Pokja Registrasi dan Dokumentasi
Balai pelestarian Cagar Budaya Bali
Kertha Gosa, merupakan peninggalan budaya kerajaan Semarapura Klungkung. Kertha Gosa adalah suatu bangunan (bale) yang merupakan bagian dari bangunan komplek kraton atau puri Semarapura dan telah dibangun sekitar tahun 1686 oleh peletak dasar kekuasaan dan pemegang tahta pertama kerajaan Klungkung yaitu Ida I Dewa Agung Jambe.
Kertha Gosa terletak pas ditengah-tengah kota Semarapura berdekata dengan museum Klungkung, Puri Klungkung, Kantor Bupati Klungkung, dan Pasar Tradisional Klungkung. secara administrasi Kerta Gosa terletak di Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. dengan titik koordinat geografis 50 L 0324283, 9056147 UTM.
Letak situs ini sangat strategis karena sangat mudah dijangkau oleh sarana transportasi apapun, mengingat tempatnya terletak di pinggir jalan utama dan merupakan salah satu tempat pariwisata yang terkenal di Kabupaten klungkung. Kondisi lingkungannya dan lingkungan di sekitar situs terawat dengan taman yang tertata rapi ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan yang memperindah suasana situs Kerta Gosa dengan batas-batas :
- Utara : Jalan umum
- Timur : Jalan Umum
- Selatan : Pemukiman Penduduk
- Barat : Dinas Kebudayaan Kabupaten Klungkung
Berdasarkan latar sejarahnya, Kerta gosa berarti tempat pembahasan segala sesuatu yang bertalian dengan situasi keamanan, kemakmuran serta keadilan wilayah Kerajaan Bali. Semasa kerajaan, Balai Kerta Gosa difungsikan sebagai tempat sidang raja-raja yang berasal dari seluruh Bali. Sidang tersebut diadakan setiap purnama keempat dalam satu tahunnya. Dalam sidang tersebut para raja memberi penghargaan serta keputusan-keputusan berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebutuhan. Pada Hari budha (rabu) kliwon tiap bulannya, para raja mengadakan rapat atau pertemuan dengan para manca (pejabat) setempat di lingkungan Kerajaan Klungkung guna keperluan yang serupa. Setiap harinya, balai Kertha Gosa digunakan sebagai tempat ngaturang pemijian (bersantap) bagi para bhagawanta (pendeta istana) dan para pendeta lainnya yang ketika itu sedang menghadap Raja. demikian pula datangnya bangsa-bangsa asing seperti Belanda, Inggris, Portugis, dan Cina, bila hendak menghadap Raja juga diterima di balai ini.
Setelah keraton jatuh akibat perang Puputan melawan belanda pada tanggal 28 April 1908, maka fungsi balai Kertha Gosa berubah. Sejak saat itu hingga berakhirnya pemerintah Belanda, Balai Kertha Gosa menjadi Balai Pengadilan Adat, dimana setiap orang yang berprakara apapun bentuknya yang menyangkut pertikaian berkenaan dengan adat dan agama, disidangkan dan diputuskan disini.Disamping raja Klungkung, Kantolir (pejabat tinggi setempat pemerintah Belanda), kadang-kadang serta juga hadir dalam persidangan tersebut sebagai orang yang paling menentukan bila sesuatu jenis perkara dianggap khusus.
Bangunan Cagar Budaya Balai Kertha Gosa dan Balai Gili (bale kambang) dan Struktur Cagar Budaya Gapura Puri Klungkung
Keunikan Kertha Gosa dengan Bale Kambang ini adalah pada permukan plafon atau langit-langit bale ini dihiasi dengan lukisan tradisional gaya Kamasan (sebuah desa di Klungkung) atau gaya wayang yang sangat populer di kalangan masyarakat Bali. Pada awalnya, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan itu terbuat dari kain dan parba. Baru sejak tahun 1930 diganti dan dibuat di atas eternit lalu direstorasi sesuai dengan gambar aslinya dan masih utuh hingga sekarang. Sebagai peninggalan budaya Kraton Semarapura, Kertha Gosa dan Bale Kambang difungsikan untuk tempat mengadili perkara dan tempat upacara keagamaan terutama yadnya yaitu potong gigi (mepandes) bagai putra-putri raja. Fungsi dari kedua bangunan terkait erat dengan fungsi pendidikan lewat lukisan-lukisan wayang yang dipaparkan pada langit-langit bangunan. Sebab, lukisan-lukisan tersebut merupakan rangkaian dari suatu cerita yang mengambil tema pokok parwa yaitu Swargarokanaparwa dan Bima Swarga yang memberi petunjuk hukuman karma phala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya) serta penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya. Karenanya tak salah jika dikatakan bahwa secara psikologis, tema-tema lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan Kertha Gosa memuat nilai-nilai pendidikan mental dan spiritual. Lukisan dibagi menjadi enam deretan yang bertingkat.
Deretan paling bawah menggambarkan tema yang berasal dari ceritera Tantri. Dereta kedua dari bawah menggambarkan tema dari cerita Bimaswarga dalam Swargarakanaparwa. Deretan selanjutnya bertemakan cerita Bagawan Kasyapa. Deretan keempat mengambil tema Palalindon yaitu ciri atau arti dan makna terjadinya gempa bumi secara mitologis. Lanjutan cerita yang diambil dari tema Bimaswarga terlukiskan pada deretan kelima yang letaknya sudah hampir pada kerucut langit-langit bangunan. Di deretan terakhir atau keenam ditempati oleh gambaran tentang kehidupan nirwana. Selain di langit-langit bangunan Kertha Gosa, lukisan wayang juga menghiasi langit-langit bangunan di sebelah barat Kertha Gosa yaitu Bale Kambang. Pada langit-langit Bale Kambang ini lukisan wayang mengambil tema yang berasal dari cerita Kakawin Ramayana dan Sutasoma. Pengambilan tema yanga berasal dari kakawin ini memberi petunjuk bahwa fungsi bangunan Bale Kambang merupakan tempat diselenggarakannya upacara keagamaan Manusa Yadnya yaitu potong gigi putra-putri raja di Klungkung.
Selain daya tarik dari Kertha Gosa selain lukisan tradisional gaya Kamasan di Bale Kertha Gosa dan Bale Kambang adalah Gapura Puri. Peninggalan penting lainnya yang masih berada di sekitarnya dan tak dapat dipisahkan dari segi nilai sejarahnya adalah pemedal agung (pintu gerbang/gapura). Pemedal Agung terletak di sebelah barat Kertha Gosa yang sangat memancarkan nilai peninggalan budaya kraton. Pada Pemedal Agung ini terkandung pula nilai seni arsitektur tradisional Bali. Gapura inilah yang pernah berfungsi sebagi penopang mekanisme kekuasaan pemegang tahta (Dewa Agung) di Klungkung selama lebih dari 200 tahun (1686-1908). Menurut candra sengkala ( cara penulisan tahun, bulan, dan hari dengan gambar binatang, tumbuhan, anggota badan manusia, serta isi alam raya yang mempunyai arti dan nilai tertentu) yang terpahat di Pamedal Agung (pintu utama) Puri, Kertha Gosa sudah ada pada tahun cakra yuyu burung burung mata paksi, yang masing-masing berniai 1, 6, 2, 2, 1, 4. Jadi tahun yang tertera pada gapura tersebut berarti tahun 1622 tanggal 1 bulan 4, tahun dimana I Dewa Agung Jambe masih berkuasa.
Balai Kertha Gosa
- No Inventaris : 1/14-05/TB/07
- Bahan : Batu Padas
- Warna : Dominan Coklat
- Ukuran
- Panjang : 10 m2
- Lebar : 10 m2
- Periodesasi : abad XVII
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan bangunan berupa balai yang berada di timur laut situs Kertha Gosa, berbentuk bujur sangkar, bagian kaki I terdiri dari konstruksi kayu berupa tiang yang berjumlah 12 yang sebagian besar menggunakan pola hias patra punggel, sedangkan dindingnya dengan pola hias stil Bali ukiran khas Bali dengan kepala kala, terdapat tangga naik penghubung antar lantai dengan kiri kanannya terdapat hiasan berbentuk naga. Bagian kaki II bahannya perpaduan antara batu padas dengan batu bata, trdapat tangga penghubung antar lantai, pola hias nmenggunakan hiasan panil, simbar bucu dengan ukiran sulur-suluran. Bagian badan terdiri dari konstruksi kayujumlah dan ukirannya sama dengan lantai 1 yaitu berupa tiang yang berjumlah 12 yang sebagian besar menggunakan pola hias patra punggel. bagian atap berbentuk limas dengan konstruksi kayu, terdapat motif kembang bajra, bagian plafonnya dibuat dengan memasang lukisan-lukisan yang bercerita tentang alam, manusia, dan hewan. Balai Kertha Gosa ternyata juga pernah difungsikan sebagai balai sidang pengadilan yaitu selama berlangsungnya birokrasi kolonial Belanda di Klungkung (1908-1942) dan sejak diangkatnya pejabat pribumi menjadi kepala daerah kerajaan di Klungkung (Ida I Dewa Agung Negara Klungkung) pada tahun 1929. Bahkan, bekas perlengkapan pengadilan berupa kursi dan meja kayu yang memakai ukiran dan cat prade masih ada. Benda-benda itu merupakan bukti-bukti peninggalan lembaga pengadilan adat tradisional seperti yang pernah berlaku di Klungkung dalam periode kolonial (1908-1942) dan periode pendudukan Jepang (1043-1945). Pada tahun 1930, pernah dilakukan restorasi terhadap lukisan wayang yang terdapat di Kertha Gosa dan Bale Kambang oleh para seniman lukis dari Kamasan. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Balai Gili Kertha Gosa
- No Inventaris : 1/14-05/TB/08
- Bahan : Batu Padas
- Warna : Dominan Coklat
- Ukuran
- Panjang : 10 m2
- Lebar : 10 m2
- Periodesasi : abad XVII
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan bangunan berupa balai yang dikelilingi kolam ikan, berbentuk persegi dengan jalan penghubung dan pintu masuk berupa gapura, dengan motif hias suluran, simbar, serta patra punggel dengan kepala kala, bagian kiri dan kanan jalan terdapat arca pewayangan. Bagian Kaki merupakan susunan batu padas dengan ukiran khas Bali, terdapat tangga penghubung antar lantai.
Gapura Puri Klungkung
- No Inventaris : 1/14-05/TB/09
- Bahan : Batu Padas dan Batu Bata
- Warna : Dominan warna merah
- Periodesasi : abad XVII
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : Menurut candra sengkala yang terpahat di Pamedal Agung (pintu utama) Puri, Kertha Gosa sudah ada pada tahun cakra yuyu burung burung mata paksi, yang masing-masing berniai 1, 6, 2, 2, 1, 4. Jadi tahun yang tertera pada gapura tersebut berarti tahun 1622 tanggal 1 bulan 4, tahun dimana I Dewa Agung Jambe masih berkuasa memerintah di klungkung.
Benda Cagar Budaya di Kertha Gosa
Arca Tokoh
- No Inventaris : 1/14-05/BB/91
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 82 cm
- Lebar: 39 cm
- Tebal : 38 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh, ditumbuhi licen (lumut)
- Justifikasi : sikap arca duduk diatas batu persegi empat, terdapat bekas cat di beberapa bagian seperti dahi, punggung, dan dada, memakai topi bulat bergaris dengan pinggiran tipis, mata besar, alis tipis, hidung mancung, telinga lebar, bibir tipis, memakai baju lengan panjang leher baju panjang, dan celana panjang, memakai sepatu, tengan kanan memegang lutut kanan, tengan kiri memegang telapak kaki kanan.
Arca Tokoh
- No Inventaris : 1/14-05/BB/92
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 77 cm
- Lebar : 37 cm
- Tebal : 32 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh,
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk dengan tangan memeluk lutut, kaki disilang, dengan kepala menoleh ke kiri. Arca memakai topi berbentuk setengah lingkaran dengan pinggiran tebal, alis tipis, mata terbuka, hidung besar, mulut terbuka dengan memperlihatkan 2 giginya, rambutnya ikal, pipi bulat, baju dengan motif garis, rambut belakang dikuncir yang panjangnya hingga pinggang, duduk diatas lapik dengan motif suluran.
Arca Tokoh
- No Inventaris : 1/14-05/BB/93
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 94 cm
- Lebar : 35 cm
- Tebal : 41 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh,
- Justifikasi : arca dengan sikap berdiri, kepala botak, telinga lebar, alis tipis, mata sipit, hidung besar, mulut terbuka, bibir tipis, pipi bulat, memakai baju panjang hingga menutupi kaki, tangan ditekuk disamping, perut buncit, susu menonjol, memakai kalung berbentuk segitiga.
Kursi dan Meja Kuno
- No Inventaris : 1/14-05/BB/94
- Bahan : Kayu
- Warna : Dominan coklat
- Ukuran
- Tinggi : 112 cm
- Lebar : 80 cm
- Tebal : 76,5 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan kursi dengan sandaran dan pegangan tangan dengan ukiran-ukiran bentuk simbar dan dicat merah kuning keemasan. Kursi tersebut berjmlah enam buah, masing-masing kursi memiliki empat kaki dan dua pegangan tangan kursi yang memiliki bentuk yang berbeda, ada yang berbentuk lembu dengan kalung lonceng, naga, dan singa. Sedangkan mejanya berbentuk persegi empat panjang, memiliki empat kaki meja, bagian atas meja polos dan datar, ukiran bentuk simbar hanya terdapat pada sela-sela di antara kaki meja satu dengan kaki meja lainnya. Saat ini kursi dan meja asli ini tersimpan di dalam ruangan museum Kerta Gosa.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/95
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 75 cm
- Lebar : 32 cm
- Tebal : 39 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh,
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap jongkok, memakai topi (atas topi berbentuk tabung dengan pinggiran berbentuk bulat pipih), alis tipis, mata besar, hidung besar, mulut terbuka (gdua gigi seri terlihat), pipi bulat, deagu bulat, memakai syal (berbentuk segitiga), baju lengan panjang dengan rompi dan satu kancing di depan dada, memakai kain dengan uncal yang menutupi selangkangan kaki, kaki kanan di lipat, kaki kiri di tekuk ke belakang.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/96
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 95 cm
- Lebar : 37 cm
- Tebal : 39 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : arca dengan sikap duduk bersila, topi bagian atas bentuk tabung dengan pinggiran pipih, memakai kain di atas kepala, alis tipis, mata sipit, hidung besar, pipi bulat, mulut terbuka, gigi lubang, telinga lebar, kepala menghadap ke kiri, terdapat jenggot, baju lengan panjang dengan kancing depan, celana panjang , memakai kantong yang diikat dipinggang, tangan kanan memegang lutut kanan, tangan kiri memegang uang kertas dan kepeng, duduk di atas lapik segi empat berhias motif sulur.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/97
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 71 cm
- Lebar : 41 cm
- Tebal : 39 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk dengan menekuk lutut kanan dan melipat kaki kiri, topi bagian atas berbentuk setengah lingkaran dengan pinggiran ceper, kepala memakai kain yang diikatkan di belakang kepala dan di jalin yang panjangnya hingga pinggang, alis tipis, mata bulat, hidung besar, bibir tebal, telibnga lancip, baju lengan panjang, gelang motif bunga, celana panjang, memakai sepatu (seperti sepatu balet), tangan kanan diletakan di atas lutut kaki kanan dan memengang benda bulat panjang yang bagian bawahnya bengkok, duduk di atas lapik dengan motif sulur.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/98
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 73 cm
- Lebar : 44 cm
- Tebal : 37,5 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk, topi bagian atas bentuk setengah lingkaran dengan pinggiran pipih, rambut kriting, alis tipis, mata terbuka, hidung besar, bibir tebal, memakai kain berbentuk segi tiga pada lehernya, memakai baju lengan panjang dengan kancing kait di bagian dada, memakai ikat pinggang polos, kaki kiri di tekuk, kaki kanan dilipat, tangan kanan membawa mangkok, tangan kiri membawa batu pipih. Duduk di atas lapik berbentuk persegi empat dengan motif geometris.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/99
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 86 cm
- Lebar : 36 cm
- Tebal : 38 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk dengan badan menghadap ke kanan, topi bagian atas berbentuk tabung, dengan pinggiran pipih, alis tipis, rambut di kuncir panjangnya sampai pinggang, mata sipit, pipi bulat, hidung pesek, mulut terbuka gigi seri terlihat, jannggut keriting, telinga kecil, baju lengan panjang, celana panjang, terdapat benda berbentuk kotak seperti tes dengan motif garis dan pegangan di atasnya.
Arca Penjaga
- No Inventaris : 1/14-05/BB/100
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 68 cm
- Lebar : 34 cm
- Tebal : 37 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk, kepala bu menoleh ke kanan, memakai topi berbentuk setengah lingkaran dengan tonjolan diatasnya, alis tebal, mata bulat, hidung besar, pipi bulat, kumis tebal, mulut terbuaka, terdapat dua taring atas, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri memegang sarung pedang, memakai rompi, ikat pinggang, celana panjang, kaki kiri ditekuk, kaki kanan dilipat, memakai sepatu.
Arca Tokoh
- No Inventaris : 1/14-05/BB/101
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 83 cm
- Lebar : 36 cm
- Tebal : 42 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dengan sikap duduk, to bagian atas berbentuk tabung dengan pinggiran pipih, rambut diikat dan disanggul, telinga panjang, terdapat jamban, alis tipis, mata bulat, hidung mancung, bibir tipis, baju lengan panjang dengan selempang sebagai pengikat, tangan kanan membawa gelas, tangan kiri memegang telapak kaki kanan, kaki kanan dinaikan di atan kaki kiri, kaki kiri ditekuk, celana panjang, memakai sepatu, duduk di atas batu persegi. Saat ini arca ini tersimpan di dalam ruangan museum Kerta Gosa.
Arca Tokoh
- No Inventaris : 1/14-05/BB/102
- Bahan : Batu Padas
- Warna : abu-abu
- Ukuran
- Tinggi : 76 cm
- Lebar : 33 cm
- Tebal : 29 cm
- Periodesasi : abad XIX
- Kondisi : utuh
- Justifikasi : merupakan arca dalam sikap duduk, topi bagian atas berbentuk tabung dengan pinggiran pipih, rambut diikat dan disanggul, alis tipis, mata yterbuka, hidung mancung, kumis tebal, bibir tebal, telinga panjang, kalung berbentuk segitiga, baju lengan panjang, ikat pinggang diikat di blakang, tangan kanan membawa kantong, tangan kiri membawa benda bulat lonjong, kaki kanan di tekuk, kaki kiri dilipat, memakai sepatu. duduk diatas batu persegi. Saat ini arca ini tersimpan di dalam ruangan museum Kerta Gosa.
Pembahasan
Dari hasil kegiatan inventarisasi yang telah dilaksanakan di Situs Kertha Gosa, dapat di ketahui bahwa terdapat tiga Bangunan Cagar Budaya dan dua belas Benda Cagar Budaya. Bangunan Cagar Budaya yang terdapat di Situs Kertha Gosa adalah tinggalan dari masa kerajaan Klungkung dari abad ke – XVII Masehi. Sedangkan untuk tinggalan Benda Cagar Budaya yang tersimpan di Kertha Gosa kemungkinan berasal dari abad atau tahun belakangan sekitar abad XIX Masehi, ini dilihat dari karakteristik arcanya. Arca-arca ini tergolong arca yang fungsinya sebagai arca untuk hiasan (profan) dekoratif pelengkap atau memperindah suatu bangunan.
Benda Cagar Budaya berupa meja dan kursi kayu yang sli saat ini disimpan di dalam museum, dan yang di letakkan di Balai Kertha Gosa adalah miniatur (tiruan) ini dimaksudkan agar kursi dan meja yang asli tidak mengalami kerusakan yang lebih fatal. Semasa kerajaan dulu Bali kertha Gosa ini digunakan sebagai tempat sidangnya raja-raja bawahan diseluruh Bali, yang biasanya dilakukan pada hari Purnamaning Kapat setahun sekali. Selain itu Balai kertha Gosa ini juga difungsikan untuk ngaturang pemijian (bersantap) bagi para bagawanta (pendeta istana) dan para pendeta lainnya. D3emikian juga pada saat kedatangan bangsa asing seperti Belanda, Inggris, Portugis, dan Cina bila hendak bertemu dengan sesuhunan (raja) akan diterima di balai ini.
Di balai kertha Gosa terdapat lima buah patung, tiga buah patung buatan pemahat Cina dan dua buah lagi buatan pematung setempat yang bernama Pedanda Gede Kreta asal desa Dawan. Pada langit langit balai terdapat gambar-gambar wayang (cerita pewayangan) yang terdiri dari sembilan petak, petak pertama yang paling bawah menceritakan Tantri Kandaka yaitu cerita mengenai kisah seribu malam yang intinya adalah mengenai sekalian tipu muslihat dalam kehidupan di dalam masyarakat. Petak ke II dan III bercerita tentang Atma Presangsa, yang melukiskan tentang penderitaan para roh yang ditemukan oleh Bima Sena (putra pandawa) saat perjalanannya mencari roh ayah dan ibunya, di Bali kisah ini dikenal dengan nama Karma Phala atau Hukum Karma. Petak IV, menceritakan tentang Sang Garuda mencari Amerta, diambil dari cerita Adiparwa, suatu kisah yang menggambarkan betapa sulitnya mencari penghidupan di dunia ini. Petak ke V menceritakan Pelelindon (gempa), yang merupakan suatu tanda atau ramalan dunia yang sangat berarti bagi kehidupan rakyat dan pemerintah. Petak ke VI dan VII, menceritakan pertemuan antara Bima Sena dengan para Dewata dari Khayangan dan bertempur untuk menyelamatkan roh ibu dan ayahnya. Petak VIII adalah cerita Sorga Roh, disini siapa saja bagi umat yang beragama pasti percaya akan mendapatkan tempat yang layak penuh kedamaean, jika semasa hidupnya dia melakukan perbuatan yang baik dan saleh terhadap sesamanya. Petak IX menceritakan kisah Dewa-dewa yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan keempat penjuru mata angin didunia. Bentuk lukisan ini biasa dikenal dengan nama lukisan Gaya Kamasan.
Selain Balai Kertha Gosa terdapat juga balai Taman Gili yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Puri Semara Pura Klungkung. Nama Gili diambil karena ditengah-tengah taman tersebut terdapat gili buatan yang menganjur keudara diatas permukaan air. Gili berarti pulau, jadi seolah-olah pulau buatan yang mengambang ditengah-tengah taman dalam rupa balai yang didukung kura-kura. Taman Gili ini lebih dikenal dengan nama balai kambang oleh penduduk setempat, balai ini didirikan sejaman dengan balai kertha Gosa. Bentuk asli dari balai kambang ini semasa kerajaan sangatlah kecil, tidak seperti saat ini. Fungsinya dulu adalah sebagai markas tentera kawal kehormatan istana, pada masa pemerintahan Belanda balai kambang dan balai kerta gosa mengalami pemugaran besar-besaran, dimana balai kambang mengalami perubahan bentuk seperti sekarang, dan sejak itu pula fungsi dari balai kambang menjadi tidak pasti. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana bentuk asli balai kambang dapat dijumpai di Puri Agung sebagai balai Pemandesan (upacara potong gigi), serta digunakan bagi hal-hal lain yang berkenaan dengan upacara adat dan agama.
Terdapat gambar-gambar atau lukisan di balai kambang seperti halnya balai Kertha gosa, hanya saja beda cerita. Terdapat enam petak gambar atau lukisan di balai kamabang yaitu : petak pertama dari bawah menceritakan tentang pelelintangan yang menggambarkan nasib seseorang yang ditentukan oleh hari kelahirannya. Petak II menceritakan pan Brayut, yaitu suatu kisah atau dongeng anak-anak tentang pasangan suami istri yang memiliki anak yang banyak sejumlah delapan belas. Petak III,IV,V dan VI menceritakan tentang Sutasoma, hasil karya pujangga ternama Mpu Tantular pada masa pemerintahan Raja hayam Wuruk raja Majapahit.
Pada sisi Selatan situs Kertha Gosa terdapat satu gapura kuna, yang merupakan gapura dengan karakteristik Klungkung. Terdapat beberapa arca-arca dengan corak abad ke XIX masehi, dengan bentuk karakter sangat modern di gunakan sebagai arca pelengkap (ornamen hiasan) untuk memperindah gapura.