Andi Syarifudin, S.S
Pokja Pengembangan dan Pemanfaatan
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI
Latar Belakang
Sumberdaya arkeologis yang terdapat di Provinsi Bali, NTB, dan NTT merupakan tinggalan yang berasal dari kurun waktu yang berbeda yakni meliputi masa prasejarah, masa klasik sampai masa kolonial, selain itu terdapat situs tinggalan alam yang memiliki nilai yang sangat tinggi bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan. Tinggalan tersebut tersebar di berbagai tempat baik di pegunungan, daerah pesisir, daerah aliran sungai maupun daratan serta merupakan cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa. Cagar budaya merupakan kekayaan budaya yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu cagar budaya juga memiliki arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri bangsa. Berdasarkan atas kenyataan tersebut maka perlu diadakan kegiatan soisalisasi pelestarian cagar budaya pada masyarakat luas. Dalam upaya pelestarian selain pemerintah masyarakat juga diharapkan ikut terlibat didalamnya.
Dua tahun terakhir di wilayah kerja BPCB Bali bencana alam dan non alam yang berpotensi mengganggu kelestarian cagar budaya. Bahkan untuk bencana non alam (kelalaian manusia/korsleting listrik) telah menyebabkan kebakaran dua buah kampung adat di Pulau Sumba dan Flores dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU NO 24 Tahun 2007), di mana dampaknya melampaui kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya. Bencana Alam: bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Pada tahun anggaran 2018 akan dilaksanakan Seminar Cagar Budaya: Mitigasi bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya.
Hal tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk menyebarluaskan informasi tentang mitigasi sebagai upaya pelestarian cagar budaya. Tahap mitigasi bencana merupakan kegiatan yang dilakukan dalam jangka panjang untuk menghadapi bencana, kegiatan ini mencakup kegiatan mitigasi struktural dan non struktural. Dalam UUPB No 24/2007 Pasal 1 disebutkan mitigasi ialah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang ada pada kawasan rawan bencana (UURI 24/2007 Pasal 47 ayat 1). Sementara itu kegiatan kesiapsiagaan adalah kegiatan yang dilakukan dalam jangka pendek menjelang terjadinya bencana, serta mencakup beragam jenis aktivitas teknis maupun non-teknis. Tahapan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana berasosiasi dengan segala jenis kegiatan penyelamatan, pengamanan dan perlindungan cagar budaya dari ancaman potensi bahaya. Dalam konteks pelestarian cagar budaya mitigasi merupakan bagian dari upaya penyelamatan cagar budaya, yaitu Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi cagar budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Setiap orang berhak melakukan penyelamatan cagar budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
Kegiatan Seminar ini diharapkan akan dapat meningkatkan kewaspadaan dan gerak cepat dalam menghadapi bencana sehingga terwujudnya kelestarian cagar budaya, serta meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang arti nilai penting cagar budaya sehingga masyarakat akan dapat ikut serta secara aktif dalam pelestarian tersebut dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dan Pelaksanaan
Kegiatan Seminar Cagar Budaya: Mitigasi bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya, yang dilaksanakan di Inna Bali Heritage Hotel, Kota Denpasar, Provinsi Bali, dengan melibatkan peserta yang terdiri dari Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota se-Bali, BPBD Kabupaten/Kota se-Bali, Balai Arkeologi Bali, BPNB Bali, LPMP Bali, BP Paud dan Dikmas Bali, Balai Bahasa Bali, Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Kajian Budaya UNUD, Pascasarjana Agama dan Kebudayaan UNHI, IAAI Komda Bali, Mahasiswa, LSM, Prodi Antropologi UNUD, Prodi Sejarah UNUD dan Prodi Arkeologi UNUD, dan Kader Pelestari Budaya.
Dengan narasumber yaitu:
- Djati Mardianto, M.Si
- Giri Prayoga, S.T
- I Nyoman Rema, S.S, M.Fil
- Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si
- Kristiawan, M.Si
Seminar Cagar Budaya: Mitigasi bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya, menggunakan metode sebagai berikut :
- Ceramah
Pada kegiatan ini ada 2 komponen yang berperan agar dapat berjalan dengan baik dan lancar yaitu narasumber dan peserta. Narasumber dalam hal ini ialah Dr. Djati Mardianto, M.Si, Giri Prayoga, S.T, I Nyoman Rema, S.S, M.Fil, Kristiawan, M.Si, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. Acara Seminar Cagar Budaya: Mitigasi bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya dibuka oleh Sekda Kota Denpasar. Peserta seminar, dalam hal ini adalah pemegang kebijakan dari Pejabat instansi terkait yang terdiri dari Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota se-Bali, BPBD Kabupaten/Kota se-Bali, Balai Arkeologi Bali, BPNB Bali, LPMP Bali, BP Paud dan Dikmas Bali, Balai Bahasa Bali, Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Kajian Budaya UNUD, Pascasarjana Agama dan Kebudayaan UNHI, IAAI Komda Bali, Mahasiswa, LSM, Prodi Antropologi UNUD, Prodi Sejarah UNUD dan Prodi Arkeologi UNUD, dan Kader Pelestari Budaya, sebagai pihak yang menerima informasi yang disampaikan oleh narasumber.
- Visualisasi
Metode ini menggunakan perangkat multimedia, yang memuat foto-foto, baik foto-foto Cagar Budaya beserta lingkungannya maupun kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Mitigasi bencana dalam pelestarian cagar budaya. Dengan tayangan-tayangan tersebut diharapkan penyajian materi lebih menarik dan tidak membosankan.
- Tanya Jawab
Metode tanya jawab dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana respon para peserta dalam menerima materi yang disampaikan oleh narasumber.
Materi
Dalam kegiatan Seminar Cagar Budaya: Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya yang dilaksanakan di Inna Bali Heritage Hotel, Kota Denpasar, Provinsi Bali melibatkan sebuah tim yang terdiri 5 orang. Kegiatan ini dibuka oleh Wali Kota Denpasar yang diwakili oleh Sekda Kota Denpasar. Sebelum acara pembukaan, diawali dengan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Tiga Stansa) dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh petuga, laporan Ketua Panitia dan sambutan Ketua IAAI Pusat. Kemudian sambutan selamat datang sekaligus membuka secara resmi kegiatan Seminar Cagar Budaya: Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya, dilanjutkan dengan Keynote Speech oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud.
Dalam yang disampaikan oleh Walikota Denpasar yang diwakilkan oleh Sekda Kota Denpasar, beliau sangat mengapresiasi kegiatan Seminar Cagar Budaya dengan tema Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya ini, Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang arti nilai penting cagar budaya sehingga masyarakat akan dapat ikut serta secara aktif dalam pelestarian cagar budaya. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang arti penting dan nilai pelestarian cagar budaya diharapkan akan terwujud pelestarian cagar budaya secara berkesinambungan dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama terhadap pelestarian cagar budaya di Kota Denpasar. Pada kegiatan ini materi dibawakan oleh Dr. Djati Mardianto, M.Si, Giri Prayoga, S.T, I Nyoman Rema, S.S, M.Fil, Kristiawan, M.Si, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.
Kegiatan ini sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat sehingga masyarakat mengetahui pentingnya pemahaman dan kesadaran tentang arti nilai penting cagar budaya sehingga masyarakat akan dapat ikut serta secara aktif dalam pelestarian cagar budaya, apabila benda warisan budaya yang mereka miliki menjadi Cagar Budaya. Selain itu dalam kegiatan seminar ini para peserta juga dapat menginformasikan tentang mitigasi bencana terkait dengan pelestarian cagar budaya di wilayah mereka, sehingga pemerintah daerah dan masyarakat dapat memahami dan ikut berpartisipasi dalam upaya pelestariannya, yang berdasarkan Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Keynote Speech
Keynote speech disampaikan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud yang diwakilkan oleh Subdit Permuseuman terkait dengan Analisis Pusaka dan Pelestarian Cagar Budaya. Adapun paparanya sebagai berikut:
”Peraturan terkait dengan pelaksanaan analisis dampak pusaka dan pelestarian cagar budaya adalah (1) UU no 28 tahun 2002 tentang gedung; (2) UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang; (3) UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya; (4) Peraturan pemerintah no 36 tahun 2005 tentang bangunan gedung; (5) Peraturan Mentri PU dan Keruangan no 01 pp/m 2015 tentang bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan; (6) Peraturan daerah terkait tata ruang wilayah.
Dalam UU no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan di darat dan atau di air, perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan, melalui proses penetapan.
Jenis cagar Budaya yakni objek dan ruang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya, kemudian keterkaitannya dengan ruang yaitu situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya. Kriteria cagar budaya berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan. Kemudian, memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Heritage impact assessment atau analisis dampak cagar budaya adalah proses mengidentifikasi, memprediksi, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan efek masalah dari kebijakan atau pembangunan saat ini atau yang diusulkan pada kehidupan budaya, lembaga, dan sumber daya masyarakat, kemudian diintegrasikan dan pengambilan kesimpulan ke dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dengan maksud pengurangan dampak buruk dan meningkatkan hasil yang positif (Disampaikan oleh International Association of Impact Assessment/ IAIA)
Pengembangan kota membawa perubahan yang berpotensi merusak atau menghancurkan cagar budaya beserta nilainya. Analisis dampak cagar budaya merupakan salah satu cara untuk menghalang perubahan tersebut dengan mengidentifikasi potensi ancaman dan menemukan solusinya.
Tahapan dalam analisis dampak
- Cagar Budaya,
- Ruang Lingkup,
- Pengumpulan Data,
- Pelaksanaan Identifikasi,
- Analisis Dampak,
- Model atau Rencana Penanganan,
- Mitigasi dan Rencana Evaluasi.
Potensi ancaman terkait dengan pengembangan kota, aktivitas manusia, kebijakan dan peraturan rencana lingkungan. Hal tersebut merupakan potensi dari ancaman cagar budaya. Beberapa analisis dampak yaitu; positifnya mendukung dan menambah nilai pelestarian cagar budaya. Tidak ada dampak yang signifikan terhadap cagar buadaya, lalu dampak dengan mitigasi yaitu memiliki dampak yang merugikan, tapi masih dapat dihilangkan, dikurangi melalui mitigasi.
Langkah-langkah penataan kawasan cagar budaya yaitu deliniasi, zonasi, sinkronisasi peraturan terkait, pembentukan badan pengelola kawasan cagar budaya. Pengembangan kawasan kota versus pelestarian cagar budaya, pelestarian cagar budaya dianggap menghambat pengembangan pembangunan kota, sementara cagar budaya itu sendiri merupakan poin penting bagi sejarah dari kota tersebut sehingga dapat membantu pengembangan kota itu sendiri”.
Paparan Materi Narasumber
Pada kegiatan Seminar Cagar Budaya: Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya materi dibawakan oleh Dr. Djati Mardianto, M.Si, Giri Prayoga, S.T, I Nyoman Rema, S.S, M.Fil, Kristiawan, M.Si, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.
- Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si
(Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya di Bali: Perspektif Agama Hindu)
Pengelolaan cagar buadaya di Bali oleh Bendesa Adat, Kelian Banjar, Pemaksan, Pengempon Pura, dan lainnya masih sangat sederhana. Penataan cagar budayanya masih sangat sederhana, tidak ditata secara modern. Terkait dengan suhunya diatur, pengambilannya diatur, sehingga pusaka-pusaka seperti lontar masih dapat diselamatkan sampai saat ini. Masyarakat juga harus diberikan pehaman terkait dengan cagar budaya agar dapat melakukan pemeliharaan dan pengelolaan dengan baik dan cerdas.
Pelestarian cagar budaya juga berkaitan dengan Tri Hita Karana, yaitu (1) Parhyangan yang berkaitan dengan Pura, Pelinggih, maupun Pratima. Dalam (2) Pawongan berkaitan dengan pengelolaan cagar budaya seperti kelian adat, pemaksan, banjar maupun masyarakat. (3) Palemahan, terkait dengan area suci atau tempat yang disucikan untuk menyimpan pusaka tersebut. Konsep tersebut masih diterapkan di Bali, sehingga pelestarian cagar budaya di Bali masih bersifat living monument. Hampir seluruh cagar budaya di Bali masih difungsikan untuk persembhyangan.
Dalam konsep Tri Mandala, setiap benda cagar budaya yang dikeramatkan (disakralkan) di Bali, harus diletakkan pada halaman paling suci (jeroan/ utama mandala). Sementara, pada konsep Tri Angga harus diletakkan pada bagian paling atas (utama angga). Selain itu, Tri Premana juga mempunya pengaruh penting dalam pembentukan Sumber Daya Manusia sebagai pengelola cagar budaya tersebut dengan menekankan pada Bayu, Sabda dan Idep. Salah satu contoh apabila SDM itu sendiri tidak memiliki Idep, bisa saja apabila kekurangan uang makan benda cagar budaya dijual untuk menghasilkan uang. Apabila Tri Pramana itu tidak dimiliki dalam pelestarian cagar budaya, maka cagar budaya tersebut bisa saja menjadi bencana.
Untuk pemeliharaan lebih lanjut mitigasi dilaksanakan upacara berupa Panca Yadnya. Terkait dengan itu, SDM orang Bali, khususnya orang Hindu agar tidak merusakcagar budaya tersebut, sehingga perlu adanya pensakralan dan pecaruan terhadap cagar budaya tersebut. Dalam pengelolaan dan pelestarian cagar budaya tersebut harus juga ditekankan pada upacara keagamaan karena pada umunya benda maupun bangunan cagar budaya tersebut bersifat living monument dan masih berfungsi sampai saat ini dalam kehidupan masyarakat di Bali. Dengan dilakukannya upacara diharapkan cagar budaya dapat dilestarikan dengan baik, tanpa merusak eksistensinya.
- Djati Mardianto, M.Si
(Karakteristik Bencana di Bali)
Posisi pulau Bali dalam kerawanan bencana di Indonesia telah masuk dalam zona merah (tingkat kerawanan tinggi). Beberapa ancaman bencana yang ada di Pulau Bali seperti Gunung berapi, potensi banjir, potensi longsor, angin puting beliung, dan lainnya. Erupsi gunung agung merupakan salah satu ancaman bencana yang ada di Pulau Bali tahun ini, sehingga telah ditentukan kawasan rawan bencana 1-3 dengan radius tertentu.
Selain gunung berapi juga adanya potensi gempa bumi di Bali dan Nusa Tenggara Barat yang unik karena pembangkit gempa buminya ada pada dua sisi, sehingga menyebabkan banyaknya kerusakan yang terjadi. Pada sketsa terlihat bahwa Pulau Bali berada diantara dua pembangkit gempa bumi, sehingga dari beberapa gempa yang terjadi, Bali termasuk salah satu yang juga ikut merasakan gempa. Potensi gempa di Bali dapat mencapai maksimal 9 SR yang dapat berpotensi terjadinya tsunami seperti yang telah melanda Aceh.
Potensi longsor juga dapat terjadi di Pulau Bali karena hujan yang tak henti-henti. Ancaman longsor dapat dilihat apabila adanya kemiringan bangunan rumah maupun dataran yang awalnya datar, selain itu juga dapat terlihat dari adanya retakan-retakan bangunan rumah maupun jalan. Selain longsor, hujan dengan tempo yang lama dan intensitas besar juga dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir juga dapat didominasi oleh aktivitas sungai yang tak berfungsi dengan baik, seperti banjir karena luapan air sungai karena ruang yang menyempit pada aliran sungai dengan hujan deras (itensitas air yang berlebihan). Ancaman angin puting beliung juga dapat terjadi di Bali, serta dapat menyebabkan kerusakan terhadap bangunan-bangunan cagar budaya.
Beberapa karakteristik bencana yang harus kita tanggulangi seperti gempa bumi, longsor, banjir, angin puting beliung maupun kekeringan, mengingat wilayah pulau Bali yang kecil yang dikelilingi oleh faktor-faktor ancaman tersebut sehingga perlu adanya upaya penanggulangan baik pra bencana maupun pasca bencana.
- I Nyoman Rema, S.S, M.Fil
(Pembinaan Mental Masyarakat Bali dalam Rangkaian Mitigasi Bencana Masa Bali Kuno)
Pembinaan mental masyarakat Bali khususnya masyarakat Kintamani, mengingat telah disampaikan bahwa kintamani merupakan daerah yang rawan terhadap bencana alam seperti longsor. Bencana alam itu sendiri dapat disebabkan oleh alam maupun manusia itu sendiri, sehingga menimbulkan dampak seperti kerusakan lingkungan, korban jiwa manusia, maupun dampak psikologis. Hal tersebut yang membuat pembinaan mental itu menjadi penting di kalangan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Apabila berbicara dari sudut pandang masyarakat Bali yang dikenal dengan Tri Hita Karana, ketika hal tersebut terjadi disharmonis, maka hal tersebut dapat menyangkut sumber daya manusia itu sendiri, seperti disharmonis diri terhadap Tuhan yang menyebabkan tidak berfungsinya dengan baik keberadaan tempat suci, disharmonis diri sendiri terhadap sesama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial, serta disharmonis diri sendiri terhadap lingkungan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pada pemaparan ini akan dibatasi masyarakat Bali yang dimaksud yakni pada kasus karaman i kintamani (masyarakat kintamani) atas tinjauan prasasti Bali Kuno yakni Prasasti Sukawana dan Kintamani dari abad ke-11 dan 12 Masehi, termasuk juga tinjauan naskah lontar di Bali. Dari prasasti tersebut yang berada di kintamani diuraikan bahwa masyarakat Bangli oleh Raja pada masa lalu itu mendapatkan pembinaan terkait hak asasi manusia agar tidak semena-mena terhadap sesama. Tidak diperbolehkan mencuri, membegal, membunuh, merampas, memperkosa, mengancam, dan lain sebagainya, apabila melanggar akan dikenakan sanksi. Selain itu, juga masyarakat kintamani diberikan pembinaan ekonomi karena dikhawatirkan tidak mampu secara ekonomi, sehingga raja memberikan ijin-ijin kepada masyarakat untuk melakukan pekerjaan seperti pande besi, pande perak, dan lain sebagainya. Kemudian, bebas memelihara binatang dan mengatur aktivitas perdagangan, karena selain bermanfaat terhadap masyarakat juga bermanfaat terhadap stabilitas ekonomi kerajaan, karena dari aktivitas ekonomi tersebut adanya pajak untuk kerajaan. Kemudian, diperbolehkan juga mengembangkan pertanian lahan kering seperti menanam padi gaga dan bawang merah.
Selain diuraikan pembinaan hak asasi manusia dan ekonomi, dalam prasasti juga memuat raja memberikan pembinaan terkait dengan pelestarian lingkungan yang berkaitan dengan pelestarian cagar budaya. Dalam konteks ini pemerintah kerajaan mengenalkan terkait dengan kayu larangan, mengingat kintamani merupakan daerah yang rawan terancam longsor, sehingga ada beberapa pohon yang dilarang untuk ditebang untuk menghindari longsor dan banjir. Pohon larangan tersebut seperti pohon bodi, pohon beringin, dikarenakan batangnya yang kuat dan akarnya yang dalam. Namun, terdapat pengecualian apabila pohon tersebut menghalangi saluran air, maupun menghalangi pemukiman, sehingga diijinkan untuk ditebang. Pada masa sekarang, pohon beringin dan lain sebagainya dapat ditebang beberapa rantingnya, namun harus melewati beberapa upacara keagamaan.
Pada masa Bali Kuno, daerah-daerah aliran sungai sering dijadikan tempat untuk membangun pertapaan, hal tersebut mengindikasikan bahwa selain untuk memelihara serta meningkatkan kawasan suci, juga untuk memberikan pembinaan mental terhadap masyarakat sehingga masyarakat akan selalu menciptakan keharmonisan terhadap Tuhan, terhadap sesama, serta terhadap lingkungan sekitar. Dalam prasasti raja selalu mengharapkan kepada masyarakat yang dikarunia prasasti agar dapat menjaga prasasti seperti menjaga jiwanya sendiri, hal tersebut memberikan dampak yang positif sehingga prasasti tetap dijaga, dilestarikan serta disakralkan sampai saat ini.
Di Bali juga terdapat naskah lontar yang mengatur kontruksi bangunan dan pola ruang, diantaranya asta kosala kosali, asta bumi, dan lain sebagainya. Dimana pola ruang yang diatur yakni jarak bangunan satu dengan lainnya, seperti bangunan perumahan dengan bangunan perumahan, maupun dengan bangunan suci. Sehingga dengan jarak bangunan yang baik akan dapat menghindari dari kebakaran, banjir, dan lain sebagainya. Sementara dari kontruksi bangunan juga diperhitungkan menggunakan kayu yang kuat maupun batu dengan menggunakan teknik kait yang baik, sehingga dapat terhindar dari robohnya bangunan akibat gempa bumi.
- Giri Prayoga, S.T
(Mitigasi Bencana Dalam Pelestarian Cagar Budaya)
Berbicara mengenai bencana alam dan cagar budaya, salah satunya merujuk pada situs Taman Ujung Karangasem pasca terjadinya bencana gempa bumi dan bencana gunung api. Selain itu, juga terdapat situs Goa Jepang, Klungkung yang mengalami longsor baru-baru ini. Terkait dengan mitigasi, dalam prosesnya berpedoman pada UU no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yakni serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana. Posisi mitigasi dalam beberapa literatur berada pada dataran dimana sesuatu yang tidak ada bencana, tetapi terdapat potensi bencana disana, sehingga proses mitigasi itu sendiri harus dilakukan hari ini juga.
Bencana alam yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gempa bumi, gunung api, longsor, tsunami, angin puring beliung, dan kekeringan. Selain itu, juga muncul istilah likuefaksi yang sangat familiar saat ini yang telah terjadi di Palu. Sementara yang dimaksud dengan mitigasi bencana dalam pelestarian cagar budaya (makna pelestarian : upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya), bagian salah satunya yakni perlindungan karena perlindungan sangat berkaitan erat dengan UU no 24 tahun 2007.
Adapun siklus manajemen bencana yakni yang pertama mengidentifikasi nilai penting dari cagar budaya tersebut, selanjutnya mengidentifikasi resiko yang mengancam cagar budaya tersebut, kemudian mengangkat analisa terhadap resiko tersebut, selanjutnya melakukan evaluasi resiko terhadap nilai penting dari cagar budaya tersebut, yang terakhir melakukan mitigasi (antisipasi). Dalam UU no 24 tahun 2007 disebutkan bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, sementara perlindungan merupakan upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran dan kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya. Berdasarkan dua definisi tersebut terlihat adanya persamaan konsep yakni upaya mencegah terjadinya kerusakan akibat resiko bencana, hal tersebut memberikan gambaran bahwa mitigasi telah ada dalam konsep pelestarian. Kegiatan mitigasi dalam pelestarian cagar budaya yakni (1) Inventarisasi, pengumpulan data (foto, gambar, video, dan lainnya); (2) Penyelamatan; penyelamatan biasanya dilakukan dengan memindahkan objek, serta melakukan pengangkatan objek; (3) Pengamanan, terkait dengan pembuatan balai pelindung; (4) Zonasi, memberi ruang terhadap cagar budaya, sehingga intervensi bisa diminimalisir, zonasi sangat berperan penting dalam mitigasi bencana; (5) Pemeliharaan, terkait dengan pembersihan objek (cagar budaya) dari abu vulkanik, pelapisan; (6) Pemugaran, pemugaran dilakukan pasca terjadinya bencana seperti penambahan besi pada bagian dalam struktur maupun bangunan cagar budaya yang telah mengalami kerusakan, hal tersebut bukan merupakan mitigasi, melainkan perbaikan pasca bencana; (7) edukasi, edukasi memiliki peran penting karena proses dilakukan dengan komunitas, demikian pula halnya dalam melakukan pelestarian tidak dapat berdiri sendiri. Kebijakan dilaksanakan bersama-sama sehingga menjadi jelas out put yang dihasilkan.
- Kristiawan, M.Si
(Teknologi Informasi, Regulasi dan Sinergi: Pemikiran Awal Mitigasi dalam Konteks Cagar Budaya)
Berbicara mengenai teknologi, masyarakat harusnya telah siap dengan Revolusi 4.0 yang didengungkan oleh presiden, karena sebagian fungsi dan teknik akan dilakukan oleh teknologi baik teknologi mesin, automatic, drone, dan lain sebagainya, teknologi tersebut yang akan menggantikan kolekting data. Beberapa teknologi yang berperan diantaranya Laser Scanner yakni salah satu detektor yang bisa diambil datanya, data tersebut kemudian dapat kita rubah kembali menjadi 3D dan lain sebagainya.
Terkait dengan regulasi masih sangat lemah. Apabila berbicara terkait dengan objek vital nasional, hal tersebut dikaitkan dengan pariwisata bukan dengan cagar budaya. Presiden mengeluarkan PP (Peraturan Presiden) yang menjelaskan terkait objek vital nasional tersebut juga dikaitkan dengan pariwisata, sementara cagar budaya tidak ada di dalamnya. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa regulasi terkait dengan cagar budaya masih belum pasti (lemah). Persepsi sikap juga sangat mempengaruhi regulasi tersebut, karena berdasarkan hasil penelitian persepsi yang berbeda-beda seperti orang-orang yang mengerti konservasi dengan sebagian orang yang kontra beranggapan untuk apa menyelamatkan bangunan kuno. Pemikiran-pemikiran tersebut menyebabkan terhambatnya proses mitigasi, bagaimana bisa menentukan skala prioritas sementara regulasi masih belum dibahas (tidak jelas). Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan sinergi, sinergi merupakan solusi yang harus dicoba untuk penanganan hal ini, dimulai dari skup kecil seperti sekolah dan studio. Sementara mitigasi itu sendiri harus dilakukan sesegera mungkin, segera dilakukan dengan alat bantu, serta segera melakukan workshop. Para generasi muda diharapkan mampu dan cerdas menggunakan teknologi, khususnya untuk mitigasi bencana sehingga cagar budaya dapat terhindar dari kepunahan.
Penggunaan teknologi secara maksimal merupakan suatu keharusan di masa sekarang ini, segala sesuatu yang awalnya dikerjakan secara manual dapat diselesaikan dengan praktis apabila telah menguasai teknologi, termasuk proses mitigasi. Disamping teknologi, dukungan dari regulasi juga sangat penting untuk kelancaran prosesnya, serta bersinergi untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Tiga hal tersebut merupakan point penting pemikiran awal bagaimana sebaiknya usaha mitigasi terkait cagar budaya tersebut dilakukan. Selain itu, perlu juga adanya pendekatan kepada lembaga lain terkait pelatihan penguatan kapasitas dalam menghadapi resiko bencana, serta masing-masing lembaga dianggap perlu untuk menyusun perencanaan mitigasi dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjangnya.
Kesimpulan
- Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya di Bali dalam Perspektif Agama Hindu perlu memperhatikan konsep/nilai-nilai yang terkadung dalam ajaran agama Hindu seperti Tri Hita Karana, konsep Tri Mandala. Selain itu secara adat dan budaya melalui Awig-Awig, Perarem, Organisasi tradisional. Dan dalam perspektif Norma dan Pilosofi Mitigasi Bencana Dalam pelestarian Budaya menurut Hindu di Bali yaitu dengan konsep konsep; rwa bhineda, tri mandala, tri angga,tri hita karana, sad winayaka, padma bhuwana., tri premana, tri pata, catur dresta, catus pata, tri semaya dan sad kertih. Tempat untuk membangun pura sangat terpilih seperti di gunung, di tepi pantai, di campuhan, di perbukitan dan tempat yang mana suasananya tenang, hening, suci. Selain pemilihan tempat pembangunan pura juga harus memperhatikan hari baik,dan upacara. Pembangunan diawali dengan ngruwak, nyukat, nasarin, ngewangun, makuh, melaspas, pedagingan,ngenteg linggih, karya dan piodalan. sehingga pelestarian cagar budaya di Bali yang masih bersifat living monument bisa terjaga kelestariannya.
- Karakteristik bencana yang harus ditanggulangi seperti gempa bumi, longsor, banjir, angin puting beliung maupun kekeringan, mengingat wilayah pulau Bali yang kecil yang dikelilingi oleh faktor-faktor ancaman tersebut sehingga perlu adanya upaya penanggulangan baik pra bencana maupun pasca bencana terkait dengan pelestarian cagar budaya.
- Mitigasi bencana pada masa Bali Kuno termuat dalam prasasti karaman i cintamani atas tinjauan Prasasti Bali Kuno Sukawana dan Kintamani abad 11 dan 12 Masehi,
- Merencanakan manajemen bencana yakni mengidentifikasi nilai penting dari cagar budaya, mengidentifikasi resiko yang mengancam cagar budaya, mengangkat analisa terhadap resiko tersebut, melakukan evaluasi resiko terhadap nilai penting dari cagar budaya tersebut, dan yang terakhir melakukan mitigasi.
- Penggunaan teknologi secara maksimal dalam proses mitigasi dalam pelestarian cagar budaya dan menyusun perencanaan mitigasi dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjangnya.
Saran
Dalam upaya meningkatkan pemahaman dan pengembangan masyarakat tentang arti penting Cagar Budaya serta menginvetarisasi permasalahan yang terjadi terkait dengan Cagar Budaya, khususnya di Bali, Provinsi Bali sebaiknya kegiatan seperti ini tetap bisa dilakukan dengan melibatkan Masyarakat, para Pejabat instansi terkait yang menangani Cagar Budaya, Budayawan, Mahasiswa, pemilik/pengelola Cagar Budaya, dan LSM.
Lampiran Foto Kegiatan