You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, (3) Ikonografi Klasik di Indonesia

Dewa Dewi Masa Klasik, (3) Ikonografi Klasik di Indonesia

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Secara etimologi,  ikonografi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani εικονeikon (ikon) dan  γραφεινgraphain (tulisan). Dengan demikian ikonografi berarti tulisan atau deskripsi tentang ikon.  Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa ikon adalah  tokoh, gambar, perwujudan, atau tanda yang diketahui secara umum dan mempunyai makna tertentu. Pengertian ikon pun hingga kini masih dipakai secara luas, termasuk dalam komputer grafis. Ikon dalam komputer grafis digunakan untuk menyebut simbol berupa gambar visual yang mewakili perintah tertentu yang dipilih oleh pengguna komputer. Dalam ikonografi klasik, pengertian ikon digunakan untuk menyebut  arca-arca yang dihasilkan dalam kurun Indonesia Kuna atau yang dilatari oleh pengaruh seni India. Di India sendiri arca adalah bera, yaitu perwujudan dari dewa.

Dari pengertian secara etimologis sebagaimana disebutkan di atas, dapatlah kiranya dikemukakan bahwa fokus kajian ikonografi adalah deskripsi dewa yang diarcakan. Akan tetapi, dalam prakteknya kajian yang dilakukan tidak hanya deskripsi saja, melainkan juga identifikasi dan interpretasi arca, termasuk simbol-simbol yang terkandung dalam arca tersebut.  Terdapat kelompok ahli yang membedakan  ikonografi  dari ikonologi berdasarkan kedalaman kajiannya. Menurut kelompok ini, ikonografi hanya melakukan deskripsi dan identifikasi tokoh yang digambarkan, sedangkan interpretasi tokoh dan simbol-simbol yang ada padanya hingga signifikansi keberadaannya dalam konteks sejarah menjadi wilayah studi ikonologi. Tak kalah pentingnya dari dua kajian yang telah disebutkan adalah ikonometri, yang mengkaji arca dari dimensi ukurannya. Dalam ikonometri, ukuran arca ditetapkan dengan sistem talamana, yang merupakan pedoman pengarcaan tokoh dari segi proporsi berdasarkan tala-nya. Tala adalah ukuran relatif yang menggunakan pedoman wajah atau telapak tangan tokoh yang diarcakan.

Sebagai cabang dari kajian Sejarah Kesenian. pada awalnya ikonografi hanya mengkaji ikon-ikon Zaman Byzantium dan Kristen Ortodoks. Namun dalam perkembangannya hingga sekarang, kajian ikonografi menjangkau ikon-ikon yang berasal dari berbagai dimensi temporal dan spasial, termasuk  arca-arca yang berasal dari India.

Di India, ikon digunakan untuk merepresentasikan wujud dewa (arca).  Dewa-   देव (‘d̪ev.ə/) -adalah terminologi dalam Bahasa Sanskreta untuk menyebut semua penghuni kahyangan atau mahluk suprahuman yang termasuk di dalam golongan sura.  Para dewa tersebut dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa dan menguasai berbagai elemen alam semesta.  Karenanya, dewa pada umumnya digambarkan dengan ciri tidak seperti makhluk pada umumnya, misalnya bertangan lebih dari dua atau memiliki mata ketiga.  Latar keberadaannya pun demikian, hadir melalui peristiwa-peristiwa luar biasa yang tidak mungkin dialami makhluk biasa. Durga Mahisasuramarddhini misalnya, adalah contoh dewi berwujud manusia (perempuan) cantik, tetapi bertangan delapan atau sepuluh.  Masing-masing tangannya membawa senjata. Dapatlah kiranya dibayangkan bagaimana wujud perempuan cantik apabila digambarkan seperti Durga. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa seni arca India, pada awalnya tidak didudukkan sebagai karya seni oleh para ahli sejarah seni barat, karena dianggap  mengerikan.

Mitlologinya menyebutkan bahwa Durga tidak dilahirkan sebagaimana perempuan cantik pada umumnya, melainkan diciptakan dalam sekejap oleh para dewa, yang pada waktu itu kewalahan menghadapi asura Mahisa yang mengamuk dan memporakporandakan kahyangan. Tak seorang dewa pun mampu mengalahkan Mahisa. Karenanya para dewa pun sepakat untuk menciptakan tokoh dewi berwujud manusia cantik yang memiliki kesaktian seluruh kesaktian para dewa. Senjata di tangan Durga adalah senjata para dewa yang menciptakan Durga, yang dipinjamkan kepada Durga agar dapat mengalahkan Mahisa. Benarlah Durga akhirnya dapat mengalahkan Mahisa, sehingga ia mendapat gelar Mahisasuramarddhini.

Seni arca India menggambarkan dewa dalam berbagai wujud, wujud manusia (antropomorfik), binatang (zoomorfik), tokoh dengan ciri manusia dan binatang (teriomorfik), dan bahkan an-iconic. Contoh penggambaran dewa dalam wujud an-iconic adalah lingga-yoni, yang merupakan simbol bersatunya Siwa dan sakti-nya. Juga telapak kaki  yang merepresentasikan Sang Buddha.

Dalam bentuk antropomorfik, ikon dapat berjenis laki-laki atau perempuan,  tetapi dapat juga androgini, yaitu ikon setengah laki-laki setengah perempuan. Contoh ikon yang digambarkan androgini adalah Ardhanari(swari), merupakan penggambaran Siwa dan sakti-nya dalam satu individu, sehingga Siwa digambarkan separuh kirinya perempuan.

Penggambaran dewa diamati melalui berbagai ciri, yaitu laksana, mudra, asana, abharana, tokoh penyerta, dan warna. Laksana adalah atribut ikon yang menjadi penanda identitas tokoh, dapat berupa benda-benda yang dibawa atau dipegang olehnya. Dari atribut inilah tokoh yang digambarkan dapat diidentifikasikan jati dirinya.  Mudra adalah gesture atau sikap tangan, sementara asana adalah sikap kaki yang ditunjukkan ketika ikon duduk, berdiri, dan bahkan ketika tiduran (sayana). Baik mudra maupun asana, keduanya pun merupakan penanda identitas tokoh yang digambarkan. Abharana adalah pakaian dan perhiasan yang dikenakan ikon. Abharana yang melekat pada ikon dapat dikategorikan sebagai laksana, apabila abharana yang dimaksud mempunyai peran sebagai penanda identitas tokoh, Sebaliknya, apabila abharana tersebut tidak menjadi penanda identitas, maka abharana yang dimaksud hanya menjadi kelengkapan busana atau perhiasan  tokoh yang bersangkutan. Pakaian Siwa dari kulit harimau yang disebut ajina adalah contoh abharana yang termasuk laksana,

Kadang-kadang, penggambaran dewa disertai pula dengan tokoh penyerta. Tokoh penyerta yang digambarkan bersama dengan dewa dapat menjadi penentu identitas dewa yang bersangkutan. Apabila ditemukan ikon dewa yang menunggang burung Garuda, dapat dengan mudah diidentifikasikan sebagai Wisnu, karena Garuda adalah wahana Wisnu.  Contoh tokoh penyerta yang lain adalah  mahisa dan raksasa kecil yang muncul dari kepala mahisa dalam ikon Durga Mahisasuramarddhini.

Meskipun tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi warna memegang peranan penting, karena merupakan simbol dewa. Setiap dewa, baik dewa-dewa dalam Agama Hindu maupun Buddha, masing-masing memiliki simbol warna sendiri-sendiri. Keberadaan warna sering digunakan untuk mewakili keberadaan dewa dalam ritual keagamaan. Bahkan dalam Agama Buddha, warna juga digunakan untuk mewakili ajaran yang ingin disampaikan.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah