Kliping koran ini berjudul “Semangat Bahari Bangsa Indonesia Terkenal Sejak Zaman Sriwijaya“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Suara Pembaharuan terbitan tanggal 22 Februari 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.
SURABAYA- Sejak dahulu Indonesia sudah terkenal sebagai negara maritim. Lagu Nenek Moyangku Orang Peluat, mengisahkan tentang keberanian pelaut Indonesia. Lagu yang memberikan rasa bangga terhadap potensi serta kejayaan bangsa di masa lalu.
Hanya tiga puluh persen wilayah Nusantara yang terdiri dari gugusan pulau yang terbentang dari Pulau Sumatra sampai Pulau irian, merupakan wilayah daratan. Sisa-nya adalah lautan.
Sebagai bukti, bahwa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara bahari, bisa dilihat pada relief di Candi Borobudur. Di situ akan tampak relief perahu sebagai pertanda bahwa di masa kekuasaan raja-raja masih Mataram Kuno, lautan sudah tak asing lagi.
Bahkan dugaan keandalan orang-orang Indonesia di masa silam sebagai pelaut, sudah sejak zaman prasejarah. Antara lain dengan ditemukannya nekara perunggu di berbagai tempat.
Candi Borobudur yang merupakan peninggalan spektakuler masa lampau di Jateng, memperlihatkan berbagai bentuk kapal. Paling tidak di zaman Majapahit, dapat diidentifikasi tiga bentuk kapal. Perahu yang sederhana disebut perahu lesung atau dug out. Kemudian, perahu lesung yang dipertinggi dan diberi cadik, serta perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik.
Alat angkut air itu juga beberapa di antaranya diketahui terdapat di Candi Penataran di Jatim, terutama dibagian teras. Candi Penataran merupakan candi tertua yang masih dapat disaksikan, karena, dibuat sebelum Raja Hayam Wuruk naik tahta.
Pada relief candi tergambar sebuah kapal yang sedang berlabuh. Sayang sekali, relief tersebut tidak begitu jelas. Namun terlihat secara samar-samar dan di bagian kemudi terdapat hiasan berbentuk kambing.
Di dalam kitab Negara Kertagama, disebut-sebut tentang angkatan laut yang mampu melindungi ataupun membinasakan daerah bawahan. Tetapi bentuk- bentuk kapal tidak digambarkan. Bahkan di Candi Penataran, tidak dilukiskan secara jelas pada reliefnya.
Armada Laut
Munculnya kekuatan maritim di tanah air dimulai ketika Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Sumatra pada abad VII. Banyak prasasti yang menunjukkan tentang kehebatan angkatan laut Sriwijaya. Misalnya saja, prasasti Kota Kapur (686 M), serta Kedukan Bukit (682 M). Disamping itu, prasasti Kerang Berahi, Telaga Batu, Palas Pasemah (tanpa angka tahun) serta Talang Tuo (684 M).
Keperkasaan di laut dilanjutkan oleh kerajaan besar berikutnya, yakni Majapahit, yang dirintis oleh Raden Wijaya tahun 1293. Saat Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk, kerajaan mencapai puncak kejayaannya.
Ketika itu terkenal Mahapatih Gajah Mada yang bersumpah Amukri Palapa, menyatukan Nusantara (kecuali Kerajaan Pajajaran di Jabar). Bahkan sampai keluar negeri seperti Barune (Brunei Darussalam), Kelantan, Tumasik, Pahang.
Dengan wilayah kekuasaan yang amat luas, maka untuk melindungi dan menjaga kesatuan wilayah, diperlukan armada laut yang tangguh dan kuat. Armada yang sekaligus membangkitkan roda perekonomian di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gresik dan Surabaya.
Drs Slamet Winardi dalam tulisannya Perdagangan pada Masa Majapahit pada buku Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit, sangat menyayangkan data-data atau bentuk kapal atau perahu pada masa Majapahit, tidak banyak ditemukan lagi.
Padahal, untuk perdagangan
dan pelayaran serta angkatan laut yang maju di masa lalu, tentu ada berbagai bentuk kapal, perahu dan sampan. Sarana yang merupakan alat transportasi di sungai dan laut
Di dalam karya sastra “Negara Kertagama pupuh XVBI/5, digambarkan tentang kebesarkn tentara angkatan laut Kerajaan Majapahit, karena kemampuannya memberikan perlindungan kepada kerajaan kecil wilayah bawahannya. Tetapi wilayah bawahan akan dihancurkan jika membangkang. (Slamet Moelyana 1979:281).
Peroalannya sekarang, bagaimanakah bentuk perahu-perahu pada masa Kerajaan Majapahit dahulu? Bagaimanakah bentuk perahu yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk memperlancar perniagaan, atau kapal- kapal perang untuk tugas-tugas militer?
Sebagian ahli perahu kuno, seperti Van Der Heide menilai, dengan melihat jumlah tiang yang a- da, maka terdapat lima model kapal, antara lain perahu tanpa tiang, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan dua kaki, perahu bertiang tunggal dengan cadik, serta perahu bertiang ganda dengan cadik.
Keberanian pelaut-pelaut dan pembuatan perahu yang dirintis Majapahit, masih terasa sampai sekarang. Misalnya, masih aktifnya pembuat perahu-perahu tradisional asal Madura, Bugis dan Makasar. Perahu mereka tersohor sampai sekarang, malahan mampu bersaing dengan kapal- kapal buatan pabrik.
Pinisi
Museum Maritim Australia pernah mengutus misi untuk mencari informasi tentang perahu asli Madura. Sebab, nelayan Madura asal Kabupaten Sumenep pernah terdampar sampai di Australia, bahkan di Fiji.
Beberapa tahun lalu, perahu tradisional Phinisi Nusantara terkenal di banyak negara karena kemampuan berlayar di lautan luas. Dengan nakhoda Michael Kerr, perahu pinisi tahun 1991 mencapai Madagaskar. Bahkan tahun 1992, dibuat sebuah pinisi yang mengikuti model perahu pada relief di Candi Borobudur dan diberi nama “Damar Segara”.
Pinisi dengan komandan Yamamoto asal Jepang itu, mencoba pelayaran keliling Laut Pasifik. Sayang, ekspedisi keliling Pasifik itu, hanya berakhir di Jepang.
Ketika kapal layar latih “Juan Sebastian De Elcano” milik Angkatan Laut Spanyol berkunjung ke Indonesia pada April tahun 1992 lalu, disambut oleh kapal layar latih Dewa Ruci milik TNI AL. Kapal itu melakukan pelayaran napak tilas, mengulangi pelayaran bersejarah yang pernah dilakukan oleh para pelaut dari negara Matador itu, di masa lampau.
Kapal layar latih dengan empat tiang utama, memasuki Indonesia melalui Ternate menuju Pulau Tidore, Maluku pada 31 Maret
Kemudian menuju pela-buhan Tanjungperak Surabaya dan Pelabuhan Tanjungpriok Jakarta.
– Pembaruan/Edi Soetedjo