Gde Yadnya Tenaya
(dalam Buletin Sudamala Volume 04/1/2018)
Pendahuluan
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu wilayah kabupaten di Bali dengan luas wilayah paling kecil diantara luas wilayahkabupaten lainnya sangat kaya dengan cagar budaya. Kekayaan cagar budaya yang dimiliki oleh kabupaten ini adalah tersebar pada seluruh lingkungan kecamatan, desa, banjar, rumah tinggal penduduk, maupun pada tempat-tempat lainnya. Berdasarkan persebarannya ada yang berlokasi pada jalur yang strategis dan mudah dijangkau, tetapi tidak sedikit pula keberadaannya berada pada daerah-daerah yang agak sulit dijangkau seperti di pinggir sungai, tegalan, persawahan, dan lain-lainnya. Cagar Budaya yang berada pada jalur yang strategis dan mudah dijangkau misalnya Goa Gajah, Pura Samuantiga, Pura Penataran Sasih, Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul, sedangkan yang berada pada lokasi yang agak sulit dijangkau misalnya Candi Tebing Kerobokan Pejeng, Candi Tebing Kerobokan Cemadik, dan Candi Tebing Tegallinggah. Pendirian dan pemilihan lokasi pada kedua jenis lokasi tersebut sudah barang tentu adalah berdasarkan atas alasan dan pertimbangan tertentu pula. Jika dilihat realitas di lapangan, lokasi yang menjadi pilihan untuk pendirian sebuah bangunan candi adalah pada daerah atau areal yang subur, dekat dengan sumber air. Faktanya, bangunan-bangunan kuno bersejarah sangat dominan berlokasi atau dibangun pada daerah yang dekat dengan aliran sungai, misalnya candi tebing Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan, dan Candi Tebing Tegallinggah lokasinya berada di sepanjang aliran sungai Pakerisan. Demikian pula di daerah aliran sungai Oos dapat dijumpai beberapa bangunan cagar budaya seperti Candi Tebing Kelebutan dan Goa Gajah. Sejumlah cagar budaya yang berada pada lokasi strategis dan mudah dijangkau misalnya Pura Samuantiga, Museum Gedung Arca, Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, dan Pura Penataran Sasih.
Melihat kondisi sebagaimana disebutkan di atas maka Desa Pejeng-Bedulu merupakan lokasi strategis yang mudah diakses dan sekaligus sebagai jalur vital bagi segala bentuk mobilitas keseharian masyarakat lokal maupun masyarakat luar seperti aktivitas perekonomian, sosial, keagamaan, dan lain-lainnya. Di dalam konteksnya sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Desa Pejeng-Bedulu adalah salah satu daerah di Kabupaten Gianyar yang paling banyak dan padat populasi Cagar Budayanya. Beberapa Situs Cagar Budaya penting yang ada di kawasan dua desa ini yang disadari atau tidak di dalam kesehariannya telah mendapatkan pengaruh langsung akibat mobilitasyang tinggi antara lain Pura Goa Gajah, Pura Samuantiga, Museum Gedung Arca, Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, Pura Penataran Sasih, Pura Manik Corong, dan Pura Batan Klecung.
Apabila dikaji lebih dalam, era globalisasi sebagaimana sedang berlangsung dan berproses seperti sekarang ini sesungguh adalah diboncengi oleh arus budaya global. Era globalisasi dengan arus budaya globalyang memboncengi adalah sangat sulit dibendung oleh manusia siapapun. Sebagai akibatnya adalah terjadinya perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang kehidupan dan sulit dihindari. Hal tersebut adalah dipandang sebagai suatu fenomena. Pada satu sisi perubahan-perubahan tersebut menimbulkan dampak positif bagi kehidupan manusia karena mengantarkan kehidupan manusia pada kemajuan. Pada sisi lain, dapat menimbulkan dampak buruk dalam bidang-bidang lainnya. Di sektor kebudayaan, dampak positif maupun negatif sebagai akibat dan pengaruh bergulirnya era globalisasi dengan arus budaya globalnya sangat jelas terlihat dan sangat dirasakan pengaruhnya bagi kelestarian Cagar Budaya yang berada di sepanjang kawasan Desa Pejeng-Bedulu Gianyar.
Di dalam mengungkapkan pengaruh arus kebudayaan global bagi kelestarian cagar budaya di kawasan Desa Pejeng-Bedulu adalah merujuk pada pendapatnya Arjun Appadurai yang menyatakan bahwa ada lima komponen arus kebudayaan global yang mempengaruhi budaya masyarakat di era globalisasi dewasa ini (Soenaryo, 2011: 100-101). Adapun kelima komponendimaksud antara lain ethnoscapes, technoscapes, mediascapes, financescapes, dan ideoscapes, Ethnoscapes adalah perpindahan (pergerakan) penduduk atau orang dari suatu negara ke negara lain seperti wisatawan, imigran, pengungsi, dan tenaga kerja. Technoscapes atau arus teknologi yang mengalir dengan kecepatan tinggi dan tidak mengenal batas negara. Mediascapes mengacu kepada media yang dapat menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia. Finanscapes adalah pergerakan finansial atau uang yang sulit diprediksi di era globalisasi. Sedangkan ideoscapes adalah komponen yang terkait dengan masalah politik seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan dan hak seseorang (Ardika, 2007:14-15).
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa mobilitas orang/penduduk, teknologi, media, uang, dan kebebasan/hak seseorang yang ada atau datang di kawasan situs-situs Cagar Budaya Desa Pejeng-Bedulu cukup tinggi serta sulit dibendung. Hal tersebut adalah dipandang sebagai sebuah fenomena sosial budaya kekinian yang berbenturan dengan kepentingan pelestarian Cagar Budaya beserta lingkungannya.
Pembahasan
Desa Pejeng-Bedulu Sebagai Kawasan Cagar Budaya
Berdasarkan data terakhir (rekapitulasi data Cagar Budaya/yang diduga Cagar Budaya Provinsi Bali per Desember 2016) diantara delapan kabupaten dan satu kota, Kabupaten Gianayar adalah sebagai salah satu kabupaten yang paling banyak memiliki jumlah cagar budaya yakni berkatagori Benda 3.437 buah, Bangunan 27 buah, Situs 256 buah, Struktur 76 buah, dan Kawasan 1 buah. Dari sekian banyak jumlah cagar budaya yang ada dan tersebar di Kabupaten Gianyar, di daerah sepanjang kawasan Desa Pejeng-Beduluadalah paling padat populasinya. Diantara sekian banyak cagar budaya yang terdapat di sepanjang kawasan desa ini, beberapa situs cagar budaya yang diindikasi telah terkena dampak arus budaya global antara lain Pura Goa Gajah, Museum Gedung Arca, dan Pura Penataran Sasih.
Kawasan Desa Pejeng-Bedulu sebagai satu kawasan wilayah yang dalam realitasnya merupakan daerah yang sangat kaya dengan situs cagar budaya adalah tidak terbantahkan bahwa diantara kedua desa ini pernah digunakan sebagai pusat kerajaan pada masa Bali Kuno (abad X – XIII Masehi). Akan tetapi sangat disayangkan pernyataan itu terkendala oleh bukti-bukti pendukung yang mengarah kepada bekas-bekas sebuah istana kerajaan belum ditemukan sampai saat ini. Kendatipun demikian, namun bukti-bukti fisik yang bersifat menunjang dan memperkuat ke arah tersebutadalah tidak diragukan lagi. Situs-situs di sepanjang kawasan Desa Pejeng-Bedulu merupakan bukti kejayaan Bali pada masa itu. Sebagai salah satu bukti sejarah yang memiliki validitas yang tinggi dapat disebut yakni Goa Gajah. Arca pancoran di situs Goa Gajah diperkirakan berasal dari abad XI Masehi. Museum Gedung Arca, memvisualisasikan berbagai koleksi benda cagar budaya yang berasal dari masa prasejarah sampai masa sejarah Bal antara lain sarkofagus dengan ciri khas masing-masing wilayah di Bali. Di Pura Kebo Edan, memvisualisasikan benda cagar budaya penting yakni sebuah arca Siwa dalam bentuk Bhairawa sedang melakukan gerakan tari. Pura Pusering jagat, memvisualisasikan sebuah bejana batu padas yang memuat angka tahun dalam bentuk candrasengkala 1251 (1329 Masehi) yang menunjukkan pada masa kejayaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Pura Penataran Sasih memvisualisasikan sebuah nekara perunggu dengan ukuran tinggi 186,5 cm, dan dengan garis tengah 160 cm. Nekara perunggu ini terkenal juga dengan sebutan “Bulan Pejeng” (Sutaba, 1985:6-9).
Pengaruh Arus Budaya Global terhadap Situs Goa Gajah, Museum Gedung Arca, dan Penataran Sasih.
Globalisasi memiliki banyak pengertian, di satu sisi globalisasi menjadi semacam penciutan dunia (kampung global). Pada sisi lain, globalisasi adalah penyatuan dunia namun bukan berarti penyeragaman budaya. Globalisasi mempunyai dua perspektif yang berbeda. Perspektif pertama berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat global. Perspektif kedua, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan seni lokal. Meskipun dunia ini sedang mengalami proses globalisasi, bangsa-bangsa di dunia tidak menyerah begitu saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin menguat (Irianto,2011:25-26). Para ahli mengatakan bahwa dewasa ini, dunia ketiga termasuk Indonesia di dalamnya dan negara-negara lainnya di dunia telah dirambah oleh arus kebudayaan global gelombang kedua dan ketiga. Dunia kini seakan-akan tidak lagi dibatasi oleh tembok-tembok penyekat yang memisahkan antar negara yang satu dengan yang lainnya akibat dari kemajuan teknologi informasi (Ardika, 2007:13). Pada level budaya, globalisasi tidak bisa dikatakan sebagai proses ekspansi Barat yang didorong oleh kepentingan ekonomi yang berjalan secara seimbang. Lebih tepat jika dikatakan bahwa globalisasi adalah relasi-relasi disjungtif (pemisahan) antara arus uang, teknologi media, ide, dan orang. Artinya, globalisasi melibatkan dinamika gerakan kelompok-kelompok etnis, teknologi, transaksi finansial, gambar-gambar yang ditayangkan di media, dan konflik-konflik ideologis yang arah maupun tujuannya tidak bisa ditentukan atau disetir oleh satu “rencana induk”. Kecepatan, cakupan, dan dampak dari arus-arus pergerakan tersebut bersifat pecah belah (fractured) dan tidak saling terhubung. Metafora yang sering digunakan adalah ketidak pastian, kontingensi, dan kekacauan (chaos) yang menggantikan tatanan, stabilitas, dan sistem (Barker, 2014:111). Di dalam konteksnya dengan eksistensi Cagar Budaya yang ada di kawasan Desa Pejeng-Bedulu, sebagaimana pemahaman era globalisasi dengan arus kebudayaan globalnya maka indikator-indikatornya terlihat jelas tengah terjadi dewasa ini terutama terjadi pada beberapa situs antara lain situs Goa Gajah, Museum Gedung Arca, dan situs Pura Penataran Sasih.
Situs Goa Gajah
Berdasarkan atas kondisi riil di lapangan, SitusGoa Gajah terletak pada jalur yang strategis oleh karena berada pada akses jalan raya umum (protokol) yang berfungsi sebagai jalur pariwisata, sosial, perekonomian, dan sebagai jalur vital lainnya sebagai penghubung kota kabupaten Gianyar dengan kota/daerah lain seperti kecamatan Ubud, Denpasar, dan daerah-daerah lain yang berada di bagian baratnya demikian juga sebaliknya. Demikian juga halnya dengan Situs Museum Gedung Arca dan Pura Penataran Sasih dengan kondisi maupun keberadaannya tidak jauh berbeda dengan Situs Goa Gajah. Melihat pada kondisi yang demikian, maka terjadinya ethnoscapes, technoscapes, mediascapes, financescapes, dan ideoscapes adalah tidak dapat dielakkan.
Situs Goa Gajah sebagai tempat suci keagamaan bagi umat Hindu dan sekaligus sebagai objek dan tujuan wisata manca negara, terjadinya pergerakan manusia yang memasuki situs ini dengan tujuan bersembahyang dan berwisata adalah tidak dapat dielakkan. Di dalam situasi yang demikian tidak tertutup kemungkinan akan terjadi beberapa permasalahan yang berpengaruh terhadap keamanan, degradasi material, dan ketidaklestarian lingkungan cagar budaya. Dalam konteks keamanan cagar budaya, sebelum tahun 1980-an jalan protokol Gianyar-Ubud yang melewati Situs Goa Gajah adalah tepat berada di atas goa. Akibat getaran arus kendaraan yang lalu lalang sepanjang waktu berakibat pada keretakan pada dinding depan goa. Berkat adanya kordinasi dan kerjasama yang baik antara B.P.C.B. Bali (pada waktu itu bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala) akhirnya jalan protokol dipindahkan dengan posisi lebih ke arah utara sehingga Goa Gajah dapat diselamatkan. (foto 1). Hal tersebut adalah dipandang sebagai ideoscapes, karena Goa Gajah sebaga sebuah Situs Cagar Budaya berhak untuk mendapatkan perlindungan dari proses kehancuran atau kerusakan. Situs Goa Gajah menjadi objek dan tujuan wisata manca Negara, tidak dapat dielakkan akan munculnya permasalahan degradasi material bangunan cagar budayanya. Realitasnya, akibat kunjungan wisatawan yang terjadi sepanjang waktu maka terjadi cekungan pada undakan-undakan pintu masuk goa dan kolam petirtaan. Terjadinya tindakan kriminal pencurian arca budha dan arca jongkok yang disimpan di Pura Goa Gajah adalah indikator adanya pergerakan manusia/orang dengan tujuan ekonomi untuk diperjualbelikan. Realitas tersebut adalah dipandang sebagai ethnoscapes. Pada beberapa titik lokasi antara lain di sebelah barat dan di sebelah utara Goa Gajah bermunculan dibangunnya tempat-tempat berjualan oleh masyarakat pendatang, kondisi seperti ini adalah sangat berpengaruh bagi kelestarian lingkungan situs. Apabila dicermati, ruang tersebut (terutama ruang yang ada pada bagian barat) adalah termasuk ke dalam zona penyangga sebuah situs Cagar Budaya. Semestinya ruang ini adalah sebagai zona penyangga situs Goa Gajah, yang berfungsi untuk menyangga zona inti untuk keserasian dan keharmonisan ruang inti. Berdasarkan catatan beberapa media cetak lokal antara lain Bali Post pada hari Jumat tanggal 21 Oktober 2016 halaman 9, dan Jawa Post halaman 26, dengan topik“Bangunan di Sekitar Goa Gajah diduga Serobot Kawasan Cagar Budaya” dan Banyak Bangunan Caplok Tanah Goa Gajah” mempermasalahkan pemanfaatan ruang Situs Goa Gajah untuk kepentingan roda perekonomian (foto 1, 2, dan 3).
Sorotan media tersebut merupakan kritik pedas bagi instansi terkait terkait dengan permasalahan zona sebuah Situs Cagar Budaya. Munculnya permasalahan semacam itu adalah dipandang sebagai mediascapes. Sebelum munculnya warung-warung/toko-toko, ruang kawasan ruang ini adalah kawasan yang diperuntukkan bagi jalur hijau. Bermunculannya toko-toko kerajinan dan sejenisnya untuk mengais rezeki bagi masyarakat lokal maupaun pendatang, masuknya pengunjung berwisata sudah pasti terjadi perputaran uang dan perputaran ekonomi masyarakat lokal dan sekitarnya, hal ini dipandang sebagai finanscapes (foto 2).
Komponen technoscapes (masuknya teknologi) untuk di Situs Goa Gajah untuk sementara ini nampaknya belum dirambah oleh komponen ini. Kedepannya, barangkali C.C.T.V. atau bentuk teknologi lain akan dibutuhkan oleh Situs Goa Gajah untuk keamanan dan upaya pelestariannya.
Museum Gedong Arca
Museum Gedung Arca sebagai salah satu Situs Cagar Budaya yang berada di dalam kawasan Desa Pejeng-Bedulu, di era globalisasi juga nampaknya tidak luput dari imbas arus kebudayaan global yang sedang berproses sebagaimana yang tengah terjadi sekarang ini. Perlu juga diketahui bahwa sebelum bergulirnya globalisasi, ruang di sekitar situs Museum Gedung Arca merupakan lokasi yang sangat indah. Pemerintah daerah Kabupaten Gianyarpun mematok kawasan ini menjadi kawasan jalur hijau. Sebagai kawasan jalur hijau lingkungan ini menjadi mendapat perlindungan. Situasi seperti itu pada musim-musim tanam di sawah lokasi di depan Museum Gedung Arca merupakan hamparan persawahan luas menghijau yang sangat indah dipandang mata. Situasi keindahan lingkungan yang indah berpadu dengan Cagar Budaya yang ada di museum ini memberikan nuansa tersendiri. Entah bagaimana dan apa penyebabnya, bergulirnya arus globalisasi dengan arus kebudayaan globalnya yang terjadi adalah sebaliknya. Di dalam situasi seperti itu, apakah penyebabnya karena termotivasi oleh uang atau nilai lebih lainnya, yang terjadi selanjutnya adalah sebaliknya. Di sepanjang ruas barat jalan protokol bermunculan dan menjamurnya sejumlah bangunan-bangunan sebagai sarana dalam memutar roda perekonomian masyarakat lokal maupun masyarakat sekitarnya. Dalam konteksnya dengan arus kebudayaan global, perubahan-perubahan yang terjadi tidak lain adalah diduga terdorong dan termotivasi oleh keuntungan materi uang. Motivasi ini diduga sebagai pemicu terjadinya pergerakan orang/masyarakat lokal dengan berbekal niat dengan obsesi melipatgandakan modal dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Obsesi tersebut memunculkan gagasan-gagasan baru untuk membangun bangunan fisik sebagai saran produksi. Di dalam realitasnya, berakibat pada semerawut dan semakin kumuhnya lingkun depan museum Gedung Arca. Apa yang terjadi pada lingkungan Museum Gedung Arca adalah dipandang masuknya arus budaya global terutama dari komponen masuknya orang (ethnoscapes) di sekitar lingkungan ruang situs Museum Gedung Arca (foto 4 dan 5).
Adanya perputaran ekonomi bersamaan dengan terjadinya perputaran uang (finanscapes), dan masuk ide-ide atau gagasan-gagasan masyarakat lokal untuk membuka usaha untuk perbaikan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan (ideoscapes). Antisipasi tindakan kriminal seumpama suatu ketika jika terjadi pencurian terhadap benda koleksi museum Gedung Arca, untuk saat ini telah dilengkapi dengan kamera C.C.T.V. (foto 7). Hal ini adalah sebagai bukti bahwa arus kebudayaan global khususnya dari komponen technoscapes.
Pura Penataran Sasih
Seperti halnya Situs Goa Gajah dan Museum Gedung Arca sebagaimana telah diuraikan di atas, permasalahan-permasalahan yang mengemuka dewasa ini terkait dengan pengaruh budaya global terhadap kelestarian lingkungan situs juga terjadi terhadap Situs Cagar Budaya Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng. Seperti telah diketahui dan dipahami bersama bahwa berdasarkan lokasinya, secara administratif situs ini berada pada titik lokasi yang sangat strategis karena berada pada titik tengah-tengah, mudah dijangkau dari berbagai arah. Letak yang strategis seperti itu, maka mobilitas sosial-ekonomi baik masyarakat lokal maupun warga masyarakat lain yang berasal dari wilayah bagian utara bepergian menuju wilayah selatan seperti Gianyar, Klungkung, Tabanan, dan Denpasar adalah memakai jalur ini, demikian juga sebaliknya. Di dalam kondisinya yang demikian, sudah pasti kelestraian ruang Situs Pura Penataran Sasih juga menjadi sasaran sentuhan pengaruh budaya global.
Untuk diketahui bersama, sebagai gambaran bahwa kondisi ruang terutama pada halaman depan Pura Penataran Sasih sebelum bergulirnya era globalisasi sekitar tahun 1970-1980-an adalah difungsikan sebagai lapangan bermain bola. Disamping itu tempat ini juga berfungsi sebagai tempat rekreasi masyarakat lokal dan sekitarnya pada sore hari setelah melakukan aktivitas kesehariannya. Di sekitar lapangan bola merupakan tempat pemukiman penduduk lokal dengan kondisi lingkungan yang sangat lestari. Seiring dengan bergulirnya era globalisasi dengan arus budaya globalnya maka terjadi pula perubahan yang sangat drastis.
Kondisi tersebut dapat dilihat seperti yang terjadi dewasa ini. Lapangan bola dipindahkan ke bagian sebelah barat, dan tempat ini menjadi berubah fungsi dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Berfungsi ekonomi dengan dibangunanya sejumlah pertokoan/warung makan pada sisi bagian barat, areal bagian tengah sampai sisi timur digunakan sebagai pasar senggol walaupun bersifat temporer yang berlangsung setiap hari mulai dari pukul 17.00 sampai pukul 22.00 Wita. (foto 8). Dalam konteks arus budaya global, berubah fungsinya ruang halaman depan Situs Pura Penataran Sasih yang dalam kesehariannya dikunjungi oleh warga masyarakat lokal, luar daerah maupun asing adalah dipandang sebagai ethnoscapes. Sebuah contoh nyata dan meupakan peristiwa buruk yang terjadi sebagai akibat ethnoscapes (pergerakan orang) dalam hal ini masuknya wisatawan juga dapat menyebabkan terjadinya hal-hal negatif yang dapat menimpa sebuah situs cagar budaya. Beberapa tahun silam telah terhadap situs cagar budaya Pura Mangening, yakni sepasang wisatawan asing telah melakukan perbuatan asusila di dalam tempat suci ini. Ditempatkannya sebuah mesin Anjungan Tunai Mandiri (A.T.M.) bagi masyarakat luas adalah dipandang sebagai technoscapes (foto 9). Beroperasinya sejumlah warung makan, mini market, dikontraknya lahan masyarakat lokal untuk beroperasinya Bank Rakyat Indonesia (BRI), terjadinya transasksi pada warung makan dan saat pasar temporer adalah sebagai bukti terjadinya peredaran/perputaran uang pada lokasi ini adalah dipandang sebagai finanscapes. Dibangunnya sejumlah usaha mini market dan usaha kecil lainnya oleh masyarakat lokal maupun yang berasal dari wilayah lain dengan obsesi memperoleh untung untuk meningkatkan kesejahteraannya adalah dipandang sebagai ideoscapes (foto 10).
Berdasarkan indikator-indikator arus budaya global yang masuk dan terjadi terhadap lingkungan ruang situs Pura Penataran Sasih sebagaimana disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa kelestarian dan keserasian situs cagar budaya menjadi semakin berkurang.
Pentingnya Sinergitas Dalam Pelestarian Situs Cagar Budaya
Seperti telah disinggung di atas bahwa era globalisasi dengan arus budaya global yang dibawanya merupakan era perubahan menuju pada kemajuan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dibendung oleh manusia siapapun. Perubahan yang terjadi sebagai akibat bergulirnya era globalisasi adalah sebuah konsekwensi yang harus dan mesti dihadapi. Perubahan dengan segala konsekwensinya terjadi pada segala aspek kehidupan yang bermuara pada beberapa hal seperti pola pikir, perilaku, tindakan, pola hidup dan gaya hidup (live styl), dan lain-lainnya.
Arus budaya global yang mempengaruhi segenap aspek kehidupan manusia sebagaimana pemahaman di atas nampak jelas berimbas kurang baik bagi kelestarian lingkungan sebuah cagar budaya yang berada pada suatu lokasi ataupun kawasan dengan mobilitas lingkungan sosial yang tinggi. Walaupun tidak dipungkiri pada sisi lain berdampak positif bagi kemajuan perekonomian masyarakat lokal dan sekitarnya. Munculnya dampak negatif bagi kelestarian cagar budaya akibat masuknya arus budaya global akan dapat ditanggulangi secara bersama dan terpadu melalui apresiasi dan pemahaman yang sama diantara masyarakat luas dan pemangku berkepentingan (stake holder). Upaya-upaya yang dapat diambil, sebagai contoh adalah dengan mensinergikan hasil-hasil kegiatan program kerja B.P.C.B. Bali misalnya hasil kegiatan zonasi situs cagar budaya. Hal tersebut nampaknya sangat beralasan, karena hasil-hasil kegiatan zonasi yang dilakukan selama ini nampak jelas belum disenergikan dengan pihak/instansi yang berkompeten dalam hal ini pemerintah daerah. Di dalam kondisi yang demikian, hasil zonasi yang telah dilakukan oleh B.P.C.B. Bali untuk saat ini memiliki kesan bahwa hal itu adalah semata-mata menjadi pekerjaan B.P.C.B. Bali saja. Padahal masih memerlukan satu proses kordinasi/sinergi lintas instansi dengan pemerintah daerah maupun pemangku kepentingan. Demikian juga hal-hal lainnya menyangkut upaya pelestarian cagar budaya sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Penutup
Simpulan, Masuknya arus budaya global yang digandeng oleh globalisasi membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan manusia. Konsekwensi tersebut sangat nyata terjadi dan berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan situs cagar budaya yang berada pada titik strategis di kawasan Desa Pejeng-Bedulu. Sejalan dengan lima komponen bentuk-bentuk arus budaya global sebagaimana yang dikemukakan oleh Arjun Apadurai bahwa kelestarian lingkungan situs Goa Gajah, Museum Gedung Arca, dan Pura Penataran Sasih telah dipengaruhi oleh adanya lima komponen ethnoscapes, technoscapes, mediascapes, finanscapes, dan ideoscapes. Pengaruh dari kelima komponen tersebut berdampak positif dan negatif. Dampak negatif, munculnya permasalahan semakin tidak lestarinya lingkungan Situs Cagar Budaya. Penyebabnya adalah karena dipicu komponen mobilitas sosial yang kurang terkendali (ethnoscapes), munculnya isu-isu oleh media cetak (mediascapes), dalam hal keuangan adalah meningkatnya peredaran uang (finanscapes), dan bergairahnya perekonomian masyarakat lokal maupun masyarakat sekitarnya karena munculnya peluang-peluang usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan (ideoscapes).
KEPUSTAKAAN
Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta:PT. Kanisius.
Irianto, Agus Muladi, 2011. Media dan Globalisasi, dalam Multikulturalisme dan Integrasi Bangsa, Memperkuat Karakter Masyarakat Multikultural. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Soenaryo, F. X. 2012 : Perekonomian Masyarakat Bali dalam Era Globalisasi, dalam Komodifikasi Identitas Bali Kontemporer. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali