Survey Cagar Budaya di Kampung Adat Wae Rebo

0
4350
wae rebo

Kegiatan survey ini dilaksanakan pada 15 sampai dengan 21 Desember 2015 oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar bekerjasama dengan Balai Arkeologi Denpasar. Selama kegiatan ini berlangsung tim mencatat terdapat beberapa tinggalan berupa bangunan (rumah adat) dan struktur (susunan batu alam).

Wae Rebo terletak di Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terletak pada koordinat S 8º 46’ 09.9’’ dan E 120º 17’ 02,3’’ dengan ketinggian 1120 mdpl. Kondisi alam di kampung Wae Rebo sangat sejuk cenderung dingin karena terletak di tengah cekungan bukit yang dikelilingi oleh bentang alam berupa perbukitan. Perjalanan ke Wae Rebo dapat ditempuh melalui jalur darat, dari  bandar udara Komodo menuju kampung terdekat (Denge) perjalanan ditempuh selama 5-6 jam, atau melalui Ruteng dan diteruskan ke kampung terdekat yaitu Denge. Dari kampung terdekat ini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, melalui jalan setapak dan menanjak selama 3-4 jam menuju ke kampung Wae Rebo. Selama perjalanan kita akan melewati 3 buah sungai yaitu Wae Tijo, Wae Lomba dan Wae Regang. Kampung ini terletak di antara pegunungan yang masih terdapat hutan. Hutan ini merupakan hutan larangan, masyarakat tidak ada yang mengambil kayu dari hutan ini, sehingga kelestariannya sangat terjaga.

Niang (rumah) inti di kampung Wae Rebo berjumlah 7 buah, dan salah satunya merupakan rumah adat atau dalam bahasa lokal disebut Mbaru Niang atau rumah kerucut, karena bentuknya kerucut, runcing di bagian atas dengan atap ijuk yang menjuntai hingga ke tanah atau juga Mbaru Gendang karena di rumah ini disimpan gendang pusaka milik kampung yang digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. Sedangkan 6 sisanya disebut Niang Gena atau rumah gena atau rumah biasa. Penghuni Mbaru Niang berjumlah 8 kepala keluarga, perwakilan dari masing-masing keturunan. Sedangkan 5 niang gena dihuni 6-7 kepala keluarga. Dan satu niang gena yang saat ini digunakan sebagai tempat menginap bagi tamu wisatawan yang datang berkunjung di Kampung Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa kampung mereka dijaga oleh 7 buah bentangan alam yang juga disucikan. Bentang alam itu antara lain:

  1. Ulu Wae Rebo: mata air Wae Rebo
  2. Golo Ponto: Gunung Ponto
  3. Golo Mehe: Gunung Mehe
  4. Hembel: hutan (nama hutan)
  5. Golo Polo: Gunung Cadas yang mengeluarkan air.
  6. Ponto Nao: hutan (nama hutan)
  7. Ulu Regang: mata air Regang.

Bahan yang digunakan untuk membuat rumah tradisional di Wae Rebo antara lain, kayu, Bambu, dan rotan. Sedangkan atap terbuat dari ijuk dan ilalang yang ditumpuk. Lapisan ijuk dipasang di lapisan atas (luar), sedangkan ilalang di bagian bawah (dalam). Pemilihan dua bahan ini dengan cara ditumpuk ini bukan tanpa alasan, selain ringan dan kuat, untuk ilalang memiliki sifat tidak mudah terbakar atau tahan api, tetapi jika terkena air mudah lapuk. Sedangkan ijuk sifatnya mudah terbakar ketika terkena percikan bunga api, tetapi tahan terhadap air dan tidak mudah lapuk, oleh sebab itu pemasangan atap bahan ilalang ditaruh dibawah atau bagian dalam sedangkan bagian atasnya dipasang ijuk. Mbaru niang bagi masyarakat Wae Rebo merupakan simbol perlindungan dan persatuan warga. Sebagai contoh, ada ketentuan dimana di mbaru niang dihuni 8 kepala keluarga perwakilan dari jumlah total keturunan inti dari leluhur. Mbaru niang juga merupakan pusat kegiatan sosial masyarakat Wae Rebo, terutama jika menyangkut persoalan adat.

Rumah adat bagi masyrakat Wae Rebo merupakan simbolisasi seorang ibu atau melambangkan seorang ibu yang selalu mengayomi dan melindungi, dalam hal ini rumah adat melindungi dan mengayomi penghuni rumah. Beberapa bagian dari rumah adat mengandung filosofi layaknya seorang ibu antara lain:

  1. Persambungan pada konstruksi rumah melambangkan perkawinan suami dan istri yang membentuk sebuah keluarga.
  2. Rumah adat Wae Rebo memiliki 9 tiang utama melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu mengandung.
  3. Susunan 3 tiang secara berderet 3 kali (9 tiang) melambangkan 3 fase yang penting dalam perkembangan janin di dalam perut seorang ibu.
  4. Diatas tungku perapian terdapat loteng dan terdapat ruangan berbentuk segi empat dengan hiasan bulatan di setiap ujungnya yang menyerupai kepala, melambangkan sebuah persalinan secara normal harus didahului kepala. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan makanan siap saji melambangkan bahwa seorang bayi sepatutnya selalu mendapat kehangatan dan dekat dengan sumber makanan yang baik.

Bagian-bagian utama dari konstruksi rumah adat kampung Wae Rebo antara lain:

  1. Ngando: merupakan bagian rumah adat yang terletak di puncak. Untuk mbaru gendang biasanya dihiasi dengan tanduk kerbau.
  2. Kili kiang: merupakan ikatan pertemuan dari bagian buku.
  3. Wahe hekang kode: lingkaran bulat pada tingkatan rumah paling atas.
  4. Wahe lempar rae: lingkarang bulat pada tingkatan ke-4.
  5. Wahe lentar: lingkaran bulat pada tingkatan ke-3.
  6. Wahe mehe: lingkaran bulat pada tingkatan ke-2.
  7. Wahe lelea: lingkaran bulat pada lantai rumah.
  8. Wahe sengge: lilitan tali yang melengkung di atas teras rumah, ditopang oleh hiri sengge.
  9. Dorot: balok penyangga yang melintang secara horizontal di atas leba.
  10. Dorot leha: dorot yang terletak di tengah-tengah.
  11. Leba: tiga balok kayu yang ditempatkan di atas hiri (tiang).
  12. Hiri leles: tiang yang ditancapkan miring sebagai penopang wahe leles.
  13. Hiri bongkok: Merupakan tiang utama yang menjadi pusat sebuah rumah, terletak ditengah-tengah rumah.

Compang Wae Rebo

Compang Kampung Wae Rebo berbentuk berbentuk elips, berukuran diameter 7,4 m dan tinggi 1,2 m. Compang di Kampung Wae Rebo memiliki fungsi yang sama dengan compang pada umumnya di Manggarai. Sebagai pusat sarana upacara, sebelum upacara dilakukan di dalam rumah adat. Compang kampung Wae Rebo tidak digunakan sebagai kuburan, tidak terdapat jenazah yang dikubur di atas compang. Terdapat menhir berupa balok kayu yang ditancapkan ditengah. Ketinggian menhir kurang lebih 25cm. Menhir ini merupakan titik pusat dari keseluruhan wilayah kampung Wae Rebo. Selain itu menhir ini melambangkan teno, yaitu titik pusat persawahan sistem lodok (spiderweb ricefield). Di atas compang terdapat langkar yaitu altar dari bambu dengan tinggi tiang sekitar 1 meter dan di ujung atas tiang terdapat anyaman berbentuk segi empat digunakan untuk menaruh persembahan sesaji. Lakar ini digunakan pada waktu upacara kasawiyang Mei dan kasawiyang Oktober. Upacara rutin yang diadakan di compang ini ada 3 dalam satu tahun, yaitu:

  1. Penti (tahun baru): Masyarakat Wae Rebo memiliki pertanggalan lokal yang tahun barunya jatuh pada pertengahan antara bulan Oktober – November. Biasanya diadakan tarian caci.
  2. Kasawiyang bulan Mei (perubahan arah tiupan angin pada bulan mei): Pada bulan mei bertiup angin dari barat ke timur, menurut masyarakat Wae Rebo bahwa arus angin ini membawa wabah penyakit. Masyarakat Wae Rebo percaya, bahwa arus angin ini adalah merupakan perlintasan dari sang pencipta, sehingga dilakukan upacara permohonan agar terhindar dari bencana. Permohonan ditujukan kepada 7 pelindung kampung dan sang pencipta.
  3. Kasawiyang bulan Oktober (perubahan arah tiupan angin pada bulan oktober): kebalikan dari kasawiyang bulan mei, angin bertiup dari arah timur ke barat. Permohonan juga ditujukan kepada 7 pelindung kampung dan sang pencipta, sesaji yang dipersembahkan berupa: siring pinang, ayam, dan telur.

Selain ketiga upacara reguler diatas, ada juga beberapa upacara yang sewaktu-waktu diadakan di compang, yaitu: peresmian bangunan baru dan kedatangan pejabat atau tokoh penting. Sesajinya berupa sebutir telur. Jenis upacara adat yang dilakukan di compang ada dibedakan menjadi dua jenis, upacara besar dan upacara kecil atau upacara biasa. Yang membedakan besar kecilnya jenis upacara ini terletak pada jumlah yang hadir. Untuk upacara besar seperti penti, dihadiri semua keturunan masyarakat Wae Rebo, baik yang di kampung atas maupun yang di bawah di Denge dan Kombo. Kadang-kadang keturunan yang merantau juga pulang untuk mengikuti upacara ini. Sehingga peserta upacara mencapai ribuan. Sedangkan upacara kecil, sebagai contoh kasawiyang, umumnya hanya dihadiri perwakilan dari keturunan garis laki-laki.

Mata Air Wae Woang

Masyarakat Wae Rebo tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan mata air. Legenda penamaan kampung Wae Rebo pun berkaitan dengan mata air. Masyarakat Wae Rebo sangat menjaga keberlangsungan alam, salah satunya adalah mata air. Mata air sangat berguna untuk mengairi lahan perkebunan mereka, selain itu juga dalam berperan dalam setiap upacara adat. Upacara dilakukan pada saat upacara penti, karena air dianggap sebagai pemberi kehidupan dan digunakan setiap hari, serta simbol dari keturunan yang tidak pernah berhenti mengalir.

wae rebo