KONSERVASI WARISAN BUDAYA DI PURA KAHYANGAN JAGAT LUHUR BATU PANES, DESA MANGESTA, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN, PROVINSI BALI

0
3210

sketsa batu panesLaporan Kegiatan Konservasi Warisan Budaya di Pura Kahyangan Jagat Luhur Batu Panes, Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan merupakan pertanggungjawaban secara teknis dari kegiatan konservasi yang dilaksanakan pada tanggal 5, 6, 7 April 2014. Kegiatan konservasi ini dilaksanakan atas dasar permintaan dari pihak pengurus Pura Kahyangan Jagat Luhur Batu Panes.

Kegiatan konservasi ini dilaksanakan oleh staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar Wilayah Kerja Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan petugas sebagai berikut.

a)         I Made Pande Parityaksa                : Ketua Tim/Konservator

b)         I Wayan Widiarta                            : Konservator

c)         Ida Bagus Mudalara                        : Pembantu Konservator

Dalam pelaksanaan kegiatan ini, petugas dibantu oleh beberapa orang dari masyarakat. Berkat bantuan dan dukungan dari masyarakat setempat, kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar dan berjalan sesuai dengan rencana.

Pura ini berjarak kurang lebih 35 kilometer dari Denpasar atau sekitar 10 kilometer dari kota Tabanan. Untuk menuju pura ini pengunjung melalui route Tabanan-Penebel.  Tepat di Pasar Penebel belok ke barat menyusuri jalan menuju Desa Mengesta hingga tiba pada sebuah pertigaan. Dipertigaan yang ada kuburan ini belok ketimur sekitar setengah kilometer hingga tiba di area parkir obyek wisata air panas yang letaknya persis diutara bale banjar Belulang. Dari area parkir ini pengunjung harus berjalan kaki sekitar 100 meter lagi untuk tiba di lokasi pura yang berada ditengah hamparan pesawahan yang berpanorama indah. Sebelum sampai di areal Pura Luhur Batu Panes, kita akan melewati tiga pura lainnya yang mengelilingi Pura Luhur Batu Panes. Pertama kita akan melewati Pura Puseh yang di dalamnya terdapat tinggalan arkeologi berupa sebuah arca Ganesa, lingga, dan arca sederhana (Balai Arkeologi Denpasar, 2013 : 29-30). Selanjutnya pengunjung akan melewati Pura Luhur Beji yang difungsikan sebagai tempat pasraman/pesucian Ida Batara Luhur Batu Panes.Di PuraLuhur Beji terdapat sumber mata air panas yang debitnya cukup besar. Air yang bersumber dari mata airinilah dipakai sebagai tempat permandian. Selanjutnya di sebelah timur jalan setapak terdapat Pura Luhur Dalem Kahyangan. Selain di sisi selatan, di timur laut Pura Luhur Batu Panes juga terdapat sebuah pura lainnya yaitu Pura Luhur Batur Sari dengan sebuah pelinggih berupa batu besar, dan di sebelah barat terdapat Pura Luhur Puseh Batu Aye dengan pralingga berupa linggayoni.batu panes

Secara struktur Pura Luhur Batu Panes mempunyai struktur yang sama dengan pura pada umumnya, yaitu terbagi menjadi tiga mandala.

Jaba sisi merupakan areal persawahan dan jalan setapak yang ada di depan pura.Untuk memasuki areal madya mandala dapat melalui sebuah candi bentar yang ada di sisi barat daya pura. Di madya mandala terdapat beberapa bangunan penunjang seperti dapur suci (perantenan) dan balai pertemuan. Untuk membatasi area madyaning mandala dengan utaming mandala terdapat sebuah kolam yang mengitari utamaning mandala, dengan sebuah akses masuk pada sisi barat daya. Ini merupakan suatu keunikan karena pemedalutama mandala pura menghadapke bucu dan dikelilingi kolam dan tidak dibuatkan penyengker. Pelinggih utama yang terdapat pada utamaning mandala di Pura Luhur Batu Panes adalah Pelinggih Ageng, yang berdampingan dengan pelingih-pelinggih lainnya seperti Pesimpangan Tamblingan, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Besi Kalung, Pelinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan, Bale Kembar, Bale Agung, Gedong Simpen, dan Bale Dawa.

Cagar Budaya yang terdapat di Pura Kahyangan Luhur Batu Panes dibuat dari batu padas yang mempunyai ukuran masing-masing berbeda. Warisan cagar budaya ini ditempatkan di Pelinggih Ageng yang sedang dipugar. Secara khusus cagar budaya ini belum pernah mendapat perawatan/pemeliharaan sebagai mana mestinya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan warisan cagar budaya tersebut mengalami kerusakan dan pelapukan. Selain kerusakan mekanis dalam bentuk patah dan retak, juga terjadi kerusakan biotis, yakni tumbuhnya jasad renik pada permukaan cagar budaya. Yang paling dominan adalah jenis lichenes hamper mencapai 60%. Sebenarnya tumbuhnya jasad renik ini akibat pengaruh lingkungan seperti curah hujan yang cukup tinggi. Disamping itu terjadi pelapukan fisis berupa aus dan pengelupasan. Pelapukan chemis berupa aus yang prosentasenya sangat kecil berkisar antara 5 – 7% pada lingga dan ada pula yang mengalami pelapukan cukup parah pada beberapa arca perwujudan. Melihat dari kerusakan dan pelapukan yang terjadi dalam upaya melakukan pelestarian terhadap warisan cagar budaya tersebut maka pada tanggal 5, 6, dan 7 April 2014 dilaksanakanlah konservasi.

Untuk menanggulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah, maka dilaksanakanlah konservasi agar kelestarian warisan cagar budaya bisa terjaga. Pada prinsipnya, pelaksanaan konservasi di Pura Kahyangan Jagat Luhur Batu Panes dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu:

1)         Pembersihan mekanis kering dan basah.

Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat, di ataranya: sikat ijuk, sikat gigi, sudip bambu, sapu lidi dan dissecting set. Pembersihan ini bertujuan untuk membersihkan semua debu, rumah serangga, dan jasad-jasad renik yang mudah lepas. Pembersihan ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar cagar budaya tidak tergores. Selanjutnya dilakukan pembersihan mekanis basah. Pembersihan ini hampir sama dengan pembersihan mekanis kering, hanya disertai guyuran air agar kotoran-kotoran hanyut bersama air.

2)         Pembersihan chemis.

Apabila pembersihan secara mekanis tidak bersih, maka dilanjutkan dengan pembersihan secara chemis. Dengan menggunakan bahan kimia AC – 322. Aplikasi bahan ini terhadap cagar budaya dilakukan dengan cara diolesi. Waktu kontak AC – 322 dengan cagar budaya diberi tenggang waktu kurang lebih 24 jam agar semua jasad-jasad renik beserta dengan sporanya mati

3)         Perbaikan.

Kegiatan perbaikan dilakukan dalam bentuk dua tahapan, yaitu penyambungan dan kamuflase.

(a)      Penyambungan

Sebelum dilaksanakan penyambungan, terlebih dahulu dilakukan tahapan anastilosis/pencocokan. Setelah pasangannya ketemu, kedua permukaan yang akan disambung dibersihkan kering agar kekuatan lem maksimal. Setelah itu dilanjutkan dengan pengeboran untuk pemasangan anker yang dipakai besi kuningan untuk menghindari karatan. Tahapan berikutnya baru dilakukan pengeleman. Untuk menghindari sambungan bergeser, sambungan harus diikat dengan tali rapia. Setelah kurang lebih 24 jam baru ikatan tali rapia dilepas karena lem sudah mengeras.

(b)      Kamuflase

Kamuflase adalah satu jenis kegiatan perbaikan yang bertujuan untuk menyelaraskan warna antara celah-celah sambungan dengan permukaan cagar budaya yang asli. Disamping itu, kamuflase juga bertujuan untuk memperkuat sambungan. Bahan yang digunakan untuk kamuflase adalah semen dicampur dengan serbuk padas dengan perbandingan 1 : 6. Arca Dhurga Mahisasuramardini satu-satunya arca yang disambung.

Berdasarkan hasil pengamatan dan informasi yang diperoleh di lapangan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

Warisan cagar budaya di Indonesia banyak tersebar di alam terbuka, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh faktor lingkungan. Indonesia yang beriklim tropis lembab, factor iklim memegang peranan penting dalam proses pelapukan atau kerusakan cagar budaya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pemeliharaan cagar budaya dengan metode konservasi dipandang tepat untuk menghambat proses pelapukan. Seiring dengan melaksanakan konservasi tersebut pencatatan data iklim sangat diperlukan agar konservan yang digunakan dapat lebih efektif dan mencapai sasaran. Disamping itu, pencatatan data iklim juga dapat digunakan untuk membuat perencanaan konservasi dan prediksi yang mungkin akan terjadi sehingga permasalahan konservasi dapat diatasi secara tuntas dan diperoleh hasil yang optimal.