Ida Ayu Agung Indrayani M.
(dimuat dalam Buletin Sudamala Volume 04/1/2018)
ABSTRAK
Museum Gedung Arca (Museum Arkeologi) merupakan salah satu museum di Kabupaten Gianyar yang pengelolaannya berada di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Museum Gedung Arca mengkoleksi benda cagar budaya dari masa prasejarah hingga sejarah yang merupakan akar budaya Bali di masa lalu yang memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan.
Museum hadir untuk masyarakat sebagai suatu lembaga yang menyajikan hasil karya dan cipta serta karsa manusia sepanjang zaman, sehingga museum merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan tempat kegiatan pembelajaran di luar kelas. Melalui benda yang dipamerkan, mampu membuat pengunjung melakukan proses kegiatan belajar dari tidak tahu menjadi tahu tentang nilai dan perhatian serta kehidupan generasi pendahulu sebagai bekal dimasa kini dan gambaran untuk kehidupan dimasa mendatang.
Pendahuluan
Papan Nama Museum Gedong Arca (Museum Arkeologi) terpampang megah di halaman depan Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur disingkat BPCB Bali. Museum Gedong Arca adalah site museum yang dalam pengelolaannya merupakan bagian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Wilayah Kerja Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur. Museum Gedung Arca lebih terkenal dari pada induknya BPCB Bali. Ketenaran Museum Gedong Arca bukan hanya dikalangan masyarakat sekitar BPCB saja (Bedulu-Pejeng), diluar BPCB pun termasuk dikalangan peramuwisata di Bali lebih mengenal Museum Gedong Arca. Museum Gedung Arca (Museum Arkeologi) secara administrasi terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Museum Gedong Arca (Museum Arkeologi) secara resmi dibuka pada tanggal 14 September 1974 oleh Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Sebelumnya Gedong Arca berfungsi sebagai balai penyelamatan untuk menyimpan tinggalan arkeologi (cagar budaya), yang berhasil dilestarikan sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala Bali. Dibukanya Gedong Arca sebagai museum bermula dari gagasan Prof. DR. R.P. Soeyono dan Drs. Soekarto K. Atmojo mantan Kepala Dinas Purbakala dengan tujuan menginformasikan kepada masyarakat tentang warisan budaya Bali dimasa lalu yang berhasil dilestarikan sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (BPCB Bali), melalui pameran tetap di Museum Gedung Arca/Museum Arkeologi. Museum Gedong Arca di bangun di atas tanah seluas 5.165 m2 dengan pembagian halaman mengikuti pola pembangunan pura di Bali yang pada umumnya terdiri dari tiga bagian: halaman luar (jaba sisi), halaman tengah (madya mandala), dan halaman dalam (utama mandala). Di halaman luar (jaba sisi) terdapat sebuah wantilan (ruang terbuka) yang difungsikan untuk memberikan informasi kepada pengunjung sebelum melihat koleksi. Di halaman tengah (madya mandala), terdapat empat buah ruang koleksi untuk memamerkan koleksi secara tetap. Di Halaman dalam (utama mandala) terdapat 7 (tujuh) balai pelindung (bangunan terbuka) tempat memamerkan sarkofagus koleksi unggulan Museum Gedung Arca. Di depan Padmasana (tempat suci hindu) terdapat sebuah balai pelindung (bangunan terbuka) di pamerkan beberapa buah arca yang dietmukan disekitar Desa Bedulu. Koleksi-koleksi yang dipamerkan berasal dari periode prasejarah hingga sejarah semua koleksi adalah hasil pelestarian yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Bali sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala.
Keberadaan Museum oleh sebagian masyarakat kita masih dianggap hanya sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno yang selalu dipenuhi oleh debu serta suasananya menyeramkan. Pandangan tersebut jelas keliru, karena Museum hadir untuk masyarakat sebagai tempat untuk melihat informasi dan koleksi mengenai peristiwa yang terjadi dimasa lalu. Definisi museum menurut Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015 Museum adalah “lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat”. Dalam PP tersebut juga dijelaskan yang dimaksud dengan koleksi museum adalah “Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya dan/atau Bukan Cagar Budaya yang merupakan bukti material hasil budaya dan/atau material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi, dan/atau pariwisata”. Dengan demikian Museum memiliki peran penting dalam melestarikan kebudayaan nasional yang menjadi jati diri bangsa. Sedangkan menurut Intenasional Council of Museum (ICOM) menurut hasil Musyawarah Umum ke 11 International Council of Museums (ICOM) tanggal 14 Juni 1974, Museum mempunyai pengertian, “A museum is a non-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, material evidence of people and their environment”(Hudson,1977:1).
Fungsi Museum yang mulia tersebut dapat tercapai jika masyarakat sudi meluangkan waktu untuk berkunjung ke Museum dan menikmati benda koleksi pameran serta mencoba untuk memahami nilai yang terkandung dalam benda koleksi pameran tersebut. Melalui kunjungan ke Museum yang rutin dilakukan masyarakat, maka di Museum akan terjadi suatu transformasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi terdahulu ke generasi sekarang. Tetapi sayang, masih banyak orang, terutama generasi muda, yang enggan menginjakkan kakinya ke Museum karena dianggap tidak prestis dan tidak sesuai dengan tuntunan jaman. Mereka merasa lebih gengsi datang ke mall atau tempat keramaian lainnya dibanding datang ke Museum, sehingga tidak heran jika banyak Museum, mengalami krisis pengunjung. Akibatnya, fungsi Museum sebagai transformator nilai warisan budaya bangsa kepada generasi berikutnya tidak dapat dicapai.
Sebagai suatu lembaga yang menyajikan berbagai hasil karya dan cipta serta karsa manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan sebagai sumber belajar. Melalui benda yang dipamerkannya, pengunjung dapat belajar tentang nilai dan perhatian serta kehidupan generasi pendahulu sebagai bekal di masa kini dan gambaran untuk kehidupan di masa mendatang.
Pembahasan
Koleksi Museum gedong Arca
Koleksi museum merupakan unsur terpenting dari sebuah museum, koleksi merupakan roh/jiwa dari museum itu sendiri dan kehidupan museum sangat tergantung dari kwalitas dan kwantitas jenis koleksi museum. Jenis koleksi di Museum Gedung Arca/Museum Arkeologi adalah benda-benda purbakala/tinggalan arkeologi (benda cagar budaya). Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya menyebutkan benda cagar budaya adalah “benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”.
Koleksi yang dipamerkan di Museum Gedung Arca telah disebutkan di atas merupakan hasil-hasil pelestarian yang telah dilaksanakan di wilayah Bali sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala, yang berasal dari masa prasejarah hingga sejarah. Dari koleksi-koleksi yang dipamerkan siswa (pengunjung) yang berkunjung ke Museum Gedung Arca dari tidak tahu akan menjadi tahu tentang kehidupan manusia di masa lalu. Masa lalu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami agar apa yang terjadi di masa lalu bisa dijadikan pelajaran dalam menapaki hari ini dan melangkah menuju masa depan. Demikian seperti uangkapan “we learn history for lening the present and building the future (Kambali 2006 dalam https://Jonathanparhusip.wordpress).
Koleksi Masa Prasejarah
- Ruang koleksi prasejarah dipamerkan koleksi dari masa prasejarah yaitu :
Masa Paleolithikun (jaman batu tua) koleksi terdiri dari alat-alat dari batu sebagai bukti awal hunian manusia di Bali pada masa prasejarah. Alat-alat dari batu ini, yang lazim dikenal dengan sebutan kapak genggam, kapak perimbas yang ditemukan oleh R.P. Soeyono di Desa Sembiran Singaraja dan di Tepian Bagian Timur serta Tenggara Danau Batur, Kintamani (Soeyono, dkk.1977: 96; Sutaba, 1080:10 dalam Sejarah Bali dari Masa Prasejarah Hingga Modern), merupakan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana (masa paleolithik) alat-alat pada masa ini bentuknya tidak beraturan, permukaannya masih kasar, belum mengenal teknik mengasah, pembuatan alat-alat hanya dengan teknik pemangkasan yang sederhana. Diperkirakan manusia pendukung alat-alat batu ini masih sangat sederhana (tergantung pada alam disekitarnya) dengan sistem mata pencaharian berburu dan meramu. Mereka hidup berkeliaran atau mengembara dan belum bertempat tinggal tetap, sepenuhnya sangat tergantung dari kesediaan alam untuk memenuhi kebutuhannya.
Masa Mesolithikum (jaman batu pertengahan) kehidupan manusia Bali tampaknya berlangsung terus hal ini ditunjukkan dengan adanya temuan alat-alat dari tulang, kerang sisa-sisa makanan (kyokenmoddinger) dan alat-alat dari batu dalam ukuran kecil yang lazim dikenal dengan nama mikrolith hasil dari penelitian yang dilaksanakan di Goa Selonding Pecatu Badung oleh R.P. Soeyono pada tahun 1961 yang sekarang menjadi koleksi Museum Gedong Arca. Mata pencaharian atau kehidupan masyarakat pada masa ini masih berburu dan meramu makanan tingkat lanjut, merupakan tahapan yang lebih maju karena manusia pada masa ini sudah mampu memilih tempat tinggal tetap dalam jangka waktu yang lama dengan pilihan lokasi tempat hunian yaitu kawasan karst (kapur) karena memiliki banyak gua dan ceruk yang dapat dijadikan tempat tinggal disesuaikan dengan jumlah anggota kelompoknya.
Masa Neolithikum, seiring berjalannya waktu teknologi pun semakin maju dibidang pembuatan alat-alat dari batu yang disebut dengan masa neolithikum (jaman batu baru). Manusia pada masa ini sudah mengenal teknik mengasah, alat-alat yang dihasilkan sudah halus diasah pada kedua belah sisinya sehingga kapak-kapak yang sudah diupam ini kelihatan sangat mengkilat. Alat-alat ini bentuknya sudah beraturan sesuai dengan keinginan manusia pada masa itu ada yang berbentuk lonjong (kapak lonjong), ada yang berbentuk segi empat (kapak persegi). Alat-alat batu ini (kapak neolith) ditemukan tersebar di wilayah Pulau Bali, diperkirakan masyarakat pada masa ini sudah sudah menyebar di wilayah Pulau Bali dan memiliki tempat tinggal tetap atau menetap dan memiliki kemahiran dibidang budidaya tanaman dan hewan (Ardika,dkk 2013: 8-9). Dari masa paleolithikum hingga mesolithikum belum ditemukan fosil-fosil manusia pendukung dari artefak tersebut, tetapi dari artefak yang telah di temukan oleh para ahli arkeologi mengindikasikan bahwa di wilayah Pulau Bali telah di huni ribuan tahun yang lalu. Selain alat-alat dari batu dipamerkan pula asesoris yang terbuat dari perunggu yang merupakan bekal kubur dari masa perundagian.
- Ruang koleksi Gilimanuk dipamerkan hasil-hasil exskavasi di Gilimanuk
Situs Nekropolis Gilimanuk dimana sisa-sisa manusia ditemukan beserta bekal kubur seperti gelang manik-manik, gelang kaca, gelang kayu dan tajak perunggu. Penguburan disini bercorak primer (langsung) tanpa wadah dan sekender (dengan menggunakan tempayan). Pada saat penguburan orientasi mayat di Gilimanuk kearah puncak perbukitan diseberang teluk Gilimanuk dan disertai dengan benda kubur (bekal kubur). Temuan kulit kerang, priuk-priuk dengan motif hias jala, serta tempayan menunjukkan hunian dari kelompok nelayan. Tempayan tanah liat yang dipamerkan di ruangan ini difungsikan sebagai alat penguburan sekender yaitu tempat tulang-tulang manusia setelah dikubur di dalam tanah (R.P. Soeyono, 1981 : 3).
- Di Halaman Tengah (Sarkofagus)
Dipamerkan koleksi dari masa perundagian merupakan koleksi unggulan (masterpiece) di museum Gedong Arca berupa sarkofagus. Di halaman ini dipamerkan sekitar 33 buah sarkopagus yang terdiri dari wadah dan tutup yang ditempatkan pada 7 buah balai pelindung (bangunan terbuka). Sarkofagus adalah keranda batu di Bali berfungsi sebagai wadah kubur. Disini siswa (pengunjung) mendapat pembelajaran bahwa pada masa ini terjadi revolusi besar-besaran di bidang kebudayaan pada masa ini mulai timbul kepercayaan terhadap leluhur (orang-orang yang dihormati). Berbagai jenis bentuk dan wadah kubur (sarkofagus) di temukan pada akhir masa prasejarah di Bali. Berdasarkan sisa-sisa manusia yang ditemukan pada beberapa situs prasejarah yang berasal dari masa perundagian atau awal jaman logam di Bali yang umurnya sekitar 2000 tahun yang lalu dapat diketahui bahwa pada masa akhir prasejarah di Bali pemujaan kepada roh leluhur sangat menonjol dengan adanya sistem penguburan dengan wadah (sarkofagus) atau tanpa wadah serta bekal kuburnya mencerminkan adanya sistem kepercayaan dan organisasi sosial (Ardika, 2002: 40-42). Sarkofagus (wadah kubur) ditemukan hampir tersebar dibeberapa situs prasejarah yang berasal dari masa perundagian atau awal logam baik didaerah pesisir maupun di pedalaman (Ardika,dkk,2013 : 9). Masa perundagian merupakan suatu tingkat perkembangan yang sangat penting di Indonesia, bahkan merupakan suatu revolusi kebudayaan di masa lalu, yaitu tingkat yang membentuk dasar perkembangan-perkembangan selanjutnya dengan menerima pengaruh berbagai unsur kebudayaan. Perkembangan ini memantulkan pula suatu kehidupan yang memerlukan tenaga-tenaga khusus /undagi. (Soeyono, 2008 : 5). Penguburan dengan sarkofagus memberi petunjuk adanya perawatan terhadap anggota masyarakat yang meninggal (upacara kematian). Upacara-upacara tersebut sekaligus bertujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada arwah orang-orang yang meninggal. Sistem penguburan ini hanya dapat dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu (misalnya golongan pemuka masyarakat). Karena penguburan dengan sarkofagus memerlukan tenaga dan banyak waktu maka penguburan dengan sarkopafus hanya dapat dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu saja. Orang percaya bahwa roh orang yang meninggal akan kembali ke dunia arwah, oleh karena itu sarkopagus mempunyai orientasi kearah puncak gunung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Beberapa sarkofagus dipahatkan hiasan topeng dalam sikap melawak, mengeluarkan lidah, mulut menganga, mata besar, dan sebagainya berfungsi untuk keindhan (estetika), dan juga bernilai magis untuk menolak bala.
Koleksi Masa Sejarah
Ruang koleksi klasik dipamerkan koleksi dari masa sejarah yaitu stupika, dan meterai dari tanah liat Stupika ini merupakan tiruan dari bentuk stupa tinggalan dari agama Buddha. Stupika tanah liat diperkirakan berasal dari abad ke VIII M, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan stupika yaitu stupa kecil/tiruan stupa terbuat dari tanah liat. stupika-stupika ini difungsikan untuk persembahan menyatakan sujud baktinya kepada sang budha. Stupika-stupika ditemukan di daerah-daerah seperti Bedulu, Pejeng, Blahbatuh, Tampaksiring, dan Singaraja. Di dalam stupika terdapat meterai-meterai tanah liat dikenal dengan istilah clay tablet, berdasarkan penelitian oleh seorang sarjana Belanda yang bernama Dr. WF Stutterheim pada tahun 1925, tentang tulisan-tulisan pada meterai tanah liat yang ditulis dengan huruf pranagari, dikelompokkan menjadi dua kelompok mantra yang dikenal dengan istilah yete mantra dan namah traya. selain meterai dengan mantram agama buddha di dalam stupika terdapat pula meterai yang melukiskan relief arca dewa – dewa dalam agama budha, berdasarkan studi paleografi (bentuk huruf) pada meterai memiliki kesamaan dengan tulisan prasasti yang di ditemukan pada pintu masuk candi kalasan dan candi mendut di jawa tengah yang berasal dari abad ke VIII M berdasarkan kesamaan tersebut, Bali diperkirakan mengenal tulisan pada abad ke VIII M. Selain itu siswa (pengunjung) akan mengetahui alat-alat upacara yang terbuat dari perunggu serta peralatan lainnya seperti lampu berbebagai bentuk, benda-benda yang berfungsi sebagai dekorasi dan uang kepeng yang pernah dipergunakan sebagai alat tukar sekitar abad XV M.
Ruang koleksi keramik dipamerkan koleksi keramik-keramik asing berkisar abad XV M sampai XVIII M. Keramik-keramik ini menginformasikan bahwa pada masa lalu terjadi kontak/ hubungan dagang dengan dunia luar seperti India dan Cina. Secara geografis Indonesia mempunyai kedudukan strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia, khususnya Bali dikenal dalam perdagangan interinsuler, maupun internasional. Berdasarkan prasasti ternyata masyarakat Bali Kuna telah mengenal perdagangan antar desa maupun antar pulau. Mereka menjualbelikan barang dagangannya dengan menjajakan/berjualan keliling, pada waktu itu dikenal pula sistem perdagangan yang menetap yang dilakukan pada tempat-tempat tertentu yang disebut pasar. Mereka sudah mengenal bentuk jual-beli dengan jalan tukar-menukar barang (sistem barter), disamping pertukaran barang dengan bentuk mata uang. Perdagangan antar desa menggunakan kuda sebagai alat transportasi, sedangkan perdagangan antar pulau menggunakan alat-alat transportasi air berupa lancang, perahu, talaka dan semacamnya. Sejak abad X-XIII Masehi banyak pedagang-pedagang asing yang terlibat, seperti Cina dan India. Mereka memperjual-belikan barang dagangannya di daerah pesisir, berupa keramik, kain, manik-manik, gerabah yang banyak ditemukan di Indonesia. Diantaranya yang menjadi koleksi Museum Gedung Arca yaitu keramik yang berasal dari dinasti Ming, Sung, Yuan, dan Ching.
Depan Padmasana dipamerkan koleksi berupa arca yang ditemukan disekitar kantor / daerah Bedulu diantaranya arca Siwa Mahaguru, (Dewa Siwa Mahaguru dan Mahayogi yang menjadi teladan para pemimpin dan para pertapa). Lingga (dalam mitologi hindu merupakan simbol Dewa Siwa, lingga pada umumnya terdiri dari tiga bagian, bagian bawah berbentuk segi empat (Brahma Bhaga), bagian tengah berbentuk segi delapan (Wisnu Bhaga), dan bulatan pada bagian atas (Siwa Bhaga). Biasanya lingga diletakkan di atas yoni sebagai lambang kesuburan. Arca Bhairawa, dalam mitologi hindu arca Bhairawa merupakan salah satu perwujudan Siwa, dalam aspek marah (krodha) bentuknya menakutkan menyerupai raksasa. Burung Garuda adalah raja dari segala burung, dalam mitologi hindu burung garuda merupakan wahana (kendaraan) dari Dewa Wisnu dan beberapa buah fragmen arca. Dari koleksi ini siswa mendapat pembelajaran mengenai kepercayaan manusia pada masa lalu terhadap para dewa masih berlangsung sampai sekarang. Selain itu ada pula koleksi yang merupakan replika (tiruan dari bentuk aslinya) salah satunya adalah arca Durgamahisasuramrdhini arca yang asli ada di Pura Bukit Dharma Kutri yang merupakan perwujudan dari permaisuri Raja Udayana Warmadewa.
Museum Sebagai Sarana Pembelajaran Sejarah
Banyaknya Museum didirikan, tujuannya adalah untuk melestarikan dan mewariskan nilai budaya bangsa kepada generasi penerus agar nilai budaya bangsa tidak hilang ditelan jaman. Tetapi sayang, museum yang mempunyai koleksi lengkap dan dipelihara dengan biaya yang tidak sedikit kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap museum sampai kini masih jauh dari yang diharapkan, artinya sedikit sekali orang yang tahu dan mau memahami bahwa museum bermanfaat bagi dunia pendidikan dan rekreasi, mereka umumnya memandang museum tidak lebih dari gudang tempat penyimpanan barang tua dengan suasana ruangan yang menyeramkan. Menurut pandangan modern, belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan. Seseorang dinyatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya (Hamalik, 1985:40-41). Dalam belajar menurut Thomas dalam Hamalik (1985:45) terdapat 3 tingkatan pengalaman belajar, yaitu: (1) Pengalaman melalui benda sebenarnya; (2) Pengalaman melalui benda-benda pengganti;(3) Pengalaman melalui bahasa.
Dari uraian tersebut menunjukkan, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung dalam ruangan kelas di sekolah tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan masyarakat, sehingga Museum sebagai bagian dari masyarakat merupakan salah satu tempat yang dapat dipilih oleh guru untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas, karena koleksi pameran di Museum dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas, terutama materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia dan lingkungan. Dari koleksi yang dipamerkan di Museum Gedung Arca, pengunjunng mendapat pembelajaran sejarah khususnya “akar budaya Bali” (awal hunian manusia di Bali pada masa lampau dari belum mengenal kepercayaan hingga percaya kepada roh leluhur dan para dewa yang berlangsung hingga sekarang) setelah siswa melakukan interaksi langsung/melakukan kegiatan belajar dan memperoleh hasil yakni terjadinya perubahan tingkah laku, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya, melalui koleksi/tinggalan arkeologi (cagar budaya) yang dipamerkan di museum. Dari uraian tersebut menunjukkan, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung dalam ruangan kelas di sekolah tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan masyarakat, sehingga Museum sebagai bagian dari masyarakat merupakan salah satu tempat yang dapat dipilih oleh guru untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas, karena koleksi pameran Museum dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas, terutama materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia dan lingkungan. Menurut Boyer (1996), “Museum as educational institution teach us about the objects of lasting human interest and value” selain itu, Sunal dan Haas (1993: 294) mengungkapkan, “A trip a museum or restoration is often reported as a positive memory of the study of History”.
Kunjungan ke museum akan sangat bermanfaat bagi tumbuhnya pemikiran kritis siswa jika dilaksanakan secara terprogram dan terencana dengan baik. Selama mereka berada di museum dan mengamati objek pameran diharapkan pikiran mereka bekerja dan objek pameran yang diamatinya dapat menjadi alat bantu belajar. Karena ketika kegiatan ini dilakukan, siswa dirangsang untuk menggunakan kemampuan dalam berfikir kritis.
Dari buku kunjungan Museum dapat diketahui kunjungan siswa-siswa ke Museum Gedung Arca ini mulai dari pendidikan terendah yakni anak –anak Paud/Tk, sampai ke tingkat Perguruan Tinggi telah memanfaatkan Museum Gedung Arca sebagai sarana pembelajaran sejarah seperti kegiatan outing (pembelajaran di luar sekolah untuk mapel IPS). Kunjungan siswa ramai ke Museum Gedung Arca biasanya pada awal bulan Juni sampai September atau pada saat jeda anak-anak sekolah, maupun menjelang masuk sekolah di tahun ajaran baru, pada masa pengenalan lingkungan sekolah. Untuk Kabupaten Gianyar, diintruksikan oleh Bupati Gianyar melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gianyar, diharapkan kepada siswa SMP dan SMA di Kabupaten Gianyar dalam rangka MPLS (masa pengenalan lingkungan sekolah) agar mengunjungi Museum yang ada di kabupaten Gianyar salah satunya adalah Museum Gedung Arca dengan harapan dapat menumbuhkan rasa cinta bagi siswa terhadap budaya dan nilai-nilai sejarah bangsanya dimasa lalu. Selain itu, melalui pemanfaatan museum sebagai Sumber Belajar, sebagai bagian dari pembelajaran dengan pendekatan warisan hudaya, diharapkan siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang pintar dengan tidak melupakan akar budaya bangsanya.
Data Kunjungan Museum Gedung Arca 2016
NO | BULAN | WISATAWAN DOMESTIK | WISATAWAN MANCANEGARA | JUMLAH | ||
PELAJAR / MAHASISWA | UMUM | DINAS | ||||
1 | JANUARI | 392 | 1 | 6 | 30 | 429 |
2 | PEBRUARI | 258 | 3 | 0 | 35 | 296 |
3 | MARET | 290 | 6 | 0 | 45 | 341 |
4 | APRIL | 119 | 0 | 0 | 55 | 174 |
5 | MEI | 218 | 0 | 6 | 53 | 277 |
6 | JUNI | 1092 | 25 | 0 | 44 | 1161 |
7 | JULI | 1093 | 2 | 0 | 47 | 1142 |
8 | AGUSTUS | 25 | 2 | 0 | 108 | 135 |
9 | SEPTEMBER | 641 | 4 | 0 | 48 | 693 |
10 | OKTOBER | 664 | 4 | 0 | 41 | 709 |
11 | NOVEMBER | 6 | 0 | 0 | 0 | 6 |
12 | DESEMBER | 238 | 27 | 1 | 2 | 268 |
JUMLAH | 5036 | 74 | 13 | 508 | 5631 |
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berkujung ke Museum siswa memperoleh banyak manfaat terutama berkaitan dengan peningkatan kemampuan memahami makna yang terkandung di balik suatu benda koleksi pameran Museum. Menambah pengetahuan serta wawasan siswa, terutama berkaitan dengan sejarah melalui benda koleksi pameran di Museum, menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas siswa, terutama dalam membuktikan fakta dan teori yang terdapat dalam buku pelajaran atau yang dijelaskan oleh guru di depan kelas. Menghilangkan kejenuhan dan kebosanan siswa dalam belajar karena belajar tidak hanya dilakukan di dalam ruang kelas, melainkan juga di Museum, melalui kegiatan pengamatan terhadap koleksi Museum yang dipamerkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013. “Meningkatkan Kompetensi SDM Permuseuman” Insan Budaya Pusbang SDM Kebudayaan BPSDMPK-PMP Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2013.
Ardika, I Wyn Ardika, dkk 2013. “Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern” Udayana Universiti Press 2013.
Soeyono, 1981. “Sarkofagus di Bali Petunjuk Tradisis Manusia Prasejarah” Seminar Antropologi 21-22 Agustus 1981 di Jogjakarta.
Sumber Internet
https;//lambungmangkurat.wrdpress.com/2008/12/01
iwan1772.blogspot.co.id/2009/01
kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/2017/03/08