PEJENG-BEDULU PUSAT KERAJAAN ZAMAN BALI KUNA Oleh: Anak Agung Gede Raka Universitas Warmadewa

0
5344
Pura Samuan Tiga

Pendahuluan

Dilihat dari sisi tata letak, Desa Pejeng-Bedulu berada di daerah dataran, tepatnya di antara daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu, dengan posisi membujur dari utara ke selatan. Sebagai wilayah desa yang berada di antara dua buah aliran sungai besar, dengan debit air yang relatif tinggi dapat membuat keadaan tanah menjadi subur, sehingga sangat cocok untuk kehidupan budaya agraris. Sungai Pakerisan yang sumber airnya berasal dari Tirta Empul sekaligus sebagai hulu sungai, Tirta Mengening, Tirta Gunung Kawi, dan sumber air yang muncul di sepanjang sungai, sampai kini dijadikan sumber irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sepanjang sungai. Khususnya sawah-sawah yang ada di wilayah Kecamatan Tampaksiring, di antaranya yaitu Subak Kulub, Subak Pulagan, ke duanya berada di Tampaksiring; Subak Panyembulan, Subak Bedugul Kana, Subak Bakbakan, Subak Pagending, dan Subak Jero Agung, dan kelima subak tersebut berada di Desa Pejeng; seterusnya sampai dengan di hilir mengairi sawah Subak Ceti, desa Medahan-Keramas.

Pura Samuan Tiga
Pura Samuan Tiga

Pada zaman Bali Kuna desa Pejeng-Bedulu menjadi satu kesatuan wilayah territorial (Robson, 1978). Tetapi saat ini, kedua desa tersebut secara kedinasan telah terpisah, yaitu: Desa Pejeng berada di Kecamatan Tampaksiring dan Desa Bedulu berada di Kecamatan Blahbatuh, dan keduanya menjadi bagian dari Kabupaten Gianyar. Walaupun secara kedinasan kedua desa tersebut terpisah, tetapi dari sisi keagamaan memiliki hubungan yang sangat erat hingga dengan saat ini. Hubungan dimaksud tampak jelas sewaktu ada upacara keagamaan, baik di Pura Penataran Sasih Pejeng maupun di Pura Samuan Tiga Bedulu. Dewa pujaan di kedua tempat suci tersebut saling kunjung-mengunjungi yang diusung oleh masyarakat pemuja (panyungsung) masing-masing pura. Kemudian dari aspek lain, kedua desa yang bertetangga ini kaya dengan warisan budaya dari zaman Hindu, dan beberapa di antaranya ada dari zaman pra Hindu. Tidak kurang dari 70-an pura (tempat suci) dengan warisan budaya yang tersimpan di dalamnya. Bentuk warisan budaya sebagian besar di antaranya, berupa: warisan seni arca dan ratusan jumlahnya; warisan seni bangunan; warisan prasasti, baik yang dipahatkan pada bagian tertentu dari arca, pada batu padas, maupun dalam bentuk lainnya. Bila diklasifikasi berdasarkan angka tahun prasasti, langgam seni arca, langgam seni bangunan, dan didukung letak geografis dan unsur lain, bahwa kedua desa tesebut menjadi pusat aktivitas agama dan budaya yang sangat unik dan menarik dari zaman pra Hindu sampai zaman Hindu. Nekara Pejeng merupakan salah satu warisan budaya yang dapat dijadikan indikator bahwa Pejeng-Bedulu adalah sebagai pusat peradaban. Keunikannya terletak pada ukurannya, yaitu memiliki ukuran yang sangat besar, dan terbesar di Asia Tenggara (Calo, 2009; Bintarti, 1985; Kempers, 1960), bahkan terbesar di dunia (Anak Agung Gede Raka, 2015: 142; Ardika, 2017: 31). Yang menarik adalah bahwa Nekara Pejeng tidak termasuk kedalam tipe Heger I-IV (Djoened, 1984), artinya, asli hasil karya penduduk lokal (Pejeng). Pada masa-masa selanjutnya Pejeng-Bedulu tetap dijadikan pusat kehidupan budaya dan spiritual hingga awal masuk  Hinduisme (Hindu-Budha) abad 8 M sampai dengan masa akhir Bali Kuna, yaitu jatuhnya Bali ke tangan Majapahit 1343 M (Mulyana, 1979: 297).

Pejeng-Bedulu Pusat Kerajaan Zaman Bali Kuna

Berdasarkan sumber data prasasti yang ditemukan, bahwa pengaruh agama Budha masuk lebih awal di Bali. Sumber data dimaksud berupa stupika-stupika tanah liat yang di dalamnya terdapat mentra-mentra budha tipe ye te mantra, yaitu sezaman dengan Candi Kalasan, Jawa Tengah berasal dari abad 8 M (Goris, 1948: 3; Kempers, 1956: 25). Berselang satu abad kemudian masuk pengaruh agama Hindu. Keterangan tentang itu diperoleh dari prasasti Sukawana, Kintamani Bangli, yang berangka tahun 804 S/ 882 Masehi. Di dalam ada disebutkan nama-nama tokoh agama Hindu (Ciwa), yaitu: siwa kangsita, siwa nirmala, dan siwa pradnya (Goris, 1951-52). Dari kedua sumber tersebut, tidak ada keterangan yang diperoleh tentang nama penguasa (raja) yang memerintah; pusat kekuasaan; dan wilayah kekuasaan, sehingga tidak dapat dijadikan bukti bahwa Bali mulai memasuki lembaran sejarahnya. Selanjutnya adalah penemuan prasasti Blanjong yang berangka tahun 835 Saka/ 913, yang dalam prasasti dengan jelas disebutkan nama raja yang menurunkan prasasti “Adipati Sri Kesari Warmadewa”; wilayah kekuasaan “Singhadwala”, dan musuh-musuh yang ditundukkan “Gurun dan Swal”. Dengan demikian, bahwa prasasti Blanjonglah yang sampai saat ini dijadikan sebagai tonggak awal Bali memasuki jaman sejarahnya. Prasasti menggunakan dwi bahasa (bilingual), yaitu pada bagian yang satu berbahasa Bali Kuna dengan huruf Prenagari dan pada bagian lain, berbahasa Sanskerta dengan huruf Bali Kuna (Poesponegoro, dkk, 1984).

Arca Siwa Mahadewa di Pura Putra Bhatara Desa
Arca Siwa Mahadewa di Pura Putra Bhatara Desa

Kembali kepada warisan budaya yang berada di sepanjang DAS Pekerisan dan Petanu, dan di wilayah sekitarnya (Pejeng-Bedulu) dilihat dari periode waktu, bahwa semua warisan tersebut tidak hanya bernilai sejarah, agama, budaya, dan ilmu pengetahuan, tetapi juga dapat menggambarkan perjalanan sejarah Bali dari awal masuknya Hinduisme sampai dengan runtuhnya Bali ke tangan Majapahit (778M-1343M). Bentuk warisan budaya yang dimaksud ada yang berupa: stupika-stupika tanah liat yang ditemukan di Pejeng (778 M/ abad 8 M), arca Siwa di Pura Putra Betara Desa Bedulu (abad 8 M); kemudian Pura Pagulingan, Tampaksiring (8/9 M); Tirta Empul, Tampaksiring (962 M/ abad 10 M); prasasti batu di Pura Penataran Sasih, Pejeng (abad 9/10 M), Candi Mengening, Tampaksiring (abad 11 M), Candi Tebing Gunung Kawi (abad 11 M), Goa Gajah, Bedulu (abad 11M), prasasti pada balok batu Pura Penataran Sasih, Pejeng (abad 11 M), goa pertapaan dan candi Pengukur-ukuran, Pejeng (abad 12 M), Arca Siwa Bhairawa di Pura Kebo Edan (abad 13 M), prasasti pada Bejana di Pura Pusering Jagat, Pejeng (1251 C/ 1329 M/abad 14 M), dan prasasti pada arca dewi di Pura Penataran Sasih, Pejeng (1264 C/1342 M/ abad 14 M). Keberadaan semua pusaka budaya tersebut di atas, tentu tidak terlepas dari peran penguasa (raja) yang mengendalikan pemerintahan ketika bangunan atau benda-benda itu dibuat.

Bila diklasifikasi berdasarkan bentuknya, warisan budaya di sepanjang DAS Pekerisan dan Petanu, dan di wilayah sekitarnya (Pejeng-Bedulu) yang sebagian besar berwujud seni arca, dan yang lainnya berupa bangunan candi, prasasti, dan bentuk lainnya. Berdasarkan pengamatan seksama yang telah dilakukan Sututterheim, dan hasilnya secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) periode, yaitu berasal dari (1) periode Hindu Bali (abad 8-10 M), (2) periode Bali Kuna (abad 10-13 M), (3) periode Bali Madya (abad 13-14 M), dan (4) benda-benda yang waktu pembuatannya belum dapat ditentukan (dalam Astra, 2013: 3). Merujuk kepada pengelompokkan dimaksud, rupanya warisan budaya di Pejeng-Bedulu dapat mewakili setiap kelompok jaman, yaitu sejak awal masuk Hindu sampai dengan abad 14 M. Bahkan ada sebuah tinggalan penting jauh lebih tua berasal dari jaman pra-Hindu, yaitu nekara “Bulan Pejeng”, yang saat ini disimpan di Pura Penataran Sasih. Warisan tersebut berasal dari masa beberapa abad sebelum Masehi (Poesponegoro dkk., 1984: 243), saat ini setidaknya telah berumur 2000 tahun. Dengan demikian bahwa warisan budaya di Pejeng-Bedulu dapat mewakili dua jaman, yaitu jaman prasejarah dan jaman sejarah. Artinya sejak jaman prasejarah sampai dengan runtuhnya Bali ke tangan Majapahit, pusat aktivitas budaya dan agama berada di Desa Pejeng-Bedulu. Sangat mustahil bilamana aktivitas budaya dan agama yang sesungguhnya tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat, dapat berkembang dengan suburnya tanpa perlindungan dan pengawasan penguasa (raja). Demikian banyaknya warisan budaya, dapat dijadikan sebagai bukti yang menguatkan bahwa Desa Pejeng-Bedulu sebagai pusat kerajaan pada jaman Bali Kuna. Sehingga apa yang dikatakan Kempers (1960: 64) bahwa Pura Penataran Sasih merupakan pura penataran kerajaan dan Pura Pucak Penulisan sebagai pura gunungnya adalah sesuatu yang tidak berlebihan.

Selanjutnya Robson (1978: 87) sangat yakin bahwa Pejeng-Bedulu sebagai pusat kerajaan di jaman Bali Kuna merujuk kepada pernyataan Stutterheim yang menyebutkan bahwa selain Pejeng-Bedulu kaya dengan warisan budaya juga ada banyak geria (rumah pendeta). Ada 9 geria di Desa Pejeng, di Wanayu satu geria, dan di Bedulu tidak ada sama sekali. Seperti diketahui, geria adalah rumah pendeta istana (purohita) kerajaan, dan keberadaan antara raja dan pendeta satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Namun Robson tetap berpegang pada pemikirannya bahwa keberadaan pura-pura besar seperti: Pura Penataran Sasih (Pejeng), Pura Pusering Jagat (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), dan Pura Gunung Sari (Wanayu) antara satu dengan yang lainnya masih saling berhubungan. Sampai saat sekarang ini, tradisi saling kunjung-mengunjungi di antara Ida Betara junjungan masyarakat di ke empat pura tersebut di atas masih tetap berlangsung ketika upacara piodalan (Robson, 1978: 83). Artinya, Robson memandang bahwa Pejeng dan Bedulu yang kini terpisah secara adminitratif, namun dalam konteksnya dengan kisah sejarah di masa silam (Bali Kuna), Pejeng dan Bedulu adalah menjadi satu kesatuan wilayah kerajaan.

Ketika Bali ditundukkan Majapahit tahun 1343 M, di dalam Nagarakretagama pupuh XIII dan XIV disebut Bali, Badahulu, Lo Gajah berada di sebelah timur Jawa (Mulyana, 1979: 150). Maksud dari kata Bali, Badahulu, Lo Gajah kurang lebih dapat diartikan: raja hina (Badahulu), dari Bali berkedudukan dekat Sungai Gajah (Lo Gajah) atau Sungai Petanu. Kedudukan raja (pusat kerajaan) yang lokasinya disebutkan di Sungai Petanu, kemungkinan besar adalah Batahanyar sebagaimana disebutkan di dalam Usana Bali (Warna, dkk, 1986: 126). Menurut Robson situs kerajaan Batahanyar yang disebutkan dalam Usana Bali diperkirakan di situs Jero Agung. Saat sekarang ini di atas situs tersebut telah dibangun Pura Jero Agung. Kebenaran atas dugaan Robson tersebut lebih dikuatkan dengan didukung adanya bekas dasar-dasar bangunan di sekitar wilayah Pura Jero Agung. Dahulu zona yang sekarang dibangun pura, di atasnya adalah bekas Puri Agung (keraton) raja Sri Masula Masuli. Ketika menjadi raja bergelar “Sri Astasura Ratna Bhumi Banten” yaitu raja Bali Kuna terakhir yang dalam Nagarakretagama disebut raja Badahulu.

Goa Garbha
Goa Garbha

Bilamana nama Badahulu adalah untuk menyebut raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, raja yang hina dari Bali, artinya nama Badahulu (sekarang Bedulu) baru muncul ketika masa akhir pemerintahan raja Bali Kuna. Sedangkan posisi kerajaan sebelumnya tentu tidak jauh dari Batahanyar, yaitu di Pejeng. Oleh karena Pejeng telah ditundukkan oleh Kertanegara dengan menawan rajanya “Parameswara” 1284 M (Ekawana, 1985: 507), selanjutnya pusat kerajaan dipindahkan ke arah selatan (Batahanyar) oleh Sri Bhatara Guru (putra Parameswara atau ayahanda Astasura Ratna Bhumi Banten) (Warna dkk, 1986: 126). Dengan demikian wilayah yang sekarang disebut Bedulu sebelum kekuasaan Majapahit masih menjadi satu dengan Pejeng. Ketika Belanda mengendalikan pemerintahan (kekuasaan) di Bali, untuk membedakan urusan dinas (pemerintahan) dengan urusan adat, maka diperkenalkan desa dinas (Parimarta, 2003: 7). Jelaslah bahwa Belanda sangat berkepentingan dengan kehadiran desa dinas dalam melancarkan roda kekuasaannya di Bali, khususnya di Pejeng dan Bedulu.

Kembali kepada pembicaraan pusat kerajaan sebelum pindah ke Batahanyar, dengan merujuk kepada pemaparan Kempers (1960: 68) yang mengatakan bahwa Pura Penataran Sasih adalah kuil pusat kerajaan Pejeng dahulukala dan Bulan Pejeng sebagai benda pujaan. Berkenaan dengan status pura, Goris (dalam Sedyawati dan Ardika, ed., 2012: 62) dengan jelas mengatakan bahwa Pura Penataran Sasih adalah sebagai Pura Penataran Kerajaan (Kingdom Temple); Pura Puncak Panulisan sebagai Pura Gunung (Mountain Temple); dan Pura Pusering Jagat sebagai Pura Segara (Segara Temple). Semua argumen mereka menukik kepada Pejeng sebagai pusat kerajaan di Jaman Bali Kuna. Sedangkan berkenaan dengan titik pusat kerajaannya, apakah tidak mungkin di Puri Pejeng (sekarang Puri Soma Negara?). Mengingat Pura Penataran Sasih seperti dikatakan Goris adalah Pura Penataran Kerajaan di jaman Bali Kuna berada tidak jauh dari Puri Pejeng, dan Pura Pusering Jagat sampai saat sekarang ini diyakini sebagai tempat suci untuk menguatkan sumpah (cor) identik dengan pengadilan berada di sebelah selatan Puri Pejeng.

Selanjutnya, ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Batahanyar, lokasinya diperkirakan di Pura Jero Agung (sekarang), yang dahulu diduga bekas puri (keraton) raja Astasura Ratna Bhumi Banten. Pura Pengastulan yang letaknya di sebelah utara Pura Jero Agung adalah pura kerajaan; Pura Kejaksaan (Jaksan) identik dengan “Pengadilan” letaknya di sebelah barat Pura Pengastulan; dan di sebelah baratnya lagi tepatnya di pinggir sungai Petanu ada sumber air suci disebut Pura Bidadari. Menurut keterangan A.A.Gde Oka Astawa (Informan, wawancara pada Selasa 1 April 2014 di Puri Bedulu) bahwa di sebelah baratnya atau bersebelahan dengan Pura Bidadari tepatnya dipinggir bagian sebelah barat sungai Petanu adalah wilayah Desa Tengkulak, yaitu tempat di mana Ki Pasung Gerigis bertempat tinggal. Menurut Babad Barabatu, selain Kebo Iwa bahwa Pasung Gerigis adalah patih handalan dari Raja Astasura Ratna Bhumi Banten. Ketika Kebo Iwa telah ditawan oleh raja Majapahit, Pasung Gerigislah melanjutkan perjuangan Kebo Iwa melawan laskar Majapahit (sumber Babad Barabatu dalam Raka, 2010: 39).

Pura Pengukur-ukuran
Pura Pengukur-ukuran

Karena Bali telah tunduk kepada Majapahit, mulailah pemerintahan baru yaitu Dinasti Kepakisan dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan dari Kediri, Jawa Timur. Pusat kerajaan pun dipindahkan dari Batahanyar (Bedulu) ke Samprangan (sekarang Samplangan) Gianyar. Pemindahan pusat kekuasaan berdampak terhadap tradisi budaya, khususnya tradisi pembuatan arca-arca yang berkembang di Pejeng-Bedulu tampaknya tidak ditradisikan lagi di daerah kekuasaan baru. Demikian pula untuk menjadikan arca-arca sebagai media komunikasi dengan para istadewata tampaknya mulai ditinggal, terlebih pusat kekuasaan dalam waktu relatif singkat kemudian pindah ke Gelgel. Hal itu menyebabkan semakin jauhnya pengawasan terhadap pusat kekuasaan lama, baik di Samprangan, di Bedulu, maupun di Pejeng. Pada akhirnya semuanya untuk beberapa abad menjadi terbengkelai. Termasuk warisan budaya di Pejeng-Bedulu saat sekarang ini yang diselamatkan di tempat-tempat suci (pura) dan palinggih-palinggih di rumah-rumah penduduk, sebagian banyak tidak lagi insitu dan fungsinya pun mengalami pergeseran. Namun tetap disakralkan dan dipuja oleh warga masyarakat setempat.

Penutup

Beranjak dari paparan di depan dapat disimpulkan bahwa daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu dan di wilayah yang berada di antara DAS tersebut yaitu desa Pejeng-Bedulu, merupakan pusat aktivitas budaya dan spiritual sejak jaman pra-Hindu (masa perundagian) 2000 tahun silam, hingga runtuhnya Bali ke tangan Majapahit (1343 M). Sebagai pusat aktifitas budaya dan keagamaan serta berkembang dengan subur karena mendapat perlindungan dari sang penguasa. Semua warisan tersebut dapat dijadikan bukti kuat, bahwa selain Desa Pejeng-Bedulu sebagai pusat aktifitas budaya dan keagamaan, juga sebagai pusat kerajaan pada jaman Bali Kuna (abad X-XIV Masehi). Terkait dengan tri kahyangan kerajaan (pura gunung, pura penataran, dan pura segara), bahwa Pura Pucak Penulisan sebagai pura gunung; Pura Penataran Sasih sebagai pura penataran kerajaan; dan Pura Pusering Jagat sebagai pura segara.