Untuk melihat hubungan/relasi antara Cerita rakyat atau legenda Si Pahit Lidah dengan tinggalan megalitik diperlukan sebuah proses penelitian dan kajian menyeluruh yang didukung oleh data – data etnografi yang kuat. Proses dasar tersebut diharapkan dapat mengungkap dan mengidentifikasi makna-makna yang tersembunyi didalam kisah cerita yang disampaikan, diperbandingkan dengan realita budaya yang ada dalam masyarakat pendukung legenda tersebut. Oposisi yang muncul dapat membantu memetakan relasi dari unsur-unsur yang ada.
Relasi dan keterkaitan antara cerita rakyat Si Pahit Lidah dan Tinggalan Megalitik, dinilai masyarakat Pasemah sebagai fenomena yang sama dan saling berkaitan. Pandangan dan persepsi masyakarat yang berada di Lahat dan daerah sekitarnya, sangat menyakini bahwa megalitik yang tersebar di daerah lahat dan juga Pagar Alam merupakan wujud dari kesaktian Serunting Sakti yang dapat dengan mudahnya mengutuk setiap benda atau mahluk yang disumpahnya berubah menjadi batu. Secara ilmiah fenomena ini tentunya tidak bisa diterima begitu saja tanpa didasari hipotesa dan analisa yang jelas.
Secara logika dan ilmiah, “akal sehat” memang sulit menerima cerita rakyat yang dikategorikan dongeng atau mitos, dan bahkan dianggap sebagai hiburan pengantar tidur, dijadikan dasar yang mendukung sebuah analisa untuk menjawab proses kemunculan tinggalan megalitik di Bumi Pasemah. Saat ini ada tiga saluran yang digunakan sebagai media pewarisan dan penyebaran kisah legenda Si Pahit Lidah. Pertama adalah cerita Si Pahit Lidah yang disampaikan melalui tutur secara lisan. Kedua, cerita Si Pahit Lidah telah disampaikan melalui tulisan dan buku kumpulan cerita rakyat. Media ketiga yang digunakan dalam mempopulerkan cerita Si Pahit Lidah adalah melalui postingan pada laman / blog di internet.
Kronologi yang disampaikan dalam cerita mengambarkan bahwa kemunculan batu-batu besar yang memiliki profil yang menampilkan manusia, hewan dan benda. Pada dasarnya muncul akibat ucapan Serunting Sakti yang menyumpahi manusia, hewan dan benda. Dalam alur cerita Si Pahit Lidah, seperti dalam cerita Si Pahit Lidah versi 1 (Serunting dan Aria Tebing). Peristiwa yang memperlihatkan kisah kesaktian sumpah Serunting Sakti adalah saat pertama kali mengunakan kesaktiannya yang bertujuan untuk menguji kesaktian yang dimilikinya dengan cara menyumpahi hamparan pohon tebu sehingga berubah menjadi batu[1]. Selain peristiwa ini, tidak ada lagi disampaikan dalam cerita tentang peristiwa lainnya yang mengisahkan proses Serunting Sakti mengucapkan sumpah pada sebuah benda/mahluk dan berubah menjadi batu.
Peristiwa lain yang menunjukan adanya cerita yang menjelaskan tentang kesaktian dari ucapan kata-kata Serunting Sakti. Pada cerita versi 1, terungkap pada peristiwa Serunting Sakti merubah daerah yang awalnya gersang dan tandus berubah menjadi hutan belantara yang kemudian sangat memberi manfaat bagi masyarakat yang ada disekitar hutan tersebut (bukit serut) dan membantu pasangan suami istri yang tidak memiliki keturunan. Serunting Sakti membantu mereka mempunyai anak yang berasal dari rambut mereka. Pada versi cerita ini tidak ditemukan kisah yang menceritakan serunting sakti mengucapkan sumpah terhadap manusia, hewan dan benda hingga berubah menjadi batu. Kecuali, saat pertama kali menguji kesaktian dengan menyumpahi hamparan pohon tebu menjadi batu.
Pada cerita Si Pahit Lidah versi 2 (Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat). Dalam alur cerita versi kedua ini tidak ditemukan kisah yang mengambarkan kronologi dan peristiwa yang menceritakan proses yang menjelaskan terjadinya batu-batu besar, baik yang menampilkan profil manusia, hewan dan benda. Pada cerita Si Pahit Lidah versi 2, alur cerita lebih banyak memberikan gambaran tentang peristiwa perkelahian Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Kesaktian Si Pahit Lidah disampaikan justru saat Si Pahit Lidah telah meninggal dunia setelah kalah dalam pertarungan dengan Si Mata Empat. Peristiwa ini menceritakan tentang rasa penasaran Si Mata Empat terhadap lidah Si Pahit Lidah yang diduga menyimpan kekuatan atau ilmu kesaktian yang dimiliki Si Pahit Lidah. Akibatnya Si Mata Empat pun meninggal akibat mengecap lidahnya Si Pahit Lidah.
[1]Berdasarkan data yang dimiliki BPCB Jambi, belum ada data tinggalan megalitik dengan bentuk dan profil seperti yang digambarkan dalam alur cerita Si Pahit Lidah ini. Yaitu megalitik yang mengambarkan hamparan pohon tebu yang berada dipinggiran di tepi danau (http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/287-si-pahit-lidah#)