KERJASAMA PENELITIAN BALAI ARKEOLOGI DENPASAR DENGAN BPCB BALI PADA SITUS ARKEOLOGI PENATIH, DENPASAR TIMUR TAHAP III. Tahun 2014 KOTA MADYA DENPASAR

0
2092

Indonesia adalah sebuah Negara yang kaya dengan khazanah budaya yang berasal dari masa lalu yang tersebar luas di seluruh kepulauan Nusantara, sehingga sering disebut dengan ungkapan hamparan zamrud di khatulistiwa . Khazanah budaya masa lalu tersebut sering pula disebut dengan peninggalan arkeologi, baik yang berasal dari jaman prasejarah, masa klasik, masa Islam hingga masa Kolonial. Peninggalan arkeologi dari masa klasik yang berkembang sejak abad VIII hingga abad XV masehi, yang sangat menonjol dan banyak kita saksikan sampai dengan saat ini , adalah berupa bangunan-bangunan suci keagamaan yang disa disebut candi. Bangunan-bangunan keagamaan keagamaan yang sangat indah ini, mulai dibangun sekitar permulaan abad ke VIII, dibangun di berbagai tempat, seperti di dataran terbuka, di lereng-lereng bukit dan adapula di puncak bukit. sebagian besar dari bangunan-bangunan keagamaan tersebutjita dapatkan di Pulau Jawa, tetapi dapat pula kita saksikan di Bali dan Sumatera (Fontein dkk, 1972: 13). bangunan-bangunan suci keagamaan tersebut dapat pula dikatakan sebagai peninggalan dalam bidang arsitektur tertua dari zaman klasik awal terdapat di pantai utara Jawa Barat, berupa temuan fondasi candi dari batu bata di Cibuaya. sedangkan temuan lain berupa sebuah candi kecil dengan teknik pembuatannya yang masih sederhana, ialah candi Cangkuang di tepi danau Leles (Satari, 1975: 6). selama kurun waktu 700 tahun (dari abad VIII-XV masehi), telah dibangun puluhan candi, mulai dari bangunan yang kecil dan berdiri sendiri, hingga bangunan-bangunan besar dan megah dalam sebuah kompleks. Masa ini dapat dikatakan sebagai puncak kebesaran dari seni bangunan keagamaan, yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya tingkat hidup dalam bidang keagamaan di Indonesia. dengan adanya bukti-bukti tersebut wajarlah bila dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, ramah, tamah dan penuh sopan santun. Secara filosofi istilah candi kiranyasudah ada sejak lebih kurang abad IV, bila dihubungkan dengan kerajaan Kutai di Kalimantan. Dalam Yupa (batu bertulis) disebutkan nama sebuah tempat sucikeagamaan yaitu Waprakeswara, dalam masa pemerintahan raja Mulawarman. Kemudian nama Waprakeswara ini nantinya di tanah jawa timbul kembali dengan bentuk Baprakeswara. Nama Baprakeswara ialah nama tempat suci yang disebut selalu berhubungan dengan Dewa besar tiga yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa (Purbacaraka, 1951: 6). Tidak ada atau kurangannya peninggalan berupa bangunan suci pada masa kerajaan Kutai di Kalimantan maupun kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, menurut beberapa peneliti tidak adanya peninggalan berupa bangunan candi, disebabkan karena bangunan-bangunan suci tersebut dibuat dari bahan-bahan yang mudah rusak yaitu kayu atau bambu (Dumarcay, 1989: 9). Pada umumnya bangunan suci ini ada yang berupa bangunan tunggal dan ada yang berupa kelompok. bangunan suci keagamaan ada yang berbentuk stupa, petirtaan, gua, pahatan karang (Harkantiningsih, 1999: 88-89). Menurut kamus istilah arkeologi, candi adalah sebuah bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia, baik bangunan itu berupa permandian kuna, maupun bangunan suci keagamaan, semuanya disebutdengan candi (ayatrohaedi, 1978: 35). Dilihat dari wujud arsitekturnya, candi adalah sebuah bangunan yang biasanya dibangun dengan mempergunakan material yang cukup kuat seperti batu andesit, batu padas, batu bata, batu kapur, dan lainnya. Bangunan candi dibagi menjadi tiga bagian pokok yaitu kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Berdasarkan hasil penelitian relief-relief bangunan yang terdapat pada dinding candi serta bangunan-bangunan candi di Indonesia, diketahui ada 2 jenis bangunan candi di Indonesia, dilihat dari jenis konstruksinya bangunan yang dipergunakan yaitu:

  1. Bangunan konstruksi susunan batu ialah bangunan yang mempunyai konstruksi utama dinding penahan beban (bearing wall) yang menahan bagian atap atau kepalanya yang disusun diatas suatu pondasi dengan bahan yang sama yakni dari batu alam.
  2. Bangunan konstruksi susunan kayu ialah bangunan yang konstruksi utamanya adalah rangka yang menyangga bagian atap bahannya dari kayu (Atmadi, 1979)

Denah atau bentuk dasar sebuah candi sering memilikiberagam variasi seperti ada yang memiliki bentuk dasar segi empat, segi enam, segi delapan dan seterusnya. Ciri-ciri yang sering dilihat pada banguanan knstruksi susunan batu adalah adanya penomjolan-penonjolan pada pilaster, adanya simbar (Antefix), pelipit, lekuk-lekukperbingkaian) dan panil-panil dinding serta hiasan kalamakara, serta biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki candi, badan candi, dan atap candi. Candi berasal dari kata Candika Grha yang berarti rumah untuk Dewi Candika atau Dewi Maut (Soekmono. 1974;1981). Sehingga pada awalnya fungsi candi diduga sebagai sebuah bangunan tempat penyimpanan abu jenazah orang yang meninggal, seperti yang dikatakan oleh Raffles sebagaiberikut : When the body of acheif or person of consequenze was burnt; it was usual to preserv of the ashes and deposits them in a chandi or tomb (Raffles. 1917:372). Terkait dengan fungsi candi ini telah dibantah oleh Prof. DR. Ida Bagus Mantra, guru besar pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Beliau mengatakan bahwa candi adalah bangunan suci untuk (Pelinggih) dari raja yang telah meninggal dan telah disucikan serta telah kembali ke Brahmaloka dan bukan kuburan atau tempat menyimpan jenazah. (Mantra, 1963: 37). pendapat ini dikuatkan lagi oleh hasil-hasil penelitian arkeologi terhadap beberapa buah candi yang dilakukan oleh Soekmono, dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada sisa-sisa jenazah yang dimasukkan dalam perigi candi, sehingga yang ditanam dalam perigi candi itu adalah bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batuan seperti batu akik yang disertai dengan saji-sajian (Soekmono, 1974: 81). dengan demikian jelaslah bahwa fungsi candi adalah sebagai bangunan suci tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dan roh suci leluhur. Dilihat dari bentuk bangunan, pembagian bangunan dan berbagai ornament yang menyertainya, diduga bangunan candi ini memiliki berbagai konsep keagamaan yang mendasarinya. pembagiannya menjadi tiga bagian utama, kaki candi, badan candi, dan atap candi kemungkinan besar terkait dengan konsep-konsep seperti Konsep Tri Hita Karana yaitu 3 unsur yang membawa kebaikan (Tri=3, hita =baik, dan Karana=Sebab), yang mengaitkan antara faktor manusia (Pawongan), tanah sekitarnya (Palemahan) dan rumah/bangunan suci (Parahyangan) (Soekarto, 1986). dalam wujud fisik manusia disebut dengan Konsep Tri Anggayaitu bagian kepala= Utamaning angga= Parahyangan; Badan= Madyaning angga= Pawongan, dan Kaki= Nistaning angga= Palemahan. Dalam konseptual perancangan arsitektur tradisionalBali, didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh tiga sumbu yaitu:

  1. Sumbu kosmos, Bhur, Bhvah, Svah (hydrosfir, litosfir, dan atmosfir).
  2. Sumbu ritual yaitu kangin-kauh (timur-barat) yaitu terbit dan tenggelamnnya matahari.
  3. Sumbu natural yaitu Kaja-Kelod (gunung-laut) (Arianto Puja, 1986).

Harus pula disadari bahwa dalam hubungan dengan penelitian sebuah candi harus diingat bahwa tidak semua situs arkeologi berfungsi tunggal, karena itu bukan tidak mungkin suatu situs candi terletak didekat atau ada di dalamdaerah pemukiman atau tidak terpisah dari situs hunian komunitas pendukungnnya. Dengan demikian situs candi dapat dijadikan pedoman untuk mencari situs hunian (Boechari, 1977: 81-144).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai pustaka di atas dikaitkan dengan timggalan-tinggalan arkeologis yang telah ditemukan di situs arkeologi penatih, dapat diduga bahwa struktur batu padas yang terdapat di situs Penatih tersebut merupakan bagian dari bangunan suci atau candi yang pernah berdiri di lokasi tersebut pada masa lalu. Yang dapat kita lihat sekarang ini tinggal tiga lapis susunan vertikal dengan tinggi sekitar 120 cm, dan lebar struktur yang terdiri dari tiga lapis susunan horizontal dengan lebar keseluruhan 250 cm. Pada permukaan sisi timur struktur batu padas terlihat adanya perbingkaiaan mulai dari lapik, perbingkaian sisi genta ganda (pida cala), bingkai mistar, serta permukaan batu padas diperkuat dengan lapisan penguat (lepa). Jika diperhatikan dengan seksama, perbingkaian yang terlihat ini dapat diduga merupakan perbingkaian bawah dan kaki candi, sehingga apabila direkonstruksi di atas kerta dengan memasukkan bagian batang dan perbingkaian kaki bagian atas, diperkirakan akan diperoleh konstruksi kaki candi setinggi 270 cm. Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait dengan temuan struktur bangunan di situs Penatih ini adalah ukuran batu padas yang dipergunakan yakni berukuran 40 x 40 x 120 cm, yang secara teknis tentunya sangat berat sehingga sangat sulit dalam proses pemasangannya, terlebih lagi teknik pemasangan yang diterapkan pada bangunan ini adalah sistem gosok. Pembangunan dengan sistem gosok ini biasanya mempergunakan material dalam ukuranyang kecil, sehingga mudah pemasangannya. Oleh karena itu penggunaan material dengan ukuran besar dan berat ini perlu mendapat perhatian karena sangat mungkin terkait erat dengan bentuk dan ukuran bangunan pada masa lalu. Dengan adanya penggunaan material yang besar dan berat pada struktur baguan bawah (kaki candi), maka diduga struktur ini sengaja dibuat supaya kuat dan tahan lama menopang beban yang berat di atasnya. Dengan pemikiran seperti itu, maka sangat mungkin bangunan ini dahulunya merupakan bangunan konstruksi susunan batu. Artinya bagian tubuh dan atap candi mempergunakan bahan dari batu padas pula. Candi adalah sebuah bangunan suci tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dan juga roh suci leluhur yang telah disucikan, sampai dengan saat ini belum diperoleh data yang berkaitan dengan keberadaan bangunan situs Penatih ini, tetapi tetap dapat diyakini bahwa keberadaan bangunan ini dimasa yang lalu memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Dilihat dari ukuran dan bentuk bahan bangunan yang pernah berdiri memiliki ukuran yang cukup besar dan megah. dugaan ini didasarkan pada ketinggian dan lebar struktur yang sudah terlihat, yakni lebarnya mencapai 2,5 meter dan tinggi struktur yang ada sekarang 1,2 meter (tiga lapis susunan batu padas) yang di identifikasi sebagai bagian bawah dari struktur kaki candi, dari hasil rekonstruksi diatas kertas diperkirakan tinggi kaki candi dalam keadaan utuh sekitar 2,7 meter. Dengan ketinggian kaki candi tersebut dapat dibayangkan betapa tingginya yang pernah berdiri pada masa yang lau. Berkaitan dengan ukuran bangunan candi yang pernah berdiri di situs Penatih ini, memang masih jauh untuk diketahui, karena sampai dengan berakhirnya penelitian tahap II tahun 2013 yang lalu, belum diperoleh ukuran panjang bangunan, karena belum menemukan sudut-sudut bangunan maupun ketinggian yang pasti dari bagian-bagian bangunan, utamanya batur (lapik) maupun kaki candi, sehingga sampai saat ini belum diperoleh pedoman pengukuran bangunan tersebut. Terkait dengan ukuran bangunan ini tentunya kita tidak dapat memperkirakan saja, karena pembangunan sebuah bangunan suci memiliki perhitungan yang khusus dan memiliki ukuran atau skala yang sering disebut dengan hasta (34 cm). Terkait dengan ukuran bangunan tentunya baru akan dapat dikaji apabila nanti telah diperoleh data yang lebih lengkap terkait dengan panjang dan lebar bangunan serta tinggi salah satu bagiannya.

Selanjutnya yang perlu pula mendapat perhatian adalah berkaitan dengan keberadaan masyarakat pendiri dan pendukung bangunan tersebut. Dengan adanya bangunan candi yang sangat mungkin besar dan megah tersebut, dapat diasumsikan bahwa pada masa lalu masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah tersebut sudah memahami agama Hindu atau Budha dengan baik dan benar, sehingga mereka memiliki keyakinan dan kekuatan untuk membangun sebuah bangunan suci pemujaan.Dapat diyakini bahwa masyarakatnya memiliki keyakinan atau ketakwaan yang sangat kuat, memiliki rasa kebersamaan dan jiwa gotong royong yang sangat bagus, sehingga mampu memndirikan bangunan suci sebesar itu.

Rencana kegiatan penelitian arkeologi di situs arkeologi penatih, kecamatan Denpasar Timur tahun 2014 ini, adalah merupakan penelitian dari penelitian yang sudah dilaksanakan pada tahun 2012 dan 2013 yang lalu. dari penelitian tahap I dan II tersebut berhasil ditemukan tinggalan arkeologi berupa:

 

  1. Struktur bangunan yang terbuat dari bahan batu padas, dengan ukuran yang besar yakni berupa balok-balok batu padas dengan ukuran 40x40x120 cm.
  2. Struktur bangunan ini diduga merupakan struktur dasar sebuah kaki candi, yakni bagian dasar kaki candi sebelah timur, dengan susunan vertikal 3 (tiga) susunan batu padas (tinggi sekitar120 cm) dan lebar struktur sekitar 250 cm.
  3. Diyakini sebagai struktur dasar kaki candi sebelah timur, karena terlihat perbingkaiaan pada permukaan struktur sebelah timur berupa lapik (dasar candi), dua susun batu bingkai sisi genta (pida cala), pelipit mistar. Perbingkaiaan ini diduga sebagai bentuk perbingkaian bawah kaki candi.
  4. Panjang struktur bangunan yang sudah terlihat sampai dengan akhir penelitian tahap II ini, sepanjang 21 meter memanjang arah utara-selatan.
  5. Adanya indikasi struktur tangga pada sisi timur pada kotak PNT/VI/2013. sehingga diduga sementara struktur tangga adalah merupakan bagian pertengahan dari struktur candi, sehingga diperkirakan masih ada struktur ke arah utara sepanjang 21 meter.
  6. melihat ukuran batu padas yang dipergunakan, serta panjang dan lebar struktur yang sudah terlihat, dapat diduga bangunan candi yang dahulu pernah berdiri memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang pernah ditemukan di Bali.
  7. dalam kegiatan penelitian tahap II tahun 2013, juga diadakan survei arkeologi di beberapa tempat di Kelurahan Penatih, seperti di Pura Penataran Agung, Banjar Penatih Kaja dengan temuan arkeologi berupa arca-arca tantrisme; Kemucak bangunan; Menara sudut dan beberapa balok batu padas yang diduga bagian dari sebuah bangunan. Pura Dangka Banjar Tembau Tengah dengan temuan arkeologi berupa beberapa buah lingga-yoni; Arca Dewi Dyrga; Arca Ganesa; Arca Nandi; Arca Kepala Kala; Arca Cili serta beberapa komponen bangunan. Pura Batur Panti, Banjar Tembau Tengah dengan temuan arkeologi berupa arca Nandi. Pura Puseh Tembau, Banjar Tembau Kelod dengan temuan arkeologi Kemuncak Bangunan. (Suantika, 2012; Suantika dkk, 2013).

setelah diadakan analisis terhadap keseluruhan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, baik dari kegiatan ekskavasi maupun survei arkeologi, kuat dugaan bahwa wilayah Penatih pada masa yang lampau merupakan sebuah daerah yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarahkebudayaan di Bali khususnya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya struktur batu padas yang panjang dan lebar, diduga sebagai bagian dasar/kaki dari sebuah bangunan keagamaan (candi) yang pernah ada/berdiri pada masa yang lalu. adanya sebaran peninggalan arkeologi di beberapa tempat di wilayah Kelurahan Penatih, dapat dijadikan indikasibahwa wilayah pemukiman pada jaman dahulu meliputi wilayah yang cukup luas dan masyarakatnya sudah memeluk agama utamanya agama Hindu.

Dari semua paparan yang telah disebutkan diatas, maka tujuan kegiatan penelitian arkeologi situs Penatih tahap III tahun 2014 ini, sebagai berikut:

a)      berusaha untuk mengetahui berbagai aspek yang bekaitan dengan bentuk bangunan suci yang pernahberdiri di lokasi tersebut (bentuk bangunan, denah bangunan, gaya bangunan, tunggal atau kelompok, dan lainnya).

b)      secara periodesasi berusaha untuk mengungkapkan waktu (time) bangunan tersebut dibuat atau dibangun, serta beberapa lamakah bangunan tersebut berfungsi serta berusaha pula mengetahui sebab-musebab runtuhnya bangunan tersebut.

c)      berusaha untuk mengetahui kondisi alam lingkungan masa lalu, sehingga terpilih menjadi tempat untukpemukiman dan mendirikan bangunan tersebut.

d)      berusaha untuk mengetahui dan mengungkapkan peran dan fungsinya dimasa lalu, serta menggali peran dan fungsinya bagi kepentingan masa kini dan masa yang akan datang.

Lokasi penelitian arkeologi Penatih tahap III 2014 ini, masih tetap sama dengan lokasi terdahulu yaitu pada halaman rumah (gria) dari Ida Rsi Bhujangga Wesnawa Ganda Kusuma. Secara geografis lokasi ini merupakan sebuah dataran yang sangat landai, karena disekitarnya masih terlihat adanya hamparan persawahan yang sampai saat ini masih ditanami padi. lokasi penemuan struktur ini oleh masyarakat sekitarnya dikenal dengan sebutan pelemahan tegeh (bali, tegeh artinya tinggi). Lokasi berdekatan dengan Pura Subak Saba, di Desa Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Madya Debpasar. Untuk mencapai lokasinya sangatlah mudah yaitu dengan melalui jalan Trengguli, masuk ke Gang IV, kemudian masuk ke Gang IV D. Kita sudah sampai di lokasi serta dapat ditempuh dengan menggunakan berbagai jenis kendaraan bermotor.