STUDI KONSERVASI CAGAR BUDAYA DI PURA PUSEH CANGGI DESA BATUAN KALER, KECAMATAN SUKAWATI, KABUPATEN GIANYAR

0
1825

I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, S.S

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas dan tidak terbaharui. Untuk menjaga Cagar Budaya dari ancaman, baik faktor alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan maupun ulah manusia. Maka untuk itu diperlukan dilakukan pelestarian  dalam upaya menjaga dan merawat kondisi fisik  Cagar Budaya agar tetap lestari. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya yaitu melakukan perlindungan , pengembangan dan pemanfaatan terhadap cagar budaya di wilayah kerjanya, baik berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya baik yang berada didarat maupun di air. Terkait dengan hal tersebut dilakukan kegiatan pelestarian cagar budaya berupa kegiatan Studi konservasi di Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, tepatnya di situs Pura Puseh Canggi.

Upaya pelestarian secara berkesinambungan sesuai dengan tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya, yaitu: Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan terhadap Cagar Budaya di wilayah kerjanya, baik berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya baik yang berada didarat maupun di air. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada anggaran tahun 2020 dilaksanakan Studi Konservasi di situs Pura Puseh Canggi, Desa Batuan Kaler, Kecamatan, Sukawati, Kabupaten Gianyar.

Studi Konservasi adalah sebuah kegiatan yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan konservasi. Kegiataan ini dimaksud untuk merekam kondisi keterawatan cagar budaya yang disebabkan oleh faktor alam, unsur kimia, perbuatan manusia, binatang maupun jazad renik. Sedangkan tujuannya adalah untuk merencanakan langkah pelestarian dalam bentuk konservasi, untuk menanggulangi kerusakan terhadap cagar budaya agar tidak bertambah parah.

Secara administrasi Pura Puseh Canggi termasuk dalam wilayah Dusun Canggi, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dusun Canggi terletak di suatu dataran yang terdiri atas jenis tanah liat berpasir yang mempunyai kelandaian ± 2%. Ketinggiannya sekitar 80 m diatas permukaan air laut. Pura Puseh Canggi terletak tidak jauh dari sungai Batuan (anak sungai petanu) yang ada di sebelah barat. Di Sebelah timur terletak sungai Petanu. Untuk mencapai lokasi situs dapat ditempuh dengan mudah, karena terletak tidak begitu jauh dari jalan raya Sakah-Blahbatuh ±600 meter ke arah selatan, dengan akses jalan yang dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan.Lokasi pura berada tepatnya berada di pinggir jalan desa dan berseberangan dengan sebuah lapangan dan Kantor Desa Batuan Kaler, dengan batas-batas pura yaitu:

  • Utara : Sawah subak Babakan
  • Selatan : Sawah subak Babakan dan Pura Pasek – Pura Penataran
  • Timur : Sawah subak Babakan
  • Barat : Jalan Desa

Latar Sejarah

Kata Pura berasal dari bahasa sansekerta yang berarti kota atau benteng, yaitu tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh  suci leluhur. Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada zaman Bali kuno. Pada prasasti Trunyan A1 berangka tahun 891 M disebutkan “ Sang Hyang turun-Hyang “ yang berarti tempat suci di Trunyan. Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pemujaan kepada “ Hyang Karimana, Hyang Api dan Hyang Tanda” artinya tempat suci untuk dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dari penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada zaman Bali Kuno  yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800-1343M , kata Hyang dipakai untuk menyebut tempat suci di Bali.

Kata Pura mulai digunakan untuk menyebut suatu lokasi atau tempat adalah pada saat Bali mulai dikuasai oleh dinasti Kresna Kepakisan. Pada masa itu kata pura dipakai untuk menyebut istana raja , seperti istana raja di Samprangan disebut dengan Linggarsapura, istana raja di Gelgel disebut dengan  Swecapura dan di Klungkung disebut Semarapura. Sedangkan dimulai untuk menyebut tempat pemujaan umat Hindu diperkirakan pada zaman kerajaan Klungkung. Dimana kata pura yang sebelumnya dipakai untuk menyebut nama istana mulai dipakai untuk menyebut tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan istilah puri. Jadi penggunaan kata pura untuk menyebut tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung, disamping istilah khayangan masih dipakai.

 Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Dharmapatni tahun 989-1011 M, di Bali berkembang aliran-aliran  keagamaan seperti : pasupata, bhairawa, wesmawa, boda, brahmana, rsi, sora, gunapatya, dan siwa sidantha. Adanya banyak aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering  menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat diantara aliran yang satu dengan aliran yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini  membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan  dan mengganggu kehidupan masyarakat.

Menyadari  keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Mpu Kuturan untuk mengadakan pesamuan (pertemuan) para tokoh-tokoh agama di Bali. Pesamuan para tokoh agama itu  berlangsung di Desa Bedahulu  pertemuan dari tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil  menetapkan dasar keagamaan yang disebut Trimurti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widhi yaitu:  Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa . Sebagai tempat pemujaan Dewa Tri Murti , di masing-masing desa pakraman/ adat dibangunlah Pura Khayangan Tiga yang terdiri atas: Pura Desa (Bale Agung),  Pura Puseh dan Pura Dalem.

Pada beberapa desa Pakraman/ adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabung dengan Pura Desa sehingga tampak hanya satu pura tapi sebetulnya tetap dua buah pura.  Seperti halnya Pura Puseh dan Bale Agung Dusun Canggi yang terletak dalam satu area suci. Kedua Pura dihubungkan dengan gapura kuno Canggi.

Setidaknya sumber tertulis yang menyebut eksistensi Pura Puseh Canggi, mungkin disebabkan oleh berbagai hal antara lain panjangnya perjalanan waktu, sehingga dapat dimungkinkan adanya adanya data yang hilang. Selain itu tradisi penulisan segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa termasuk keberadaan pura belum membudaya di masa lalu.  Maka dengan demikian tidak mengherankan dalam penelusuran sejarah Pura Puseh Canggi , berbagai sumber data berupa apapun, walaupun bersifat pragmatis layak dan relevan untuk dikaji.

Nama Canggi disebut dalam prasasti Serai AII tahun 915 Saka yang ditemukan di wilayah Kintamani Bangli. Dalam prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Ratu Maruhani Sri Udayana Warmadewa ini disebutkan “mpuku di kasogatan ida dicanggini dang upadayana sudar” yang berarti pendeta budha yang ada di Canggi ini bernama  Dang Upadhayana Sudhar….”   Dalam prasasti Sawan C tahun 1098 Saka juga disebut nama Canggi. Kiranya sulit untuk menghubungkan nama pura Canggi dengan  kata Canggi dalam prasasti tersebut diatas karena disamping tempatnya berjauhan, data penunjangnya belum ditemukan.

Untuk mendapatkan perkiraan umur dari pura Canggi, dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antara data arkeologis di pura puseh Canggi (khususnya gapura Canggi) dengan data arkeologi lain yang terdapat di Desa Batuan, seperti gapura Puseh Desa Batuan dan gapura pura Hyang Tiba. Di pura-pura ini ditemui adanya arca binatang nandi dan domba yang difungsikan sebagai dwarapala bangunan gapura. Diantara arca dwarapala tersebut, yang dapat dijadikan pembanding adalah arca nandi di pura Hyang Tiba yang berisi angka tahun 1258 Saka, dan pada ambang pntu masuk gapura  terdapat kronogram, bulan = 1, mata = 2, busur/panah = 5 dan gajah = 8, yang menunjukkan angka tahun 1258 Saka. Disamping angka tahun, pada kedua kaki bagian depan terdapat hiasan tengkorak, berkaitan dengan aliran Bhairawa yang pernah berkembang di Bali pada abad XIII, ketika raja Kertanegara menguasai Bali pada tahun 1268. Arca Dwarapala di Pura puseh Canggi juga menggunakan hiasan tengkorak. Berdasarkan perbandingan diatas, dapat disampaikan bahwa periodisasi warisan budaya di Pura Puseh Canggi sama dengan warisan budaya di Pura Hyang Tiba, yaitu berasal dari abad XIII- XIV Masehi.

Berdasarkan data arkeologis berupa sejumlah arca perwujudan dan beberapa arca lainnya yang menunjukkan ciri-ciri ikonografis badan kaku, mahkota berbentuk seperti susunan  kelopak bunga Padma dan sikap tangan memegang kun

cup bunga, menunjukkan kesamaan  dengan ciri-ciri arca yang tergolong  periode seni arca zaman Bali Madya abad XIII-XIV Masehi. Jadi diperkirakan arca perwujudan  di Pura Puseh Canggi berasal dari abad XIII-XIV Masehi.

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa tinggalan Cagar Budaya yang terdapat di situs Pura Puseh Canggi berasal dari masa Bali Madya abad XIII-XIV Masehi.  Tinggalan- tinggalan tersebut diantaranya:  Sebuah gapura kuno yang menghadap arah timur-barat dengan bahan padas, di depan gapura terdapat dua buah arca dwarapala berupa arca binatang berupa lembu dan nandi.  Disamping itu terdapat 155 buah benda yang dapat dikategorikan sebagai objek diduga cagar budaya, objek tersebut sekarang ini tersimpan pada sebuah bangunan pelinggih arca, benda tersebut berjenis : arca, fragmen arca, lingga, fragmen banguna dan lain-lain.

Dari 155 objek tersebut sebagian besar atau berjumlah 151 buah objek dalam kondisi kurang baik, yakni kerusakan mekanis dan biotis. Dua kerusakan tersebut didominasi oleh kerusakan oleh tumbuh kembangnya lumut di permukaan objek. Selain itu terlihat jelas terdapat dua objek yang mengalami pelapukan chemis.

Penanganan tinggalan di Pura Puseh Canggi direncanakan akan menggunakan metode pembersihan tradisional. Metode ini terbukti ampuh untuk membersihkan dan melestarikan tinggalan arkeologi tanpa memiliki resiko bagi tenaga yang mengerjakan serta lingkungan sekitar.