Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya dalam Persfektif Agama dan Budaya

0
2907

 

I Gusti Ngurah Sudiana

  1. Pengertian

Berbicara mengenai cagar budaya secara peraturan perundang-undangan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pengelolaan dalam persfektif agama dan budaya dapat dilihat dari tiga aspek yakni perhyangan, pawongan dan palemahan. Khusus benda dan bangunan cagar budaya di Bali yang paling banyak adalah bangunan pura. Fungsi pura bagi umat Hindu adalah untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai Aspek-Nya. Pembangunan dan pengelolaan cagar budaya di Bali selalu berpatokan dengan berbagai konsep; rwa bhineda, tri mandala, tri angga, tri hita karana, sad winayaka, padma bhuwana, tri premana, tri patra, catur dresta, catus pata, tri semaya dan sad kertih. Di dalam pembangunan pura biasanya disebabkan oleh adanya peninggalan benda atau tempat sakral, atau membuat simbol sakral yang berkaitan dengan rangkaian pemujaan terhadap Tuhan dan berbagai aspeknya sehingga di Pura umumnya tersimpan benda-benda yang sudah berumur ratus tuhan/berabad-abad, seperti arsitektur arca, lingga, prasasti, purana, dan sebagainya. Didalam membangun dan memelihara pura sebagai tempat pemujaan tidak terlepas dari catur dresta, adat dan budaya yang larut di dalamnya.

Pemeliharaan dan pengelolaan sebuah pura di Bali dilakukan oleh organisasi tradisional seperti Desa Adat/pekraman, banjar, tempek, pragunun, pemaksan, prasanak, prasadeg, soroh dan sejenisnya, semua organisasi itu disebut dengan pengempon pura. Pengelolaan dan pemeliharaan pura sudah dilakukan sejak berdirinya pura. Hak dan kewajiban para pengempon disebut dengan istilah konsep ayah-ayahan, amongan dan emponan. Seperti Pura Besakih di empon oleh pemaksan, pragunung, pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota melalui konsep ngayah.

  1. Struktur
Candi Bentar Pura Ponjok Batu, Buleleng

Pada umumnya pura memiliki tiga halaman atau Tri Mandala, yang masing-masing disebutkan: Jaba sisi atau Nista Mandala yaitu halaman depan; jaba tengah yaitu halaman tengah atau Madya Mandala dan Jeroan yaitu halaman dalam Utama Mandala. Namun pada pura yang sederhana hanya memiliki Jaba (halaman luar pura) dan Jeroan (halaman dalam pura). Batas pekarangan pura dikelilingi oleh tembok yang disebut “Penyengker”. Pintu masuk pura ada dua macam yaitu: candi bentar dan candi kurung atau candi gelung atau kori agung. Candi bentar adalah sebuah candi yang terbelah dua, sedangkan candi kurung atau candi gelung atau kori agung masuk sering dapat dua buah arca penjaga yang disebut arca dwarapala, baik berwujud manusia, raksasa, bintang atau yang lain.

Pembagian halaman pura atas tiga atau dua halaman itu biasanya bertingkat dari halaman terdepan yang terendah dan semakin ke dalam semakin tinggi. Hal ini memberi kesan bahwa struktur yang demikian itu adalah kelanjutan dari bentuk punden berundak-undak yaitu tempat pemujaan jaman prasejarah. Disamping juga mencerminkan adanya konsepsi berjenjang yaitu dari jenjangan yang tingkat kesuciannya lebih rendah ke jenjang yang tingkat kesuciannya lebih tinggi yang dilukiskan dengan jaba sisi, jaba tengah dan jeroan itu sendiri.

  1. Beberapa Banguna Suci di Pura

Tempat-tempat pemujaan untuk keluarga, warga desa, profesi atau umum terdiri dari beberapa bangunan utama, bangunan pelengkap dan bangunan penyempurna. Bangunan utama adalah bangunan pelinggih untuk tempat menstanakan Tuhan dalam berbagai Apek-Nya yang dipuja. Bangunan-bangunan penyempurna sebagai bangunan tambahan yang menyempurnakan, seperti candi bentar, kori agung, wantilan dan sebagainya merupakan pelengkap yang menyempurnakan. Adapun bangunan utama berupa pelinggih-pelinggih, antara lain :

  1. Padma

Bentuk bangunan padma terdiri atas bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari, bentuknya seperti kursi atau singgasana dan tidak beratap. Bentuknya yang lengkap, media dan sederhana masing-masing disebutkan: Padmasana, Padmasari dan Padmamacapah. Padmasana fungsi utamanya adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam fungsi utamanya ini pelinggih padmasana dilengkapi dengan bedawangnala yaitu seekor kura-kura besar yang dibelit oleh dua atau seekor ular naga, yang terletak di bagian kaki pelinggih. Dan bagian belakangnya diisi garuda dan angsa dalam posisi terbang. Padmacapah difungsikan utuk bermacam-macam, antara lain untuk pemujaan di karang angker dan sebagainya. Di Besakih terdapat pelinggih padmasana yang badan dan kepalanya terdiri dari tiga sedangkan kakinya atau dasarnya satu. Padma ini oleh masyarakat disebutkan padma tiga. Fungsinya adalah untuk pemujaan kepada Tuhan dalam tiga aspek (Siwa, Sadhasiwa dan Paramasiwa).

  1. Meru

Meru adalah sebuah bentuk pelinggih beratap bertingkat-tingkat yang disebut tumpeng. Tumpengnya ini semakin ke atas semakin kecil dan jumlahnya ganjil, bagian-bagiannya terdiri atas kepala, badan dan bebaturan sebagai pondasinya. Fungsi meru adalah sebagai tempat pemujaan kepala Tuhan dalam beberapa aspek-Nya dan untuk pemujaan leluhur. Macam Meru berdasarkan tumpangnya yaitu Meru Tumpang 3, 5, 7, 9, dan 11.

  1. Tugu

Bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan luas dasar sekitar 0,06 x 0,60 m, tinggi sekitar 2,00 m terdiri dari tiga bagian, kaki, badan, kepala atau tepas batur tenggek. Dari bawah mengecil kearah atas dengan hiasan-hiasan yang serasi. Bagian kepala bidang-bidang perangan membentuk ruang tempat sesajen. Bahan bangunan umumnya batu alam, yang banyak dipakai batu padas, batu karang laut, batu bata atau jenis-jenis batu lainnya sejenis atau campuran. Konstruksinya seluruh bagian dari karangan rapi dengan perekat alus. Bentuk hiasan ukiran, pepalihan atau lelengisan. Fungsi bangunan untuk pelinggih atau menstanakan Tuhan dalam aspeknya sebagai Bhuta-kala dan roh halus. Letak bangunan lainnya di bagian depan atau di depan teben kelod atau kauh. Di pekarangan ditempatkan di depan pintu pekarangan rumah atau perhyangan untuk apit lawang. Ditempatkan di sudut pekarangan kaja kauh atau sudut lainnya untuk penunggu karang. Ditempatkan di pekarangan perhyangan untuk pelinggih Sedahan Ngelurah. Di tempat angker untuk pelinggih Banas atau Banas Pati Raja.

  1. Gedong

Berbentuk serupa dengan tugu, hanya bagian kepala dibuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup atap lain yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya. Bagian badan dan kaku atau batur dan tepas, pasangan batu halus rapi tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan. Ikatan konstruksi pada bagian dalamnya. Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisi daras sekitar 1 m, tinggi bangunan sekitar 3 m. Dimansi tradisional kelipatan amusti untuk tinggi pasangan batu bebaturan dan rai untuk konstruksi kayu rangka di bagian kepala. Perbandingan bagian-bagian merupakan kelipatan ukuran dasar amusti atau rai masing-masing dengan pengurip. Fungsi bangunan gedong ada berbagai macam sesuai dengan tempatnya di pemerajan, di pura, di khyangan atau tempat-tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan-ketentuan lain menentukan atau tidak sesuai dengan fungsi gedong atau yang dipuja pada gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan dua ruangan atau gedung kembar. Gedong dengan tiga ruang atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pemerajan. Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk tempat-tempat pemujaan persinggahan atau pemujaan yang dipuja di khyangan jagat dari suatu puja tertentu.

Untuk melaksanakan upacara di pura ada seseorang atau beberapa orang yang bertugas khusus yang disebut pemangku. Pemangku ini juga dikenal sebagai Juru Sapuh di pura atau Jan Banggul yang bertugas naik turun di pura bersangkutan. Untuk menjaga kesucian pura itu maka tidak sembarangan orang boleh masuk pura. Orang cuntaka dilarang masuk pura. Dan kalau itu terjadi sesuatu yang dianggap menodai kesucian pura tersebut maka diadakan upacara untuk mengembalikan kesuciannya. Misalnya jika dimasuki pencuri dan sebagainya (Sudiana, 2003: 15).

  1. Bisama Kesucian Pura

Bhisama kesucian pura ini merupakan salah satu bentuk implementasi cagar budaya yang telah dilakukan oleh lembaga agama dan adat yang tujuannya agar pura dan yang berkaitan dengan pura dapat terjaga kelestariannya baik diwilayah perhyangan, pawongan dan palemahan. Sebagai majelis tertinggi umat Hindu Parisada sudah mengeluarkan bhisama kesucian pura pada tanggal 25 Januari 1994, tujuannya agar semua pura bisa terjaga kesuciannya. Maka bhisama itu merupakan batasan agar pura tidak tercemar kesuciannya, uraian bhisama ini menjelaskan di poin B, sebagai berikut :

  1. Agama hindu dalam kitab sucinya yaitu weda-weda yang telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, laut, pantai, danau, campuhan, dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu para dan tempat suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci.
  2. Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar dan abadi lewat tangan-tangan orang suci dan para pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Maka didirikanlah pura-pura sad kahyangan, dang kahyangan, kahyangan tiga dan lain-lainnya. Tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Untuk pura-pura sad kahyangan apeneleng agung (minimal 5 km dari pura), untuk dang kahyangan dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 km dari pura) dan untuk kahyangan tiga dan lain-lainnya dipakai ukuran apenimpug atau apenyengker.
  3. Mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan umat Hindu yang bersifat sosial keagamaan, maka kegiatan pembangunan harus mengikut sertakan umat Hindu, di sekitarnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Demi kelancaran pembangunan tersebut. Agama Hindu menjadikan umatnya menyatu dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu konsepsi tri hita karana wajib diterapkan dengan sebaik-baiknya untuk memelihara keseimbangan. Di daerah radius kesucian pura (daerah kekeraan) hanya ada boleh bangunan yang hanya terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu dharma sedharma dan lain-lainnya (PHDI Pusat, 1994: 2-3)

Makna Bhisama diharapkan Pura dibangun untuk menjadi salah satu benteng spiritual umat Hindu, media untuk berkomunikasi dengan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pura sebagai tempat suci dilindungi dengan radius kesucian pura. Jalan inilah secara moral sebagai salah satu cara untuk membatasi radius kesucian Pura agar tidak tercemar oleh hal-hal yang bersifat cuntaka. Radius ini hendaknya direalisasikan ke dalam awig desa pekraman, dilanjutkan oleh pemerintah hendaknya mengaturkan ke dalam tata ruang mulai dari tingkat kedesaan sampai provinsi Bali. Memperkuat Bhisama yang dikeluarkan berkaitan dengan kesucian pura. Parisadha pusat dalam pesamuhan agung parisada di balik papan tahun 2003 menegaskan bahwa pura tidak boleh dipergunakan selain untuk kepentingan agama Hindu. Apabila semua umat manusia menyadari bahwa hati nuraninya sebagai pura atau hredaya pura, meru hredaya sebagai tempat berstanannya Tuhan dengan segala manifestasinya, maka sifat kasih sayang inilah yang akan menetralisir sifat buruk menjadi sifat baik, permusuhan tidak akan pernah tejadi dalam hidup bersama ini. Mengapa demikian karena di dalam dirinya hanya tersemai benih kedamaian yang dapat memberikan pengaruh kebijaksanaan kepada keluarga, orang lain dan kepada alam lingkungannya (Sudiana Nusa November 2006).

  1. Contoh Pemeliharaan dan Pengelolaan Cagar Budaya di Pura Besakih

Banyak peninggalan purbakala dan norma-norma tentang pura ada termuat dalam berbagai prasasti seperti prasasti kehen, batuan, kedisan, termasuk beberapa prasasti yang memuat tentang pura Besakih :

  1. Prasasti Penataran Besakih A, berangka tahun Saka 1366 atau 1444 Masehi yang menyebutkan  “….. desa hulungan ring basuki…” (desa hulungan artinya desa yang terletak di hulu atau desa tersuci).
  2. Prasasti Penataran Basuki B, Berangka tahun Saka 1380 atau 1458 Masehi yang menyebutkan : “….desa hila-hila hing basuki…” (desa hila-hila sama artinya degan desa hulundang).
  3. Prasasti Batu Madeg, tidak berangka tahun, namun bentuk hurufnya sama dengan kedua prasasti di atas, sehingga secara paleografis dapat ditempatkan dalam kurun waktu yang sama. Ketiga prasasti itu sampai sekarang tersimpan di kompleks pura besakih. Dalam prasasti Batu Madeg terdapat sebutan :”… sang lurah mangku basukir…” yang artinya adalah seorang kepala desa yang juga bertindak sebagai pemangku, atau juga dapat diartikan kepalanya para pemangku (sulinggih yang bertugas memimpin upacara dan bertangung jawab atas sebuah pura/. Perkataan basukir berubah menjadi basukih, adalah umum dalam bahasa Bali, misalnya sekar menjadi sekah, sakar menjadi sakah, akar menjadi akah, dan lain-lainnya.
  4. Prasasti Gaduh Sakti Selat, Karangasem, berangka tahun Saka 1393 atau 1471 Masehi, menyebutkan :”… ring bhatara gunung basukir….”. demikianlah maka dari prasasti hanya dapat diperkirakan saja bahwa nama “Besakih” berasal dari sebutan tempat basuki, sebutan kuil dan juga gunung basukir (Rata, 1991 : 106).

Mengenai pemeliharaan pura sesuai dengan adat agama dan budaya sudah tertuang kesatuan tafsir dan Bhisama. Di dalam keputusan kesaruan tafsir PHDI 1980 dan pesamuhan agung PHDI di Lombok oktober 2002, secara tegas diuraikan bahwa pura adalah tempat suci yang kesuciannya harus dipelihara oleh umat Hindu secara sekala dan niskala. Mengapa pura sebagai tempat suci karena pura sebelum dibangun dan setelahnya selalu disucikan secara periodik yang tujuannya untuk menarik kekusatan suci Hyang Widhi supaya beliau mau berstana di sana dan dapat mempengaruhi spiritual umat. Sebagai majelis tertinggi umat Hindu Parisada sudah mengeluarkan Bhisama kesucian pura pada tanggal 25 Januari 1994. Tujuannya agar semua pura bisa terjaga kesuciannya. Maka Bhisama itu merupakan batasan-batasan agar pura tidak tercemar kesuciannya, uraikan Bhisama ini menjelaskan di Poin B, sebagai berikut :

  1. Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu weda-weda yang telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, laut, pantai, danau, campuhan, dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu pura dan tempat suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).
  2. Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar dan abadi lewat tangan-tangan orang suci dirikanlah pura-pura sad Kahyangan, dang kahyangan, kahyangan tiga dan lain sebagainya. Tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Untuk pura-pura Sad Kahyangan peneleng agung (minimal 5 Km dari pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 Km dari pura) dan untuk kahyangan tiga dan lain-lainnya dipakai ukuran apenimpug atau apenyengker.
  3. Mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan umat Hindu bersifat sosial keagamaan, maka kegiatan pembangunan harus mengikut sertakan umat Hindu, disekitarnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Demi kelancaran pembangunan tersebu. Agama Hindu menjadikan umatnya menyatu dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu konsepsi tri hita karana wajib diterapkan dengan sebaik-baiknya untuk memelihara keseimbangan. Didaerah radius kesucian pura (daerah kekeran) hanya ada boleh bangunan yang hanya terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu Dharma Sedharma dan lain-lain.

Melalui bhisama tersebut artinya pura dibangun untuk menjadi salah satu benteng spiritual umat Hindu untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Pura sebagai tempat suci yang dilindungi oleh radius kesucian pura, kemudian kedalam awig desa pekraman, dilanjutkan oleh pemerintah dengan mengaturnya ke dalam tata ruang kedesaan sampai provinsi Bali, radius ini telah di bhisamakan. Yang menjadi pertanyaannya, mengapa pura ini dipasarkan oleh objek wisata. Apakah pemegang keputusan tahu akibat ke depan jika pura berubah status dari tempat suci menjadi tempat wisata. Jangankan pura, banten, pratima dan simbol lainnya sebagaimana yang ditetapkan oleh parisada pusat dalam pesamuhan agung di balik papan tidak boleh dipergunakan sembarangan selain kepentingan untuk upacara keagamaan.

  1. Simpulan.

Eksistensi pura dan benda sakral lainnya sebagai cagar budaya dalam pengelolaannya dipandang dari sudut agama dan budaya telah dilakukan dan dituangkan melalui norma, aktivitas keagamaan yang didukung oleh para pengembon pura seperti Desa adat, banjar, pemaksan, pragunung, prasanak, prasadeg sebagai bentuk living monument dimana berbagai kreativitas keagamaan, adat dan budaya hidup yang dilandasi oleh semangat sradha dan bakti. Pemeliharaan pura melalui adat, budaya dan agama merupakan bentuk cagar budaya tradisional yang mampu menjadikan cakraning yadnya dalam kehidupan masyarakat (pengempon pura) dan masyarakat sekitarnya. Perlindungan dan pengelolaan cagar budaya dalam agama dan budaya bali dituangkan pada awig-awig, purana, prasasti, bhisama dan sebagainya. Hal inilah bentuk lain dari cagar budaya sebagaimana yang telah menjadi undang-undang.

 

Daftar Pustaka

Anandakusuma, Ida Reshi, Riwayat Singkat Parisada Hindu Dharma Selama XI tahun, 1959-1970, Denpasar, Parisadha Dharma Pusat.

Cudamani, 1991, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, Hanoman Sakti

Panitia Mahasabha, 2006. Rancangan mahasabha PHDI IX Jakarta, Jakarta, PHDI Pusat

Rata, Ida Bagus. 1991. Pura Besakih sebagai Kahyangan Jagat, Jakarta. Universitas Indonesia

Stuart-Fox, David J. 2010. Pura Besakih, Pura Agama dan Masyarakat Bali, Denpasar, Udayana University Press

Suanda, I Nyoman. 2002, Hasil-hasil Pesamuan Agung Parisadha Hindu Dharma Indonesia tahun 2002 di Mataram, Jakarta, Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat.

Sura, I Gede. 1990. Azas Ketuhanan dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu, Denpasar, Tana Penerbit.

Sudiana, I Gusti Ngurah, 2003 : Buku Saku Agama Hindu, Denpasar Yayasan Hindu Nusantara.

________, 2006. Hindu Agama Wahyu, Denpasar Harian Nusa Bali, 15 November 2006:12

Surpa, I Wayan, 1999. Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV, PHDI pusat.

Tim Penyusun, 2005. Himpunan Kaputusan Hasil seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV, Jakarta, Parisada Pusat.

Tim Penyusun, 2000. Siwatattwa, Bali Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Tersebar di 9 Kabupaten/Kota.