendeng. Mampendeng artinya mulai mendirikan bangunan yang dimulai dengan pendirian jihi bakas hingga jihi busu. Menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju, bahwa ketentraman penghuni betang, lebih banyak ditentukan oleh cara/pekerjaan pada waktu memulai membangun/mendirikan betang yang disebut mampendeng, yang tujuannya agar menghuni betang selalu hidup tentram, aman, berkecukupan, murah rejeki dan lain-lainnya. Waktu pelaksanaannya sesaat sebelum mendirikan jihi, setelah jihi terakhir berdiri, maka disiapkan beberapa bahan seperti pahera paneweng, lakar rinjing ijr badare hapan uei anak, daren dawen enyuh ije inyewut/kambar sanggar, bindang bapetuk, edan sawang nyahu, tewu nyaru dan temu bulau. Bahan-bahan tersebut diikat pada jihit, dengan tujuan agar segala roh jahat tidak mendahului menghuni memasuki betang.

Upacara setelah betang selesai didirikan

Lumpat Huma merupakan upacara yang dilakukan setelah betang selesai dibangun dan siap untuk dihuni. Upacara ini disebut lumpat huma karena upacara ini dilakukan pada waktu pertama kali memasuki betang, dengan tujuan agar selalu mendapat perlindungan dari Tuhan mendapat rejeki melimpah, aman tentram, dijauhkan dari segala macam bahaya.

Penempatan betang, bentuk bangunan dan pembagian ruang didalamnya tentu tidak dilakukan secara sembarangan termasuk makan ukiran yang terdapat di betang, namun  juga mempertimbangkan fungsi dan makna yang terkait erat dengan kepercayaan mereka, begitu pula dengan penempatan lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, penempatan betang ditepi sungai merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat dayak, bahkan bisa dikatakan betang berorietasi dengan sungai, begitu pula dengan Betang Tumbang Gagu yang berada ditepi Sungai Kalang, selain hal tersebut juga dikarenakan sungai dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi dan transportasi yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar disamping itu kondisi geografis Kalimantan yang didominasi sungai-sungai besar mengharuskan masyarkat beradaptasi dengan lingkungannya. Betang yang merupakan rumah panggung, dengan tiang-tiang yang tinggi hingga mencapai 5,79 m dari permukaan tanah, dimaksudkan agar terhindar dari serang binatang buas dan serangan dari suku lain, karena pada waktu itu tradisi ngayau[6] masih dilakukan oleh suku dayak (sebelum adanya perjanjian Tumbang Anoi).

Pembagian ruang di  dalam betang juga sangat terkait dengan kepercayaan serta sistem sosial/masyarakat, seperti Balai Kandang, penempatan balai yang berada ditengah-tengah bangunan berfungsi sebagai ruang tempat pelaksanaan upacara seperti tiwah, tempat pertemuan/musyawarah adat, perkawinan, pengobatan, kelahiran dan upacara lainnya, serta adanya jihi yang dianggap sakral juga terletak pada ruang ini. Penempatan bilik-bilik di samping kiri dan kanan balai kandang difungsikan sebagai ruang pribadi oleh masing-masing pendiri. Sedangkan penempatan bilik yang dibentuk berjejer (dari hulu ke hilir) juga menandakan status sosial seseorang. Sebagai contoh, penempatan bilik yang berada di tengah biasanya diperuntukkan bagi kepala adat atau pihak memiliki status sosial tinggi. Teras yang berada di depan balai kandang dan yang berada di belakang, biasa digunakan sebagai tempat menerima tamu dan juga difungsikan menjemur padi atau hasil ladang, serta sebagai penghubung antar ruang utama dengan dapur (Hartatik, 2013;50). Aula yang berada di depan bilik biasanya difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi para penghuni betang. Ukiran pada betang hanya ditemukan pada bagian atap atau bubungan, berupa ukiran burung enggang atau tingang, menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju. Burung enggang atau tingang menggambarkan dunia atas, dan juga dianggap sebagai penangkal petir. Ukiran juga terlihat pada pinggiran sisi atap yakni dawen pangintar, yang dimaksudkan agar segala sifat-sifat iri, dengki, guna-guna dan lain-lain dari orang lain dapat dihindari atau dihalau.

Beberapa rumah panjang yang ada di Kalimantan seperti Lamin Mancong, Lamin Tolan di Kalimantan Timur, Randakng di Kalimantan Barat  memperlihatkan asosiasi dengan benda-benda/bangunan lainnya seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar. Hal ini juga terlihat pada Betang Tumbang Gagu, dengan menempatkan Lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar  di halaman depan betang. Pendirian sapundu, sandung dan tiang pantar saling terkait antara satu dengan lainnya dan biasanya terkait dengan pelaksanaan tiwah[7] (upacara kematian). Dalam tradisi penganut kaharingan, kubur ditempatkan di halaman rumah dengan maksud agar keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus (Hartatik,2009:247).

Lumbung/lepau difungsikan sebagai tempat menyimpan padi, walaupun kini lepau sudah tidak digunakan seperti sebelumnya. Dengan adanya lumbung ini mengindikasikan bahwa penghuni betang ini dulunya bercocok tanam/berladang dengan sistem tadah hujan. Sementara pendirian sapundu mempunyai aturan-aturan sendiri, biasanya dalam pendirian sapundu mensyaratkan pengurbanan 1 (satu) ekor ayam. Sapundu difungsikan sebagai tiang pengikat binatang kurban pada saat upacara tiwah,  yang terdiri dari dua jenis sapundu, yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit  ditempatkan di dekat sandung yang berfungsi sebagai tanda penguburan (lambang orang yang mendirikan sanding) sekaligus orang yang pertama  di-tiwah-kan. Jumah sapundu menunjukkan berapa banyak jumlah orang yang di-tiwah-kan, serta penggambaran tokoh manusia  dianggap sebagai personifikasi si mati yang terkait dengan pekerjaan, kesenangan atau keahlian orang yang dikuburkan. Sedangkan sapundu lepas difungsikan sebagai tanda kebesaran atau penolak bala, yang juga erat kaitannya dengan jenis kerbau yang dikurbankan. Apabila Sapundu laki-laki, maka jenis kerbau yang dikurbankan adalah kerbau betina, begitupun sebaliknya (Hartatik,2000;58-60).

Pada Sapundu juga ditemukan adanya motif tetah/tangga terbalik  dalam jumlah tertentu, yang menunjukkan banyaknya kepala yang dipenggal oleh keluarga si mati. Kegiatan mengayau dilakukan untuk memberi kekuatan semangat jiwa kepada roh. Motif ini juga ditemukan pada sandung dan tiang pantar. Sanduang difungsikan sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah di-tiwah-kan. Selain motif tetah, juga ditemukan adanya motif tumpal di dinding sandung dan motif naga pada bagian atasnya. Simbol naga merupakan simbol dunia bawah dan sebagai petunjuk jalan bagi roh menuju ke lewu tatau. Tiang pantar merupakan tiang yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau.

 Kajian Nilai Penting

Kajian terhadap nilai penting dilakukan berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam Undang – Undang Cagar Budaya pada Pasal 1 angka 1 berbunyi:

“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”

Dalam penentuan Cagar Budaya, disebutkan bahwa Cagar Budaya harus memenuhi Kriteria   sebagai Cagar Budaya, sebagaimana disebutkan dalam Bab II dalam pasal 5 :

“Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

  1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
  2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 ([lima puluh) tahun;
  3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
  4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa

Data BPS Kalimantan Tengah tahun 2015 menyebutkan bahwa terdapat setidaknya 51 betang yang tersebar di wilayah Kalimantan Tengah, yang salah satunya adalah Betang Tumbang Gagu. Betang ini  merupakan salah satu bangunan yang layak untuk diusulkan sebagai  Bangunan Cagar Budaya, karena telah memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas dengan uraian sebagai berikut:  

Pembahasan

Betang merupakan perwujudan dari kepercayaan kaharingan, baik dalam proses pencarian bahan, pendirian hingga penempatan betang. Pada masa lalu, betang   juga berperan sebagai ikatan pemersatu dalam memelihara semangat kekeluargaan, memperkokoh nilai-nilai adat yang bersumber pada kepercayaan yang disebut kaharingan. Tidak mengherankan di beberapa tempat, betang selalu berasosisasi dengan lumbung, sapundu, sandung, dan tiang pantar sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Penempatan sapundu, sandung dan tiang pantar di sekitar betang mempunyai makna agar keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus. Kearifan lokal yang tertanam dalam Suku Dayak juga terwujud pada pemilihan bahan yang bersumber dari alam yang disertai dengan upacara-upacara kecil dalam pelaksanaannya.  Penempatan betang yang berada di tepi sungai, menunjukkan adaptasi terhadap kondisi geografis Kalimantan yang terkenal dengan pulau seribu sungai.

Kajian nilai penting terhadap betang berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, merupakan langkah awal dalam pelestarian, mengingat semakin terkikisnya nilai-nilai yang terkandung pada betang di beberapa generasi yang ada saat ini. Pelestarian juga menjadi bagian dari menumbuhkan kembali arti betang dan menjadikan betang tidak hanya sebagai sebuah simbol dari budaya tetapi memberikan makna lebih sebagai wujud budaya yang telah terlahir sejak masa lalu dan dapat menimbulkan kesadaran terhadap generasi muda untuk tetap melestarikannya.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Kepercayaan kaharingan bukan hanya sekedar kepercayaan, tetapi juga sangat mempengaruhi dan terkait dengan sistem sosial/masyarakat, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa, sistem teknologi, mata pencarian hidup atau sistem ekonomi, yang kemudian menjadikan sebagai satu kebudayaan. Hal itu tercermin dari bangunan rumah betang, yang menggambakan secara keseluruhan dari kebudayaan tersebut.  Rumah betang merupakan media untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan; kearifan lokal yang tercermin dari pemilihan bahan dan penempatan betang di tepi sungai;  pandangan hidup tentang alam atas dan alam bawah. Dari sistem sosial/kemasyarakat, tercermin dari penempatan bilik-bilik sebagai satu kesatuan dalam sistem kekerabatan; sistem pengetahuan yang cermin pada pemilihan kualitas bahan bangunan yang dapat bertahan hingga ratusan tahun; bahasa yang tercermin dalam tradisi tutur berupa mantra-mantra ataupun hukum adat, mengingat suku dayak tidak mengenal tradisi tulis atau aksara; sistem mata pencarian yang tercermin adanya lumbung sebagai tempat menyimpan hasil padi, mereka berladang dengan sistem tada hujan. Seni tercermin dari ukiran pada bubungan atap betang dan pada sapundu, sandung dan tiang sanggaran dengan pemaknaan ukiran yang bersumber dari kepercayaan mereka; sistem peralatan hidup tercermin dari teknologi dalam pembuatan betang yang masih menggunakan alat yang sederhana, yang masih menggunakan sistem pasak (tanpa menggunakan paku), namun mampu berdiri hingga ratusan tahun.

Bentuk dan fungsi arsitektur Betang Tumbang Gagu serta benda-benda yang berasosiasi dengan betang, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan kaharingan atau religi. Sebagai salah satu dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan, religi memegang peranan yang cukup penting dalam pembentuk suatu kebudayaan di samping unsur kebudayaan  lainnya.

Saran

Sebagai salah satu wujud budaya Suku Dayak, maka perlu  segera dilakukan  penetapan cagar budaya terhadap Bangunan Betang Tumbang Gagu, agar memiliki ketetapan hukum yang tetap sebagai langkah awal kegiatan pelestarian. Untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan studi konservasi terhadap betang tumbang gagu, mengingat kondisi betang mengalami beberapa kerusakan dan pelapukan, sehingga perlu penangan serius.

Daftar Pustaka

Abieta, Arya dkk. Tanpa Tahun. Pengatar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial. Jakarta: Pusat Dokumentasi Arsitektur.

BPS. 2015. Kalimantan Tengah Dalam Angka 2015. Palangka Raya; BPS Provinsi Kalimantan Tengah.

Hartatik. 2007. Penguburan Masyarakat Dayak dan Toraja Dalam Perbandingan. Bulletin Arkeologi Nanditira Widya Vol. 1 No. April 2007. Banjarmasin; Balai Arkeologi Banjarmasin

……….. 2009 Rumah Panjang dan Perubahan Fungsinya; Kajian Sosial Pada Masyarakat

Dayak di Kabupaten Kutai Barat. Bulletin Arkeologi Nanditira Widaya Vol. 3 No.2. Oktober 2009. Banjarmasin; Balai Arkeologi Banjarmasin.

Hindarti, Imam. 2008. Rumah Panjang sebuah Wantah Integrasi Masyarakat Suku Dayak Kalimantan. Bulletin Arkeologi Nanditira Widya Vol.2 No.1 April 2008. Banjarmasin; Balai Arkeologi Banjarmasin.

Riwut, Tjilik. 2007. Kalimantan Membangun Alam Dan Kebudayaan. Yogjakarta;

-Publishing.

Sugianto, Bambang. 2000. Arti dan Fungsi Sapundu Bagi Masyarakat Desa Tanah Putih, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Bulletin Arkeologi Nanditira Widya No.05/2000.Banjarmasin; Balai Arkeologi Banjarmasin.

Willem. F.UDA, 1981/1988. Arsitektur Tradisional Di Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

Palangka Raya; Proyek IDKD (Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah) Provinsi Kalimantan Tengah.

[1]Lihat Hartatik dalam Bulletin Arkeologi Naditya Widya Vol 2 No.1 tahun 2008, Naditya Widya Vol.  3 No.2 tahun 2009, Naditya Widya Vol. 7 No. 1 tahun 2013. Hartatik dan Imam Hindarto yang merupakan peneliti muda di Balai Arkeologi Banjarmasin, beberapa tulisan beliau dimulat dalam bulletin Naditya Widya yang memang konsen terhadap rumah panjang/long houses di Kalimantan.

[2]Perjanjian Damai Tumbang Anoi dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pemimpin adat Suku Dayak serta keterlibatan pemerintah Belanda. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan berbagai kasus peperangan dan pembunuhan (ngayau) serta perkara-perkara lainnya yang sering terjadi di masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan adat, serta menghindari timbulnya sengketa-sengketa baru yang melibatkan masyarakat di masing-masing wilayah.Tumbang Anoi merupakan nama tempat di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah. Perjanjian Damai Tumbang Anoi dilaksanakan di bawah pimpinan Damang Datu. Pada saat mengikuti perjanjian Tumbang Anoi, Antang Kalang kemudian diberi gelar Singa Jaya Antang.

[3] Perbaikan pertama kali dilakukan pada Dinas Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1992-1993 (penggantian arap), dan pada tahun 2004 oleh Dinas Kotawaringin Timur (perbaikan pada dinding betang).

[4]Pengertian marasih petak ialah memeriksan atau membersihkan tanah atau perwatasan, mengukurnya serta membuat patok-patok di atas tanah tempat bangunan akan didirikan. Pada saat itu biasanya dilakukan upacara kecil yang disebut marasih petak yang bertujuan  untuk  permohonan kepada mahluk halus atau penjaga daerah tempat bangunan akan didirikan agar pindah ke tempat lain, mulai pada saat pendirian bahkan sampai mereka menghuni rumah tersebut (willem,1981/1982;121).

[5]Tiwah adalah upacara kematian yang dilaksanakan berdasarkan kepercayaan kaharingan, dibeberapa tempat dikenal dengan istilah lain sepertu ijambr (Dayak lawangan di Kabupaten Barito selatan), marabia (Dayak Maanyan di kabupaten Barito Timur, dan Tabalong) dan kwangkai (Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kutai Barat) (Hartatik,2007;62).