Pelestarian Cagar Budaya Dalam Paradigma Keseimbangan Budaya, Ekonomi Dan Ekologi Peluang Dan Tantangan Di Era Kekinian (I Wayan Geriya, Antropolog)

0
2512

  1. Representasi dan Momentum

Tesis universal yang dikemukan oleh penganut ilmu Humaniora progresif adalah, bahwa dinamika globalisasi yang berlangsung secara luas dan ekstensif juga diikuti oleh arus lokalisasi dan tradisionalisasi yang bergerak secara dalam dan intensif. Konsep Fritjof tentang Titik Balik Peradaban (Fritjof, 2004), Konsep Shinji Yamashita tentang Glokalisasi (Yamashita, 2003) dan kajian antropolog I Wayan Geriya, dkk tentang Bali Cultural Heritage Conservation Tahun 2000 sampai penulisan Blueprint Revitalisasi Gianyar Menuju Kabupaten Unggulan dalam Bidang Seni Budaya (Geriya dkk, 2003) merekam adanya benang merah pemikiran, bahwa fenomena kultural yang mengedepan abad XXI adalah globalisasi kultural yang paralel dengan lokalisasi dan tradisionalisasi mental. Soft Power kebudayaan yang berintikan bangunan filosofi, konfigurasi nilai dan revolusi mental bergerak ekstensif keluar dan intensif kedalam yang mempresentasikan identitas, karakter dan praktek berspirit heritage dan kuat dalam tekad pelestarian.

Dalam konteks tesis diatas, abad XXI merupakan momentum untuk representasi dan kebangkitan publik dalam semangat pelestarian Cagar Budaya dan kehadiran Kota Pusaka memperoleh momentum secara lokal, nasional dan internasional. Berkembangnya Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang sejak tahun 2011 telah mencakup sejumlah 51 kabupaten/kota di Indonesia dan kini telah menjangkau lebih dari 70 kabupaten/kota, serta kokohnya Jaringan Kota Pusaka Dunia di bawah The Organisation of World Heritage City (OWHC) yang beranggotakan lebih dari 250 kota di dunia merupakan modal sosial yang memiliki komitmen tinggi berkelanjutan terkait program pelestarian khasanah Pusaka Budaya termasuk Cagar Budaya yang tersebar di bawah Provinsi Bali dan Indonesia. Bagi Kabupaten Gianyar, kabupaten di Bali yang memiliki catatan jumlaah Cagar Budaya paling banyak (55 buah diantara 105 Cagar Budaya di Provinsi Bali), fenomena tersebut sangat menginspirasi , memotivasi dan merevitalisasi aksi-aksi pelestarian dan konservasi.

Candi Tebing Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali

Terkait dinamika budaya tersebut di atas, sudah saatnya terbangun sinergi multi-helix secara lintas lembaga dan lintas profesi. Sinergikan komponen birokrasi, akademisi, politisi, pengusaha, tokoh masyarakat dan kader-kader pelestari budaya untuk menjalankan komitmen, rencana aksi program pelestarian. Begitupula kajian-kajian ilmiah dan komulasi pendanaan sangat penting untuk Pusaka Budaya dan Cagar Budaya bagi tujuan-tujuan kelestarian, kesejahteraan dan keberlanjutan Pusaka Alam, Budaya  dan Saujana searah dengan SDG’S Goal 2015-2030.

  1. Paradigma Keseimbangan Budaya, Ekonomi, dan Ekologi

Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menawarkan perubahan paradigma, bahwa dalam pelestarian Cagar Budaya makin diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis dan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Paradigma baru ini hadir dengan menyeimbangkan konfigurasi budaekologi ya ekspresif yang mengutamakan sinergi nilai seni, solidarita dan agama serta konfigurasi budaya progresif yang mengenepankan sinergi nilai kekuasaan, ekonomi dan iptek, serta mengantisipasi secara kreatif tantangan-tantangan konflik nilai, paradoks filosofi sampai anomali mentalis.

Tulisan singkat ini menyederhanakan dan memfokuskan refrensi paradigma pada tiga dimensi: budaya, ekonomi dan ekologi. Dimensi budaya diharapkan berfungsi sebagai basis dalam memperkokoh identitas dan modal kultural. Dimensi ekonomi diharapkan berfungsi sebagai rencana aksi menuju penguatan ekonomi kreatif dan orange ekonomi berbasis sumber daya budaya. Dimensi ekoogi diharapkan berfungsi sebagai pengawal dan penguatan asa untuk terwujudnya proses aksi dengan output-outcome yang berskala berkelanjutan secara topos, kronos dan logos (desa, kala, patra).

Paradigma keseimbangan budaya, ekonomi dan ekologi sangat relevan dengan amanat konvensi UNESCO tahun 1072 tentang konsep heritage dan konservasi Cagar Budaya, serta sejalan dengan deklarasi Ciloto tahun 2003 tentang konservasi dan pelestarian pusaka yang mencakup totalitas pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Dalam konteks Gianyar Bali dan Indonesia, paradigma keseimbangan budaya, ekonomi dan ekologi juga memperoleh bobot dalam pengutan basis filosofi, sandaran kearifan lokal (Tri Hita Karana), kearifan nasional (Ideologi Pancasila) sampai kearifan universal berbasis peradaban humanisme.

III.       Analisis SBS (Stimulus, Barriers, Solution)

Analisis SBS (Stimulus, Barriers, Solution) adalah satu jenis analisis yang sangat relevan dan efektif digunakan dikalangan ilmu-ilmu sosial terapan, seperti ilmu Antropologi, Arkeologi, Sosiologi, Ilmu Polotik, Ilmu Ekonomi dan sinergi lintas disiplin untuk mendalami, mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena penting seperti pelestarian, pemberdayaan, transformasi sosial budaya. Keunggulan analisis SBS bukan sebatas mengidentifikasi kekuatan atau hambatan, melainkan juga menawarkan solusi yang bersifat strategis, implementatif dan efektif.

 Analisis SBS terkait pelestarian Cagar Budaya di Provinsi Bali sebagai Pulau

Seni, Provinsi Pusaka dan Daerah Pariwisata Budaya Menuju Kelestarian,

Kesejahteraan, Berkelanjutan

 

No Kategori Narasi
1 Stimulants

Potensi, Kekuatan

·           Bali memiliki identitas yang kokoh berbasis kebudayaan

·           Bali kaya akan keragaman, kegeniusan dan keunikan Pusaka Budaya dan Cagar Budaya

·           Tekad dan semangat pelestarian Pusaka Budaya, kuat dan berpotensi sinergis

·           Bali memiliki SDM kreatif dan Maestro di bidang Pusaka Budaya

·           Penghargaan lembaga-lembaga nasional dan UNESCO tinggi di Bali berkembang dengan jejaring lokal, nasional,  dunia

 

2 Barriers

Hambatan, Kelemahan

·           Eksistensi Pusaka Budaya dan Cagar Budaya ada dalam tekanan usia tua, yang berpotensi rapuh, rusak, dan bahkan punah

·           Adanya ancaman perilaku vandalisme dan aneksasi budaya

·           Gangguan bencana alam dan bencana sosial

·           Infrastruktur Pusaka Alam, Budaya, Saujana banyak rusak

·            Dinamika budaya bergerak involusi, berkembang distorsi, daya dukung dana, SDM dan visi lemah

 

3 Solution

Aneka Solusi

·           Partisipasi: Partisipasi publik ditingkatkan, dengan kejelasan dan peningkatan kewajiban serta hak-hak budaya

·           Sumber Daya: Sumber daya alam, sumber daya budaya dan sumber daya manusia disinergikan menuju berdaya guna dan berdaya hasil

·           Sinergi: Sinergi multihelix ditingkatkan, Jaringan Lokal, nasional dan dunia dikuatkan, diberdayakan menuju kelestarian, kesejahteraan rakyat berkelanjutan

 

  1. Roadmap dan Langkah Strategis

Cita-cita untuk menguatkan, meningkatkan, dan menyeimbangkan aplikasi program rencana aksi pelestarian Cagar Budaya dalam paradigma keseimbangan budaya, ekonomi dan ekologi berpeluang efektif. Untuk tujuan tersebut roadmap holistik, langkah-langkah strategis dan manajemen pelestarian Cagar Budaya dapat diformulasikan, disosialisasikan dan diaplikasikan secara terstruktur, terukur dan bermakan bagia kehidupan (publik, budaya, adat), bagi penghidupan (masyarakat, komunitas, manusia) dan bagi keunggulan dalam relasi daya saing lokal, nasional, internasional. Manajemen berbasis budaya bangsa dan orange ekonomy. sangat diperlukan serta ditopang oleh langkah-langkah strategis dengan rancangan output dan outcome yang makin terukur secara objektif melalui indikator dan indeks pembangunan, seperti; Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pelestarian Budaya (IPB), Indeks Kepuasan Publik (IKP) sampai Indeks Kebahagiaan Masyarakat (IKM). Secara Diagramatik­-sistemik-dinamika, roadmap pelestarian Cagar Budaya berpradigma keseimbangan budaya, ekonomi, ekologi sebagai berikut:

  1. Roadmap dan Langkah Strategis

Pelestarian Cagar Budaya dalam paradigma keseimbangan budaya, ekoomi dan ekologi adalah satu opsi pelestarian yang efektif berjangka pendek, menengah dan jangka panjang. Paradigma ini mensinergikan dimensi-dimensi kehidupan, penghidupan dan keunggulan secara berkelanjutan searah dengan Visi Program Bali Berbudaya, Pembangunan Nasional berorientasi Nawa Cita dan pembangunan PP melalui rumusan tujuan SDG’S 2015-1030.

Paradigma ini dapat diaplikasikan dalam wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali yang meliputi Provinsi Bali, NTB dan NTT dan bahkan cukup relevan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengelola pelestarian dan pemberdayaan Pusaka Budaya berkelanjutan sesuai amanat UU no 11, tahun 2010 ekspektasi menuju masyarakat sejahtera, bahagia, jagathita.