KEBUDAYAAN PERUNGGU SEBAGAI PUNCAK PERADABAN BALI

0
9903

I Made Mardika

Dikamar73@gmail.com

Universitas Warmadewa Denpasar


Empat Tahap Revolusi Peradaban

Dalam sejarah peradaban umat manusia paling tidak telah mengalami tiga gelombang besar revolusi kebudayaan. Revolusi pertama terjadi pada masa prasejarah sedangkan gelombang revolusi kebudayaan kedua dan ketiga berlangsung pada masa sejarah. Sudah tentu di antara perubahan kebudayaan yang radikal tersebut, sejarah panjang peradaban manusia diwarnai oleh perkembangan budaya secara perlahan-lahan atau lebih dikenal dengan evolusi budaya.

Gelombang revolusi tahap I (first wave) berlangsung ketika manusia menemukan teknik bercocok tanam. Menurut Gordon Childe  dalam bukunya yang terkenal What Happened in History (1946) menyatakan bahwa, revolusi neolitik bukan sekadar penemuan teknologi pembuatan alat batu yang semakin canggih, akan tetapi lebih dari itu, manusia telah menemukan teknik bercocok tanam sehingga mereka tidak lagi hidup bergantung kepada alam. Kemampuan manusia dalam menghasilkan makanan sendiri memungkinkan mereka hidup menetap tanpa harus menjalani pola-pola budaya nomaden. Hidup menetap memberikan akses kepada manusia untuk menata struktur serta hubungan sosial lebih intensif. Transformasi budaya cukup bermakna terjadi baik di bidang sosial, ekonomi, politik, relegi dan teknologi (Kaplan & Manner, 2002: 59)   Revolusi Neolitik dengan demikian adalah pertama kalinya perubahan secara dramatis pola-pola peradaban umat manusia yang disebut juga dengan istilah Revolusi Hijau.

Revolusi gelombang kedua (second wave) muncul pada saat manusia menemukan mesin uap. Penemuan mesin sebagai pengganti tenaga biologis mampu mendekonstruksi budaya agraris menjadi budaya industri. Budaya piodal yang bergantung kepada kepemilikian lahan pertanian digantikan oleh kuasa akan modal dan permesinan. Hubungan-hubungan tradisional bersifat patron-klien diperbaharui oleh konsep buruh-majikan dengan berbagai kompleksitasnya. Perubahan radikal kedua yang dialami umat manusia dalam kehidupan dan kebudayaannya berlangsung tahun 1500—1970an (Herimanto & Winarno, 2009:82).

Era Industrialisasi kemudian digantikan oleh jaman teknologi informasi sebagai revolusi gelombang ketiga. Gelombang revolusi tahap ke-3 menurut A. Toffler ditandai dengan adanya kecendrungan baru dalam sejarah peradaban manusia terutama di bidang komunikasi, transportasi udara, energi terbarukan, dan proses urbanisasi. Kecendrungan ini melahirkan suatu tatanan hubungan masyarakat yang semakin kompleks, kaburnya sekat-sekat negara sehingga masyarakat dunia lebur menjadi satu kampung global. Arus budaya global tersebut demikian cepat melanda dunia, tak terkecuali Indonesia. Gaya hidup konsumerisme, hedonik, dan nilai-nilai budaya sekuler semakin mengemuka menerebos dan menyelinap memasuki budaya lokal. Inilah tren baru yang dibawa revolusi peradaban tahap ketiga.

Berbeda dengan tiga gelombang besar revolusi kebudayaan, sesungguhnya terdapat perspektif lain yang memandang bahwa pada masa prasejarah terjadi dua kali revolusi kebudayaan. Sebelum munculnya revolusi industri telah didahului oleh revolusi di bidang metalurgi. Dalam sejarah kebudayaan, masa ini lazim disebut Jaman Logam atau Masa Perundagian (baca: Kemahiran teknik). Disebut revolusi karena penemuan kemahiran untuk mengolah bijih-bijih logam menjadi alat-alat membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang tergolong “high technology” baik menyangkut pemilihan bijih logam alam, pengecoran, pencetakan, hingga penempaannya. Penemuan ini mengakibatkan perubahan kebudayaan yang signifikan terutama munculnya pola-pola kehidupan kota (necropolis Gilimanuk misalnya), diversifikasi di bidang pekerjaan dengan adanya kelompok-kelompok ahli dalam masyarakat (undagi) dan tumbuh suburnya tradisi megalitik yang berintikan pemujaan kepada roh nenek moyang. Dengan lain perkataan, perubahan budaya yang radikal pada masa perundagian mengindikasikan manusia telah mengalami revolusi kebudayaan tahap ke-2.

Patut disimak bahwa dinamika revolusi peradaban dalam empat tahap tersebut Bali menunjukan fenomena yang menarik. Terdapat dua catatan penting yang perlu diberikan. Pertama, berbeda dengan daerah lain di Indonesia, Bali mengalami transformasi dari budaya agraris langsung ke budaya jasa (pariwisata) tanpa melalui tahapan budaya industri (Mardika, 2016). Lompatan budaya ini memunculkan karakteristik tersendiri terhadap wujud kebudayaan Bali. Kedua, pada dimensi revolusi metalurgi masa perundagian Bali menampakan posisi yang penting baik di aras nasional maupun regional. Data artefaktual yang kontekstual mengindikasikan Bali menjadi salah satu kawasan pusat perababan pada era perunggu-besi. Alasan kuat yang bisa diberikan, tampak dari produksi barang perunggu Bali yang menunjukkan varian lokal dan bahkan terindikasi dibuat sendiri, bukan produk impor (Ardika, 1995).

Tulisan ini lebih bersandarkan pada kecendrungan pandangan kedua tersebut. Secara khusus, akan dipaparkan mengenai konstalasi posisi kebudayaan Perunggu Bali dalam konteks revolusi budaya pada akhir masa prasejarah. Selanjutnya, ditunjukan sejumlah argumentasi bahwa masa perundagian merupakan puncak peradaban Bali pada periode prehistory. Implikasinya adalah sangat masuk akal jika perkembangan kebudayaan masa perundagian dapat dirujuk sebagai akar-akar kebudayaan Bali yang berkembang sampai sekarang ini.

 

Bali, Pusat Perkembangan Kebudayaan Perunggu

Narasi besar berpandangan bahwa teknologi kemahiran menuang perunggu berasal dari kebudayaan Tiongkok. Tekologi baru ini kemudian berkembang di Asia Tenggara yang berpusat di Dongson, Vietnam Utara (sesuai nama penemu pertama yakni Dong So’n). Dari Dongson, keahlian membuat benda perunggu menyebar ke Indonesia termasuk Bali. Penemuan beragam jenis benda-benda perunggu di wilayah Vietnam Utara menjadikan situs Dongson dianggap sebagai pusat peradaban kebudayan perunggu di kawasan Asia Tenggara, yang berkembang pada masa 500—300 sebelum masehi (Heekeren, 1955: 69—72).

Grand narasi tentang pusat kebudayan perunggu di Vietnam Utara mulai digugat dengan adanya diskursus baru ‘narasi kecil’ yang mengusung pluralisme budaya. Penelitian terhadap tinggalan artefak perunggu di berbagai belahan dunia menunjukkan adanya bentuk-bentuk variasi lokal yang menyimpang dengan versi kebudayaan Dongson. Satu diantaranya adalah tinggalan benda perunggu yang ditemukan di Bali. Dari beragam wujud arefak perunggu yang ditemukan tersebar di wilayah Bali terdapat bentuk-bentuk lokal seperti nekara perunggu tipe Pejeng (Bintarti, 1996) dan berbagai varian kapak perunggu yang khas Bali (Mardika, 1990). Indikator ini menjadi ‘pintu masuk’ kemungkinan pusat-pusat kebudayan perunggu tidak hanya satu, akan tetapi menyebar. Keyakinan tersebut diperkuat oleh sejumlah temuan alat pembuat benda perunggu seperti alat cetak nekara di Pura Puseh Manuaba dan di Sembiran, alat cetak tajak perunggu di situs Pacung dan Sembiran (Ardika, dkk.2017: 14—16). Temuan ini menempatkan Bali sebagai salah satu pusat produksi seni tuang logam pada masa perundagian (Aziz dan Sudiarti, 1996: 2). Bagaimana dua pandangan dikotomis itu dapat dijelaskan? Tampaknya berkaitan erat dengan pergeseran teoritik dari mazab diffusi menuju ke arah ekologi budaya.

Aliran diffusionis memandang kebudayaan manusia bersumber dari satu tempat asal sebagai pusatnya, yang kemudian menyebar ke tempat-tempat lain melalui migrasi dari pendukung budaya tersebut. Paradigma ini memunculkan perspektif universalisme budaya, yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan berasal dari suatu tempat, kemudian akan meluas secara bertahap di berbagai tempat. Pandangan yang monosentris ini meniadakan fenomena partikularisme budaya yang diusung oleh aliran ekologi budaya. Teori ekologi budaya menganggap budaya yang diciptakan manusia tidak bisa dilepaskan dari proses adaptasi terhadap lingkungan. Faktor alam dan lingkungan dimana manusia hidup menjadi kata kunci bagaimana wujud budaya yang diciptakannya (Kaplan & Manners, 2002:101—118).

Konsekuensi logis cara berpikir ekologis adalah relativisme budaya, bahwa setiap kebudayaan adalah unik searah persepsi manusia dalam menyingkapi lingkungannya. Penalaran teori relativisme budaya mengarahkan pandangan kita kepada unsur internal dari pusat suatu kebudayaan. Pusat kebudayaan tidak mesti bersumber dari satu asal atau dari luar, melainkan bisa saja berasal dari dalam dan bersifat plural (Kaplan & Manners, 2002:128—130). Hal ini sekaligus memberi ruang terhadap kearifan lokal yang tersebar di berbagai komunitas masyarakat sebagai respon terhadap kondisi lingkungan tempat pendukung budaya itu hidup.

Mengacu kepada paradigma budaya partikular, dapat berterima jika pusat kebudayaan perunggu Bali tidak mesti dicari ke luar. Pandangan ekologi budaya sekaligus meneguhkan bahwa cikal bakal budaya lokal tersebut menjadi akar budaya yang berkembang selanjutnya. Dengan kata lain, kebudayaan perunggu sebagai akar budaya yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Bali tidak harus dicari di tempat lain yang jauh, karena ia tumbuh sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. Jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah unsur-unsur budaya apa saja yang dapat dipandang sebagai akar kebudayaan Bali? Uraian berikut berupaya untuk memberikan perspektif tentang lima bentuk budaya Bali yang berasal dari masa perundagian.

 

Masa Perundagian Sebagai Puncak Peradaban Bali

Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu mengalami proses perkembangan panjang sebagai kesinambungan kehidupan masa prasejarah. Brandes  dan Krom paling sedikit telah mengidentifikasi sepuluh wujud kebudayaan asli Indonesia yang sudah ada sebelum masuknya pengaruh Hinduisme. Bentuk kebudayaan prahindu tersebut meliputi: (1) pengetahuan astronomi sehingga nenek moyang mampu menjadi pelaut yang ulung dengan perahu bercadik, (2) sistem pertanian,  (3) seni wayang, (4) pakaian dan pertenunan, (5) sistem perdagangan, (6) pandai logam, (7) membuat gerabah, (8) kosmologi dualisme, (9) organisasi sosial dan (10) sistem kepercayaan khususnya pemujaan terhadap roh leluhur. Ragam unsur-unsur budaya asli Indonesia tersebut sudah pasti berasal dari jaman prasejarah. Akan tetapi, kurang jelas disebutkan dari periode yang mana saja bentuk kebudayaan itu berasal.

Berikut ini penulis berupaya mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan pra hindu  yang berasal dari masa perundagian Bali. Paling sedikit terdapat lima bentuk kebudayaan dari masa perundagian yang menjadi dasar kesinambungan budaya pada saat ini. Wujud kebudayaan dimaksud mencakup: (1) teknologi penciptaan barang-barang dari perunggu, (2) teknologi pengelolaan pertanian/subak, (3) sistem penguburan dengan wadah / ngaben, (4) seni pahat / ukir, dan (5) bangunan suci tahta batu / pelinggih Padmasana.

Teknik kemahiran dalam membuat barang-barang dari bahan perunggu dibuktikan dengan temuan alat cetak untuk membuat nekara di Pura Puseh Manuaba, Tegalalang. Temuan tersebut menunjukan kesesuaian dengan ragam hias nekara pejeng, hanya saja dalam ukiran lebih kecil. Demikian pula alat cetak kapak perunggu telah ditemukan pada penggalian purbakala di Situs Sembiran dan Pacung.  Bukti-bukti arkeologis tersebut mengindikasikan bahwa pada masa perundagian Bali telah mampu memproduksi benda-benda perunggu. Tesa ini diperkuat dengan adanya peninggalan benda perunggu yang cukup banyak ditemukan dan tersebar di berbagai wilayah di Bali. Jenis tinggalan yang ditemukan antara lain berupa alat perhiasan dan senjata, gelang, anting-anting, cincin, ikat pinggang, kapak perunggu, mata pancing, lempengan pentagonal dan nekara perunggu (Kompiang Gede, 1977: 44). Nekara perunggu misalnya, ditemukan tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Bali seperti di Desa Pejeng (Gianyar), Peguyangan (Denpasar), Carangsari (Badung), Basang Be (Tabanan), Pacung (Buleleng), Ban (Karangasem), dan Manikliyu (Bangli). Selain tersebar, temuan aneka varian kapak perunggu di situs Gilimanuk menunjukkan variasi yang khas Bali (Mardika, 1990).

Nekara Pejeng, bukti penguasaan teknologi metalurgi masa perundagian Bali ( sumber : student. unud.ac.id)

Kemampuan di bidang pembuatan barang-barang dari perunggu pada masa perundagian Bali ternyata berkesinambungan sampai sekarang. Model pembuatan benda perunggu dengan teknik ‘a cire perdue’ cetak liling hilang dapat disaksikan pada pembuatan arca perunggu maupun genta di Desa Budaga Klungkung. Begitu pula dari studi etnoarkeologi terhadap cara pembuatan gong di Desa Tihingan, Klungkung mirip dengan teknik bivalve yang diterapkan dalam pembuatan nekara perunggu. Boleh jadi kerajinan perak yang marak dilakukan oleh para perajin perak di Desa Celuk, Gianyar merupakan kelanjutan dari kemahiran teknik metalurgi dari masa perundagian.

Bersamaan dengan kemajuan di bidang kemahiran teknik pembuatan barang-barang perunggu – besi, sistem bercocok tanam padi pun turut berkembang. Ardika (1987) telah membuktikan bahwa keahlian dalam penciptaan benda-benda perunggu diikuti dengan terwujudnya organisasi masyarakat petani padi. Hal ini cukup beralasan jika dilihat dari dua hal. Pertama, masa perundagian ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok profesional dalam masyarakat. Satu diantaranya adalah komunitas di bidang pengerjaan sawah pertanian. Kedua, kemampuan penciptaan alat-alat dari logam sangat mendukung proses yang berkaitan dengan pengerjaan sawah. Terwujudnya kelompok-kelompok undagi pada masyarakat, ditunjang oleh peralatan yang memadai, tidak menutup kemungkinan terbentuknya sistem pengelolaan irigasi yang kemudian disebut subak. Sistem subak sebagai bagian dari budaya pertanian (agriculture) adalah landasan kebudayaan Bali yang berkembang hingga dewasa ini.

Selain di bidang pertanian sawah, tradisi megalitik yang dimulai pada masa bercocok tanam berkembang subur pada masa perundagian. Yang penting ditinjau dari tradisi megalitik pada masa perundagian adalah menyangkut sistem penguburan dengan sarkofagus dan pembuatan tahta batu yakni bangunan suci untuk memuliakan roh leluhur. Temuan alat kubur sarkofagus dengan berbagai ukuran dan ragam hias merefleksikan dua hal. Pertama, penguburan dengan sarkofagus lazim diperuntukan bagi kelompok elit dalam masyarakat sebagai media ‘kendarahan arwah’ menuju kehidupan baru di alam fana. Penyertaan bekal kubur, dan kemungkinan sebagai pola penguburan kedua, ditambah dengan besarnya jumlah partisipasi orang-orang yang dibutuhkan saat upacara menjadikan sistem penguburan sarkofagus terkesan ‘instimewa’. Analogi dengan masyarakat yang masih melaksanakan sistem penguburan memakai sarkofagus memberikan gambaran bahwa upacara ini mirip dengan prosesi ngaben. Kedua, pola-pola ragam hias yang terdapat pada sarkofagus mengindikasikan adanya kelompok masyarakat yang ahli di bidang seni pahat. Hasil penelaahan Sutaba (1996) terhadap bentuk-bentuk ragam hias yang ada di Sarkofagus sampai pada kesimpulan bahwa asal-usul seni ukir batu padas telah muncul pada masa perundagian. Demikian halnya ketrampilan untuk memahat gambar pada bidang nekara berlanjut pada generasi sekarang yang ahli dalam pembuatan seni kerajinan dari bahan-bahan logam.

Sarkofagus koleksi Museum Arkeologi Gedong Arca Gianyar dengan ragam hias kepala kura-kura (sumber: https://paketbalimurah. wordpress.com).

Tahta batu sebagai salah satu unsur tradisi megalitik dalam rangka pemujaan kepada roh nenek moyang dipandang sebagai prototype bangunan padmasana yang berkembang masa klasik Hindu (Sutaba, 1995). Dua argumen yang dapat dijadikan indikasi adalah segi bentuk dan fungsi tahta batu. Ditinjau dari segi bentuk dapat dikatakan tahta batu merupakan wujud padmasana dalam bentuk yang masih polos/sederhana. Dilihat dari fungsi, baik tahta batu maupun padmasana merupakan bangunan suci. Dalam hal ini keyakinan masyarakat masa perundagian tertuju kepada pemujaan terhadap leluhur, sementara padmasana adalah bangunan suci pengaruh Hindu untuk memuja Tuhan. Kendatipun berbeda, keyakinan tersebut merupakan suatu kesinambungan dari masa prasejarah hingga sejarah. Tahta batu masa prasejarah berlanjut dan berkembang menjadi bangunan suci padmasana masa sejarah.

Perbandingan bentuk Tahta Batu dengan Pelinggih Padmasana (sumber: https://www.google.co.id)

Penutup

Tak perlu disangsikan lagi bahwa Bali merupakan salah satu pusat produksi benda-benda perunggu pada masa perundagian. Banyaknya jumlah dan kanekaragaman tinggalan artefak perunggu, tipe-tipe hasil budaya materi yang bercorak lokal, serta temuan alat-alat cetak pembuat barang perunggu mengindikasikan Bali telah mampu menguasai teknologi metalurgi secara mandiri. Bahkan kebudayaan Perunggu Bali merupakan tonggak dan akar-akar kebudayaan yang berkembang pada masa selanjutnya. Lima unsur budaya yang tumbuh subur pada masa kemahiran teknik mencakup teknologi penciptaan karya seni dari logam, budaya pertanian padi, sistem penguburan, seni ukir, dan pendirian bangunan suci untuk roh leluhur merupakan bentuk-bentuk kebudayaan Bali yang menonjol sampai sekarang. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dikatakan kebudayan perunggu adalah puncak peradaban Bali pada masa prasejarah. Pondasi Agama Hindu sebagai spirit kebudayaan Bali tampaknya berawal dari peradaban Masa Perundagian.

 

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. 1987. Bronze Artifact and The Rice of Complex Society in Bali. Tesis Master of Arts. The Australian National University.

Ardika, I Wayan; I Ketut Setiawan; I Wayan Srijaya; Rochtri Agung Bawono. 2017. Stratifikasi Sosial pada Masa Prasejarah di Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Aziz, Fadhila Arifin dan Sudiarti. 1996. “Bahan Baku Perunggu pada Awal Masehi di Bali, Tinjauan dari Sudut Analisa Kimia” dalam PIA VIII, Cipanas, tanggal 12—16 Maret 1996.

Herimanto dan Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Kaplan, David dan Robert A. Manners, 2002. Teori Budaya. Edisi ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kompiang Gede, I Dewa. 1977. “Nekara sebagai Wadah Kubur Situs Manikliyu, Kintamani” dalam Dinamika Masyarakat Desa Manikliyu – Bali Menjelang Datangnya Pengaruh Hindu-Budha”, Forum Arkeologi Edisi Khusus No.II/1997-1998 November 1997.Hal. 39—53.

Mardika, I Made. 1990. Kapak Perunggu di Bali. Skripsi. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar

———————-. 2016. Dekonstruksi Relasi Kuasa Perajin Patung Kayu di Desa Kemenuh Sukawati Gianyar Bali. Disertasi. Program Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Sutaba, I Made. 1995. Tahta Batu Prasejarah di Bali: Telaah tentang Bentuk dan Fungsinya. Disertasi. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

——————–   1996. “Mencari Asal-Usul Seni Pahat di Bali” dalam PIA VIII, Cipanas, tanggal 12—16 Maret 1996