Latar Belakang
Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2010 pasal 1 disebutkan “ Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”
Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain.
Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.
Instansi pemerintah yang menangani Pelestarian Cagar Budaya yang merupakan UPT (unit Pelaksana Teknis) Direktorat Jendral Kebudayaan yang berada di daerah salah satu adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali mempunyai tugas dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2015 tentang Organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali. Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali meliputi tiga wilayah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dalam mengimplementasikan tugas dan fungsinya BPCB Bali merencanakan program kerja pelestarian Cagar Budaya yang mencakup perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Salah satu rencana program dibidang pemeliharaan cagar budaya adalah konservasi. Pemeliharaan merupakan upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik cagar budaya tetap lestari. Mengingat sifat-sifat cagar budaya yang telah disebutkan di atas dalam pelestariannya (konservasi) perlu penanganan yang extra hati-hati oleh karena itu sebelum melaksanakan konservasi perlu dilaksanakan studi konservasi yakni studi yang dilakukan sebelum melaksanakan konservasi yang bertujuan untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi terhadap Cagar Budaya.
Studi konservasi ini dimaksudkan untuk melakukan perekaman data terhadap cagar budaya yang akan dikonservasi. Data yang direkam antara lain : kondisi keterawatan, faktor penyebab kerusakan, jenis bahan, volume kerusakan, dan lingkungan, yang kemudian diolah untuk menentukan metode konservasi yang diterapkan serta bahan konservasi yang akan digunakan baik jenis maupun volumenya serta menentukan rencana penanganan konservasi. Di tahun anggaran 2019 ini BPCB Bali merealisasikan program kegiatan Studi Konservasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni di Rumah Adat Kolwah, Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, NTT. Dari Hasil monev yang telah dilakukan oleh BPCB Bali pada tahun 2018 diketahui bahwa di Rumah Adat kolwah terdapat cagar budaya berupa empat buah moko, empat buah parang, satu buah gong, serta sebuah rumah adat yang memiliki arti penting bagi sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yang perlu dilestarikan keberadaanya.
Lingkungan Rumah Adat Kolwah
Rumah Adat Kolwah yang dibuat oleh keluarga Laufa dekat Situs Mesbah Kawei Maita tetap mempergunakan bentuk masa gaya 50 tahun lalu waktu nenek moyang membuat rumah budaya di Atoita kampung lama.
Ukuran :
Panjang Rumah Adat 5 m
Lebar Rumah Adat 5,50 m
Tinggi Rumah Adat 8 m
Jarak tempuh dari ibu kota Kabupaten Alor kelokasi Rumah Budaya Kolwah 36 km dengan waktu tempuh 1 jam, mempergunakan alat angkut kendaraan roda dua dan roda empat.
Rumah adat Kolwah berbentuk persegi empat dengan mempergunakan bahan baku kayu, bambu, buluh, alang-alang, tali bambu dan tali-tali hutan lainnya yang biasa dipakai sesuai kebiasaan.
Rumah terdiri dari 4 dek yaitu :
- Dek 1 (dek bawah) disebut bale-bale dipergunakan untuk :
- Tempat menerima tamu;
- Tempat berkumpul untuk membicarakan kegiatan upacara adat;
- Tempat melaksanakan berbagai upacara adat; dan
- Tempat tidur untuk kaum laki-laki.
Selain 4 manfaat dek 1 masih terdapat ornamen-ornamen lain yang nampak didek 1 dengan manfaat masing-masing :
- Dulang Simbol tempat menyimpan wasiat orang tua.
- Mengempang hama tikus naik ke dek 2, 3 dan 4 untuk makan makanan dan bibit makanan yang disimpan.
- Tempat menyimpan senjata tajam yang dipergunakan secara cepat untuk kebutuhan sehari-hari dalam menghadapi keadaan darurat.
- Menaruh tempat siri pinang.
di dek 1 nampak kayu berukir yang dalam bahasa daerah Atoita disebut PEKONG dapat dipasang rotan dari sudut ke sudut, dipergunakan untuk gantung rangka hewan yang sudah disembelih pada upacara-upacara adat oleh pemilik Rumah Budaya Nusantara Kolwah.
- Dek 1 juga nampak beberapa spar bambu pada ujung bawahnya dipasang kayu-kayu kuat yang sudah dirancang untuk bisa gantung bambu air (Ilkiwi).
- Dek 2 (Dek Tengah) :
- Terdapat salah satu balok tengah berukir kedua ujung, Balok itu dalam bahasa daerah Atoita disebut SASANG filosofinya sebagai simbol tempat tidur keluarga kakak disalah satu bagian dan keluarga adik disalah satu bagian.
Pada kedua ujung balok Sasang berukiran bentuk kembang bunga sebagai simbol harapan perkembangan kehidupan generasi mendatang yang cerah.
Empat Pintu :
- Pintu naik di dek 2 yang biasa dipakai sehari-hari;
- Pintu masuk diruangan utama juga dipakai sehari-hari;
- Pintu masuk diruangan tempat menyimpan bibit makanan yang tidak bisa kena asap api dipakai sewaktu-waktu; dan
- Pintu rahasia dipergunakan apabila ada serangan musuh maka isi rumah didek dua meloloskan diri melalui pintu rahasia juga pintu rahasia dipakai sebagai tempat WC darurat kalau terjadi peperangan dengan pihak lain.
- Ruangan-ruang di dek 2 masing-masing sebagai berikut :
- Ruangan jalan masuk ruang utama; dan
- Ruangan utama bermanfaat untuk :
- Tempat memasak makanan untuk isi rumah;
- Tempat menyimpan bahan makanan untuk kehidupan keluarga sehari-hari;
- Tempat tidur untuk kaum wanita;
- Tempat berdirinya tangga naik ke dek 3; dan
- Tempat menyimpan makanan untuk kebutuhan sehari-hari.
Ruangan pintu rahasia :
Dipergunakan untuk mengatur strategi meloloskan diri apabila ada serangan musuh.
- Ruangan tempat menyimpan bibit makanan yang tidak boleh kena asap api seperti ubi-ubian.
- Ruangan tempat menyimpan alat penangkap hama tikus tanpa alas pelupu.
- Ruang tempat menaruh sangkar ayam.
Dek 3 hanya ada 1 pintu dari dek 2 ke dek 3:
- Tempat Menyimpan bibit makanan dan bahan makanan yang perlu diasapi Dek 4 (Dek paling atas) satu pintu dari dek 3 ke dek 4.
- Tempat menyimpan benda-benda pusaka.
- Tempat menyimpan barang-barang rahasia.
Bahan Lokal Rumah Budaya
Bahan lokal rumah adat terdiri dari :
- Bong : Kayu
- Toon : Bambu
- Kei : Buluh
- Fura : Tali Bambu
- Mut : Tali Gemutu
dan tali-tali hutan lain dalam bahasa daerah Atoita-Makiling, Malila, Lawai dan Bau. Ornamen Rumah Budaya :
- Uting : Tiang
- Saota : Balok
- Mule : Balok Penyangga
- Munang : Spar
- Sasang : Balok Ukir diantara dua balok utama
- Da’kara : Lata
- Pekong : Spar Berukir yang dipasang rotan dari sudut ke sudut untuk gantung rahang hewan yang sudah disembelih pada upacara- upacara adat oleh pemilik rumah
- Ilkiwi : Tempat Gantung Tali Bambu Air.
Bagian-Bagian Rumah Budaya
Bagian-bagian Rumah Budaya terdiri dari :
- Piting : Lantai
- Kadisilela : Bale-bale (bale-bale di dek 1)
- Fa : Dulang gudang
- Atting : Tangga naik ke dek 2, 3 dan 4
- Atting Wa’ : Anak tangga
- Awing Kong : Ambang pintu
- Awing : Pintu
- Bai : Dinding
- Waseng : Pelupu
- Almang Ih Mi : Ruang utama di dek 2 :
- Tempat masak untuk isi rumah dan tamu
- Tempat tidur kaum perempuan
- Tempat menyimpan bahan makanan yang dipakai sehari-hari
- Ko Kali’ : Ruang tempat menyimpan ubi-ubian yang tidak perlu kena asap api
- Atsak : WC (pintu rahasia)
- Kaita : Alat penangkap hama tikus
- Karat : Alat penangkap hama tikus dirumah
- Kungmang Puk : Ruang dek 3yang dipergunakan untuk :
- Tempat menyimpan bibit bahan makanan yang perlu diasapi.
- Kungmang Kiding : Ruang dek 4yang dipergunakan untuk :
- Tempat menyimpan benda pusaka
- Tempat menyimpan barang rahasia
- Sube So’ge Wet : Tempat menaruh sangkar ayam
- Kaita ge wet : Tempat menaruh alat penangkap tikus
- Gabu’ mang : bubungan atas
Latar Sejarah
Pada umumnya semua suku pada setiap kampung mempunyai rumah adat seperti suku-suku yang dulunya tinggal dikampung lama Atoita juga masing-masing mempunyai rumah adat dengan tetap mempergunakan nama rumah adat yang biasa dipakai dari nenek moyang seperti :
- Rumah Adat Kol Wah
- Rumah Adat Wol Wah
- Rumah Adat Wang Wah
- Rumah Adat Kaoi Wah
- Rumah Adat Lata Wah
- Rumah Adat Asawah
Nama-nama rumah Adat ini ada yang pakai ilham melalui mimpi yang diberitahukan oleh dewa kepada Aring atau Imam Adat sebagai penghubung manusia dan dewa, ada yang pakai nama nenek moyang, ada yang pakai nama sesuatu peristiwa penting pada saat mempersiapkan bahan baku rumah budaya, ada yang pakai letak dan situasi tempat.
Pakai Ilham, pada masa dahulu ada yang memberikan nama rumah Adat pakai ilham yaitu melalui mimpi yang diberitahukan oleh dewa kepada Aring atau Imam Adat sebagai penghubung manusia dan dewa. Pada masa kini pemberian nama rumah adat diberitahukan kepada Hamba Tuhan melalui doa pergumulan seperti Rumah Budaya Nusantara Kol Wah.
Pakai nama nenek moyang seperti nama rumah adat nomor urut 2 Wol Wah yaitu nama nenek moyang perempuan bernama Wolmai yang keturunannya membuat rumah adat dengan memberi nama Rumah Adat Wol Wah. Wol : nama suku kata depan dari nenek moyang Wolmai dan Wah : mereka yang mendiami
Pakai nama suatu peristiwa penting yaitu rumah adat nomor 4 Kaoi Wah. Waktu mereka mempersiapkan tiang induk Rumah Adat Kaoi Wah disalah satu tempat jurang dan lepas kebawah tertanam dirumpun tebu-tebu sehingga sulit dikeluarkan namun mereka berusaha dengan susah payah menggali sampai bisa dikeluarkan dan ditarik sampai dikampung Atoita untuk membuat rumah adat dan diberi nama Kaoi Wah karena tiang induknya pernah tertanam dirumpun tebu-tebu. Pengertian dalam bahasa daerah Atoita, Kaoi : tebu-tebu dan Wah : mendiami. Dengan pengertian secara lengkap ialah rumah adat yang tiang induknya tertanam/ mendiami rumpun tebu-tebu selama beberapa hari.
Pakai situasi tempat tinggal misalnya Rumah Adat nomor 3 Wang Wahadalah lokasi dalam satu suku ada yang tinggal diatas kota megalitik dan ada yang dibawah kota megalitik. diatas kota disebut wangta dan dibawah disebut wangi, keduanya sepakat membuat satu rumah adat yang disebut Wang Wah. Pengertian bahasa daerah Atoita, Wang : lokasi atas kota megalitik dan bawah kota megalitik dan Wah : Mereka yang mendiami. Pengertian secara lengkap ialah rumah adat penghuni diatas kota megalitik dan dibawah kota megalitik.
Tinggalan Arkeologi
- Moko
Moko dalam bahasa daerah Kamang disebut Waima. Fungsi MOKO secara umum di Kabupaten Alor dilihat dari sudut pandang Budaya:
- Sebagai Lambang atau identitas jika Moko yang ditinggalkan dari nenek moyang yang disebut Moko pusaka maka menjadi lambang atau identitas suku.
- Sebagai lambang status sosial jika memiliki banyak Moko maka status sosialnya tinggi.
- Sebagai benda Magis yaitu ada beberapa Moko di Kabupaten Alor sejak nenek moyang sudah dipandang sakral yaitu Moko tersebut bisa berubah manjadi benda gaib untuk merusak hasil panen maka untuk jenis Moko tersebut tidak boleh dipakai untuk kepentingan-kepentingan lain seperti menjadi maskawin sebab akan mendatangkan akibat yaitu perceraian, sakit yang berkepanjangan tidak mendapat keturunan dan lain-lain.
- Sebagai alat untuk melakukan urusan adat.
- Sebagai benda ekonomi yang diperjual belikan.
- Sebagai bagian utama dari salah satu stelan gong (gong pusaka).
- Sebagai alat pemersatu yaitu jika dalam suku terjadi perbedaan pendapat sehingga sulit untuk saling tegur sapa tetapi jika Moko pusaka dicuri orang dari luar suku maka semua anggota suku berusaha untuk mengembalikan ketempat semula dengan hasilnya yang berselisih dalam suku sudah saling tegur- sapa seperti biasa.
- Gong
Dalam bahasa daerah suku Kamang yaitu disebut Kurong. Dalam dua set Gong ada perbedaan yaitu :
- Satu set berjumlah 8 buah.
- Satu set lainnya berjumlah 9 buah.
Fungsi yang dilihat dari sudut pandang budaya di Kabupaten Alor :
- Sebagai rangkaian satu set gong yang ditabuh pada upacara adat kematian dan upacara adat lainnya.
- Sebagai rangkaian satu set gong untuk mengiringi tari-tarian daerah.
- Sebagai benda untuk bahagian maskawin.
- Sebagai benda untuk prosesi adat.
- Sebagai benda pusaka jika sudah dilakukan cara adat untuk dijadikan benda pusaka.
- Standar Gong
Standar Gong Dalam bahasa daerah Kamang disebut kurong Lang.Standard gong dipakai untuk mengantung gong adat untuk ditabuh. Motif – motif yang diukir pada standar gong adalah motif – motif kain yang dipakai pada upacara adat kematian dan upacara adat lainnya.
- Tempat Sirih Pinang
Satu buah tempat siri pinang untuk orang tua laki – laki dalam bahasa daerah kamang disebut Saima wadah ini berlapis tiga dengan manfaat: Lapisan pertama disimpan barang rahasia untuk pemilik. Lapisan kedua untuk menyimpan siri pinang yang dipakai secara irit. Lapisan ketiga yang dilihat langsung untuk disimpan siri pinang yang dipakai pemilik dan tamu kalau dipersilahkan oleh pemilik. Satu buah tempat siri pinang untuk orang tua perempuan disebut la so’ma. Wadah inipun berlapis tiga dengan manfaat masing – masing. Lapisan pertama untuk menyimpan barang – barang rahasia untuk pemilik. Lapisan kedua untuk menyimpan siri pinang yang dipakai secara irit. Lapisan ketiga terlihat langsung disimpan siri pinang yang dipakai langsung pemilik dan tamu kalau dipersilahkan oleh pemilik.
Pantangan
Baik tempat siri orang tua laki-laki atau orang tua perempuan tidak diperkenankan orang lain mengambil sendiri ditempat sirih pinang secara langsung apalagi mencabut sendiri lapisan tempat sirih kedua dan pertama.
Sanksi
- Dipandang sudah melanggar etika sopan santun secara adat kalau mengambil sendiri pada lapisan ketiga.
- Mencabut lapisan kedua sudah melanggar norma adat yaitu tanpa permisi pemiliknya.
- Mencabut lapisan pertama akan dikenakan denda sesuai ketentuan norma adat yang sudah ada.
- Lesung dan Alu
Lesung dalam bahasa daerah Kamang disebut Disi dan Alu disebut Au. Lesung adalah wadah yang dipergunakan untuk menumbuk padi. Alu adalah alat untuk menumbuk padi. Dalam upacara adat kematian maupun upacara adat lainnya kegiatan tumbuk padi dilaksananakan secara masal baik laki-laki maupun perempuan menumbuk padi mengunakan satu lesung bisa mengunakan 6 – 8 alu dan satu alu bisa di pegang 3 atau 4 orang untuk menumbuk padi. Acara tumbuk padi secara masal mempunyai makna :
- Gotong royong mempersiapkan beras untuk upacara adat dimaksud.
- Ada Kesan dan pesan melalui kata kalimat lagu.
- Ada Nasihat yang perlu diingat dan diikuti untuk menjalani kahidupan selanjutnya lewat kata kalimat lagu.
- Parang Adat
Dalam bahasa daerah Kamang Parang Adat disebut A Kine. Fungsi parang adat sebagai senjata tajam yang dipakai pada :
- Mengadakan perlawanaan dengan pihak lawan pada saat peperangan.
- Dipakai pada saat kematian orang tua kandung baik Bapak Maupun Mama untuk pergi meminta kain pembungkus hewan sembelihan dan padi serta lain-lain pada Paman sesuai norma adat.
- Dipakai oleh anak laki-laki sulung dan anak laki-laki lain selama jenasah orang tua yang meninggal dunia belum dimakamkan sebagai simbol berani bertanggung Jawab mengurus peristiwa duka cita sampai selesai.
- Ikat Pinggang Adat
Dalam Bahasa daerah Kamang di sebut Basa. Fungsi Ikat Pinggang adat yaitu:
- Diikat pada pinggang untuk meletakkan anak panah dan Parang Adat dalam mengadakan perlawanan pada saat peperangan dan pada acara kematian orang tua kandung sampai selesai pemakaman.
- Ikat pinggang dipakai sebagai simbol pertahanan
- Kain Pembungkus Jenazah
Satu buah kain selimut pembungkus jenasah orang tua laki-laki dalam bahasa daerah Kamang disebut peling nong. kain ini memiliki fungsi yaitu:
- Kain selimut pembungkus jenasah orang tua laki-laki hanya fungsi tunggal yaitu kain pembungkus jenazah orang tua laki-laki tidak dipakai untuk urusan-urusan lain. Satu kain sarung empat lirang pembungkus jenazah orang tua perempuan dalam bahasa Daerah Kamang disebut keng ang biat.
- Kain sarung pembungkus jenazah orang tua perempuan hanya fungsi tunggal yaitu untuk kain pembungkus untuk Jenasah orang Tua perempuan.
- Rahang Hewan Sembelihan
Digantung keliling pada tiris Rumah Budaya Nusantara kolwah dan dipersiapkan tempat untuk mengantung rahang hewan sembelihan. Rahang hewan ini memiliki fungsi yaitu untuk diketahui jumlah hewan sembelihan yang sudah disembelih pada berbagai upacara adat yang sudah dilaksanakan.
- Alat penangkap hama tikus atau perangkap
Satu buah alat perangkap hama tikus untuk dipakai di kebun-kebun kalau ada musibah hama tikus dalam bahasa daerah Kamang alat penangkap tikus itu adalah kaita. Manfaat untuk alat penangkap tikus; kalau dibuat dengan bentuk besar dan kuat maka bisa di pergunakan untuk menangkap musang dan burung. Satu buah alat penangkap tikus kecil dirumah-rumah disebut karat fungsi alat penangkap tikus kecil untuk dipakai dirumah, kalau di buat besar bisa dipakai juga untuk menangkap tikus yang besar di kebun.
- Senjata tajam Busur dan Anak Panah
Satu buah busur dalam bahasa daearah Kamang disebut MO. busur ini memiliki fungsi yaitu Sebagai senjata tajam yang dipakai pada saat mengadakan perlawanan dalam peperangan dan sebagai senjata tajam yang dipakai untuk membunuh hewan liar yang merusak tanaman.
Empat buah anak panah, dalam bahasa Daerah Kamang anak panah disebut wiling. anak panah ini memiliki fungsi yaitu Sama dengan busur karena keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu sebagai senjata tajam penganti butir-butir peluru saat mengadakan perlawanan dalam peperangan, Sebagai senjata tajam untuk dipakai oleh anak laki-laki pada saat kematian orang tua sebagai simbol keberanian untuk menghadapi peristiwa duka yang dialami mereka, dan Sebagai senjata tajam untuk membunuh binatang hutan dan tikus penyebab hama.
Rumah Adat Kolwah
Bangunan Adat
- Tiang
- Tiang 1 : Tinggi = 220 cm, Lebar = 94 cm (2,06 m²)
- Tiang 2 : Tinggi = 217 cm, Lebar = 85 cm (1,84 m²)
- Tiang 3 : Tinggi = 212 cm, Lebar = 89 cm (1,88 m²)
- Tiang 4 : Tinggi = 219 cm, Lebar = 90 cm (1,97 m²)
- Dulang
- Dulang 1 : Diameter = 85 cm x 2, Tebal = 6 cm (1,30 m²)
- Dulang 2 : Diameter = 85 cm x 2, Tebal = 6 cm (1,30 m²)
- Dulang 3 : Diameter = 88 cm x 2, Tebal = 9 cm (1,47 m²)
- Dulang 4 : Diameter = 84 cm x 2, Tebal = 7 cm (1,29 m²)
- Total Dulang = 5,36 m²
- Sunduk
- Sunduk 1 : Panjang = 403 cm, Lebar = 11 cm, Tebal = 7 cm (1,44 x 2 )
- Sunduk 2 : Panjang = 375 cm, Lebar = 9 cm, Tebal = 7 cm (1,18 x 2)
- Lambang
- Lambang : Panjang = 493 cm, Lebar = 50 cm ( 4,93 x 2)
- Selasar
- Selasar : Panjang = 473 cm, Lebar = 40 cm ( 13,24 x 7)
- Likah
- Likah : Panjang = 445 cm, Lebar = 10 cm, Tebal = 4 cm ( 6,1 x 10)
Benda Cagar Budaya/Objek Diduga Cagar Budaya
Lesung 1
- Lebar : 77 cm
- Tinggi : 55 cm
- Bahan : Kayu
- Kondisi : Utuh
Lesung 2
- Lebar : 76 cm
- Tinggi : 35 cm
- Bahan : Kayu
- Kondisi : Utuh
Total Bahan Kayu = 41,23 m²
Moko 1
- Tinggi = 52,5 cm, Diameter = 30,5 cm (0,65 m²)
Moko 2
- Tinggi = 53 cm, Diameter = 31 cm ( 0,67 m²)
Moko 3
Tinggi = 48 cm, Diameter = 27,5 cm ( 0,53 m²)
Moko 4
- Tinggi = 50 cm, Diameter = 31 cm ( 0,64 m²)
Total : 2,49 m²
Gong
Tinggi = 6 cm, Diameter = 39 cm (0,31 m²)
Parang 1
- Panjang = 60 cm, Lebar = 4,5 cm (0,03 m²)
Parang 2
- Panjang = 58 cm, Lebar = 4 cm (0,023 m²)
Parang 3
- Panjang = 59 cm, Lebar = 4,5 cm (0,026 m²)
Parang 4
- Panjang = 72,5 cm, Lebar = 4 cm ( 0,029 m²)
Parang 5
- Panjang = 64,5 cm, Lebar = 3,5 cm ( 0,022 m²)
Total Parang = 0,13 m² dan Total Moko, Gong, Parang = 2,93 m²
Luas permukaan cagar budaya di Rumah Adat Kolwah, Alor, NTT
- Cagar Budaya berbahan Kayu = 41, 23 m² ( 42 m² )
- Cagar Budaya berbahan Logam = 2,93 m² ( 3 m² )
Untuk Cagar Budaya Kayu dengan luas 42 m² maka diperlukan rendaman air tembakau ± 5 kali campuran yaitu terdiri dari Cengkeh = 1 kg, Tembakau = 1 kg, Pelepah Pisang = 1,5 kg, dan Gambir = 15 Biji.
Untuk Cagar Budaya berbahan logam dengan luas 2,93 m², dibulatkan = 3 m² jadi jeruk nipis yang diperlukan ± 5 kg
Data Keterawatan
Bangunan Rumah Adat Kolwah berlantai dua merupakan salah satu cagar budaya yang sangat penting yang berada di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Secara Arsitektur bangunan ini merupakan bangunan kayu dengan menggunakan struktur rangka berupa rangkaian tiang balok yang tersusun dalam satu kesatuan yang utuh, komponen bangunan ini terdiri dari tiang, balok, lantai, pendukung atap, dan atap. Bangunan ini sudah pernah diinventaris tahun 2018.
Kondisi Fisik
Kondisi fisik bangunan Rumah Adat Kolwah dan tinggalan Cagar Budaya pada beberapa bagian komponen bangunan sudah mengalami keturunan kualitas berupa: retak, miring, lapuk, dimakan rayap.
Data Keterawatan
Dari hasil observasi di lapangan terhadap bangunan cagar budaya Rumah Adat Kolwah maka dapat di klasifikasikan menjadi lima jenis kerusakan dan pelapukan serta faktor penyebabnya.
Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa retak, miring, dan patah. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 7%
Kerusakan Fisis
Bentuk dari kerusakan fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan benda cagar budaya, penyebab dari kerusakan ini adalah faktor-faktor fisis seperti, suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 100%.
Pelapukan Chemis
Pelapukan chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reasik kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan kropos. Pelapukan chemis yang terjadi sekitar 5%.
Pelapukan Biotis
Pelapukan biotis disebabkan oleh kelembaban yang tinggi sehingga memicu pertumbuhan mickro organisme seperti moss dan algae. Disamping itu juga terjadi aktifitas insekta (rayap). Jenis pelapukan ini terjadi sekitar 5%.
Upaya Pelestarian
- Diagnosis
Untuk menanggulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah maka dilaksanakan kegiatan konservasi agar kelestarian cagar budaya tetap terjaga. Pada prinsipnya rencana konservasi di Rumah Adat Kolwah akan dilakukan enam tahapan yaitu:
- Pembersihan mekanis kering, Pembersihan yang dimaksud adalah untuk membersihakn akumulasi debu, kotoran-kotoran hewan, rumah serangga, serta pertumbuhan mickro organisme yang mongering dan menempel pada benda cagar budaya. Adapun peralatan yang digunakan berupa sapu lidi, sikat ijuk, sikat gigi, dan kuas eterna.
- Pembersihan chemis, Pembersihan secara chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda cat, adapun bahan yang digunakan berupa neorever.
- Pembersihan tradisional, Pembersihan tradisional dilakukan menggunakan bahan larutan cengkeh, tembakau, pelepah pisang dengan perbandingan 200 gram: 200 gram: 300 gram + 2 buah gambir, komposisi ini untuk 8 liter larutan. Luas permukaan yang akan dibersihkan secara tradisional seluas 283 m², jadi bahan yang diperlukan cengkeh 7 kg, tembakau 7 kg, pelepah pisang 10,5 kg, gambir 2 kotak.
- Pengolesan/injeksi insextisida, Pengolesan/injeksi insextisida untuk membunuh insexta dilakukan pengolesan/ injeksi insextisida. Insexta yang ada dipermukaan benda cagar budaya dilakukan pengolesan, sedangkan yang masuk ke dalam BCB (berupa lobang kecil) dilakukan injeksi agar Insextisida bisa lebih efektif. Bahan yang digunakan adalah stead fast dicampur dengan minyak tanah dengan konsentrasi 2%
- Perbaikan (Kamuflase), Kamuflase adalah bagian dari kegiatan perbaikan yang bertujuan untuk menutup retakan-retakan yang menganga pada tiang-tiang disamping itu untuk menghambat retakan-retakan bertambah lebar. Bahan yang digunakan berupa penol microballon dicampur Epoxy-Resin.
- Konsolidasi, Konsolidasi bertujuan untuk memperkuat ikatan partikel-partikel bahan cagar budaya yang sudah mengalami penurunan kualitas (lapuk). Bahan yang digunakan untuk konsolidasi berupa butiran Paraloyd B-72 dengan Pelarut Ethyl Acetate dengan konsentrasi 2-3%. Waktu pengolesan Paraloyd B-72 kondisi cagar budaya harus benar-benar kering agar bahan bisa bekerja lebih efektif. Apabila cagar budaya mengalami pelapukan yang cukup parah dilakukan dua kali pengolesan dengan cara menunggu olesan pertama kering. Luas permukaan BCB yang akan di konsolidasi di Rumah Adat Kolwah seluas 283 m². 1 liter Paraloyd B-72 cukup untuk 2 m² luas permukaan cagar budaya. Jadi bahan yang dibutuhkan : Ethyl Acetate = 20 liter, Paraloyd B-72 = 4,2 kg.
Simpulan
- Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di lapangan, maka dapat dikemukakan bahwa Rumah Adat Kolwah merupakan bangunan benda cagar budaya yang bersal dari masa prasejarah yang perlu mendapat upaya pelestarian agar benda cagar budaya bisa bertahan lebih lama.
- Permasalahan utama yang dihadapi adalah terjadinya kerusakan mekanis dalam bentuk retakan-retakan, keausan serta kerusakan biotis yang disebabkan oleh adanya faktor external (suhu, kelembaban, dan lingkungan), faktor internal (usia benda cagar budaya).
- Sesuai dengan ketentuan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Bangunan Rumah Adat Kolwah dan berbagai komponennya termasuk dalam kategori benda cagar budaya, sehingga keberadaannya perlu dirawat dan dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan.