Kliping koran ini berjudul “Bejana dan Sejarahnya“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Suara Pembaharuan terbitan tanggal 12 April 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.
SEPANJANG sejarah, bejana, guci, jambangan atau apa pun namanya, berjasa membantu pekerjaan kita, dan melakukan peran penting dalam kehidupan manusia. Sulit untuk mencari dengan tepat kapan manusia menciptakan bejana. Namun keramik, tanah liat yang dibakar dan sejenisnya, telah dapat ditemukan sekitar 7 ribu tahun SM.
Pembuatan gerabah dengan alat pemutar yang menggunakan kaki telah digunakan 3 abad SM, sementara yang dilakukan dengan tangan bahkan telah ada lama sebelumnya. Eropa Tengah, Utara maupun Cina telah lama dikenal sebagai penghasil seni gerabah. Jaman dulu, Prancis bahkan memiliki sejumlah besar pusat pembuatan gerabah.
Gerabah untuk keperluan sehari-hari telah menjadi seni kerajinan rakyat. Bila perajin gerabah terbiasa berpindah tempat, maka keluarganya tetap tinggal di suatu tempat. Para perajin yang pada umumnya petani, menularkan kemampuan kepada anak-anak dan selanjutnya mewariskan lokasi pembuatan gerabah yang mereka miliki.
Desa Gerabah
Selama abad ke-19, sementara pembuatan keramik dan porselin secara cepat berkembang menjadi industri, gerabah tetap merupakan kerajinan rumahan. Hingga tahun 1850, pusat-pusat pembuatan gerabah tetap menjalankan kegiatan. Selama periode itu pula para perajin mulai mencari jenis tanah liat terbaik dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Setelah dibiarkan selama beberapa waktu di udara terbuka, tanah liat mulai digarap, kemudian dibentuk dengan alat pemutar kaki, kemudian dikeringkan dalam suhu tinggi, 1150 hingga 130Q.°C/.- Hasilnya tanah liat akan mengeras, tahan air, dan tak perlu lagi ditambal dengan
T pelapis. Sebelum diberi hiasan, gerabalT berlapis email atau glasur terlebih dahulu dibakar agar menjadi semakin pekat dan tahan air, sedangkan pembakaran terakhir dilakukan dalam suhu 1000°C.
Berbeda dengan suasana persaingan saling menjatuhkan yang menjadi kecenderungan rflanusia dewasa ini, saat itu para perajin dengan suka hati bahkan menimba atau sebaliknya menyumbangkan pengetahuan dan ketrampilan mereka di desa tetangga.
Namun sejak manusia mulai menemukan berbagai jenis logam – yang terakhir aluminium – peralatan dari gerabah atau keramik semakin jarang digunakan. Lambat laun, jumlah pembuatnya pun menurun. Catatan sejarah menunjukkan, daerah Treigny di Puisaye, Prancis, yang semula memiliki tak kurang dari lima belas pusat gerabah pada awal abad ke-20, tinggal memiliki 3 pusat gerabah pada tahun 1911, dan tak tersisa lagi pada tahun 1925.
Apa sesungguhnya tujuan pembuatan bejana? Sejak semula bejana gerabah terutama dimaksudkan untuk menyimpan hasil panenan dan melindunginya dari serangan hewan pengerat. Di Auvergne, misalnya, masih dapat ditemukan bejana- bejana raksasa ‘bertelinga’ enam di seputar leher untuk menaruh tali agar dapat digantungkan di langit-langit.
Bejana Antik
Dilihat dari bentuk, detil pembuatan dan penyelesaiannya, gerabah yang digunakan untuk keperluan sehari-hari mampu memenuhi kebutuhan tertentu. Suatu kenyataan yang sangat menarik perhatian. Meski pekerjaan dilakukan secara spontan, hasilnya sempurna. Hal itu membuktikan bahwa para perajin bekeija dengan pertama-tama mengandalkan bakat, bani sesudahnya memberikan sentuhan seni. Gerabah terbesar dibuat di daerah Midi, Prancis, yang saat ini lebih dikenal dengan nama bejana Biot.