KAJIAN ZONASI CAGAR BUDAYA MASJID KUNO GUMANTAR

0
3617

POKJA PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Latar Belakang

Persebaran Masjid Kuno yang terdapat di wilayah Pulau Lombok hanya terdapat di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Utara.  Dalam data registrasi (2018) yang dimililiki oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, terdapat dua buah masjid Kuno di Lombok Tengah yaitu Masjid Gunung Pujut dan Masjid Rambitan. Sedangkan pada wilayah Lombok Utara terdapat Masjid Bayan Beleq dan Masjid Kuno Gumantar. Keberadaan Masjid Kuno ini diperkirakan berkaitan dengan masa awal penyebaran Agama Islam di Pulau Lombok. Mulyawan, I. 2009 menyebutkan bahwa masuknya Agama Islam di Pulau Lombok dengan cara damai pada abad ke 16. Konstruksi bangunan masjid yang terbuat dari bahan kayu dan bambu, bagian lantai yang tersusun oleh lapisan tanah liat dan bahan atap berupa anyaman alang-alang serta memiliki tumpang (tingkat atap) yang berjumlah 2 menjadi ciri khas dari ke-empat masjid kuno ini.

Persebaran Masjid Kuno di Pulau Lombok (data BPCB Bali 2018)

Perkembangan pembangunan fisik masjid yang sebagian besar dibangun dengan perkuatan beton dan bahan-bahan permanen lainnya menjadi tantangan tersendiri bagi keberadaan Masjid Kuno yang terdapat di wilayah Pulau Lombok. Bagimana tidak dengan semakin pesatnya pembangunan memberikan dampak perubahan penggunaan lahan sehingga keterdapatan bahan bahan penyusun masjid itu semakin jarang, dan hal ini mengakibatkan  biaya perbaikan kerusakan pada bangunan masjid kuno akan memerlukan biaya yang sangat besar, yang tentu saja akan lebih murah ketika membangun masjid yang baru dengan konstruksi beton bertulang.

Gempa besar yang melanda Pulau Lombok dan sekitarnya pada Bulan Juli dan Agustus 2018, memberikan ujian kemantapan konstruksi kayu pada masjid kuno, dari keseluruhan masjid kuno yang terdapat di Pulau Lombok semuanya dapat melewati kejadian gempa dengan masih tetap berdiri dengan tanpa terdapat kerusakan yang signifikan, dibandingkan dengan keberadaan masjid yang permanen yang sebagian besar mengalami kerusakan.

Masjid Kuno Gumantar adalah satu dari 4 masjid kuno yang masih terawat sampai saat ini dan melewati kejadian gempa besar tahun 2018 tersebut. Sesuai dengan namanya, masjid ini terletak di Dusun Gumantar yang merupakan salah satu dusun di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Masjid Kuno Gumantar masuk dalam daftar inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali nomor : 2/15-05/BWG/58. Masjid Kuno Gumantar ini merupakan bukti penyebaran awal Agama Islam di Pulau Lombok dan memiliki nilai sejarah, pendidikan dan kebudayaan yang tinggi ditengah peradaban yang semakin modern, sehingga perlu dipertahankan keberadaanya untuk menambah kekayaan budaya bangsa.

Mengingat pentingnya kelestarian fisik bangunan Masjid Gumantar yang telah di duga Cagar Budaya beserta nilai yang terkandung di dalamnya, maka perlu dilakukan langkah pengendalian wilayah ruang di sekitar Masjid Gumantar dengan kajian zonasi. Hal tersebut telah sesuai dengan  ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 23, bahwa pelindungan cagar budaya merupakan upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran.

Kegiatan Kajian Zonasi pada Situs Masjid Gumantar ini penting dilakukan karena keberadaan Masjid Kono ini bersandingan dengan pembangunan masjid-masjid bergaya moderen di wilayah Lombok Utara. Kondisi ini juga diperparah oleh kejadian gempa yang melanda wilayah Lombok Utara sehingga banyak masjid baru dan pemukiman yang  dibangun dengan bantuan pemerintah, yang kemungkinan besar akan sangat berdekatan dengan lokasi Masjid Gumantar ini. Selain itu penentuan  wilayah Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan sebagai Kawasan Global Hub International juga akan sangat berpengaruh pada perkembangan pemanfaatan lahan dalam mendukung rencana besar tersebut.

Dalam upaya mengakomodasi amanat undang-undang tersebut, dan juga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, maka perlu dilakukan upaya pelestarian berupa kajian zonasi cagar budaya dalam upaya mengatur tata ruang disekitar Masjid Kuno Gumantar.

Kegiatan Kajian Zonasi di Situs Masjid Kuno Gumantar dilaksanakan oleh sebuah tim berjumlah 5 orang yang terdiri dari :

  1. Giri Prayoga, S.T.
  2. I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, SS
  3. I Made Agus Sugiarta
  4. I  Kadek Adi
  5. I Kadek Adi Putra

 

Letak dan Lingkungan

Secara geografis Masjid Kuno Gumantar ini terletak di wilayah lereng pegunungan dengan ketinggian kurang lebih 204 meter (dpl) di Dusun Gumantar, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Jarak dari ibu kota kabupaten menuju lokasi masjid ini kurang lebih 29 km, sedangkan dari ibu kota provinsi berjarak kurang lebih 63 km. Secara astronomis Masjid Kuno Gumantar ini terletak pada koordinat 422842,053 meter sebelah timur dan 9084200,084 dari utara pada koordinat UTM zone 50 L.

Keletakan Masjid Kuno Gumantar, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan.

Secara topografi Masjid Kuno Gumantar terletak pada wilayah dengan topografi yang perbukitan, dengan diapit oleh dua buah sungai yang di sebelah timur Koloh Birak dan sebelah barat Koloh Pansor. Berdasarkan Peta Pemanfaatan Lahan Eksisting Wilayah Sekitar Masjid Kuno Gumantar nampak bahwa wilayah di sekitar masjid merupakan pemukiman. Pemukiman yang terdekat dengan masjid adalah pemukiman kuno yang masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar, dan diantara pemukiman kuno itu terdapat beberapa bangunan permanen yang telah mengalami kehancuran akibat gempa yang terjadi pada tahun 2018.

Wilayah Dusun Gumantar dan sekitarnya sebagian besar merupakan wilayah ladang dan perkebunan. Pemukiman hanya berada pada bagian tengahnya saja. Kondisi air permukaan terdapat pada wilayah sungai yang cukup dalam. Disebelah barat dusun terdapat bendungan yang dimanfaatkan untuk mengairi sawah yang ada di bagian hilirnya, terdapat beberapa saluran air yang sengaja dibuat untuk menghantarkan air sampai pada sawah mereka. Di bagian timur juga terdapat bendungan, yang sama juga memiliki fungsi untuk mengairi sawah yang ada di bagian bawahnya. Sedangkan pada bagian tengah yaitu di sekitar dusun, tidak terdapat aliran sungai yang dapat meneyentuh wilayah perkebunan mereka, sehingga praktis mereka hanya berharap pada musim hujan. Pada saat kami melakukan pemetaan nampak tanaman padi yang mereka tanam mengalami kekeringan dan tidak berair sehingga sangat mengharapkan kehadiran hujan. Tanaman yang menjadi unggulan adalah padi, jagung dan singkong. Kebutuhan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dapatkan dari aliran pipa yang berpusat pada mata air yang ada di lereng Gunung Rinjani.

Kondisi saat kami melaksankaan kegiatan kajian zonasi adalah kondisi wilayah setelah mengalami bencana. Masih tersisa bangunan permanen yang telah mengalami kehancuran dan masih dalam proses perbaikan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan keberadaan Masjid Kuno yang tetap berdiri dan beberapa rumah tradisional yang terdapat di Dusun Gumantar tidak mengalami kehancuran. Kondisi lingkungan saat ini masih dalam upaya pemulihan dari efek bencana gempa bumi.

Kondisi rumah di sekitar Dusun Gumantar yang terdapak gempa bumi
Kondisi rumah di sekitar Dusun Gumantar yang terdapak gempa bumi

 

Pemanfaatan lahan berupa ladang dan perkebunan
Pemanfaatan lahan berupa ladang dan perkebunan

 

Sejarah

Sejarah keberadaan Masjid Kuno Gumantar tidak dapat ditelusuri secara langsung pada masyarakat sekitar ataupun tetua adat di Dusun Gumantar.  Secara keseluruhan mereka hanya menerima kehadiran masjid dan ritual yang mengikutinya. Yang sangat disayangkan kemudian adalah pewarisan budaya dan sejarah masyarakat tradisional dari satu generasi ke generasi dilakukan tanpa peninggalan baik berupa gambar maupun tulisan (Rayson, Y, dkk, 2014) hal ini disebabkan oleh masyarakat tradisional nusantara adalah masyarakat lisan tanpa tulisan (Prijotomo, 2006, dalam Rayson, Y, dkk, 2014). Penelusuran sejarah hanya bisa dilakukan berdasarkan masa awal masuknya Islam ke Pulau Lombok dan gaya arsitektural yang mencirikan perkembangan pola pikir tentang bangunan disekitarnya dan memiliki refrensi pada tahun yang berdekatan.

Persandingan bentuk Masjid Kuno di Pulau Lombok

Berdasarkan data sejarah Masjid Kuno Gumantar yang kami kutip dari hasil kegiatan Pendokumentasian Cagar Budaya yang dipimpin oleh Dra Ida Ayu Agung Indrayani Manuaba (2017), menyebutkan bahwa “Pada tahun 1640 datang pula Sunan Pengging ke Pulau Lombok untuk menyiarkan agama Islam, Beliau adalah penganut Sunan Kalijaga dan mengembangkan ajaran sufi. Sunan Pengging terkenal pula dengan nama Pangeran Mangkubumi yang melarikan diri ke Bayan pada saat diserang oleh kerajaan Goa pada tahun 1640. Di Bayan Beliau mengembangkan ajarannya sehingga kelak menjadi pusat kekuatan suatu aliran yang disebut waktu telu, yang menyebar sampai ke Desa Gumantar  (Sejarah Daerah NTB, Depdikbud, 1988: 80). Berdasarkan data tersebut, dan menganalisa kesamaan gaya arsitektural dari Masjid Kuno Gumantar dengan Masjid Bayan Beleq, maka kemungkinan besar pengaruh ajaran Islam dan hasil kebudayaannya memiliki kesamaan waktu dan konsep. Kedekatan wilayah juga memberikan pengaruh terhadap kesamaan konsep tersebut.

Kesamaan arsitektural terdapat pada bentuk umum yang memiliki denah persegi, dengan atap yang bertumpang. Dari bahan juga memiliki kesamaan, dimana pada bagian lantai terbuat dari tanah dan campuran kotoran sapi, sedangkan pada temboknya dibuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atapnya terbuat dari alang-alang, dan struktur penopang atap terbuat dari bambu sedangkan soko gurunya dan struktur atapnya terbuat dari kayu lokal yang memiliki dimensi yang cukup besar.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat diambil sebuah sintesis bahwa agama islam dengan konsep dan tradisi yang terdapat saat ini di Dusun Gumantar kemungkinan besar mencapai wilayah tersebut pada Abad ke 16. Hal ini mengabaikan kemungkinan perkembangan awal, sebelum kedatangan agama Islam ternyata bangunan ibadah masyarakat di wilayah Gumantar memang seperti itu? Atau terdapat bangunan seperti masjid akan tetapi memiliki fugsi yang berbeda? Kedua hal ini menjadi pertanyaan yang belum terjawab, karena dari hasil wawancara dengan kepala adat di Dusun Gumantar terdapat keraguan pada ceritra beliau tentang informasi yang didapat dari pendahulunya yang menyatakan dulunya tempat berdirinya masjid Kuno yang saat ini hanya merupakan tempat berkumpul masyarakat sekitar.

 

Nilai Penting

Dalam dokumen Hoi An Protocol 2001“Conserving the Past – An Asian Perspective of Authenticity in the Consolidation, Restoration and Reconstruction of Historic Monuments and Sites” disebutkan bahwa “Assessment of the significance of a place, site or monument should be carried out as a necessary preliminary to any conservation action. Significance assessment is the process of studying and understanding the meanings and values of places, objects and collections. It involves three main steps; firstly, analyzing the object or resource; secondly, understanding its history and context and thirdly, identifying its value for the communities which created and/or care for it.

Nilai penting yang kami maksudkan dalam subbab ini adalah tahap tiga yang berupa “identifying it’s value for the communities which created and/or care for it” yang artinya melakukan identifikasi nilai penting bagi masyarakat yang menciptakanya atau yang merawatnya.

Pada bangunan Masjid Kuno Gumantar nilainya terdapat pada masyarakat yang merawatnya, karena bangunan ini merupakan warisan yang diciptakan oleh para pendahulunya untuk dimanfaatkan sebagai tempat ibadah dan pelaksanaan ritual keagamaan dan tradisi pertanian.

Bagi komunitas adat yang berkaitan dengan bangunan Masjid Kuno Gumantar, nilai penting yang terdapat dalam bangunan ini adalah :

  1. Nilai Sejarah

Nilai penting sejarah yang terkandung dalam keberadaan Masjid Kuno Gumantar ini adalah sejarah masuknya agama Islam ke wilayah Lombok Utara, kususnya wilayah Gumantar dan Bayan. Bangunan ini secara tidak langsung menjadi bukti keberadaan dan penyebaran agama Islam ke wilayah Lombok Utara yang di perkirakan pada Abad 16. Keberadaan masjid ini pula menjadi sebuah bukti sejarah Islam yang mengadopsi nilai dan budaya masayarakat setempat dengan mengedepankan local genius yang ada.

Nilai sejarah ini, diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya tidak berdasarkan pada dokumen tertulis, akan tetapi diwariskan secara oral dan teladan yang diberikan secara langsung melaui tindakan-tindakan dan ragam ritual. Hal ini mungkin cara penyampian sejarah yang dirasa lebih efektif dilakukan oleh para tetua adat untuk mempertahankan nilai sejarah dari Masjid Kuno Gumantar ini.

  1. Nilai Keagamaan

Karena merupakan bangunan keagamaan (Masjid) maka nilai keagamaan sudah mutlak menjadi dasar bagi masyarakat yang merawatnya. Perkembangan bangunan masjid yang semakin permanen tidak mempengaruhi keyakinan masyarakat sekitar masjid untuk tidak mempertahankan bentuk dan struktur masjid Kuno ini.

Nilai keagamaan ini menjadi penting bagi para pencipta dan yang merawatnya, karena alasan penciptaan/pembuatan masjid ini adalah tempat melakukan peribadahan agama Islam. Sehingga nilai keagamaan ini menjadi dasar yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan bangunan ini.

  1. Nilai Kebudayaan

Selain berkaitan dengan keberadaan sejarah dan kebudayaan, Masjid Kuno Gumantar ini memiliki peran penting dalam kegiatan ritual (kebudayaan) yang berkaitan dengan pertanian (agraris). Masyarakat agraris memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan tanah yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Budaya agraris merupakan budaya awal dari masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali masyarakat yang berada di Lombok Utara. Beragam kegiatan ritual dilakukan di masjid ini yang berkaitan dengan siklus mengolah tanah pertanian. Beberapa tradisi adat yang masih dipertahankan sampai saat ini di Dusun Gumantar adalah :

  1. Maulid Adat, yaitu kegiatan ritual adat yang dilakukan setiap tanggal 12 Rabihul Awal yaitu penanggalan kalender Islam setempat, yang memiliki tujuan untuk memohon hujan.
  2. Gawek Bumi, yaitu tradisi untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang diperoleh dalam satu tahun.
  3. Aji Lawat/Tilawat yaitu tradisi yang dilakukan untuk memulai penanaman padi.

Ketiga tradisi ini dilakukan di Masjid Kuno Gumantar dengn melibatkan 6 dusun yang terdapat di Desa Gumantar, yang terdiri dari Dusun Gumantar, Dusun Dasan Treng, Dusun Poh Gading, Dusun Tenggorong, Dusun Desa Beleq dan Dusun Tangga. Menurut keterangan tetua adat Dusun Gumantar Bapak Rudim ke-enam dusun ini dilarang untuk merabas kebun sebelum upacara Aji  Lawat dilakukan, setelah upacara Aji Lawat selesai masyarakat dari ke-enam dusun tersebut baru diperbolehkan melakukan aktifitas bercocok tanam. Begitu peran penting bangunan Masjid Kuno Gumantar ini dalam mendukung nilai kebudayaan agraris yang dijalani oleh masyarakat Dusun Gumantar dan sekitarnya.

 

Perkembangan Pola Pemukiman

Masjid Kuno Gumantar yang terletak di Dusun Gumantar memiliki pola pemukiman tradisional dengan beberapa rumah adat yang ada disekelilingnya. Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi. Arsitektur dan ruang tidak hanya merupakan cerminan dari elemen fisik seperti kondisi iklim, material ataupun teknologi, tetapi juga merupakan perwujudan dari sistem budaya (Rapoport, 1969).

Berdasarkan pengamatan kami di lapangan, nampak pola pemukiman kuno yang terdapat di sekitar masjid berpola garis dengan masjid sebagai pusatnya dan mengarah relatif utara selatan (lihat Gambar). Berdasarkan gambar yang kami analisa maka, pola ini menunjukan orientasi gunung-laut. Pola ini menjadi penting dalam kajian zonasi untuk memprediksi arah perkembangan pemukiman kedepan sehingga batas zona yang ditarik dapat mengakomodir kepentingan masyarakat pewaris Situs Masjid Gumantar dengan tetap melestarikan keberadaan masjid tersebut. Pola pemukiman kuno ini mengarah pada Gunung Rinjani yang dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai sesuatu hal yang agung.

Arah pola pemukiman kuno yang mengarah ke Gunung Rinjani

Sedangkan pola perkembangan pemukiman rumah baru yang terdapat di sekitar Masjid Gumantar relatif mengikuti perkembangan jalan utama. Hal ini nampak dari perbandingan citra google earth yang kami sandingkan dari tahun 2002 sampai dengan 2019. Nampak dari perbandingan ini penambahan permukiman terjadi pada sayap sayap sepanjang jalan utama. Dan ini kemungkinan akan menjadi indikasi arah pengembangan pemukiman dikemudian hari.

Perkembangan pola pemukiman wilayah Dusun Gumantar berdasarkan data google earth dari tahun 2002 sampai dengan 2019.

Perkembangan permukiman masyarakat sekitar Dusun Gumantar saat ini sepertinya akan mengalami perlambatan, hal ini disebabkan oleh kejadian gempa bumi yang menghancurkan hampir keseluruhan bangunan permanen yang terdapat disekitar wilayah dusun ini. Perkembangan pemukiman hanya akan terjadi pada pemukiman lama yang dilakukan renovasi oleh pemiliknya.

 

Potensi Ancaman

Masalah potensi ancaman yang terdapat pada Masjid Kuno Gumantar adalah ancaman yang akan mengganggu kelestarian cagar budaya tersebut. Faktor- faktor ancaman kerusakan cagar budaya terdiri dari :

  • Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi yang ada pada cagar budaya itu sendiri, antara lain: usia, design bangunan, struktur bangunan, daya dukung tanah, dan sifat alami bahan atau material. Dalam kurun waktu tertentu, faktor-faktor internal tersebut menjadi salah satu sumber “kelemahan bawaan” struktur bangunan, sehingga dapat berpengaruh terhadap soliditas bangunan.
  • Faktor eksternal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekitar cagar budaya berada, meliputi: unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (iklim, lingkungan, dan bencana alam).

Berdasarkan pengamatan kami dilapangan faktor internal sudah sangat mempengaruhi kelestarian cagar budaya tersebut, sehingga upaya pelestarian yang menyentuh fisik bangunan perlu dilakukan segera. Akan tetapi kegiatan yang berkaitan dengan fisik bangunan diharapkan melakukan koordinasi lebih intensif karena dari hasil wawancara kami dengan tetua adat menyatakan bahwa, kegiatan fisik terhadap bangunan masjid ini harus dilakukan oleh masyarakat dari enam dusun yang memiliki keterikatan ritual dengan Dusun Gumantar.

Faktor eksternal yang mengancam Masjid Kuno Gumantar ini adalah :

  1. Hewan

Keberadaan hewan peliharaan masyarakat sekitar masjid memiliki potensi untuk merusak kelestarian cagar budaya. Sebagian besar binatang peliharaan masyarakat sekitar masjid adalah anjing yang di lepas liarkan, sehingga perilaku hewan peliharaan tersebut tidak bisa di kendalikan. Kemungkinan untuk merusak dan masuk ke areal masjid sangat besar karena kurangnya pengawasan dari pemilik hewan peliharaan tersebut.

  1. Tumbuhan

Tumbuhan yang ada di sekitar banguan Masjid Kuno Gumantar ini adalah pohon kamboja yang sudah berumur sangat tua. Tumbuhan kamboja ini terdapat di setiap pojok lingkungan masjid, dan memberi pengaruh pada bagian atap dari masjid. Jatuhan daun dari tanaman kamboja ini jatuh diatas atap masjid yang terbuat dari alang-alang, ini menyebabkan percepatan lapuk dan rusaknya alang-alang atap masjid.

Kondisi rumput yang terdapat di sekitar masjid juga sangat tidak terawat. Setelah kami melakukan wawancara dengan beberapa tokoh adat menyebutkan kegiatan pembersihan wilayah sekitar masjid hanya bisa dilakukan dalam tiga bulan sekali yaitu pada hari kamis. Tidak ada yang boleh melanggar aturan ini, sehingga kondisi lingkungan di sekitar masjid menjadi sangat tidak terawat pada saat kami melakukan kegiatan kajian zonasi.

  1. Iklim dan Lingkungan

Iklim dan lingkungan masjid yang berada pada wilayah lereng Gunung Rinjani tidak memberikan dampak signifikan secara langsung, akan tetapi mempengaruhi secara perlahan lahan kondisi keterawatan dari Masjid Kuno Gumantar.

  1. Bencana Alam

Pulau Lombok secara keseluruhan dalah wilayah rawan terhadap terjadinya gempa bumi. Terhimpit oleh dua buah sumber gempa yaitu zona tunjaman lempeng benua di bagian selatan dan zona sesar naik Flores yang melewati sebelah utara lombok. Kejadian gempa terakhir yang melanda Pulau Lombok terutama wilayah Lombok Utara terjadi pada Tahun 2018, gempa ini berkaitan dengan aktifitas sesar flores yang berada di wilayah sebelah utara. Gempa ini mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada bangunan dan menimbulkan banyak korban jiwa. Dusun Gumantar yang merupakan lokasi keberadaan Masjid Kuno Gumantar juga menjadi area terdampak dari kejadian gempa bumi tersebut. Secara keseluruhan/sebagian besar rumah permanen yang dibangun oleh masyarakat sekitar masjid mengalami kehancuran. Sedangkan secara fisik Masjid Kuno Gumantar beserta banguan adat dan rumah tradisioanal masih utuh. Ini merupakan indikasi bahwa wilayah sekitar Masjid Kuno Gumantar merupakan wilayah rawan bencana gempa bumi.

Bencana alam lain yang juga mengancam keberadaan Masjid Kuno Gumantar ini adalah bahaya aktivitas Gunung Api. Berdasarkan Peta Sebaran Potensi Bencana Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara yang disusun oleh BPBD Kabupaten Lombok Utara Tahun 2016, menncantumkan wilayah Dusun Gumantar masuk dalam radius 20 km erupsi Gunung Rinjani. Posisi ini menempatkan Dusun Gumatar pada Kawasan Rawan Bencana 2 Gunung Rinjani.

Ancaman lain yang mungkin terjadi adalah kebakaran, karena bahan dari bangunan masjid dan rumah adat terbuat dari bahan yang mudah terbakar.

Keberadaan tanaman kamboja sebagai bagian dari ancaman kelestarian Masjid Kuno Gumantar.
Keberadaan hewan peliharaan masyarakat sebagai bagian dari ancaman kelestarian Masjid Kuno Gumantar.
potongan Peta Sebaran Potensi Bencana yang menempatkan wilayah Dusun Gumantar berada pada radius 20 Km erupsi Gunung Rinjani.

Arah Kebijakan Pemerintah

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2031” Desa Gumantar muncul dalam Bab IV Rencana Pola Ruang Wilayah, Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 18 ayat 5 yang menyebutkan : Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf  d meliputi :

  • Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani seluas kurang lebih 10.210 Ha;
  • Kawasan Taman Wisata Alam Laut Tiga Gili seluas kurang lebih 2.954 Ha;
  • Kawasan cagar budaya meliputi Masjid Kuno Bayan Beleq, Masjid Kuno Gumantar dan Masjid Kuno Sesait; dan
  • Perkampungan Tradisional Senaru dan Segenter.

Dokumen ini mengindikasikan telah masuknya keberadaan Masjid Kuno Gumantar dalam rencana tata ruang wilayah, akan tetapi luasan kawasan cagar budaya ini belum ditetapkan seperti halnya Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani dan Taman Wisata Alam Laut Tiga Gili. Hal ini nampak dari luasan kawasan cagar budaya yang belum ditentukan.

Penempatan Masjid Kuno Gumantar dalam rencana tata ruang yang berkaitan dengan kawasan cagar budaya  memberikan angin segar bagi upaya pelestarian dan masa depan yang baik bagi keberlangsungan keberadaan Masjid Kuno Gumantar. Selain Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Perda RTRW ini memberikan kekuatan hukum yang lebih pasti dalam upaya pelestarian cagar budaya di tingkat kabupaten.

Disamping sebagai kawasan cagar budaya, dalam Perda RTRW tersebut memasukan Desa Gumantar sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berupa Kawasan Strategis Agropolitan Kayangan. Laman Wikipedia menyebutkan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (sektor pertanian dalam arti luas) di wilayah sekitarnya. Seangkan pengertian agropolitan dalam Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan Agrobisnis. Hal ini memberikan jaminan keberlangsungan tradisi agraris yang berkaitan dengan keberadaan Masjid Kuno Gumantar dan masyarakat sekitar karena  memang bertumpu pada pengolahan lahan pertanian.

Peta Penggunanan Lahan (Lampiran Perda RTRW Kabupaten Lombok Utara).

Bandar Kayangan Global Hub

Berdasarkan hasil konsultasi kami dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Penataan Ruang Kabupaten Lombok Utara, pada saat ini Perda RTRW nomor 9 Tahun 2011 ini masih dalam pembahasan untuk dilakukan revisi. Dalam revisi tersebut tidak terdapat perubahan yang mendasar mengenai kedua point diatas, hanya saja terdapat kebijakan baru di level Kementerian yang berupa Kayangan Global Hub. Kebijakan ini berkaitan dengan pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Kecamatan Kayangan. Dalam Dokumen Rencana Pengembangan Kawasan Kota Baru Bandar Kayangan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2016 disebutkan pengembangan kawasan kota baru dilaksanakan di tiga wilayah  yaitu Maja (Kab.Lebak), Bandar Kayangan (Kab. Lombok Utara) dan Sofifi-Tidore (Prov. Halmahera Utara).

Keletakan deliniasi kawasan Kayangan Global Hub dengan Lokasi Masjid Kuno Gumantar

Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa usulan pengembangan Bandar Kayangan sebagai Kota Baru didasari adanya kebutuhan untuk memiliki pusat ekspor dan impor yang mampu melayani kapal-kapal pada Alur Laut Kepulauan Indonesia II (melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok) serta kebutuhan akan kawasan industri pada jalur yang dilintasi khususnya oleh negara-negara di Eropa dan Asia sebagai pusat transhipment sebelum didistribusikan ke negara-negara pasar. Pembangunan Kota Baru Bandar Kayangan diarahkan sebagai strategi industri dan perdagangan antarbangsa yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya yang berasal dari negara-negara lain (outward looking).

Merujuk pada peta yang menunjukan luas wilayah pengembangan kawasan kota baru tersebut sangat dekat dengan keberadaan Kuno Gumantar. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh pada perubahan pola kebiasaan masyarakat yang berdekatan dengan perkotaan moderen. Pengaruh lainnya adalah perkembangan tata guna lahan yang sebelumnya diarahkan untuk menjadi agropolitan saat itu kemungkinan akan menjadi wilayah pemukiman guna mendukung keberadan kota baru tersebut.

Dari pembahasan arah kebijakan ini dapat diambil beberapa isu yang akan mepengaruhi keberadaan Masjid Kuno Gumantar yaitu :

  1. Masjid Kuno Gumantar telah masuk dalam kawasan lindung cagar budaya.
  2. Desa Gumantar yang merupakan lokasi Masjid Kuno Gumantar diarahkan sebagai kawasan strategis agropolitan Kayangan.
  3. Pembangunan Kota Baru Bandar Kayangan sebagai Global Hub.

 

KAJIAN ZONASI MASJID KUNO GUMANTAR

Prinsip Zonasi

Salah satu upaya pelindungan terhadap cagar budaya adalah kegiatan penentuan zonasi Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan pengertian zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya yang telah ditetapkan, yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Berdasarkan beberapa konsep ini menunjukan bahwa keperluan zonasi adalah mutlak untuk melaksanakan upaya pelestarian cagar budaya berupa pelindungan. Sedangkan pada bagian lain dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa “Penetapan luas, tata letak dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat”, dalam hal ini zonasi juga mengemban tugas lain dari upaya pelestarian yaitu peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bisa direalisasikan dengan rencana pengembangan dan pemanfaatan situs cagar budaya.  Maka dari itu kajian zonasi harus memberikan pelindungan terhadap situs cagar budaya sekaligus arahan pengembangan dan pemanfaatan yang tertuang dalam uraian pemanfaatan zona. Arahan pemanfaatan dan pengembangan ini tentu saja tidak mendetail, akan tetapi berupa arahan umum yang kemudian perlu di terjemahkan dalam kegiatan detail dalam studi yang berkaitan dengan master plan pelestarian cagar budaya.

 

Pasal 37 ayat 3 dalam Undang Undang No 11 Tahun 2010 menyebutkan “Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas :

  1. Zona Inti
  2. Zona Penyangga
  3. Zona Pengembangan; dan/atau
  4. Zona Penunjang

Penjelasan mengenai ketentuan dan persayaratan pembagian zona ini belum dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah seperti amanat pasal 74 “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah”  sampai tulisan ini disusun, sedangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Zonasi telah dijabarkan pengertian masing-masing zona dan kriteria pemanfaatannya. Dalam RPP tersebut telah disebutkan pengertian masing-masing zona yaitu :

  1. Zona Inti, merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian dari situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya yang paling penting.
  2. Zona Penyangga, merupakan area yang melindungi zona inti.
  3. Zona Pengembangan, merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan kepariwisataan.
  4. Zona Penunjang, merupakan area yang diperuntukan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau rekreasi umum.

Walaupun masih dalam bentuk rancangan, pengertian masing masing zona ini dapt dijadikan pijakan untuk melakukan pembagian ruang dalam bentuk zonasi.

 

Dasar Penentuan Zona

Sebagai sebuah upaya untuk memunculkan batasan-batasan pemanfaatan ruang, maka diperlukan dasar yang jelas dalam penarikan dan penentuan batas tersebut. Dasar yang jelas diperlukan agar penarikan batas zona menjadi relevan terhadap perkebangan wilayah sekitar situs ke depannya.

Bagan alir Kajian Zonasi Masjid Kuno Gumantar.

Dasar utama dalam penentuan zona pada Situs Masjid Kuno Gumantar ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, yang membagi sistem zona menjadi 4  yang terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona pemanfaatan. Kemudian dilakukan  analisis secara deskriptif kualitatif  terhadap data-data yang telah diambil di lapangan, baik berupa data primer dan data skunder (Bagan tahapan kajian). Dari pengolahan terhadap data ini kemudian dihasilkan beberapa point penting yang kemudian memberikan refrensi terhadap penentuan zona pada Masjid Kuno Gumantar yang terdiri dari :

  • Kondisi fisik
  • Sejarah dan nilai penting
  • Pola pemukiman
  • Potensi ancaman, dan
  • Arah kebijakan pemerintah.

Analisis kualitatif  dilakukan pada masing masing komponen, sehingga dapat diuraikan bagaian mana dari komponen tersebut yang memiliki dukungan terhadap masing masing zona yang telah ditentukan dalam undang-undang.

  1. Kondisi fisik

Kondisi fisik ini adalah komponen yang berkaitan dengan fisik wilayah sekitar Masjid Kuno Gumantar. Berdasarkan data yang telah diuaraikan di atas, fisik wilayah ini sangat mendukung untuk dilakukan zonasi, karena merupakan wilayah dataran yang bertopografi bergelombang lemah. Perkembangan wilayah sangat lambat, karena masih bercirikan wilayah pedesaan.

  1. Sejarah dan nilai penting

Sejarah dan nilai penting ini lebih ditekankan pada zona inti, karena komponen inilah yang ingin kita lestarikan yang tercermin dalam bangunan dan ruang kebudayaan agraris yang masih dianut oleh masyarakat sekitar. Komponen ini akan menempati wilayah inti dari upaya pengamanan situs.

  1. Pola pemukiman

Pemukiman yang terutama merupakan pemukiman kuno tentu saja merupakan ranah penunjang dari keberadaan masjid dan juga ritual yang ada di dalamnya. Di wilayah pemukiman kuno ini lah bermukim masyarakat yang masih memegang teguh adat dan ritual yang sangat berkaiatan dengan keberadaan Masjid Kuno Gumantar.

  1. Potensi ancaman.

Potensi ancaman ini sebagian besar berpengaruh pada zona inti, karena berkaitan dengan ancaman terhadap cagar budaya Masjid Kuno Gumantar.

  1. Arah kebijakan pemerintah.

Arah kebijakan pemerintah ini berkaitan dengan zona inti dan juga berkaitan dengan pemanfaatan lahan di sekitar wilayah Masjid Kuno Gumantar secara umum. Ini menjadi dasar dalam pengaturan ruang di sekitar wilayah Dusun Gumantar.

Dalam penentuan zona terdapat beberapa teknik dasar cara penentuan zonasi yang terdiri dari :

  1. Teknik blok, dapat diterapkan jika zonasi mencakup keseluruhan situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya menjadi satu kesatuan.
  2. Teknik sel, diterapkan pada wilayah yang mengandung sebaran situs cagar budaya yang jaraknya relatif dekat dan tidak teratur.
  3. Teknik gabungan, diterapkan pada satu kawasan cagar budaya jika persebaran situs cagar budaya tidak merata, karena ada situs cagar budaya yang terletak berdekatan sehingga dapat dijadikan blok dan ada situs yang letaknya berjauhan dengan situs lainnya sehingga dijadikan sel.

Mengamati kondisi keruangan situs dan potensi ancaman situs maka teknik blok menjadi pilihan dalam penentuan zonasi pada Masjid Kuno Gumantar. Teknik blok yang digunakan adalah blok yang mengelilingi situs, karena secara konsep yang kami amati masjid adalah pusat kegiatan dari ritual dan agama di Dusun Gumantar, sehingga zonasi juga merefrensi hal tersebut menjadikan zona yang dibentuk adalah relatif melingkari keberadaan masjid.

 

Zonasi Masjid Kuno Gumantar

Berdasarkan hasil analisa, pembagian zona pada Masjid Kuno Gumantar ditetapkan hanya 3 zona yaitu, zona inti, zona penyangga dan zona pengembangan. Sedangkan zona pemanfaatan tidak kami tentukan karena di luar wilayah zona pengembangan, merupakan lahan kosong yang cukup produktif, dan mengacu pada arahan Perda RTRW Kabupaten Lombok Utara pemanfaatan lahan difungsikan sebagai agropolitan. Kemungkinan kombinasi antara keterdapatan cagar budaya dan pengembangan agropolitan di wilayah ini akan meningkatkan kesejahteran penduduk sekitar. Terlebih lagi cagar budaya yang berupa Masjid Kuno Gumantar ini memiliki keterikatan dengan kultur agraris sehingga dapat dijadikan bagian dari wisata agropolitan.

Zona Inti

Zona inti ini merupakan zona atau area pelindungan utama untuk bagian terpenting dari cagar budaya. Pelindungan utama ini terdapat pada seluruh bangunan Masjid Kuno Gumantar yang dibatasi dengan pagar anyaman bambu yang mengelilingi masjid. Dari hasil wawancara dan analisa yang kami lakukan, terdapat tanah kosong di sebelah selatan dan barat masjid yang masih merupakan wilayah masjid. Lahan ini dimanfaatkan dalam setiap kegiatan ritual (kultur agraris dan keagamaan) yang dilangsungkan di masjid. Sehingga kami membatasi wilayah zona inti ini meliputi lahan kosong ini, selain wilayah batas asli yang berupa pagar anyaman bambu. Penarikan garis zona inti yang melebihi batas asli lingkungan masjid (pagar bambu) ini kami lakukan karena terdapat keterkaitan antara lahan dengan ritual yang menjadi “nyawa” Masjid Kuno Gumantar, sehingga keberadaan lahan ini juga menjadi sangat penting untuk dipertahankan sebagai zona inti.

Posisi lahan Masjid Kuno Gumantar yang masih kosong (panah merah).

Berdasarkan analisa di atas maka batasan zona inti dari Masjid Kuno Gumantar ini adalah :

  • Bagian utara : Pagar Masjid (anyaman bambu)
  • Bagian barat : Pagar Rumah Bapak Nuryadi dan Bapak Porman
  • Bagian selatan : Jalan akses ke Kampung Adat
  • Bagian timur : Pagar rumah Bpk. Dedi dan Bpk. Ratnajin.
Zona Inti Masjid Kuno Gumantar

Zona inti ini memiliki luas area yang dihitung berdasarkan luasan poligon pada citra drone teregistrasi mencapai 607 meter persegi. Arahan pemanfaatan lahan pada zona inti ini adalah :

  • Upaya pelindungan cagar budaya yang berupa pengamanan, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010.
  • Tidak diperkenankan membangun bangunan permanen.
  • Bangunan tidak permanen dalam rangka keperluan ritual dan keagamaan diperkenankan dengan syarat setelah ritual bangunan tersebut di bongkar.
  • Penataan lingkungan hanya sebatas pertamanan, tanpa ada unsur penambahan dekorasi tanam yang bersifat permanen.
  • Penataan dan pengendalian pertumbuhan tanaman kamboja yang berada di sekitar masjid.
  • Tidak diperkenankan menempatkan bangunan atau struktur yang tidak berkaitan dengan keberadaan situs.

Secara umum seluruh kegiatan yang berkaitan dengan zona inti ini diwajibkan melakukan konsultasi dan pemberitahuan kepada istansi yang menangani masalah cagar budaya (Dinas Kebudayaan Kabupaten Lombok Utara yang kemudian akan ditembuskan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali).

Kegiatan mendesak yang harus dilakukan pada zona inti ini adalah kegiatan pembuatan/rehabilitasi fasilitas pelindungan yang berupa pagar dan juga pemugaran, karena bangunan ini telah mengalami beberapa kali gempa, sehingga perlu dilakukan perkuatan struktur yang sesuai dengan konsep pemugaran cagar budaya. Kegiatan pemagaran yang mengadopsi pagar yang sudah ada hanya dilakukan pada sekeliling masjid saja, tidak secara keseluruhan pada zona inti. Kegiatan penataan lingkungan yang berupa pertamanan sederhana perlu dilakukan untuk menghilangkan kesan tidak terawat, hal ini juga harus berdasarkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat sekitar yang hanya boleh membersihkan lingkungan situs setiap 3 bulan sekali.

 

Zona Penyangga

Zona penyangga adalah zona yang melindungi zona inti. Zona ini dibatasi dengan keberadaan rumah adat yang masih terbuat dari bambu dan atap alang-alang. Penentuan batas berupa rumah adat ini berdasarkan pada keberadaan masyarakat yang masih mempertahankan rumah adat ini merupakan masyarakat yang memiliki dan mewarisi keberadaan Masjid Kuno Gumantar beserta tradisinya. Secara lanskap fisik wilayah ini merupakan wilayah yang mendukung (menyangga) keberadaan masjid tersebut dengan sebaran rumah adat yang memiliki kesamaan bahan dengan masjid, dan secara psikologi masyarakat yang terdapat di dalamnya juga pasti memiliki ikatan emosional pada terjaganya kelestarian dari Masjid Kuno Gumantar ini. Beberapa rumah adat yang sudah tercampur dengan rumah permanen tidak kami masukkan dalam zona penyangga karena tersebar dan memiliki keterbatasan luasan. Hal ini tidak menyempitkan makna keberadaan masyarakat yang telah memiliki rumah permanen yang tetap mempertahankan tradisi yang ada di Masjid Kuno Gumantar. Berdasarkan hal tersebut maka zona penyangga memiliki batas (lebih jelas pada gambar) :

  • Bagian utara : Rumah Bapak Redi
  • Bagian barat : Rumah Bapak Sidi, Gudang Kayu, Rumah Keluarga Bapak Awan, Jalan stapak sebelah barat.
  • Bagian selatan : Jalan setapak sebelah selatan kampung
  • Bagian timur : Rumah Bpk. Medir, Bpk Tidi, Bpk Rudin, Bpk Sati, Bpk Ratnajin dan Bpk Dedi.
Zona Penyangga Masjid Kuno Gumantar

Zona penyangga ini memiliki luas area 3.098 meter persegi yang meliputi rumah adat dan halamannya. Pada zona penyangga ini diupayakan menjadi wilayah yang memberikan faedah keberadaan masjid beserta tradisinya. Pada zona ini arahan pemanfaatan ruangnya adalah sebagai berikut :

  • Mempertahankan kondisi rumah yang masih tradisional dan lingkungan seperti saat ini (exsisting), dengan peningkatan dan pengawasan instalasi kelistrikan.
  • Tidak diperkenankan mengganti bangunan dengan bangunan permanen, dengan kemungkinan renovasi bangunan ketika terjadi kerusakan ada subsidi dari pemerintah daerah.
  • Peningkatan kapasitas masyarakat dalam penaggulangan bencana, yang terdiri dari bencana gempa bumi, gunung api dan kebakaran.
  • Zona ini diharapkan menjadi wilayah yang mengembangkan kegiatan bersifat keagamaan, ritual, dan atraksi yang memang berkaitan dengan keberadaan masjid dan kebudayaan masyarakat sekitar Masjid Kuno Gumantar.

Perekembangan pola pikir dan teknologi informasi bukan tidak mungkin mengubah tradisi dan kelestarian Masjid Kuno Gumantar. Hal ini harus diimbangi dengan usaha menjadikan obyek cagar budaya sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat pemiliknya, sehingga pelestarian menjadi sebuah kegembiraan bukan hanya beban bagi masyarakat pemiliknya. Tentu saja pemanfaatan ini memerlukan kajian dan penyeimbangan antara pelindungan, pegembangan dan pemanfaatan cagar budaya , sehingga terjaga kelestariannya. Peluang ini dapat di elaborasi pada zona penunjang ini, dengan keterlibatan komponen pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Sehingga pada akhirnya setiap kegiatan yang dilakukan pada zona ini merupakan penunjang keberadaan dan kelestarian Masjid Kuno Gumantar.

 

Zona Pengembangan

Zona pengembangan pada wilayah ini diarahkan untuk memfasilitasi zona penunjang. Merupakan area yang berfungsi untuk peningkatan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan kepariwisataan. Zona ini kami batasi sampai dengan 20 meter di belakang rumah penduduk paling luar dari area sekitar Masjid Kuno Gumantar (lihat Gambar). Hal ini dilakukan untuk mengakomodir perkembangan pemukiman penduduk yang mengarah pada keterdapatan jalan utama dan juga dari hasil pengamatan kami, beberapa luasan lahan pekarangan rumah penduduk memiliki panjag kurang lebih 20 meter. Zona ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai area untuk peningkatan fasilitas dan utulitas kepariwisataan berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan. Zona ini juga diharapkan dapat menjadi buffer zone bagi tekanan perkembangan kawasan yang kemungkinan ditimbulkan oleh berkembangannya kawasan global hub Kayangan.

Zona pengembangan ini memiliki luasan 31.469 meter persegi. Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah ini adalah :

  1. Tempat pembangunan fasilitas dan utilitas kepariwisataan sederhana.
  2. Bangunan permanen diijinkan dengan ketentuan tidak bertigkat dan keperluan untuk pemukiman masyarakat Dusun Gumantar.
  3. Penempatan fasilitas dan utilitas untuk kepentingan kebencanaan (hidran, shalter dll).
  4. Kegiatan yang mengarah pada pendukungan terhadap arahan pengembangan sebagai bagian dari agropolitan.

Zona ini diharapkan dapat menjadi tempat untuk penigkatan potensi cagar budaya sekaligus menjadi zona aman apabila terjadi kejadian bencana. Pada zona ini juga diharapkan terdapat tempat informasi wisata sekaligus ebagai tempat informasi potensi bencana alam yang mungkin terjadi pada Masjid Kuno Gumantar maupun wilayah di sekitarnya.

Zona Pengembangan Masjid Kuno Gumantar.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengambilan data yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data, dapat disimpulkan beberapa hal yang terdiri dari :

  1. Pembagian zona pada wilayah Masjid Kuno Gumantar dan sekitarnya terdiri dari tiga zona yaitu :
  • Zona Inti dengan luasan area 607 m2.
  • Zona Penyangga dengan luasan area 3.098 m2.
  • Zona Pengembangan dengan luasan area 31.469 m2.
  1. Arahan pemanfaatan zona inti adalah sebagai berikut :
  • Upaya pelindungan cagar budaya yang berupa pengamanan, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010.
  • Tidak diperkenankan membangun bangunan permanen.
  • Bangunan tidak permanen dalam rangka keperluan ritual dan keagamaan diperkenankan dengan syarat setelah ritual bangunan tersebut di bongkar.
  • Penataan lingkungan hanya sebatas pertamanan, tanpa ada unsur penambahan dekorasi tanam yang bersifat permanen.
  • Penataan dan pengendalian pertumbuhan tanaman kamboja yang berada di sekitar masjid.
  • Tidak diperkenankan menempatkan bangunan atau struktur yang tidak berkaitan dengan keberadaan situs.
  1. Arahan pemanfaatan zona penyangga adalah sebagai berikut :
  • Mempertahankan kondisi rumah yang masih tradisional dan lingkungan seperti saat ini (exsisting), dengan peningkatan dan pengawasan instalasi kelistrikan.
  • Tidak diperkenankan mengganti bangunan dengan bangunan permanen, dengan kemungkinan renovasi bangunan ketika terjadi kerusakan ada subsidi dari pemerintah daerah.
  • Peningkatan kapasitas masyarakat dalam penaggulangan bencana, yang terdiri dari bencana gempa bumi, gunung api dan kebakaran.
  • Zona ini diharapkan menjadi wilayah yang mengembangkan kegiatan bersifat keagamaan, ritual, dan atraksi yang memang berkaitan dengan keberadaan masjid dan kebudayaan masyarakat sekitar Masjid Kuno Gumantar.
  1. Arahan pemanfaatan zona pengembangan adalah sebagai berikut :
  • Tempat pembangunan fasilitas dan utilitas kepariwisataan sederhana.
  • Bangunan permanen diijinkan dengan ketentuan tidak bertigkat dan keperluan untuk pemukiman masyarakat Dusun Gumantar.
  • Penempatan fasilitas dan utilitas untuk kepentingan kebencanaan (hidran, shalter dll).
  • Kegiatan yang mengarah pada pendukungan terhadap arahan pengembangan sebagai bagian dari agropolitan.

Saran

Hasil kajian ini tentu saja tidak akan bisa bermanfaat jika hanya merupakan dokumen pertanggungjawaban kegiatan. Beberapa saran yang dapat kami sampaikan untuk dapat lebih menambah manfaat laporan ini adalah :

  1. Hasil kajian ini belum mendapatkan feedback dari instansi pemerintah yang terkait dan masyarakat yang ada di sekitar Masjid Kono Gumantar, sehingga diperlukan kegiatan FGD (Focus Group Disscusion) sebelum hasil kajian ini dimanfaatkan sebagai aturan yang disepakati bersama.
  2. Karena kajian ini berdasarkan data saat ini dan estimasi kedepan, maka untuk menjaga kemungkinan kesalahan dalam estimasi dan prediksi yang kami lakukan diharapkan kajian zonasi ini dapat di evaluasi bersama (setelah disepakati) dalam jangkan waktu paling lama 10 tahun kedepan.