Kliping koran ini berjudul “Usaha Pelestarian Umumnya Disebabkan Khawatir Lenyapnya Warisan Budaya“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Suara Pembaharuan terbitan tanggal 29 september 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.
Yogyakarta, 29 September
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, setiap usaha pelestarian umumnya disebabkan oleh kekhawatiran akan berangsur lenyapnya warisan budaya yang memiliki nilai luhur atau sejarah.
Pelestarian, kata Sri Sultan dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan GPBH Poeger, ketika membuka Simposium dan Lokakarya Internasional ke-5 Kerja Sama Asia dan Pasifik Barat Bidang Konservasi Kota, Sabtu (28/9) di UGM Yogyakarta, menyinggung nilai-nilai dasar patriotisme dan kebanggan masa lalu. Pengembangan nilai-nilai itu, di masa kini dapat dijadikan monumen hidup, tempat generai penerus mengaca diri dan membina hari depan.
“Bila pelestarian ditiadakan, maka akan hilanglah pula identitas atau jatidiri bangsa yang menjadi kebanggaan itu,” tambahnya.
Dalam bagian lain sambutannya, Sri Sultan HB-X mengatakan, dalam kaitan konservaasi kota, kendati sekarang kita sedang giat-giatnya membangun yang baru, namun tetap disadari, bahwa tidak harus seluruh bagian kota lama diganti atau disesuaikan. “Ada bagian-bagian tertentu yang justru perlu dipertahankan dan dilestarikan,” katanya menekankan.
Masalah Kota
Sementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto ketika tampil sebagai salah satu pembicara utama (keynote speaker) antara lain mengatakan, dalam kenyataannya setiap kota harus menghadapi masalah-masalah yang sulit dipilih antara modernisasi kota dan perawatan serta pelestarian situs (peninggalan) bersejarah.
Dalam beberapa kasus, bangunan-bangunan dan lingkungan bersejarah atau segi yang menarik dari asitektur dari beberapa bagian kota menghilang, oleh kelalaian dan kerusakan, atau penghancuran yang sengaja hingga mengubah karakter spesifik atau khas suatu pusat kota dan menggantinya dengan konstruksi modern yang berkesan monoton dan kurang pantas. Masalah kritis yang dihadapi saat ini berkaitan dengan pemeliharaan, kata Wiyogo yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Warisan Budaya Indonesia, adalah bagaimana membuat warisan budaya/sejarah di pusat kota tetap “hidup”, dan memainkan peranan dalam proses percepatan pertumbuhan kota
“Pelestarian mungkin merupakan jawabannya,” kata Wiyogo lagi. Pelestarian, dalam kenyataannya harus menjadi suatu kontrol dan bahkan membimbing pembangunan dan perkembangan baru di pusat kota. Di mana konstruksi bangunan-bangunan baru menyatu dengan harmonis dengan bangunan kuno dalam pola tata kota.
Sebuah program pelestarian yang berhasil, harus mampu menstabilisasikan perkembangan modem dari suatu kota. Dan pada saat yang bersamaan, sekaligus merehabilitasi bangunan kuno dan bersejarah serta lingkungannya.
Penghargaan Budaya
Sementara itu, dalam acara simposium yang berlangsung sampai I Oktober 1996, juga diserahkan penghargaan warisan budaya Yogyakarta HeritageTrustAward, untuk bangunan-bangunan kuno yang berusia lebih dari 50 tahun atau bangunan baru yang didesain dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya. Gaya bangunannya bisa berupa gaya “kebudayaan tinggi” (high-culture), gaya kolonial atau gaya Jawa.
Bangunan-bangunan yang mendapat penghargaan itu adalah Hotel Phoenix Heritage, Yogyakarta. Bangunan yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman kota itu, awalnya adalah rumah pribadi yang dibangun tahun 1918.
Gedung BNI 46 Yogyakarta di Jalan . Ahmad Dahlan juga memperoleh penghargaan serupa. Bangunan itu awalnya adalah kantor sebuah lembaga perdagangan di zaman Hindia Belanda. Tiga bangunan lainnya yang mendapat penghargaan sama adalah rumah Keluarga Sardjono, rumah Keluarga Suyatin, dan rumah Atmo Sudigdo.
Simposium kali ini merupakan simposium internasional ke-5 dari Asia and West Pacific Network for Urban Conservation (AWPNUC) dan diikuti oleh para peserta dari Malaysia, Singapura, Australia, Taiwan, Hong Kong, Inggris, Jepang, dan nian rumah Indonesia.
Selain bersimposium, para peserta juga akan mengunjungi sejumlah bangunan bersejarah di Yogyakarta. Serta mengadakan kunjungan dan berdialog dengan penduduk di Desa Ratmakan serta Pasar Beringhaijo. Peserta juga akan melanjutkan diskusi di beberapa bangunan kuno di Kotagede.