Di Gunung Pujut, masih satu komplek dengan bangunan masjid tersebut terdapat bangunan tempat pemujaan yang disebut Pedewa. Baik bangunan masjid maupun pedewa digunakan oleh satu kelompok masyarakat yang sama, yaitu penganut ajaran “Waktu telu”. Upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan roh leluhur/nenek moyang bertempat di Pedewa dipimpim oleh Pemangku. Sedangkan upacara yang berhubungan dengan agama Islam bertempat di masjid, dipimpin oleh Kiyai. Oleh karena itu dilihat dari sudut pandang ajarannya, jelaslah bahwa ajaran “Waktu Telu” tidak lain adalah perpaduan antara sistem kepercayaan animisme, Hindu dan Islam.Adanya sinkretisme ini akan tampak juga jika dihubungkan dengan cerita tradisi masyarakat Pujut tentang asal usul nenek moyangnnya (Datu Pujut) yang dikatakan berasal dari Majapahit, bernama Mas Mulia. Di Klungkung Bali, mas Mulia kawin dengan putri Dewa Agung Putu Alit bernama Dewi Mas Ayu Supraba. Dari Bali, Mas Mulia disetai 17 keluarga (bhs.Sasak : Kuren), berangkat menuju Lombok dan menetap di Pujut. Mereka inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk asli desa Pujut sekarang.
Beranda Info Budaya Cagar Budaya Pedewa merupakan tinggalan “Ajaran Watu Telu” yang ada di areal Masjid Pujut