Hasil penelitian para ahli Arkeologi menunjukkan Desa Batuan Kaler Kecamatan Sukawati mempunyai cukup banyak warisan budaya yang merupakan hasil aktivitas manusia di masa lampau. Semua warisan budaya yang ada di Desa Batuan Kaler, memiliki nilai penting bagi sejarah dan ilmu pengetahuan, terutama sejarah Bali Kuna, serta perkembangan kebudayaan periode klasik di Bali. Disamping memiliki nilai sejarah, juga memiliki nilai ekonomis karena dapat dikembangkan dan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Gianyar dalam pemanfaatan warisan budaya sebagai obyek pariwisata. Hal yang paling penting adalah warisan budaya/cagar budaya di Desa Batuan Kaler memiliki nilai religius karena masih difungsikan sebagai media pemujaan umat Hindu.
Wujud warisan budaya masa lalu tersebut sangat beraneka ragam dan berasal dari kurun waktu yang panjang, mulai dari masa prasejarah hingga masa pengaruh Hindu Budha. Bukti-bukti fisik tersebut sebagian besar tersimpan di pura-pura yang tersebar di wilayah Desa Batuan Kaler dan sampai saat ini masih disakralkan. Beberapa pura yang menyimpan warisan budaya dan sudah dikenal secara umum diantaranya adalah Pura Hyang Tiba, Pura Puseh Wasan dan Pura Puseh Canggi.
Kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di Pura Puseh Canggi, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati dilaksanakan pada tanggal 4 s.d 8 Oktober 2013, oleh sebuah tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar, dengan susunan tim yang terdiri atas :
I Ketut Alit Amerta : Ketua tim (Pengumpul data Arkeologi)
Anak Agung Gde Sugiharta : Juru foto
Ida Bagus Mudalara : Anggota
Gusti Ayu Suartini : Anggota
Secara administrasi Pura Puseh Canggi termasuk dalam wilayah Dusun Canggi, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dusun Canggi terletak di suatu dataran yang terdiri atas jenis tanah liat berpasir yang mempunyai kelandaian lebih kurang 2%. Ketinggiannya sekitar 80 m di atas permukaan air laut. Pura Puseh Canggi terletak tidak jauh dari Sungai Batuan (anak Sungai Petanu) di sebelah barat. Di sebelah timur terletak Sungai Petanu. Untuk mencapai lokasi pura dapat ditempuh dengan mudah karena terletak tidak begitu jauh dari jalan raya Sakah – Blahbatuh, ± 600 m ke arah selatan, dengan akses jalan yang dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan. Lokasi pura tepatnya berada di pinggir jalan desa dan berseberangan dengan sebuah lapangan dan Kantor Desa Batuan Kaler, dengan batas-batas pura, yaitu :
- Utara : Sawah Subak Babakan
- Timur : Sawah Subak Babakan
- Selatan : Sawah Subak Babakan dan Pura Pasek-Pura Penataran
- Barat : Jalan desa
Secara struktur Pura Puseh Canggi terdiri atas 7 halaman/areal, yaitu :
- Areal jaba sisi
- Areal Bale Agung
- Areal Ulun Bale Agung
- Areal jaba tengah
- Areal Arca
- Areal Lumbung
- Areal jeroan (Puseh)
Untuk membatasi masing-masing areal atau membedakan areal pura dengan areal yang ada di sekitarnya pura dibatasi oleh tembok keliling.
Kata pura berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kota atau benteng, yaitu tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur. Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Trunyan A1 berangka tahun 891 M disebutkan “Sanghyang Turun-hyang” yang berarti tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pemujaan kepada “Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda”, artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dari penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 – 1343 M kata hyang dipakai untuk menyebut tempat suci di Bali.
Kata pura mulai digunakan untuk menyebut suatu lokasi atau tempat adalah pada saat Bali mulai dikuasai oleh Dinasti Kresna Kepakisan. Pada masa itu kata pura dipakai untuk menyebut nama istana raja, seperti istana raja Dalem di Samprangan disebut dengan Linggarsapura, istana raja di Gelgel disebut dengan Swecapura dan di Klungkung disebut dengan Smarapura. Sedangkan mulai digunakan untuk menyebut tempat pemujaan umat Hindu diperkirakan pada zaman Kerajaan Klungkung. Dimana kata pura yang sebelumnya dipakai untuk menyebut nama istana mulai dipakai untuk menyebut tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan istilah puri. Jadi penggunaan kata pura untuk menyebut tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011 M, di Bali berkembang aliran-aliran keagamaan seperti : Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Adanya banyak aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu berlangsung di Desa Bedahulu. Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Sebagai tempat pemujaan Dewa Tri Murti, di masing-masing desa pakraman dibangunlah Pura Kahyangan Tiga, yang terdiri atas Pura Bale Agung (Pura Desa), Pura Puseh dan Pura Dalem.
Pada beberapa desa pakraman di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabung dengan Pura Desa sehingga tampak hanya merupakan satu pura tetapi sebetulnya tetap dua buah pura. Seperti halnya Pura Puseh dan Pura Bale Agung Dusun Canggi yang terletak dalam satu area suci. Kedua pura dihubungkan dengan gapura kuna Canggi.
Sedikitnya sumber tertulis yang menyebut tentang eksistensi Pura Puseh Canggi, mungkin disebabkan oleh berbagai hal antara lain panjangnya perjalanan waktu sehingga sangat dimungkinkan adanya data yang hilang. Selain itu tradisi penulisan segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa termasuk keberadaan pura belum membudaya di masa lalu. Maka dengan demikian tidak mengherankan dalam penelusuran sejarah Pura Puseh Canggi, berbagai sumber data berupa apapun, walaupun bersifat fragmentaris layak dan relevan untuk dikaji.
Nama Canggi disebut dalam prasasti Serai A II tahun 915 çaka yang ditemukan di wilayah Kintamani Bangli. Dalam prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Ratu Maruhani Sri Udayana Warmadewa ini disebutkan “mpungku di kasogatan ida dicanggini dang upadhyaya sudhar” yang berarti “pendeta Budha yang berada di Canggini bernama Dang Upadhyaya Sudhar……” Dalam prasasti Sawan C tahun 1098 çaka juga dimuat nama canggi. Kiranya sulit untuk menghubungkan nama Pura Canggi dengan kata canggi dalam prasasti tersebut di atas karena disamping tempatnya berjauhan, data penunjangnya belum ditemukan.
Untuk mendapatkan perkiraan umur Pura Canggi, dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antara data arkeologis di Pura Puseh Canggi (khususnya gapura Canggi) dengan data arkeologis lain yang terdapat di Desa Batuan, seperti gapura Pura Puseh Desa Batuan dan gapura Pura Hyang Tiba. Di pura-pura ini ditemui adanya arca binatang nandi dan domba yang difungsikan sebagai dwarapala bangunan gapura. Diantara arca dwarapala tersebut, yang dapat dijadikan pembanding adalah arca nandi di Pura Hyang Tiba yang berisi angka 1258 çaka. Dan pada ambang pintu masuk gapura terdapat kronogram bulan = 1, mata = 2,busur/panah = 5, dan gajah = 8, yang menunjukkan angka tahun 1258 çaka. Disamping angka tahun, pada kedua kaki bagian depan terdapat hiasan tengkorak. Hiasan tengkorak berkaitan dengan aliran bhairawa yang pernah berkembang di Bali pada abad XIII, ketika raja Kertanegara menguasai Bali tahun 1268. Arca dwarapala di Pura Puseh Canggi juga menggunakan hiasan tengkorak. Berdasarkan perbandingan di atas, dapat disampaikan bahwa periodisasi warisan budaya di Pura Puseh Canggi sama dengan warisan budaya di Pura Hyang Tiba, yaitu berasal dari abad XIII-XIV M.
Berdasarkan data areologis berupa sejumlah arca perwujudan dan beberapa arca lainnya yang menunjukan ciri-ciri ikonografis badan kekaku-kakuan, mahkota berbentuk seperti susunan kelopak bunga padma dan sikap tangan memegang kuncup bunga, menunjukan kesamaan dengan ciri-ciri arca yang tergolong periode seni arca zaman Bali Madya abad XIII-XIV Masehi. Jadi diperkirakan arca perwujudan di Pura Puseh Canggi berasal dari abad XIII-XIV.
- Pura Puseh Canggi merupakan pura kuna, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya warisan budaya yang masih disucikan dan disakralkan sampai sekarang (bersifat living monument).
- Warisan budaya yang terdapat di Pura Puseh Canggi merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan, sehingga harus dilindungi.
- Kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di Pura Puseh Canggi berhasil mendata :
- 1 lokasi warisan budaya yang masuk dalam kategori Situs Cagar Budaya
- 1 gapura yang masuk dalam kategori Bangunan Cagar Budaya
- 115 benda warisan budaya yang masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya.