Pemanfaatan Data Peta Bencana Gunung Api dalam usaha Pelindungan Cagar Budaya

0
119

Giri Prayoga

(dimuat dalam Buletin Sudamala Tahun 2017)

I. Pendahuluan

Menurut Zeilinga de Boer dan Sanders (2002) sebanyak 5 letusan gunung api besar di dunia telah berpengaruh terhadap kebudayaan manusia, tiga di antaranya terjadi di Indonesia, yaitu Toba pada lebih kurang 74.000 tahun yang lalu, Tambora pada tahun 1815, dan Krakatau pada tahun 1883. Dua letusan lainnya adalah Gunung Vesuvius di Italia yang telah memusnahkan kota Pompeii dan Herculaneum pada letusan tahun 79 Masehi dan letusan Mt Pelee di Karibia yang pada tahun 1902 telah membinasakan penduduk kota St Pierre. Van Bemmelen (1956) mengambil contoh letusan Merapi pada tahun 1006 yang telah menyebabkan pusat kebudayaan berpindah ke Jawa Timur (Adjat Sudradjat, 2010). Meskipun tidak seperti di Jawa, pusat pemerintahan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena letusan Merapi, di Dompu pusat pemerintahan dipindah dari selatan Sori Na’e (sungai besar) ke sebelah utara Sori Na’e karena letusan Tambora pada tahun 1815 (Sjamsuddin, H dan Boer B. D. J., 2012). Kondisi ini baru diakibatkan oleh salah satu dari beberapa jenis bencana geologi yang ada. Ketika kita tidak berada di wilayah yang terpengaruh, mungkin kita hanya akan mengatakan “ah masa iya berpengaruh pada kebudayaan”?.

Secara geografis dan geologi wilayah indonesia merupakan daerah rawan bencana, terutama bencana geologi. Keadaan ini secara fisikologis baru menghantam keyakinan masyarakat indonesia setelah bencana tsunami Aceh (2002) menelan begitu banyak korban. Sedikit tidaknya menyadarkan sebagaian besar masyarakat indonesia bahwasanya kita berada di wilayah yang rawan terhadap bencana geologi.

Dalam usaha pelestarian Cagar Budaya di wilayah rawan bencana geologi, upaya pemetaan wilayah bencana menjadi sangat penting. Pemetaan sebagai usaha awal yang dapat dilakukan untuk menghindari Cagar Budaya dari kerusakan akibat bencana alam, atau setidaknya menjadi pedoman dalam usaha pelestarian. Hal ini harus segera disadari oleh pemerintah dan juga aparat yang terkait dalam tugas dan fungsi mempertahankan hasil budaya (terutama fisik) yang telah diwariskan oleh para leluhur kita.

 

II. Bencana Geologi

Undang-Undang no 24 tahun 2007, menyatakan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Pemahaman bencana dimaksudkan apabila sudah mempengaruhi dan mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Sedangkan Bencana Geologi dapat dipahami secara umum sebagai bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi yang terdapat di alam. Beberapa bencana geologi yang mungkin hadir adalah Bencana Letusan Gunung Api, Bencana Gempa Bumi, Bencana Tsunami dan Bencana Gerakan Tanah. Akan tetapi pembahasan kali ini akan di khususkan pada Bencana Gunung Api di wilayah Kerja BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya ) Gianyar, yang mewilayahi Propinsi Bali, NTB dan NTT.

 

Bencana Gunung Api

Gunung Api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan kepermukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung. (http://rovicky.wordpress.com).

Proses terjadinya letusan gunung api berawal dari magma yang mengalami tekanan dan menjadi lebih renggang dibanding lapisan di bawah kerak sehingga secara bertahap magma bergerak naik, seringkali mencapai celah atau retakan yang terdapat pada kerak. Banyak gas dihasilkan dan pada akhirnya tekanan yang terbentuk sedemikan besar sehingga menyebabkan suatu letusan ke permukaan. Pada tahapan ini, gunung api menyemburkan bermacam gas, debu, dan pecahan batuan. Lava yang mengalir dari suatu celah di daerah yang datar akan membentuk plateau lava. Lava yang menumpuk di sekitar mulut (lubang) membentuk gunung dengan bentuk kerucut.

Bahaya letusan gunung api dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) yang menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya yang langsung oleh letusan gunung api (http://rovicky.wordpress.com) adalah:

  1. Leleran lava

Leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka makin jauh jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800o-1200o C. Pada umumnya di Indonesia, leleran lava yang dierupsikan gunung api, komposisi magmanya menengah sehingga pergerakannya cukup lamban sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari terjangannya.

  1. Aliran piroklastik (awan panas)

Aliran piroklastik dapat terjadi akibat runtuhan tiang asap erupsi plinian, letusan langsung ke satu arah, guguran kubah lava atau lidah lava dan aliran pada permukaan tanah (surge). Aliran piroklastik sangat dikontrol oleh gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah atau lembah. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava atau dari udara yang terpanaskan pada saat mengalir. Kecepatan aliran dapat mencapai 150-250 km/jam dan jangkauan aliran dapat mencapai puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.

  1. Jatuhan piroklastik

Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai arah angin kemudian jatuh lagi ke muka bumi. Hujan abu ini bukan merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan merontokkan daun-daun dan pepohonan kecil sehingga merusak agro dan pada ketebalan tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat menggelapkan bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur penerbangan.

  1. Lahar letusan

Lahar letusan terjadi pada gunung api yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.

  1. Gas vulkanik beracun

Gas beracun umumnya muncul pada gunung api aktif berupa CO, CO2,HCN, H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas ambang batas dapat membunuh.

Bahaya sekunder, terjadi setelah atau saat gunung api aktif:

  1. Lahar Hujan

Lahar hujan terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi gunung api yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat sehingga dapat mengangkut material berbagai ukuran. Lahar juga dapat merubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak infrastruktur.

  1. Banjir bandang

Banjir bandang terjadi akibat longsoran material vulkanik lama pada lereng gunung api karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran Lumpur disini tidak begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan bagi penduduk yang bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.

Peta KRB (Kawasan Rawan Bencana)

Peta KRB dibuat oleh Direktorat Vulkonologi atau instansi lainnya sesuai Standarisasi Nasional Indonesia N0.13 – 4689 – 1998, tentang Penyusunan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung api. Peta KRB yang dihasilkan dapat dijadikan salah satu acuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di daerah gunung api.

Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api, dinyatakan dalam urutan-urutan angka dari tingkat kerawanan rendah ke tingkat kerawanan tinggi, yaitu Kawasan Rawan Bencana I, Kawasan Rawan Bencana II dan Kawasan Rawan Bencana III. Jadi, Kawasan Rawan Bencana III memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi.

Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/banjir, dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu (pijar). Kawasan ini dibedakan menjadi dua, yaitu: Kawasan rawan bencana terhadap aliran masa berupa lahar/banjir, dan kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Kawasan ini terletak di sepanjang sungai/dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak kawasan rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu (pijar). Pada kawasan ini, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan jika terjadi erupsi/kegiatan gunung api dan turun hujan lebat.

Kawasan Rawan Bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun, umumnya menempati lereng dan kaki gunung api. Kawasan ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

Kawasan rawan bencana terhadap aliran masa berupa, awan panas, aliran lava, guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.

Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan seperti lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, dan hujan lumpur (panas). Pada kawasan ini, masyarakat diharuskan mengungsi jika terjadi peningkatan kegiatan gunung api, sampai daerah ini dinyatakan aman kembali.

Kawasan Rawan Bencana III adalah kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan gas beracun. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi gunung api yang sangat giat atau sering meletus. Pada kawasan ini tidak diperkenankan untuk hunian atau aktivitas apapun.

Di Wilayah Kerja BPCB Gianyar berdasarkan data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (http://www. penataanruang.net) terdapat 30 Gunung Api. Gunung Api ini terbagi menjadi tipe A, B, dan C. Gunung Api yang masuk dalam tipe A adalah Gunung Api yang meletus atau menunjukan kegiatannya sejak tahun 1600, berjumlah sebanyak 22 buah. Gunung Api yang masuk dalam Tipe B adalah Gunung Api yang pernah meletus, akan  tetapi sejak tahun 1600 tidak pernah menunjukan peningkatan kegaiatan dengan jumlah 3 buah. Dan Gunung api yang masuk tipe C adalah Gunung Api yang dianggap sudah padam/istirahat lama pada daerah ini hanya terdapat jejak gunung api berupa solfatara, fumarola di wilayah ini berjumlah 5 buah. Jika kita melihat data yang ada, maka terdapat 22 wilayah Gunung api Tipe A yang memiliki ancaman serius terhadap keberadaan Cagar Budaya yang ada disekitarnya. Mengenali dan memahami tentang keberadaan bencana gunung api, akan memberikan pengetahuan untuk mempelajari usaha mitigasi yang dapat dilakukan.

 

III. Upaya Pelindungan Cagar Budaya

Undang-Undang no 11 tahun 2010, menyebutkan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Perlu digaris bawahi dari pengertian undang-undang ini adalah keterdapatan unsur perlu dilestarikan keberadaannya, dalam pemahaman sederhana adalah ”harus dijaga keberadaannya dari kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia”. Tulisan ini ingin menyoroti bagaimana usaha kita untuk menjaga warisan budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, dalam hal ini bencana alam yang masuk dalam kriterian bencana gunung api.

Upaya pelestarian Cagar Budaya dibagi menjadi 3 yaitu Pelindungan Cagar Budaya, Pengembangan Cagar Budaya dan Pemanfaatan Cagar Budaya. Dalam kaitan dengan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api, maka keterkaitan yang utama terdapat dalam Pelindungan Cagar Budaya. Upaya Pelindungan cagar budaya ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu penyelamatan, pengamanan,  zonasi, pemeliharaan dan pemugaran.

 

IV. Model Upaya Pelestarian Cagar Budaya berdasarkan Peta Rawan Bencana Gunung api.

IV.1. Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Iya

Model ini merupakan upaya yang penulis lakukan untuk memanfaatkan  data Rawan Bencana Gunung Api sebagai data dukungan bagi upaya pelestarian cagar budaya di suatu wilayah. Peta Rawan Bencana Gunung api yang penulis jadikan data dasar adalah 2 data hasil penelitian yang dilakukan  Igan Sutawidjaja (2011) dan Igan Sutawidjaja dan Sugalang (2007) dengan judul makalah “Potensi bencana Gunung Api Iya, Kabupaten Ende,  Nusa Tenggara Timur” dan makalah “Multi-geohazards of Ende City Area”. Kedua data ini akan dimanfaatkan untuk menentukan upaya pelestarian yang dilakukan pada cagar budaya yang diperkirakan ada di wilayah yang merupakan Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Iya di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Gunung Iya terletak sekitar 7 km dari pusat Kota Ende, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan gunung api pa­ling selatan dari deretan gunung api di Flo­res (Gambar 1), dan juga dari deretan gunung api di kompleks Iya sendiri: Meja, Roja dan Iya. Puncak tertinggi 655 m dpl, terletak di sebelah timurlaut bibir Kawah-1 pada posisi geografis 08003’30” Lintang Se­latan dan 121038’00” Bujur Timur.

Kawasan Rawan Bencana Gunung Iya dibagi menjadi dua bagian, yakni Kawasan Rawan Bencana II (KRB II) dan Kawasan Rawan Bencana I (KRB I), sedangkan untuk bahan lontaran batu pijar dan jatuhan piroklastika, dipilah menjadi radius sebaran 3 km dan ra­dius sebaran 7 km dari kawah pusat (Lihat Gambar 2 ).

Gambar 1. Peta lokasi gunung api aktif di Pulau Flores (Igan Sutawidjaja, 2011)

Kawasan Rawan Bencana II (KRB II)

KRB II meliputi daerah bukaan Kawah-1 dan Kawah-2 yang mengarah ke sektor baratdaya. Sebaran KRB-II ini diperluas ke arah barat dan tenggara, hal ini didasarkan atas kajian pola topografi/morfologi dan kajian sejumlah lembah yang sangat berpotensi sebagai media transportasi endapan awan panas (endapan aliran piroklastika) produk Gunung Iya yang berada di sektor ini. Berdasarkan bahaya la­har, daerah KRB I diperluas ke arah baratlaut terutama sepanjang aliran Kampung Glagah, Kampung Rate, Kampung Baru dan Kampung Tewejangga. KRB II terbagi atas 2 ba­gian, yaitu kawasan yang berpotensi terlanda aliran massa panas dan kawasan yang berpo­tensi terlanda lontaran batu pijar dan jatuhan piroklastika.

Kawasan yang berpotensi terlanda aliran massa panas

Penyebaran awan panas ke arah utara-barat­laut, utara, timurlaut dan timur relatif kecil kecuali apabila kolom erupsi awan panas re­bah ke arah tersebut. Apabila kolom erupsi re­bah dan meluncur ke arah tersebut, maka dae­rah yang kemungkinan berpotensi terlanda produk letusan adalah unit-unit pemukiman Kampung Rate dan sebagian Kampung Baru. Apabila kolom erupsi rebah dan meluncur ke arah utara dan timur­laut, laju luncurnya akan tertahan oleh ben­tang alam Gunung Roja yang membentang dari timur ke barat. Dan apabila kolom erupsi rebah dan meluncur ke arah barat, baratdaya, selatan dan tenggara, maka produk letusan akan masuk ke dalam lingkungan laut melalui Teluk Endeh, Kilianenggoro, Tanginai, Zaka­mere, dan Teluk Onemaza.

Kawasan yang berpotensi terlanda lontaran batu pijar dan jatuhan piroklastika

Kawasan yang berpotensi terlanda produk letusan bahan lontaran batu pijar berukuran lebih dari 6 cm dan jatuhan piroklastika lebat (hujan abu lebat) diprediksi beradius 3 km dari pusat erupsi dengan asumsi bahwa pengaruh tiupan angin saat terjadi letusan diabaikan. Penggambaran lingkaran penuh beradius 3 km tersebut, didasarkan atas sebaran produk letusan terdahulu, dan prediksi ke letusan serupa di masa datang. Pemukiman yang berpotensi terlanda produk letusan ba­han lontaran batu pijar ini adalah Kampung Rate dan sebagian Kampung Baru.

Gambar 2. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Iya, Ende (Sutawidjaja dan Sugalang, 2007).

Kawasan Rawan Bencana I (KRB I)

KRB I meliputi daerah lingkaran penuh berja­ri-jari 7 km dari pusat erupsi. Daerah lingkaran ini terutama mencakup daerah lingkungan laut, termasuk ke dalamnya Teluk Ende, Te­luk Kilianenggoro, Teluk Tanginai, Teluk Za­kamere, dan Teluk Onemaza. Sedangkan yang mencakup daerah daratan adalah daerah yang terdapat di sektor utara, dan timurlaut Gunung Iya, termasuk ke dalamnya adalah Kota Ende yang berposisi di sebelah utara-timurlaut nung Iya. Luas KRB I ini adalah sekitar 127, 5 km2 dengan konsentrasi penduduk berada di ujung lingkaran bagian timurlaut, terutama di Kota Ende dan sekitarnya.

Daerah KRB I yang berpotensi terlanda produk letusan jatuhan piroklastika dan ba­han lontaran batu pijar berukuran lebih kecil dari 6 cm serta lahar/banjir, dapat dipisahkan menjadi dua bagian, yakni: Kawasan Rawan Bencana terhadap produk letusan jatuhan piroklastika (hujan abu) dan bahan lontaran batu pijar berukuran < 6 cm.

Daerah yang berpotensi terlanda produk letusan hujan abu dan kemungkinan terlanda bahan lontaran batu pijar, dibuat berdasarkan hasil penyelidikan lapangan langsung ter­hadap sebaran endapan jatuhan piroklastika produk letusan masa silam, terutama produk letusan terakhir Gunung Iya (erupsi 1969). Daerah sebarannya terbatas pada radius anta­ra 3 km dan 7 km dari pusat erupsi (Kawah-2) dengan besar variatif dari beberapa mm hing­ga maksimum 5 cm. Daerah yang perlu waspada terhadap hujan abu ini terkonsentrasi di Kota Ende dan seki­tarnya yang umumnya unit pemukiman dan penduduk cukup padat.

Kawasan Rawan Bencana terhadap lahar/banjir

Penduduk yang perlu waspada terhadap la­har/banjir umumnya mereka yang bermukim tetap di sepanjang bantaran sungai dan di hilir sungai baik yang berhulu dari sekitar puncak Gunung Iya maupun dari sekitar puncak Gu­nung Roja. Hal ini bisa saja terjadi manakala tidak lama setelah peristiwa letusan diikuti dengan guyuran hujan lebat. Alur-alur sungai tanpa nama yang berpotensi sebagai media transportasi lahar di daerah Gunung Iya, adalah alur-alur sungai yang mengalir ke arah baratlaut.

Peristiwa banjir lahar paska letusan 1969 (tepatnya pada tanggal 4, 12, 15, 19, dan 28 Februari 1969) telah melanda unit-unit pemu­kiman berikut: Kampung Rate, Tewejangga, Puunaka, dan Kampung Rukun Lima Atas. Pada peristiwa banjir la­har ini dinyatakan 2 orang meninggal dan 10 orang terluka.

IV.2. Analisa Ancaman Cagar Budaya.

Dalam upaya Pelestarian Cagar Budaya yang pertama dilakukan adalah upaya inventarisasi. Upaya ini dilakukan dengan mendatangi suatu wilayah yang diduga merupakan cagar budaya dan kemudian  dilakukan analisis, apakah dugaan ini benar adanya atau tidak. Jika benar maka akan menjadi cagar budaya yang nantinya akan ditetapkan berdasarkan nilai cagar budaya tersebut, apakah tingkat daerah, provinsi, atau nasional. Hasil lain dari upaya inventarisasi ini adalah Peta Sebaran Cagar Budaya. Peta sebaran ini dibentuk berdasarkan hasil inventarisasi di suatu wilayah. Beberapa lokasi yang merupakan Cagar Budaya dapat di masukan dalam sebuah peta sebaran. Dalam model ini, kami tampilkan Peta Sebaran Cagar Budaya di Kabupaten Ende (Gambar 3.) yang tidak sebenarnya, hanya sebagai contoh saja.

 

Dari ke dua peta ini (Peta KRB Gunung Iya dan Peta Sebaran Cagar Budya) selanjutnya dilakukan overlay (tumpang susun) terhadap kedua peta ini. Maka dihasilkan Peta sebaran cagar budaya yang ada di dalam peta KRB Gunung api Iya di Ende. Selanjutnya peta ini disebut sebagai Peta Ancaman Gunung Api Iya Terhadap Cagar Budaya (Gambar 4) . Berdasarkan analisis overlay, maka diperoleh bahwa :

  1. Cb 1, Cb 2, dan Cb 3 terdapat di wilayah Kawasan Rawan Bencana II.
  2. Cb 4, Cb5, dan Cb 6 terdapat pada wilayah Kawasan Rawan Bencana I.
  3. Cb 7 berada di luar Kawasan Rawan Bencana.
Gambar 3. Peta Sebaran Cagar Budaya di Kabupaten Ende (Contoh

Berdasarkan hasil analisisi yang didapatkan, maka dapat kita uraikan bahaya gunung api apa saja yang mengancam masing-masing Cagar Budaya yang telah kita petakan.

Cagar Budaya 1, Cagar Budaya 2 dan Cagar Budaya 3 memiliki ancaman bencana gunung api di wilayah KRB II, wilayah ini memiliki kemungkinan bencana berupa potensi terlanda aliran awan panas, lontaran batu pijar dan jatuhan piroklastik. Secara spesifik Cb 1 dan Cb 2 memiliki potensi yang lebih besar mengalami kedua ancaman ini (baik awan panas maupun lontaran batu pijar). Sedangkan Cb tiga hanya mengalami ancaman yang berupa lontaran batu pijar dan jatuhan piroklastik.

Gambar 4. Peta Ancaman Gunung api Iya terhadap Cagar Budaya

Cagar Budaya 4, Cagar Budaya 5 dan Cagar Budaya 6 berada pada wilayah ancaman bencana gunung api di KRB I, wilayah ini memiliki ancaman terlanda produk letusan jatuhan piroklastika dan ba­han lontaran batu pijar berukuran lebih kecil dari 6 cm serta lahar/banjir. Cagar Budaya 4 lebih terancam karena kemungkinan terlanda semua ancaman yang ada di KRB I ini. Sedangkan Cagar Budaya 5 dan Cagar Budaya 6 hanya memiliki ancaman produk letusan jatuhan piroklastika dan ba­han lontaran batu pijar berukuran lebih kecil dari 6 cm saja.

Cagar Budaya 7 merupakan wilayah atau tempat yang memiliki kondisi ancaman yang paling kecil/sedikit. Berdasarkan sejarah letusan yang pernah terjadi, maka wilayah Cagar Budaya 7 berada di luar Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Iya.

Pemeringkatan Ancaman.

Peta Ancaman Gunung api Iya Terhadap Cagar Budaya memberikan peringkat ancaman kepada beberapa Cagar Budaya yang berada di sekitar Wilayah Gunung Api. Pada contoh kasus Gunung Api Iya ini, dapat dihasilkan peringkat dari ancaman terbesar sampai yang terkecil adalah Cb1, Cb2, Cb3, Cb4, Cb5, Cb6 dan yang terakhir adalah Cb7. Pemeringkatan ancaman dari kegiatan Gunung Api Iya ini akan memberikan rekomendasi kepada instansi pelestari Cagar Budaya untuk melakukan usaha-usaha pelestarian berbasis prioritas.

Usaha pelastarian berbasis prioritas ini dimaksudkan sebagai jawaban terhadap keterbatasan tenaga ahli yang dimiliki, dengan luasan wilayah kerja yang cukup luas. Prioritas pelestarian akan dilakukan kepada Cagar Budaya yang memiliki ancaman paling besar, kemudian dilanjutkan kepada Cagar Budaya yang memiliki ancaman lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana, yang sampai saat ini belum bisa diramalkan kejadiannya. Proses antisipasi ini lebih dikenal dengan nama upaya mitigasi bencana.

Sebagai contoh, ketika dalam satu tahun anggaran hanya dialokasikan 3 titik cagar Budaya yang bisa dilakukan upaya pelestarian, maka pilihan dan prioritas akan kita dapatkan dari Peta Ancaman Gunung Api Iya terhadap Cagar Budaya di Wilayah Ende ini. Jelas prioritas yang akan dipilih adalah Cb1, Cb2, dan Cb3. Apabila terdapat alokasi anggaran untuk usaha pelestarian di tahun berikutnya, maka pilihannya tentu saja pada Cb4, Cb5, dan Cb6, demikian selanjutnya.

Upaya Pelindungan yang dilakukan diprioritaskan dalam pengumpulan data (foto maupun sejarah), pengukuran, dan penggambaran serta pembuatan peta-peta pendukung Cagar Budaya. Pengumpulan data secara lengkap dan teliti dapat menjadi arsip dan salah satu upaya Pelindungan apabila terjadi bencana dan memusnahkan Cagar Budaya yang ada di wilayah tersebut.

 

Kesimpulan

Pembahasan tentang bagaimana bencana geologi dapat sangat berpengaruh pada keberlanjutan cagar budaya (terutama secara fisik) sangat penting kita ungkapkan. Kita seperti berpacu dengan sesuatu yang tidak pasti terjadinya, siapa yang dapat meramalkan gunung meletus?, sampai saat ini belum ada yang dapat melakukanya.

 

Upaya preventif dan pemahaman terhadap fenomena alam dapat menjadi kunci keberhasilan kita dalam “mempertahankan” Cagar Budaya. Apa lagi dengan dibebankannya penetapan Cagar Budaya kepada pemerintah daerah/provinsi, maka sinergi mutlak diperlukan bagi beragam kepentingan dengan tetap mengusung sebuah misi bersama yaitu upaya Pelindungan Cagar Budaya.

Tulisan ini adalah sebuah sumbangan ide terhadap usaha mempertahankan atau setidaknya melindungi Cagar Budaya, entah pada akhirnya hanya berupa Foto, Gambar Detail dan Peta Situasi Cagar Budaya. Sehingga pada saat bencana menghancurkan warisan nenek moyang kita, masih ada cerita dengan ilustrasi lengkap yang dapat kita wariskan kepada anak dan cucu kita kelak, walaupun bentuknya hanya cerita.

 

Daftar Pustaka

Adjat Sudrajat, 2010, “Bencana AlamGeologi dan Pengaruhnya Terhadap Budaya”, Warta Geologi Vol 5 No 4 Desember 2010, Bandung.

Anonim, 2007, “Undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana”, Jakarta.

Anonim, 2010, “Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya”, Jakarta.

http://rovicky.wordpress.com

http://www.penataanruang.net/ta/Lapak05/P2/2/Bab3.pdf

Sjamsuddin, H dan Boer B. D. J., 2012, “Letusan Gunung Tambora 1815”, Penerbit Ombak, Yogyakarta.

Sugalang and Sutawidjaja. I. S., 2007, “Multi-geohazard of Ende City Area”, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 4 Desember 2007: 217-233, Bandung.

Sutawidjaja. I. S., 2011, “Potensi Bencana Gunung Api Iya, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 2 No. 2 Agustus 2011: 113 – 124, Bandung.