Kegiatan Evaluasi Hasil Konservasi Cagar Budaya di Pura Meru Cakranegara, Lombok Barat

0
3168

KELOMPOK KERJA PEMELIHARAAN

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Cakranegara adalah salah satu kecamatan yang berada di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Cakranegara sebagai salah satu kota kerajaan Hindu di Pulau Lombok, pada masa itu merupakan koloni Kerajaan Hindu Karangasem di Pulau Bali. Sehingga, kawasan Cakranegara ini dulunya juga dibangun berdasarkan kaidah kosmologi Hindu-Bali dan pada kondisi eksisting beberapa cirinya masih dapat dilihat dari kebertahanan artefak kota dan bangunan cagar budaya ada di dalamnya. Salah satu warisan budaya umat Hindu di Lombok yang berupa bangunan pura banyak terdapat di wilayah Cakranegara, Mataram, Pagesangan, Pagutan, dan sekitarnya. Pura-pura ini merupakan peninggalan yang memliki nilai penting bagi perkembangan tradisi dan budaya. Salah satu pura yang menjadi bagian dari sejarah keberadaan umat Hindu di Lombok adalah Pura Meru Cakranegara.

Pura ini terletak di Jalan Selaparang, Kelurahan Mayura, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi pura ini berada di sebelah selatan Taman Mayura ± 100 meter. Pura Meru ini didirikan pada tahun 1720 oleh Kerajaan Singasari yang juga dikenal dengan Kerajaan Karangasem Sasak. Pembangunan Pura Meru ini, di samping sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan juga bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan di antara penguasa di masing-masing kerajaan kecil yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Pura Meru memiliki ukuran tapak datar dengan panjang ± 174 meter dengan lebar 51 meter, atau memiliki luas sekitar 8.873 m². Pada tahun 1979 dilakukan pemugaran, khususnya pada meru bentar dan bale kulkul yang memberi petunjuk (sepertinya) bentuk dan ragam hiasnya sudah mendapat penyempurnaan motif pepalihan dan ukiran Bali menurut Lontar Asta Kosala Kosali. Tapak (site)

Pura Meru memanjang ke arah timur-barat yang terbagi atas empat bagian peruntukan (mandala) secara berturut-turut, yaitu utama mandalamadya mandalanista mandala, dan legar mandala. Antara mandala yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan ketinggian tanah yang dibatasi oleh tembok penyengker sesuai dengan makna tingkat kesuciannya. Utama mandala berada pada posisi yang paling tinggi, disusul kemudian makin rendah dari madyanista sampai legar. Di utama mandala berjejer tiga buah bangunan meru bertumpang sebelas sebagai simbol lambang Siwa, bangunan meru bertumpang sembilan sisi selatan simbol Brahma, dan bangunan meru bertumpang sembilan sisi utara merupakan simbol Wisnu. Meru tumpang sebelas beratap ijuk, dan di ruang-ruang di setiap tumpang terbuat dari bahan kayu (Joko Prayitno:2013).

Berdasarkan tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, yaitu melaksanakan pelestarian melalui: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaaatan terhadap Cagar Budaya di wilayah kerjanya, baik berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya baik yang berada di darat maupun di air, maka sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan kegiatan evaluasi terhadap cagar budaya yang telah dikonservasi untuk menjaga kelestarian cagar budaya. Bertitik tolak dari hal tersebut maka pada anggaran tahun 2019 akan dilakukan kegiatan evaluasi konservasi terhadap tiga buah bangunan meru yang berada di Pura Meru Cakranegara yang telah dikonservasi untuk mengetahui kondisi keterawatan meru saat ini.

 

Lingkungan Pura Meru, NTB

Pura Meru terletak di Jl. Selaparang No.20b, Mayura, Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83233, Pulau Lombok. Kelurahan Cakranegara Timur, Kecamatan Cakranegara, Kotamadya Mataram. Letaknya bersebrangan jalan dengan kompleks Taman Mayura, karena antara keduanya merupakan satu kesatuan di dalam konsepsi tata letak pusat pemerintahan kerajaan Cakranegara pada waktu itu. Pura Meru terletak di sebelah selatan jalan, sedangkan Taman Mayura di sebelah utara jalan. Antara keduanya mempunyai keterkaitan fungsi serta hubungan histori. Lokasi Pura Meru ini berjarak 2 km dari Mataram.

Pura Meru berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi pemeluk agama Hindu Dharma. Di samping sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan, bila dilihat dari latar belakang dibangunnya pura ini, secara politis berfungsi sebagai sarana pemersatu bagi orang-orang Bali yang ada di Lombok, terutama dalam hal menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Karena pada waktu itu di Lombok terdapat beberapa buah kerajaan kecil dari penguasa Bali. Di Pura Meru ini, dalam waktu satu tahun sekali diadakan upacara pujawali atau usadha, yaitu upacara besar pada bulan purnama bulan ke-4 menurut perhitungan kalender Bali, biasanya jatuh pada bulan September-Oktober kalender Masehi. Pada hari itu semua banjar atau kampung sebanyak 29 kampung membawa alat dari pura pemaksan masing-masing, datang ke Pura Meru kemudian melakukan upacara pujawali dan menghias sanggar masing-masing. Untuk tiga bangunan Meru, sesajen dibuat oleh Panitia Pura (dahuluu dilaksanakan oleh istana). Upacara pujawali biasanya dimulai didahului dengan upacara pembersihan dari pikolannya (disebut jempana) secara simbolis, hal ini disebut penyucian atau melasti. Upacara pembersihan ini dilakukan di pancuran air yang terletak di Pura Kelepug, Taman Mayura. Disini tampak jelas keterkaitan fungsi antara Pura Meru dengan Taman Mayura. Pada Sore harinya, barulah diadakan upacara pujawali yang secara keseluruhan memerlukan waktu tiga hari maka segala alat sanggah itu dibawa ke kampung, ke pemaksan masing-masing.

Seperti pura-pura pada umumnya, Pura Meru terbagi dalam tiga bagian. Bagian pura yang paling suci adalah Utama Mandala. Pura ini merupakan tempat bagi umat Hindu untuk beribadah. Didalamnya terdapat 33 Sanggah yang berwarna putih. Sanggah-sanggah tersebut merupakan simbol dari 33 desa yang ikut membantu Anak Agung Made Karangasem dalam mendirikan Pura Meru. Atapnya berbentuk meru yang bertingkat yang menjulang ke langit. Jika Anda memperhatikan dengan seksama, salah satu meru memiliki 11 tingkat. Sedangkan dua lainnya memiliki 9 tingkat. Meru tersebut melambangkan Dewa-dewa yang ada dalam ajaran Hindu. Yaitu Brahma (Dewa pencipta), Wisnu (Dewa pemelihara), Siwa (Dewa penghancur).

Anda juga akan menemui Sekepat (semacam gazebo dengan empat tiang) yang biasanya digunakan oleh Ida Pedande dalam memimpin upacara. Serta Sake Ulu (gazebo dengan delapan tiang) yang biasa digunakan sebagai tempat sesajen dan banten dalam setiap ritual.

Bagian tengah atau Madya Mandala, dengan gazebo dua tingkat yang biasanya dipakai untuk bernegosiasi. Tepat di depan pura ini, Anda bisa menemui Nista Mandala. Yaitu sebuah halaman kosong. Tempat ini biasa digunakan untuk menggelar berbagai kesenian dalam upacara-upacara tertentu.

 

Latar Sejarah

Pada masa pemerintahan raja Karangasem ke IV, yang di perintah oleh tiga orang bersaudara yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem telah berhasil meluaskan kekuasaan ke pulau Lombok pada tahun 1691. De Graaf berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan Gelgel hampir bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Karangasem Bali dan dikuasainya pulau Lombok. Situasi politik di pulau Lombok pada saat itu juga memberikan peluang besar kepada kerajaan Karangasem di Bali untuk menanamkan kekuasaannya di pulau ini.

Hubungan politik antara Bali dan Lombok di lanjutkan oleh kerajaan Karangasem di Bali dengan dua kerajaan besar yang ada di pulau Lombok pada abad XVII, yaitu kerajaan Selaparang di Lombok Timur sebagai kerajaan Pesisir, dan kerajaan Pejanggih di Lombok Tengah sebagai kerajaan Pedalaman. Hubungan ini dimulai ketika kedua kerajaan tersebut, menjalani kekacauan sehingga situasi itu dimanfaatkan oleh kerajaan Karangasem di Bali untuk mengadakan intervensi.

Pada wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem Bali di pulau Lombok bagian barat, telah berdiri beberapa kerajaan-kerajaan kecil di bawah penguasa-penguasa bangsawan Karangasem Bali. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara lain : kerajaan Pagesangan, kerajaan Kediri, kerajaan Sengkongo, kerajaan Pagutan, kerajaan Mataram, dan kerajaan Singasari. Setelah adanya penaklukan terhadap pulau Lombok pada tahun 1691 sampai tahun 1740, di lokasi kerajaan yang dahulunya disebut Singasari inilah diganti namanya menjadi kerajaan Karangasem Sasak, dan kerajaan ini akan menjadi cikal bakal kerajaan Cakranegara. Pada tahun 1740 itu diperkirakan seluruh Lombok sudah dapat di kuasai oleh kerajaan karangasem Bali. Pendapat ini diperkuat oleh suatu informasi yang menyebutkan bahwa di beberapa daerah seperti Pejanggik, Purwa, dan Langko diharuskan membayar upeti dengan uang, daerah Sokong dan Bayan di kenakan upeti kapas, sedangkan daearah Praya, dan Batu Kliang di kenakan upeti darah (upeti getih) yaitu tidak membayar upeti dalam bentuk material melainkan apabila terjadi perang mereka harus membantu. Hal tersebut diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 1740. Di bawah pemerintahan Karangasem Bali, kekuatan politik bukan lagi berada di Lombok Timur, melainkan di pusatkan di Lombok Barat. Pada tahun 1741 raja Karangasem Bali menempatkan seorang penguasa I Gusti Wayan Tegeh yang berkedudukan di Tanjungkarang (sebelah selatan Ampenan sekarang atau berada disebelah barat kerajaan Pagesangan). Pada masa pemerintahannya ia berhasil memperkuat kedudukan Karangasem Sasak di pulau Lombok. di bawah perlindungan kerajaan Karangasem Bali, ia melakukan kegiatan dalam bidang perpajakan dan perdagangan. Setelah ia meninggal pada tahun 1775, ia digantikan oleh kedua putranya, yaitu I Gusti Made Karang yang di sebut dengan nama I Gusti Ngurah Made berdiam di Tanjungkarang, dan I Gusti Ketut Karang bertempat tinggal di Pagesangan. Kematian I Wayan Tegeh ternyata menimbulkan perpecahan, karena pengganti-penggantinya itu saling berebut kekuasaan. Konflik ini masih berlangsung sampai permulaan abad XIX dan bersamaan dengan munculnya dua kerajaan kecil lainnya yaitu kerajaan Sakra di Lombok Timur, dan kerajaan Kopang ada di Lombok Tengah.

Sejak meninggalnya I Gusti Wayan Tegeh pada tahun 1775, Tanjungkarang tidak lagi memegang peranan penting dan digantikan oleh munculnya kerajaan Karangasem sasak yang sejak tahun 1720 telah berada di bawah pemerintahan I Gusti Anglurah Made Karangasem, Dewata di Pesaren Anyar Bali. Tidak banyak yang dapat di ketahui tentang kegiatannya, namun dalam struktur pemerintahan kerajaan Karangasem Sasak di Lombok ia menempati status yang paling tinggi yaitu sebagai wakil (koordinator) kerajaan Karangasem di pulau Bali. pada saat itu raja Mataram berstatus sebagai Patih, sedangkan raja-raja kecil lainnya seperti kerajaan Pagutan, Pagesangan, Sengkongo`, dan kerajaan Kediri memiliki status sebagai manca. Semua penguasa di masing-masing kerajaan itu masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan diantara mereka, maka pada tahun 1720 kerajaan Karangasem Sasak di Lombok membangun sebuah pura yang megah sebagai tempat persembahyangan, yaitu pura Meru di Cakranegara Lombok.

Dibangun pada tahun 1720 oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem, Pura Meru didedikasikan untuk 3 dewa utama umat Hindu (Dewa Brahma, Dewa Siwa, dan Dewa Wisnu). Ketiga Meru tersebut juga mewakili tiga gunung yang dianggap suci oleh pemeluk agama Hindu; Pura Brahma mewakili Gunung Agung di Bali, Pura Siwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok, dan Pura Wisnu yang diwakili oleh Gunung Semeru di Jawa Timur. Soal bentuk, hanya Pura Siwa yang memiliki atap susun 11, sedangkan Pura Wisnu dan Pura Brahma memiliki atap susun berjumlah 9. “Meru” merupakan singkatan dari Gunung Semeru yang berada di Jawa Timur. Anak Agung yang masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Singosari dari daerah Jawa Timur tidak melupakan bahwa Gunung Semeru juga merupakan gunung yang dianggap suci oleh leluhurnya. Maka dari itu, pura tersebut mengambil nama Gunung Semeru yang dipersingkat menjadi Pura Meru. Ketiga Meru tersebut juga memiliki arti simbol warna yang bermakna. Pada perayaan piodalan (acara untuk mengingat lahir kembalinya pura), setiap pura akan dihiasi dengan kain yang disesuaikan dengan warna yang berbeda. Pura Brahma akan dihiasi dengan warna merah yang berarti api, simbol kematian umat Hindu yang dikremasi menggunakan api. Pura Siwa menggunakan kain berwarna putih yang merupakan simbol air untuk mensucikan abu hasil kremasi sebelum dibuang ke laut. Sementara, Pura Wishnu akan dihiasi dengan kain hitam yang melambangkan kegelapan atau kehidupan baru setelah kematian.

 

Bangunan Pura Meru, NTB

Keindahan dan keagungan meru ditonjolkan oleh bentuk atapnya yang bertingkat tingkat yang disebut atap tumpang. Ini dapat dibedakan atas meru tumpang satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas. Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos) dari bawah ke atas sebanyak sebelas tingkatan. Tingkatan tersebut yaitu:

1          = Sekala

2          = Niskala

3          = Cunya

4          = Taya

5          = Nirbana

6          = Moksa

7          = Suksmataya

8          = Turnyanta

9          = Ghoryanta

10        = Acintyataya

11        = Cayen

Ada juga meru beratap 21, namun biasanya ini dapat dilihat pada wadah atau bade pada saat ada upacara ngaben di Bali. Meru “khusus” ini memiliki pengertian Dasa Dewata sebagai dasar pokok, kemudian ditambah 11 tangga atma sebagai kelanjutannya. Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk di tengah. Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya Iswara dan warnanya putih), ba (selatan, Brahma, merah), ta (barat, Mahadewa, kuning) a (utara, Wisnu, hitam), i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna), na (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu), ma (barat daya, Rudra, jingga), si (barat laut, Sangkara, hijau), wa (timur laut, Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna). Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Sanghyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan pengejawatahan ke-10 huruf suci dan huruf suci Omkara dalam meru diuraikan sbb.:

  1. Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci — 10 huruf suci + huruf suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata.
  2. Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga.
  3. Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) + 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya). Ini lambang Sapta Dewata/Rsi.
  4. Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) + satu huruf Omkara di tengah. Ini lambang Panca Dewata.
  5. Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
  6. Meru beratap 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i, ya) adalah lambang dari Purusa dan Pradhana (Ibu-Bapak).
  7. Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu “Om” atau Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Sanghyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa).
  • Meru 1/bagian utara
    • Tiang : Tinggi = 295 cm
      • (x4)  : Tebal = 20 cm, Lebar = 20 cm, 9,44 m²
    • Sunduk: Panjang = 306 cm
      • (x4)  : Tebal  = 25 cm, Lebar = 26,5 cm, 12,6 m²
    • Sunduk: Panjang = 305 cm,
      • (x4) : Tebal = 26 cm,  Lebar  = 28 cm, 13,17 m²
    • Dinding: Tinggi = 182 cm, Lebar = 210 cm, 3,82 m²
    • Lambang: Panjang = 305 cm
      • (x4) : Tebal  = 20 cm, Lebar = 24 cm, 10,73 m²
    • Usuk (Iga): Panjang = 126 cm
      • (40x)    : Tebal = 8 cm, Lebar = 8,5 cm, 8,31 m²
    • Kolong: Lebar = 19 cm
      • (x4) : Tebal = 2 cm, Panjang = 450 cm, 3,78 m²
  • Total= 61,25 m²

 

  • Meru 2/Bagian tengah
    • Tiang   : Tinggi = 296 cm
      • (x4) : Tebal = 18 cm, Lebar = 18 cm, 8,784 m²
    • Sunduk: Panjang = 354 cm
      • (x4) : Tebal = 27 cm, Lebar = 27 cm, 15,876 m²
    • Sunduk: Panjang = 354 cm
      • (x4) : Tebal = 27 cm, Lebar = 27 cm, 15,876 m²
    • Dinding: Tinggi = 195 cm,  Lebar  = 260 cm, 20,28 m²
    • Lambang: Panjang = 353 cm
      • (x4) : Tebal = 20 cm, Lebar = 24 cm, 12,8096 m²
    • Usuk (Iga): Panjang = 175 cm
      • (40x) : Tebal = 8 cm, Lebar = 8 cm, 2,2912 m²
    • Kolong: Panjang = 485 cm, Tebal = 7,5 cm, Lebar = 12 cm, 7,6376 m²
  • Total= 83,55 m²

 

  • Meru 3/Bagian Selatan
    • Tiang : Tinggi = 295 cm
      • (x4) : Tebal = 20 cm, Lebar = 20 cm, 9,76 m²
  • Sunduk: Panjang = 305 cm
    • (x4) : Tebal = 24 cm, Lebar = 27 cm, 13,48 m²
  • Sunduk: Panjang = 303 cm
    • (x4) : Tebal = 27 cm, Lebar  = 24 cm, 12,88 m²
  • Dinding: Tinggi = 182 cm, Panjang = 212 cm, 15,43 m²
  • Lambang: Panjang= 299 cm,
    • (x4) : Tebal = 19 cm, Lebar = 23 cm, 10,36 m²
  • Usuk (Iga): Panjang = 129 cm,
    • (40x) : Tebal = 7 cm, Lebar = 8 cm, 1,59 m²
  • Kolong: Panjang = 450 cm, Tebal = 2 cm, Lebar = 19 cm, 15,18 m²
  • Total= 78,68 m²

 

Jadi Luas Permukaan

Meru:

1= 61.25 m²

2= 83.55 m²

3= 78.68 m²

223,48 m²

Dibulatkan : 224 m²

Kebutuhan larutan (rendaman) tembakau, cengkeh, pelepah pisang yaitu 112 liter karena dengan luas permukaan 2m² menghabiskan rendaman tembakau = 1 liter dengan komposisi yaitu;

  • Tembakau = 14 x 200 = 2,8 kg
  • Cengkeh = 14 x 200 = 2,8 kg
  • Pelepah pisang = 14 x 300 = 4,2 kg
  • Gambir = 28 butir

 

Data Keterawatan

Pura Meru Cakranegara merupakan salah satu situs yang terdapat di Daerah Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Secara arsitektur Pura Meru terbagi dalam tiga halaman, yaitu; utama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Pada bagian utama mandala terdapat beberapa bangunan suci diantaranya tiga buah bangunan meru, satu buah meru memiliki atap 11 tingkat yang berbahan ijuk, dan dua meru lainnya memiliki masing-masing atap 9 tingkat dengan bahan genteng. Komponen bangunan meru terdiri dari pondasi, dinding (ruang berbahan kayu), pendukung atap berbahan ijuk dan genteng. Tiga buah bangunan meru ini sudah pernah mendapat penanganan pemeliharaan berupa konservasi yang dilakukan dalam rencana pembangunan jangka menengah 2010-2018.

Kondisi fisik 

Kondisi Fisik bangunan Meru di Pura Meru, Cakranegara, Mataram pada bagian komponen bangunan sudah mengalami keturunan kualitas berupa: retak, miring, lapuk, dimakan rayap.

Data Keterawatan

Berdasarkan hasil observasi di lapangan terhadap bangunan cagar budaya Pura Meru Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat maka dapat di klasifikasikan menjadi empat jenis kerusakan dan pelapukan serta faktor penyebabnya.

  • Kerusakan Mekanis

kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa retak, miring, dan patah. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 3%

 

 

 

  • Kerusakan Fisis

Bentuk dari kerusakan fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan benda cagar budaya, penyebab dari kerusakan ini adalah faktor-faktor fisis seperti, suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 100%.

 

 

  • Pelapukan Chemis

Pelapukan chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reasik kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan kropos. Pelapukan chemis yang terjadi sekitar 15%.

 

 

 

 

 

  • Pelapukan Biotis

Pelapukan biotis disebabkan oleh kelembaban yang tinggi sehingga memicu pertumbuhan mickro organisme seperti moss dan algae. Disamping itu juga terjadi aktifitas insekta (rayap). Jenis pelapukan ini terjadi sekitar 30%.

 

 

 

Upaya Pelestarian

Diagnosis

Untuk menanggulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah maka dilaksanakan kegiatan konservasi agar kelestarian cagar budaya tetap terjaga. Pada prinsipnya rencana konservasi di Pura Meru Cakranegara, Mataram akan dilakukan enam tahapan yaitu;

  1. Pembersihan mekanis kering

Pembersihan yang dimaksud adalah untuk membersihakn akumulasi debu, kotoran-kotoran hewan, rumah serangga, serta pertumbuhan mickro organisme yang mongering dan menempel pada benda cagar budaya. Adapun peralatan yang digunakan berupa sapu lidi, sikat ijuk, sikat gigi, dan kuas eterna.

  1. Pembersihan chemis

Pembersihan secara chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda cat, adapun bahan yang digunakan berupa neorever.

  1. Pembersihan tradisional

Pembersihan tradisional dilakukan menggunakan bahan larutan cengkeh, tembakau, pelepah pisang dengan perbandingan 200 gram: 200 gram: 300 gram + 2 buah gambir, komposisi ini untuk 8 liter larutan. Luas permukaan yang akan dibersihkan secara tradisional seluas 224 m², jadi bahan yang diperlukan cengkeh 2,8 kg, tembakau 2,8 kg, pelepah pisang 4,2 kg, gambir 28 butir.

  1. Pengolesan/injeksi insextisida

Pengolesan/injeksi insextisida untuk membunuh insexta dilakukan pengolesan/ injeksi insextisida. Insexta yang ada dipermukaan benda cagar budaya dilakukan pengolesan, sedangkan yang masuk ke dalam BCB (berupa lobang kecil) dilakukan injeksi agar Insextisida bisa lebih efektif. Bahan yang digunakan adalah stead fast dicampur dengan minyak tanah dengan konsentrasi 2%

  1. Perbaikan (Kamuflase)

Kamuflase adalah bagian dari kegiatan perbaikan yang bertujuan untuk menutup retakan-retakan yang menganga pada tiang-tiang disamping itu untuk menghambat retakan-retakan bertambah lebar. Bahan yang digunakan berupa penol microballon dicampur Epoxy-Resin.

  1. Konsolidasi

Konsolidasi bertujuan untuk memperkuat ikatan partikel-partikel bahan cagar budaya yang sudah mengalami penurunan kualitas (lapuk). Bahan yang digunakan untuk konsolidasi berupa butiran Paraloyd B-72 dengan Pelarut Ethyl Acetate dengan konsentrasi 2-3%. Waktu pengolesan Paraloyd B-72 kondisi cagar budaya harus benar-benar kering agar bahan bisa bekerja lebih efektif. Apabila cagar budaya mengalami pelapukan yang cukup parah dilakukan dua kali pengolesan dengan cara menunggu olesan pertama kering. Luas permukaan BCB yang akan di konsolidasi dilakukan secara selektif ± 25 m² jadi bahan yang dibutuhkan : Ethyl Acetate = 12,5 liter, Paraloyd B-72 = 375 gram.

 

Simpulan

  1. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di lapangan, maka dapat dikemukakan bahwa Bangunan Meru di Pura Meru Cakranegara Mataram, NTB merupakan bangunan benda cagar budaya yang bersal dari masa sejarah yang perlu mendapat upaya pelestarian agar benda cagar budaya bisa bertahan lebih lama.
  2. Permasalahan utama yang dihadapi adalah terjadinya kerusakan mekanis dalam bentuk retakan-retakan, keausan serta kerusakan biotis yang disebabkan oleh adanya faktor external (suhu, kelembaban, dan lingkungan), faktor internal (usia benda cagar budaya).
  3. Sesuai dengan ketentuan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pura Meru, Bangunan Meru dan berbagai komponennya termasuk dalam kategori benda cagar budaya, sehingga keberadaannya perlu dirawat dan dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan.