SURVEI AWAL TINGGALAN KAPAL JEPANG (JAPANESE WRECK) DI PERAIRAN PANTAI BANYUNING, DESA BUNUTAN, KECAMATAN ABANG, KARANGASEM

0
2005

Gde Yadnya Tenaya

Arkeolog

(telah dimuat dalam Buletin Sudamala tahun 2017)


Latar Belakang

Indonesia sebagai  suatu negara kepulauan adalah berada pada posisi yang strategis karena berada pada posisi silang dunia. Dengan posisi yang sangat strategis, dalam perjalanan sejarahnya Indonesia dilayari oleh kapal/perahu baik berasal dari  lingkungan Indonesia maupun dari luar Indonesia antara lain seperti Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Asia Timur dan Eropa.  Demikian juga pada masa pemerintahan kolonial Portugis, Belanda,  Jepang, maupun pada masa Perang Dunia II.  Dalam situasi seperti itu  maka tidak sedikit perahu maupun kapal ysng karam di wilayah perairan Indonesia.  Berdasarkan data hipotetis Pannas BMKT, DKP tentang pelayaran di Indonesia, jumlah perahu maupun kapal yang karam di Indonesia adalah lebih dari 500 buah titik. Selain karam di lautan masih banyak lagi perahu dan kapal  tenggelam/karam yang belum terdeteksi seperti di sungai-sungai besar dan danau-danau di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Bab I, pasal 1) disebutkan bahwa perlindungan cagar budaya adalah upaya mencegah dn menanggulangi cagar budaya dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Hasil budaya manusia itu ada yang berada di darat dan ada yang ditemukan di bawah air.

Dalam upaya mengakomodasi amanat undang-undang tersebut, di wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar  memiliki sebuah potensi tinggalan bawah air yang perlu diselamatkan dan dilestarikan. Salah satu potensi tinggalan bawah air tersebut adalah sebuah bangkai kapal diperkirakan berasal dari masa kolonial Jepang (Japanese Wreck) yang  berlokasi di wilayah perairan pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem.

Dalam media massa terutama  media elektronik webbsite situs Banyuning dengan Japanese Wreck-nya telah banyak diposting/diekspos oleh para wisatawan yang pernah mengunjungi situs tersebut. Sedangkan dari sumber kepustakaan, sebuah buku yang menguraikan tentang keberadaan kapal Jepang yang tenggelam di perairan Dusun Banyuning,  ditulis oleh David Pickel dan Walli Siagian, dengan judul Diving Bali The Under Water Jewel of  Southeast Asia.

Industri pariwisata terutama  wisata diving dan snorkeling di sepanjang wilayah lokasi Desa Bunutan, Amed, Jumeluk, Banyuning, dan sekitarnya  telah dikembangkan sebagai daya tarik wisata oleh masyarakat lokal dan pengusaha/pemodal asing. Dengan adanya pengembangan yang semakin maju dalam bidang industri pariwisata di wilayah ini, maka cagar budaya Japanese Wreck yang terdapat di perairan pantai Banyuning akan mengalami keterancaman kelestariannya dari faktor lingkungan dan alam. Sampai saat ini cagar budaya bawah air Japanese wreck Dusun Banyuning, Desa Bunutan  sama sekali belum tersentuh oleh upaya pelestariannya. Dalam upaya mengntisipasi permasalahan  tersebut   perlu ditelusuri/didata keberadaannya melalui kegiatan survei pada lokasi tersebut.   

Dasar pelaksanaan  survei terhadap cagar budaya bawah air di perairan pantai Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem  adalah sebagai berikut.

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya;
  2. Keppres Nomor: 25 Tahun 1992, tentang Pembagian Hasil Pengangkatan BMKT antara Pemerintah dan Perusahaan;
  3. Keppres Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
  4. Keppres Nomor 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
  5. KepMen KP Nomor 03 tahun 2000 tentang Rincian Susunan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
  6. KepMen KP. Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Pengangkatan BMKT;
  7. Permen Budpar Nomor 48 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air;

Program Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar, Wilayah Kerja Provinsi Bali NTB dan NTT tertuang dalam DIPA   023.15.2.427826/2014, tanggal 14 November  2014.

Survei terhadap cagar budaya bawah air di wilayah perairan Pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem,dimaksudkan untuk menjaring data cagar budaya bawah air kapal karam tinggalan dari masa kolonial Jepang (Japanese Wreck) yang tenggelam di wilayah perairan tersebut.  Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah dalam upaya pelestariannya.

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor  metode kualitatif  merupakan metode  penelitian menurut yang disebut riset interpretasi (Moleong, 1994: 3). Dalam pengertiannya,  penelitian  kualitatif adalah penelitian  yang menghasilkan data deskriptif, baik data tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilakunya yang dapat diamati, dengan  penekanan pada uraian detail. Dalam konteksnya dengan kegiatan survei ini, data deskriptif  adalah penggambaran situasi dan kondisi cagar budaya Japanese wreck saat ini, dan deskriptif dari penutur/informan. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut.

  1. Observasi : kegiatan langsung dilaksanakan di lapangan yakni pada lokasi dimana  kapal itu ditemukan yakni di wilayah perairan Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem;
  2. Wawancara: dilakukan tanpa berstruktur dengan tokoh-tokoh/orang-orang yang dianggap mengetahui keberadaan cagar budaya yang menjadi obyek survei;
  3. Dokumentasi: pengumpulan data dengan mendokumentasikan objek dengan cara pemotretan (foto), dan perekaman video.
  4. Kepustakaan: dengan menelusuri sumber-sumber tertulis/media berupa, artikel, majalah, buku-buku dan/atau media elektronik antara lain internet berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran survei.

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah  dan analisis secara deskriptif kualitatif. Hasil akhir dari analisis tersebut  berupa beberapa simpulan dan rekomendasi dalam upaya pelestariannya ke depan.

 

Letak dan Lingkungan

Secara administratif Dusun Banyuning termasuk dalam wilayah desa dinas Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Desa Bunutan mewilayahi sepuluh (10) Banjar (Br.)/Dusun  dinas antara lain: Banjar Bunutan, Banjar Banyuning, Banjar Kusambi, Banjar Batu Keseni, Banjar As, Banjar Lean, Banjar Bangle, Banjar Sege, Banjar Gulinten, Banjar Canggwang. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur. Pertama jalur jalan raya Amlapura-Tulamben, dan kedua melalui jalur kota Amlpura-Amed melalui jalan raya kecil menyusuri pantai utara pulau Bali. Dari ibukota kabupaten dengan jarak kurang lebih 35 km.

Lokasi Japanese Wreck Sumber: http://www.indopacificimages.com/index.php/indonesia/diving-indonesia-bali-japanese-wreck-in-amed-north-east-bali/
Situasi kampung Dusun Banyuning, di sebelah barat situs Japanese Wreck

Kondisi Geografis

Secara geografis Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, berada pada posisi di sebelah timur pulau Bali. Berdasarkan bentangan alamnya, Desa Banyuning merupakan perkampungan penduduk di wilayah utara pulau Bali dengan karakteristik wilayahnya adalah pantai pantai. Di sepanjang pantai Dusun Banyuningn dan Desa Bunutan merupakan pantai berbatu yang tidak jauh berbeda karakternya dengan pantai Tulamben, Amed, dan pantai-pantai lainnya yang berada di posisi utara bagian timur pulau Bali. Secara virtual, wujud bentangan alam wilayah Dusun Banyuning dan dusun-dusun lainnya merupakan perpaduan antara lingkungan fisik pantai dan perbukitan. Kondisi fisik geografis Dusun Banyuning batas-batas, disebelah utara lautnya adalah laut Bali, di sebelah selatan dikelilingi oleh dua gugusan bukit yakni Bukit Nampu dan Bukit Blubuh. Di sebelah baratnya adalah jalur perkampungan yang meliputi dusun-dusun dan desa-desa antara lain: Banjar Kusambi, Banjar Batu Keseni, Banjar As, Banjar Lean, Banjar Bangle, Banjar Sege, Banjar Gulinten, Banjar Canggwang. Di sebelah timurnya dengan batasnya adalah Dusun Batu Letuh. Dengan menggunakan Villa Eka Purnama sebagai datum point, secara astronomi Dusun Banyuning terletak pada posisi 50 L 0312126, UTM: 9057867, dengan ketinggian 5-12 meter di atas permukaan air laut.

Letak dan lokasi georafis Dusun Banyuning, Desa Bunutan dalam peta pulau Bali.
Kondisi geografis Dusun Banyuning dilatari oleh dua buah bukit, bukit Nampu dan Bukit Blubuh.

Mata Pencaharian Penduduk

Dusun Banyuning dengan karakteristik  wilayahnya berupa perpaduan antara wilayah perbukitan dan wilayah pantai, dalam hal mata pencaharian hidupnyapun   berasal dari kedua karakteristik tersebut. Sebagai penduduk yang berasal dari daerah pegunungan/perbukitan dengan mata pencaharian sebagai petani, dan peternak sapi. Penduduk yang berasal dari wilayah pantai, mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan pantai yakni sebagai nelayan pencari ikan. Dengan berkembangnya industri pariwisata bahari di wilayah dusun dan desa ini, masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, dan memiliki pengetahuan, kecakapan/skil mereka memilih pekerjaan pada industri jasa pariwisata, seperti sebagai pengelola vila, karyawan vila/resort selam, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan jasa kepariwisataan yang sedang berkembang di sekitar wilayah mereka tinggal.

Kumpulan perahu sedang parkir sebagai sarana mata pencaharian penduduk sebagai nelayan pencari ikan disamping sebagai sarana transportasi laut dalam kepariwisatan di dusun Banyuning.

Sosial Budaya Agama dan Kepercayaan

Sebagai bagian dari dusun yang berada di bawah Desa Bunutan, masyarakat Dusun Banyuning masih kental dengan ikatan kekerabatan keluarga termasuk dalam ikatan komunitas yang besar yakni terikat secara adat ke dalam satu wadah lembaga adat yakni Desa Adat Sege. Bagi yang belum berkeluarga, mereka terhimpun ke dalam satu organisasi sosial skhe teruna-teruni. Dalam hal agama dan kepercayaan, masyarakat Banyuning memeluk agama dan kepercayaan yang mereka yakini yakni agama Hindu.

Pengembangan  Situs  sebagai  Daya Tarik  Wisata

Pengembangan situs kapal Jepang di Dusun Banyuning sebagai daya tarik wisata sesungguhnya tidak terlepas dari konteks yang lebih luas, yakni pengembangan pariwisata di Bali.  Berdasarkn hasil-hasil penelitian tentang kepariwisataan di Bali, pengembangan pariwisata yang berbasis budaya dan berbasis masyarakat telah memboming sekitar tahun 1980-an sampai sekarang. Pengembangan pariwisata berbasis budaya dan masyarakat adalah pariwisata dengan memberdayakan dan memanfaatkan sumberdaya budaya lokal sebagai modal utama. Berbasis masyarakat oleh karena  dalam proses pengembangannya melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik budaya itu sendiri. Pengembangan sumberdaya budaya lokal berbasis masyarakat dapat dirujuk pada pengembangan situs kapal USAT Liberty Tulamben, situs Taman Sukasada Karangasem, Candi Dasa, dll.

Pengembangan situs kapal jepang di Dusun Banyuning sebagai daya tarik pariwisata, dari segi limut waktu besar sekali kemungkinannya sejajar dengan pengembangan situs kapal USAT Liberty Tulamben. Dari segi lokasi dan geografis, situs Banyuning berada pada satu ruang wilayah geografis yakni Kabupaten Karangasem. Pengembangan situs Banyuning sebagai daya tarik wisata pada awal mulanya dirintis oleh para penggemar dunia selam melalui posting-posting pada media elektronik webb site oleh orang asing, yang akhirnya diikuti oleh inisiatif pengusaha bekerjasama dengan masyarakat lokal. Sebagai satu contoh posting yang dilakukan oleh wisatawan asing tentang situs dan kapal Jepang Banyuning seperti kutipan  berikut.

“The wreck is the “other” shipwreck in north-east Bali and although it plays second fiddle to the Liberty wreck at nearby Tulamben, is an excellent dive and well worth making the fairly short journey to Amed if you are staying in the Tulamben area. The wreck is located in shallow water, just off the beach in Lipah Bay near the small village of Banyuning, which places it close to Gili Selang where the forces of the Indonesian Throughflow are at their most powerful” (http://www.scubaboard.com/forums/indonesia/385797-bali-japanese-wreck-amed.html).

Dalam kenyataannya, di sepanjang situs Amed, Jumeluk, Lepah, Bunutan, dan Banyuning,  daya tarik wisata  bermodalkan keindahan bawah airnya berupa terumbu karang, biota laut, dan situs Banyuning dengan Japanese Wreck-nya kepariwisataan menjadi semakin hidup dan berkembang dengan melibatkan masyarakat lokal. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya industri pariwisata seperti: villa/hotel, resort dive, dan karyawan yang dipekerjakan adalah masyarakat lokal.

Keindahan alam sepanjang pantai menjadi andalan daya tarik pariwisata di Desa Bunutan
Salah satu vill berada di depan situs kapal Japanese Wreck Dusun Banyuning
Salah satu dive resort sebagai penyedia fasilitas kebutuhan pariwisata selam dan snorkeling di situs kapal Japanese Wreck Banyuning.

Sejarah Kapal

Terkait dengan  keberadaan kapal jepang (Japanese Wreck) yang saat ini masih berada di perairan pantai Banyuning, terkait dengan bagaimana riwayatnya sampai karam di perairan Dusun Banyuning, jenis kapal, fungsi kapal dan aspek-aspek lainnya terkait dengan kapal ini belum dapat diketahui secara pasti. Hal tersebut karena data-data dan sumber-sumber maupun informasi sangat minim sekali. Sehingga berkaitan dengan riwayat/sejarah keberadaan kapal tersebut belum dapat diungkapkan. Walaupun demikian, yang jelas berdasarkan atas informasi dari beberapa masyarakat lokal yang ditemui, dan berdasarkan atas informasi yang diperoleh dari sumber media elektronik website, kapal tersebut adalah kapal jepang, dengan sebutan Japanese Wreck. Dari penyebutan namanya yakni Japanese, sudah pasti kata Japanese  berarti Jepang atau Negara Jepang. Sedangkan istilah Wreck merupakan istilah yang lazim digunakan oleh para penyelam untuk menyebutkan suatu kegiatan penyelaman yang dilakukan pada kapal yang tenggelam yang berada di dasar  laut. Berdasarkan penyebutan namanya (Japanese Wreck) berarti mengandung pengertian penyelaman pada kapal milik Negara Jepang.  Menyebut Negara Jepang, mengingatkan pada masa lalu yakni sebelum diproklamirkan  kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Indonesia pernah dijajah oleh Negara Jepang yang berakhir pada tahun 1945. Besar kemungkinannya bahwa Japanese Wreck yang terdapat di perairan pantai Dusun Banyuning merupakan milik dari angkatan laut negara Jepang pada waktu melakukan penjajahannya atas Indonesia dari tahun 1942-1945. Selain Japanese Wreck di Banyuning, Bali,  sebagai bukti bahwa Negara Jepang pernah menjajah di Indonesia adalah sebuah kapal Jepang yang tenggelam di perairan Teluk Wodong Flores, NTT. Sebagai salah satu bukti sejarah yang memiliki nilai sejarah, dan pendidikan yang tinggi  patut diupayakan pelestariannya.

Situs

Situs Kapal Jepang (Japanese Wreck) sangat mudah dijangkau, karena secara vertikal berada pada lingkungan geografis sebuah teluk dan garis pantai di sisi utara pulau Bali. Secara keruangan, situs ini  merupakan perpaduan antara lingkungan alam  daratan dan perairan. Situs ini dengan batas-batas, secara vertikal  batas utara adalah perairan dengan kedalaman 15 – 32 meter. Batas  selatannya adalah garis pantai Teluk Banyuning dan wilayah pesisir kampung Banyuning. Batas timurnya adalah perairan dan garis pantai Teluk Banyning dengan daratannya, dan batas baratnya adalah perairan pantai Banyuning dan daratannya. Di bagian garis pantai di depan lokasi tenggelamnya kapal Jepang (Japanese Wreck) difungsikan sebagai  ruang  untuk parkir perahu para nelayan dan beberapa buah villa, bungalow, resort sebagai fasilitas kepariwisataan. Bagian selatan setelah ruang parkir perahu dan fasilitas wisata adalah pemukiman penduduk dan jalan raya penghubung dengan kota kabupaten. Situs Japanese Wreck berada pada perairan dengan kedalaman  rata-rata 6 – 12 meter, dasar perairannya pasir hitam, dengan vegetasi laut soft coral.

Benda Cagar Budaya

Cagar budaya yang terdapat di perairan Teluk Banyuning, dengan uraian/pemerian sebagai berikut.

Nama : Kapal Jepang (Japanese Wreck)

Bahan : baja

Ukuran : panjang  20 meter, lebar: 5  meter, dan tinggi  2,14 meter

Kedalaman : 6 – 12 meter

Visibility vertikal : 10 meter

Visibility horizontal : 12 -16 meter

Kordinat UTM : haluan kapal  50 L0355897; UTM 9075173, dan buritan  kapal 50 L 0356924; UTM 90751181.

Pemerian/deskripsi : Kapal ini berada di atas dasar perairan dengan  posisi buritan-haluan menghadap  ke arah  timur-barat (menghadap ke garis pantai), dan posisi dudukan kapal miring ke kiri (dilihat dari arah utara).  Secara keseluruhan, kondisi kapal  sudah dalam kondisi tidak utuh lagi. Badan kapal dalam kondisi terpecah/patah menjadi empat bagian. Bagian patahan ekor (buritan) dengan kemiringan sekitar 75 derajat. Bagian lambung telah pecah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, dan bagian rangka (gading kapal) dengan posisi berada pada bidang datar di atas pasir. Beberapa bagian alas (dek kapal) yang tersisa dalam posisi berdiri teggak.  Bagian haluan kapal telah pecah menjadi bagian-bagian kecil, sehingga agak sulit diidentifikasi. Bagian-bagian yang dapat diidentifikasi adalah bagian-bagian dari badan kapal yang berukuran besar saja. Secara keseluruhan, bagian-bagian kapal telah ditumbuhi oleh karang laut dan beberapa jenis soft koral. Kebanyakan unsur-unsur bagian kapal telah terlepas dari kesatuannya, tetapi masih berada di sekitar fragmen/reruntuhan yang lebih besar. dari Di sekitar reruntuhan kapal terutama di sebelah kiri dan kanan dasar perairan tumbuh kelompok-kelompok beberapa jenis koral lunak (soft  coral) yang menambah keindahan situasi di areal dasar perairan (lihat foto di bawah).

Deskripsi  terhadap Japanese Wreck Banyuning dalam website posting David Pickell  sebagai berikut.

“Dive Site : Japanese Wreck

Location : Banyuning, Bali, Indonesia

Description : Steel freighter

Length : 20 metres (65 feet)

Depth : 6 – 12 metres (20 – 40 feet)

Visibility : 15 – 30 metres (50 – 100 feet)

Rating: ***

Lipah Bay is a quiet, black sandy bay about 3km southeast of Amed and home of a 20 metre steel freighter wreck. The wreck sits at 6 – 12 metres between a reef and the sandy bottom and is encrusted with gorgonians, sponges and black coral bushes. The slope down away from the wreck is rich and healthy and fish life here is also good. Pipefish, shrimps, seahorses and dragonfish can be found in the right conditions here. Although the area is relatively small, Lipah Bay Reef makes a good snorkelling site. David Pickels’ wonderful book on diving in Bali described this dive site for the first time back in 1999 as the Lipah Bay Wreck, and he admitted his mistake in the meantime. Matter of the fact is that this little wreck is not located in Lipah Bay at all, but some villages further east along the coast, namely in the village of Banyuning! The dive site is locally known among the dive operators as “the Japanese Wreck”. Lipah Bay is a nice snorkel spot and actually also has a small wooden wreck in only 1.5 metres of water!!” (http://www.divesitedirectory.co.uk/dive_site_indonesia_bali_wreck_lipah_bay_wreck.html).

Fragmen bagian haluan kapal dengan kondisi telah ditumbuhi oleh flora laut berupa soft coral.

 

Bagian tengah badan kapal dalam kondisi rusak dan telah ditumbuhi oleh flora laut (soft coral)
Fragmen bagian dek kapal (berupa plat) dengan posisi tegak lurus.
Bagian unsur kapal berbentuk persegi empat dengan sebuah rongga pada bagian tengahnya.

 

Bagian dari unsur kapal yang telah terlepas dari kesatuannya, berada tidak jauh dari reruntuhan badan kapal.

 

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, hasil  kegiatan survei dapat disampaikan sebagai berikut.

  1. Kapal Jepang (Japanese Wreck) yang tenggelam di wilayah perairan pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Amed adalah kapal tenggelam yang berasal dari masa kolonial Jepang.
  2. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, berdasarkan usia dan latar sejarahnya, situs dan kapal ini telah termasuk ke dalam kriteria Cagar Budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.
  3. Faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap kelestariannya adalah ancaman lingkungan alam yakni cuaca buruk, oksidasi yang tinggi,  dan manusia yakni pemanfaatan dan pengembangan pariwisata oleh masyarakat.  Untuk menjaga agar situs dan benda bersejarah tersebut tetap lestari, diperlukan upaya dan langkah teknis pelestariannya melalui upaya pelestarian lebih lanjut berupa pelindungan dan pemeliharaannya.

Situs dan cagar budaya kapal karam di perairan Banyuning   cukup besar potensinya untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai obyek dan daya tarik wisata bawah air  di samping obyek-obyek   wisata lainnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.  Dengan catatan,  pengelolaan dan pemanfaatan situs dan benda cagar budayanya hendaknya tidak bertentangan dengan konsep pelestarian.

Rekomendasi

Mengingat pentingnya nilai yang terkandung dalam situs dan kapal tenggelam tinggalan dari masa Perang Dunia II tersebut bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan,  untuk langkah ke depannya diperlukan upaya teknis pelestariana lebih lanjut, dengan beberapa rekomendasi sebagai berikut.

  1. Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs dan benda cagar budaya kapal Jepang di Banyuning Kabupaten Karangasem, perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah teknis antara lain inventarisasi dan penetapan situs dan benda cagar budayanya sebagai Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan dan Penetapan sebagai Cagar Budaya oleh instansi yang berkompeten, dalam hal ini adalah BPCB Gianyar dan Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem. Upaya-upaya teknis khusus lainnya yang perlu dilakukan  adalah pemetaan dan penggambaran, studi pelestarian, dan zonasi,  oleh instansi BPCB Gianyar.

Peran serta aktif dari masyarakat dan steakholder untuk melestarikan situs dan benda cagar budaya beserta lingkungannya sangat diperlukan.

 

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2010.  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Tahun 2010.

http://www.indopacificimages.com/index.php/indonesia/diving-indonesia bali-japanese wreck-in-amed-north-eastbali/.

http://www.scubaboard.com/forums/indonesia/385797-bali-japanese-wreck-amed.html

http://www.divesitedirectory.co.uk/dive_site_indonesia_bali_wreck_lipah_bay_wreck.html

Moleong, Lexy J. 1994. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pickell, David dan Siagian Wally, tt. Diving Bali The Underwater Jewel of Southeast Asia.