Semangat Bahari Bangsa Indonesia Terkenal Sejak Zaman Sriwijaya

0
5921
BPCB Jambi

Kliping koran ini berjudul “Semangat Bahari Bangsa Indonesia Terkenal Sejak Zaman Sriwijaya“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Suara Pembaharuan terbitan tanggal 22 Februari 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB Jambi

SURABAYA- Sejak dahulu In­donesia sudah terkenal sebagai negara maritim. Lagu Nenek Mo­yangku Orang Peluat, mengisah­kan tentang keberanian pelaut In­donesia. Lagu yang memberikan rasa bangga terhadap potensi serta kejayaan bangsa di masa lalu.

Hanya tiga puluh persen wilayah Nusantara yang terdiri dari gugusan pulau yang terben­tang dari Pulau Sumatra sampai Pulau irian, merupakan wilayah daratan. Sisa-nya adalah lautan.

Sebagai bukti, bahwa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai ne­gara bahari, bisa dilihat pada re­lief di Candi Borobudur. Di situ akan tampak relief perahu sebagai pertanda bahwa di masa ke­kuasaan raja-raja masih Mataram Kuno, lautan sudah tak asing lagi.

Bahkan dugaan keandalan orang-orang Indonesia di masa si­lam sebagai pelaut, sudah sejak zaman prasejarah. Antara lain dengan ditemukannya nekara pe­runggu di berbagai tempat.

Candi Borobudur yang meru­pakan peninggalan spektakuler masa lampau di Jateng, memper­lihatkan berbagai bentuk kapal. Paling tidak di zaman Majapahit, dapat diidentifikasi tiga bentuk kapal. Perahu yang sederhana di­sebut perahu lesung atau dug out. Kemudian, perahu lesung yang dipertinggi dan diberi cadik, serta perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik.

Alat angkut air itu juga bebera­pa di antaranya diketahui terdapat di Candi Penataran di Jatim, teru­tama dibagian teras. Candi Pe­nataran merupakan candi tertua yang masih dapat disaksikan, karena, dibuat sebelum Raja Hayam Wuruk naik tahta.

Pada relief candi tergambar se­buah kapal yang sedang berlabuh. Sayang sekali, relief tersebut tidak begitu jelas. Namun terlihat secara samar-samar dan di bagian kemudi terdapat hiasan berbentuk kambing.

Di dalam kitab Negara Kertagama, disebut-sebut tentang ang­katan laut yang mampu melin­dungi ataupun membinasakan daerah bawahan. Tetapi bentuk- bentuk kapal tidak digambarkan. Bahkan di Candi Penataran, tidak dilukiskan secara jelas pada re­liefnya.

Armada Laut

Munculnya kekuatan maritim di tanah air dimulai ketika Ke­rajaan Sriwijaya berkuasa di Su­matra pada abad VII. Banyak prasasti yang menunjukkan ten­tang kehebatan angkatan laut Sri­wijaya. Misalnya saja, prasasti Kota Kapur (686 M), serta Ke­dukan Bukit (682 M). Disamping itu, prasasti Kerang Berahi, Te­laga Batu, Palas Pasemah (tanpa angka tahun) serta Talang Tuo (684 M).

Keperkasaan di laut dilanjut­kan oleh kerajaan besar berikut­nya, yakni Majapahit, yang dirin­tis oleh Raden Wijaya tahun 1293. Saat Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk, kerajaan mencapai puncak kejayaannya.

Ketika itu terkenal Mahapatih Gajah Mada yang bersumpah Amukri Palapa, menyatukan Nu­santara (kecuali Kerajaan Pajajaran di Jabar). Bahkan sampai keluar negeri seperti Barune (Brunei Darussalam), Kelantan, Tumasik, Pahang.

Dengan wilayah kekuasaan yang amat luas, maka untuk me­lindungi dan menjaga kesatuan wilayah, diperlukan armada laut yang tangguh dan kuat. Armada yang sekaligus membangkitkan roda perekonomian di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gre­sik dan Surabaya.

Drs Slamet Winardi dalam tu­lisannya Perdagangan pada Masa Majapahit pada buku Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit, sangat menyayangkan data-data atau bentuk kapal atau perahu pa­da masa Majapahit, tidak banyak ditemukan lagi.

Padahal, untuk perdagangan

dan pelayaran serta angkatan laut yang maju di masa lalu, tentu ada berbagai bentuk kapal, perahu dan sampan. Sarana yang merupakan alat transportasi di sungai dan laut

Di dalam karya sastra “Negara Kertagama pupuh XVBI/5, di­gambarkan tentang kebesarkn ten­tara angkatan laut Kerajaan Ma­japahit, karena kemampuannya memberikan perlindungan kepada kerajaan kecil wilayah bawahan­nya. Tetapi wilayah bawahan akan dihancurkan jika membang­kang. (Slamet Moelyana 1979:281).

Peroalannya sekarang, bagai­manakah bentuk perahu-perahu pada masa Kerajaan Majapahit dahulu? Bagaimanakah bentuk perahu yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mem­perlancar perniagaan, atau kapal- kapal perang untuk tugas-tugas militer?

Sebagian ahli perahu kuno, se­perti Van Der Heide menilai, den­gan melihat jumlah tiang yang a- da, maka terdapat lima model ka­pal, antara lain perahu tanpa tiang, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan dua kaki, pe­rahu bertiang tunggal dengan ca­dik, serta perahu bertiang ganda dengan cadik.

Keberanian pelaut-pelaut dan pembuatan perahu yang dirintis Majapahit, masih terasa sampai sekarang. Misalnya, masih ak­tifnya pembuat perahu-perahu tradisional asal Madura, Bugis dan Makasar. Perahu mereka ter­sohor sampai sekarang, malahan mampu bersaing dengan kapal- kapal buatan pabrik.

Pinisi

Museum Maritim Australia per­nah mengutus misi untuk mencari informasi tentang perahu asli Ma­dura. Sebab, nelayan Madura asal Kabupaten Sumenep pernah ter­dampar sampai di Australia, bah­kan di Fiji.

Beberapa tahun lalu, perahu tra­disional Phinisi Nusantara terke­nal di banyak negara karena ke­mampuan berlayar di lautan luas. Dengan nakhoda Michael Kerr, perahu pinisi tahun 1991 menca­pai Madagaskar. Bahkan tahun 1992,   dibuat sebuah pinisi yang mengikuti model perahu pada re­lief di Candi Borobudur dan diberi nama “Damar Segara”.

Pinisi dengan komandan Yamamoto asal Jepang itu, men­coba pelayaran keliling Laut Pa­sifik. Sayang, ekspedisi keliling Pasifik itu, hanya berakhir di Jepang.

Ketika kapal layar latih “Juan Sebastian De Elcano” milik Ang­katan Laut Spanyol berkunjung ke Indonesia pada April tahun 1992 lalu, disambut oleh kapal layar latih Dewa Ruci milik TNI AL. Kapal itu melakukan pelayaran napak tilas, mengulangi pelayaran bersejarah yang pernah dilakukan oleh para pelaut dari negara Ma­tador itu, di masa lampau.

Kapal layar latih dengan empat tiang utama, memasuki Indonesia melalui Ternate menuju Pulau Tidore, Maluku pada 31 Maret

Kemudian menuju pela-buhan Tanjungperak Surabaya dan Pelabuhan Tanjungpriok Jakarta.

– Pembaruan/Edi Soetedjo