Nilai Penting Tinggalan Arkeologi di Situs Candi Wasan

0
6645

Putu Ayu Surya Andari

(Telah diterbitkan dalam Buletin Sudamala, Volume 05/1/2019)

I. PENDAHULUAN

Masyarakat Bali pada umumnya mempunyai kesadaran yang tinggi tentang masa lampau karena tidak lepas dari kehidupan sosial religius masyarakat desa adat. Hal ini terbukti dengan adanya tinggalan arkeologi atau benda cagar budaya yang masih berfungsi seperti saat diciptakan atau masih hidup (living monument), terutama benda-benda yang ditemukan untuk media pemujaan. Benda Cagar Budaya yang ada di suatu desa adat dikategorikan merupakan milik desa dan sarana penunjang kehidupan beragama. Selain sebagai media pemujaan banyak tinggalan arkeologi juga dilestarikan dan dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya, seperti Goa Gajah, Pura Tirta Empul, Pura Taman Ayun dan lain sebagainya. Namun, menurut Burns dan Holden, pariwisata budaya tersebut seperti pisau bermata dua dalam pemanfaatan pusaka budaya sebagai objek dan daya tarik wisata. Artinya, pariwisata akan dapat melestarikan pusaka budaya tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, kegiatan pariwisata akan dapat merusak atau berdampak negative terhadap pusaka budaya karena objek itu akan dikonsumsi oleh wisatawan (Burns dan Holden, 1995; Ardika, 2007:18).

Terkait dengan pengembangan pariwisata budaya Bali seperti kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya yang tersebar di wilayah Bali dengan keberagaman sumberdaya arkeologi yang berbeda-beda. Kabupaten Gianyar merupakan wilayah potensial dan memiliki peninggalan arkeologi yang sangat bervariasi, salah satunya dalam bentuk candi. Candi dianggap sebagai media atau sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur. Selain itu, muncul kepercayaan tentang pemujaan terhadap dewa-dewa yang diimajinasikan atau dibuat dalam bentuk arca dan ditempatkan dalam sebuah bangunan seperti candi dan pura. Jumlah tinggalan arkeologi berupa candi yang ada di Bali sangat sedikit dan dalam bentuk yang sudah tidak utuh, antara lain: Candi Pegulingan, Candi Wasan, Candi Mangening dan Candi Kalibukbuk. Candi-candi ini memiliki nilai penting yang tinggi sehingga perlu dilakukan pelestarian, pengelolaan dan pengembangan dengan melibatkan masyarakat pendukungnya.

Menurut UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010 Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya,Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Penetapan nilai penting sumberdaya arkeologi di Indonesia sangat penting untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengelolaan. Nilai yang terkandung di dalam sumberdaya arkeologi merupakan sesuatu yang tidak nyata dan bersifat subjektif sehingga sangat bergantung pada sudut pandang yang memberikan penilaian.

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa tidak menutup kemungkinan Candi Wasan sebagai salah satu candi yang ada di Kabupaten Gianyar juga memiliki nilai penting seperti tercantum pada UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010. Situs Candi Wasan sebagai salah satu cagar budaya memiliki peninggalan arkeologi yang tersebar di tiga tempat, yaitu Pura Kawitan Puseh Wasan Watunginte, Pura Ulun Suwi dan Pura Puseh Wasan. Melalui tinggalan arkeologi tersebut, artinya Situs Candi Wasan juga memiliki nilai penting, meliputi nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.

II. PEMBAHASAN

2.1 Tinggalan Arkeologi di Situs Candi Wasan

Situs Candi Wasan terletak di Banjar Blahtanah, tepatnya berada di sebelah utara Jalan Raya Sakah yang berseberangan dengan gang Kantor Perbekel Desa Batuan Kaler. Situs Candi Wasan memiliki peninggalan arkeologi yang tersebar di tiga tempat, yaitu Pura Kawitan Puseh Wasan Watunginte pada bagian paling utara, Pura Ulun Suwi terletak di bagian tengah, Pura Puseh Wasan (Candi Wasan) pada sebelah selatan yang hanya dibatasi tembok pembatas. Adapun potensi arkeologi yang ada di Situs Candi Wasan, sebagai berikut:

a. Candi Wasan Pascapemugaran

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa denah Candi Wasan berukuran 11,10 x 9,40 meter berbentuk segi empat panjang menghadap ke barat. Candi Wasan Pascapemugaran memiliki potensi fisik yang bisa dikembangkan sebagai daya tarik wisata karena memiliki keunikan dari pintu candi yang tidak tepat di tengah seperti candi di Jawa. Letak pintu masuk bagian barat berbanding 1:2. Tata letak bangunan candi dengan kemiringan lima derajat (tidak tepat utara selatan) yang diduga akibat pembangunan Candi Wasan berpatokan kepada matahari sebagai penentu arah.

Gambar 1. Candi Wasan Pascapemugaran

b. Arca Catur Muka

Arca Catur Muka terletak di Pura Puseh Wasan Watunginte, tepatnya di sebelah utara Candi Wasan. Arca ini ditempatkan pada sebuah pelinggih terbuka dalam sikap samabhangga ditempatkan di atas lapik dan di atas yoni dengan cerat menghadap ke barat. Arca ini bermuka empat, bertangan empat, kedua tangan depan terletak di samping badan agak ditarik kebelakang dan memegang benda bulat, tangan kiri belakang memegang benda berbentuk segi empat, seperti lontar, dan tangan kanan belakang memegang aksamala. Secara keseluruhan arca ini memiliki mahkota bersusun tiga berhias kelopak bunga teratai.

Gambar 2. Arca Catur Muka

c. Ganesha

Arca Ganesha ini terbuat dari batu padas dan bentuknya sudah tidak utuh lagi (aus), kepala dan keempat tangannya sudah pecah, dalam sikap duduk latilasana dengan sikap kaki bersila dan kaki kanan berjuntai ke bawah. Arca ini diperkirakan dahulu ditempatkan pada salah satu relung candi.

Gambar 3. Arca Ganesha

d. Lingga

Lingga yang ditemukan di Pura Ulun Suwi berjumlah lima buah lingga dan ditempatkan pada Bale Piyasan sebelah utara Candi Wasan. Di Pura Puseh Wasan (Candi Wasan) ditemukan empat buah lingga. Menurut Nyoman Rema, lingga yang ditemukan di Situs Wasan adalah Saila Lingga, yaitu lingga yang menggunakan bahan dasar batu. Lingga ini terdiri atas tiga bagian dari bawah ke atas, yaitu Brahmabhaga, Wisnubhaga, dan Siwabhaga (Rema, 2015:17).

Gambar 4. Lingga di Pura Ulun Suwi

e. Arca Binatang

Pada Candi Wasan ditemukan arca binatang berupa arca kambing dan arca nandi yang keadaannya sudah sangat aus. Menurut I Wayan Badra dalam Forum Arkeologi melalui penelitiannya tentang arca binatang di Kompleks Candi Wasan memaparkan, Arca Kambing dipahatkan dengan tubuh cukup gemuk, kepalanya menunduk ke bawah dan mulutnya dalam keadaan  setengah terbuka. Ciri-ciri lain arca ini, yakni tanduk melingkar di belakang telinga kanan dan memakai hiasan kalung berupa tali pilin dengan giring-giring. Selain itu, Arca Nandi juga ditempatkan dekat dengan Arca Kambing. Kondisinya pun juga hampir sama dengan ukuran badan agak gemuk, kepala menghadap ke depan. Sebagian besar kondisinya sudah sangat aus. Hal itu dapat dilihat dari bagian kaki patah, dua buah tanduknya aus, alisnya aus, mata melotot, telinga aus, mulut sedikit terbuka, dan pada leher arca terdapat hiasan kalung (Badra, 2003:41).

Gambar 5.1 Arca Binatang Kambing
Gambar 5.2 Arca Nandi

f. Komponen Bangunan Candi

Selain arca-arca, juga ditemukan komponen bangunan berupa kemuncak candi, menara sudut, simbar sudut, ambang pintu, pelipit sisi genta dan bagian komponen bagian candi.

Gambar 6.1 Komponen Bangunan
Gambar 6.2 Komponen Bangunan
Gambar 6.3 Komponen Bangunan

g. Arca Perwujudan

Berdasarkan data inventaris dalam kegiatan Studi Teknis Candi Wasan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya pada tahun 2007 diketahui terdapat 21 buah arca perwujudan. Sebagian besar arca yang diinventaris tersebut sudah dalam keadaan aus dengan bagian kaki, bagian tangan, dan bagian kepala yang patah. Namun, ada beberapa arca yang masih dalam keadaan bagus dan dapat diidentifikasi. Salah satu arca memiliki sikap berdiri tegak di atas lapik padma ganda, mahkota berbentuk susunan bunga padma, dan rambut ikal yang melebar ke samping. Selanjutnya pada tahun 2013 ditemukan lagi arca perwujudan yang memiliki ikonografi yang sama dengan ciri-ciri buah dada menonjol, tangan kanan diarahkan ke depan, dan tangan kiri memegang bulatan (Utami, 2013:172). Namun, arca perwujudan tersebut kini disimpan di Gedong Arca Candi Wasan dan tidak bisa sembarangan dibuka untuk melihat arca leluhur dan tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya.

h. Kolam

Di Situs Candi Wasan ditemukan sumber mata air, berupa kolam yang terletak di sebelah selatan candi. Kolam tersebut terbuat dari batu padas dan berbentuk segi empat panang (timur barat). Kolam ini memiliki tangga turun terletak di sisi dinding sebelah barat yang dilengkapi tiga anak tangga.

2.2  Nilai Penting Situs Candi Wasan

Nilai penting yang terkandung pada Situs Candi Wasan dapat dijabarkan sebagai berikut:

2.2.1.  Nilai Sejarah

Keberadaan Candi Wasan sebagai salah satu candi monumental tentu memiliki nilai sejarah yang tinggi. Candi masa Bali Kuno pada abad XIV-XV ini merupakan bukti sejarah masa lampau yang dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat masa lampau dari tinggalan arkeologi yang ditemukan.  Oleh karena itu, dalam mengungkapkan sejarah Candi Wasan dapat diperoleh dari berbagai data artifaktual dan sumber historis. Salah satu diantaranya ialah Prasasti Pagan No 661b. Walaupun dalam prasasti ini tidak langsung menyebut candinya, namun kata “Wasan” sudah dikenal sebagai nama desa, yang kemudian dipakai nama situs atau bangunan yang ditemukan di kawasan tersebut.

Selain data prasasti, Situs Candi Wasan merupakan bukti sejarah masa lampau yang masih bertahan hingga sekarang dibuktikan dengan nilai sejarah yang terkandung pada Situs Candi Wasan, di antaranya memiliki keterkaitan erat dengan sejarah di sekitar Wasan. Menurut Luh Suwita Utami hal ini dibuktikan dari temuan, baik artefak maupun fitur. Berdasarkan isi prasasti Bali dapat disimpulkan bahwa Wasan dalam prasasti Bali merupakan sebuah wilayah yang dihuni atau ditempati oleh sekelompok penduduk dan berbatasan dengan wilayah Sakar (Sakah) dan Sukhawati (Sukawati). (Utami, 2013:179). Oleh karena itu, nilai sejarah lain yang terkandung pada Candi Wasan, di antaranya adalah sebagai sarana untuk mendokumentasikan dan melestarikan nilai-nilai sejarah lokal, tradisi, dan adat istiadat masyarakat setempat, menjadi media dalam membantu upaya masyarakat mengenal dan merevitalisasikan identitas sosial kulturalnya.

2.2.2. Nilai Ilmu Pengetahuan

Sumberdaya arkeologi dapat disebut memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila dapat memberikan informasi bagi penelitian dalam disiplin ilmu lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Situs Candi Wasan tentu memiliki nilai penting ilmu pengetahuan, seperti ilmu arkeologi, pariwisata, dan arsitektur yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

  • Nilai Arkeologi

Dalam peraturan UU Cagar Budaya No 11, Tahun 2010 Pasal 5 dijelaskan bahwa benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya apabila sudah berusia lima puluh tahun atau lebih dan mewakili masa gaya paling singkat berusia lima puluh tahun. Oleh karena itu, Candi Wasan dapat dikatakan memiliki nilai arkeologi jika dilihat dari usia candi yang diperkirakan ada sejak abad XIV-XV Masehi dengan bentuk candi yang berbeda dengan candi pada umumnya.

Nilai penting arkeologi di Candi Wasan juga dapat dilihat dari temuan arkeologi. Hasil penelitian Balai Arkeologi Denpasar berupa kolam kuno yang terletak di sebelah selatan candi, lingga, arca ganesa dan beberapa buah arca perwujudan yang berhubungan erat dengan aktivitas keagamaan masyarakat pada masa itu. Selain itu, juga ditemukan alat-alat upacara keagamaan berupa beberapa fragmen benda tanah liat yang terdiri atas bagian tepian, dasar, badan, leher, karinasi dan pegangan tutup. Dari hasil penelitian, diperkirakan fragmen-fragmen tersebut ada yang berupa periuk, pedupaan dan kendi. Oleh karena itu, diperkirakan pada masa Bali Kuno abad XIV-XV Masehi sudah adanya upacara-upacara keagamaan menggunakan beberapa media tinggalan arkeologi yang ditemukan saat penelitian.

  •  Nilai Arsitektur

Candi Wasan dan kolam yang berada di sebelah selatannya merupakan wujud fisik sebuah konsep arsitektur yang memiliki makna penting dan didasarkan atas konsep dan filosofi (Suantika, 2003:66). Kekhasan arsitektur Candi Wasan dapat dilihat dari posisi candi menghadap ke barat yang sesuai dengan sistem orientasi religi masyarakat Bali yang meyakini sumbu ritual kangin kauh (timur barat) merupakan arah lintasan terbit dan terbenamnya matahari yang mempunyai nilai utama kehidupan. Hal itu berdasarkan konsep keyakinan orang Bali tentang roh leluhur yang disucikan telah ber-sthana di gunung. Dalam perkembangannya di masyarakat Bali konsep pemujaan terhadap gunung dikaitkan dengan orientasi sumbu bumi yang dikenal dengan kaja kelod yang mempunyai arti bahwa kaja menghadap ke arah gunung dan kelod mengarah ke laut. Berdasarkan keyakinan tersebut, hal ini juga mungkin melandasi pemikiran mengenai penempatan Candi Wasan yang letakknya mempunyai kemiringan lima derajat tidak tepat menghadap utara selatan karena arah Gunung Agung yang tampak dari Candi Wasan di arah timur laut (kaja kangin) (Geria, 1995:47).

  •  Nilai Pariwisata Budaya

Pasal 12 Peraturan Daerah Bali No 2, Tahun 2012 tentang kepariwisataan budaya Bali menjelaskan bahwa komponen budaya Bali yang menjadi daya tarik wisata, meliputi: (1) kesenian, (2) kepurbakalaan, (3) kesejahteraan, (4) permuseuman, (5) kesusastraan, (6) tradisi, dan (7) saujana.

Berdasarkan peraturan daerah tersebut, dapat simpulkan bahwa Candi Wasan sebagai salah satu peninggalan arkeologi mempunyai nilai penting pariwisata budaya. Dikatakan demikian mengingat Candi Wasan memiliki potensi besar sebagai objek daya tarik wisata. Artinya, Candi Wasan memiliki keunikan berupa candi monumental dengan bentuk bangunan yang dibuat mirip dengan Gapura Canggi. Selain situs arkeologi, Candi Wasan juga memiliki faktor pendukung yang bisa dijadikan daya tarik wisata, antara lain Kemenuh Butterfly Park dan seni kerajinan tangan.

2.2.3  Nilai Pendidikan

Secara umum pendidikan bertujuan untuk mendidik manusia menjadi manusia seutuhnya. Keberadaan Candi Wasan memiliki nilai pendidikan bagi masyarakat. Dalam hal nilai pendidikan mengenai proses kebudayaan yang pernah masuk di wilayah Wasan sehingga adanya Candi Wasan. Selain itu, juga pemahaman pendidikan mengenai berbagai teknologi yang pernah ada sehingga dapat menghasilkan bangunan besar pada abad XIV Masehi. Hal lainnya adalah memberikan nilai pendidikan tentang sejarah kebudayaan Situs Wasan.

2.2.4.  Nilai Agama

Candi pada masa lampau digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan. Jika bertolak pada upacara di bangunan suci di Bali masa sekarang, kegiatan keagamaan tersebut bermacam-macam jenisnya. Ada upacara harian yang dilakukan oleh para pengelola pura, terutama pada waktu pagi, siang dan senja hari. Di samping itu, juga terdapat upacara temporer yang diadakan sewaktu-waktu. Namun, upacara yang paling penting adalah upacara pemujaan besar yang diadakan setahun sekali yang berlangsung selama beberapa hari, biasa dinamakan piodalan atau odalan (Munandar, 2015:159).

Tinggalan arkeologis di Situs Wasan menunjukkan bahwa di daerah Wasan dan sekitarnya telah berkembang setidaknya tiga sekte keagamaan dari sembilan sekte keagamaan pada zaman Bali Kuno. Pada satu sisi tiap-tiap jenis tinggalan arkeologis dapat mencerminkan sekte keagamaan. Di Situs Wasan lingga mencerminkan sekte Pasupata, Ganesha sebagai petunjuk sekte Ganapatya, dan sekte Brahma ditunjukkan dengan Arca Catur Mukha (Sunarya, 2003:62). Kompleks Candi Wasan terbangun atas konsep Siwa Siddhanta yang merupakan perpaduan pemujaan leluhur berupa kultus dewa raja dengan pemujaan terhadap dewa dan manifestasi-Nya. Media pemujaannya berupa lingga yang diperkirakan diposisikan di dalam bilik candi untuk memuja Tri Purusa, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa dengan Siwa sebagai dewa tertinggi (Rema, 2015: 16).

Berdasarkan peninggalan arkeologi yang terdapat di Candi Wasan dan sekte keagamaannya, dapat dipastikan bahwa Candi Wasan dilatarbelakangi oleh agama Hindu. Hal itu tampak dari semua tinggalan arkeologi yang merupakan simbol atau lambang-lambang panteon Hindu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Candi Wasan memiliki nilai agama Hindu bagi masyarakat sekitarnya dilihat dari arca perwujudan, lingga dan arca Catur Muka.

2.2.5  Nilai Seni Budaya/Kebudayaan

Keberadaan Situs Candi Wasan juga memiliki beberapa nilai penting kebudayaan, yaitu dapat memberikan pemahaman latar belakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, mempunyaikandungan unsur-unsur keindahan, baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, maupun seni bangunan. Menurut Geria kondisi lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat di sekitar Candi Wasan berperan sangat penting mendukung keberadaan bangunan suci keagamaan. Budaya masyarakat yang agraris dan terbuka terhadap pengaruh luar membawa pengaruh terhadap pola kelakuan komunitas dalam hubungan pengembangan teknologi (Geria, 2003:8–9).  Dalam prasasti disebutkan bahwa terdapat sejumlah undagi atau ahli dalam bidang arsitektur. Dalam prasasti 352 Batuan disebutkan beberapa keahlian yang dimiliki masyarakat, seperti undagi kayu, undagi batu, dan pemahat. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat telah mampu membangun sebuah bangunan suci keagamaan (Utami, 2013:179).

III. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tinggalan arkeologi yang ada, dapat diketahui bahwa Situs Candi Wasan memiliki signifikansi (nilai penting) tinggi. Hal ini didasarkan pada pemenuhan semua kriteria nilai penting yang tertuang dalam UU Cagar Budaya No 11, Tahun 2010, yaitu nilai sejarah, nilai ilmu pengetahuan, nilai pendidikan, nilai agama dan nilai kebudayaan. Oleh karena itu, sumberdaya arkeologi tersebut harus mendapat prioritas utama dalam hal pelestarian yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai objek daya tarik wisata dengan konsep yang sesuai dengan kaidah pengelolaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 2007. Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Lasaran.         

Badra, I Wayan. 2003. “Arca Binatang di Kompleks Candi Wasan”. Forum Arkeologi, No.I Maret,Hal. 41-48. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar..

Geria, I Made. 1995. “Perkiraan Bentuk Bangunan Candi Wasan (Identifikasi dari Sejumlah Temuan Komponen)”. Forum Arkeologi No. II Maret, Hal 38-53. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

—————- Dkk. 2003. “Wasan Dalam Lintasan Sejarah Bali Kuna”. Forum Arkeologi, No.I Maret. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

Munandar, Agus Aris. 2015. Keistimewaan Candi-Candi Zaman Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2, Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.

Rema, Nyoman. 2015. “Aplikasi Ajaran Siwa Siddhanta di Situs Wasan”. Forum Arkeologi No I, Hal. 11-23. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

Suantika, I Wayan. 2003. “Kajian Teknoarkeologi terhadap Kompleks Candi Wasan”. Forum Arkeologi No.1, Hal. 65-74. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

Sunarya, I Nyoman. 2003. “Latar Belakang Keagamaan Candi Wasan”. Forum Arkeologi No I, Hal 57-64. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11, Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Utami, Luh Suwita. 2013. “Aktivitas Keagamaan di Situs Pura Puseh Wasan”. Forum Arkeologi No. III, Hal. 169-175. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.