Gde Yadnya Tenaya
Arkeolog
(telah dimuat dalam Buletin Sudamala tahun 2017)
Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan adalah berada pada posisi yang strategis karena berada pada posisi silang dunia. Dengan posisi yang sangat strategis, dalam perjalanan sejarahnya Indonesia dilayari oleh kapal/perahu baik berasal dari lingkungan Indonesia maupun dari luar Indonesia antara lain seperti Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Asia Timur dan Eropa. Demikian juga pada masa pemerintahan kolonial Portugis, Belanda, Jepang, maupun pada masa Perang Dunia II. Dalam situasi seperti itu maka tidak sedikit perahu maupun kapal ysng karam di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan data hipotetis Pannas BMKT, DKP tentang pelayaran di Indonesia, jumlah perahu maupun kapal yang karam di Indonesia adalah lebih dari 500 buah titik. Selain karam di lautan masih banyak lagi perahu dan kapal tenggelam/karam yang belum terdeteksi seperti di sungai-sungai besar dan danau-danau di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Bab I, pasal 1) disebutkan bahwa perlindungan cagar budaya adalah upaya mencegah dn menanggulangi cagar budaya dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Hasil budaya manusia itu ada yang berada di darat dan ada yang ditemukan di bawah air.
Dalam upaya mengakomodasi amanat undang-undang tersebut, di wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar memiliki sebuah potensi tinggalan bawah air yang perlu diselamatkan dan dilestarikan. Salah satu potensi tinggalan bawah air tersebut adalah sebuah bangkai kapal diperkirakan berasal dari masa kolonial Jepang (Japanese Wreck) yang berlokasi di wilayah perairan pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem.
Dalam media massa terutama media elektronik webbsite situs Banyuning dengan Japanese Wreck-nya telah banyak diposting/diekspos oleh para wisatawan yang pernah mengunjungi situs tersebut. Sedangkan dari sumber kepustakaan, sebuah buku yang menguraikan tentang keberadaan kapal Jepang yang tenggelam di perairan Dusun Banyuning, ditulis oleh David Pickel dan Walli Siagian, dengan judul Diving Bali The Under Water Jewel of Southeast Asia.
Industri pariwisata terutama wisata diving dan snorkeling di sepanjang wilayah lokasi Desa Bunutan, Amed, Jumeluk, Banyuning, dan sekitarnya telah dikembangkan sebagai daya tarik wisata oleh masyarakat lokal dan pengusaha/pemodal asing. Dengan adanya pengembangan yang semakin maju dalam bidang industri pariwisata di wilayah ini, maka cagar budaya Japanese Wreck yang terdapat di perairan pantai Banyuning akan mengalami keterancaman kelestariannya dari faktor lingkungan dan alam. Sampai saat ini cagar budaya bawah air Japanese wreck Dusun Banyuning, Desa Bunutan sama sekali belum tersentuh oleh upaya pelestariannya. Dalam upaya mengntisipasi permasalahan tersebut perlu ditelusuri/didata keberadaannya melalui kegiatan survei pada lokasi tersebut.
Dasar pelaksanaan survei terhadap cagar budaya bawah air di perairan pantai Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem adalah sebagai berikut.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya;
- Keppres Nomor: 25 Tahun 1992, tentang Pembagian Hasil Pengangkatan BMKT antara Pemerintah dan Perusahaan;
- Keppres Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
- Keppres Nomor 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
- KepMen KP Nomor 03 tahun 2000 tentang Rincian Susunan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT;
- KepMen KP. Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Pengangkatan BMKT;
- Permen Budpar Nomor 48 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air;
Program Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar, Wilayah Kerja Provinsi Bali NTB dan NTT tertuang dalam DIPA 023.15.2.427826/2014, tanggal 14 November 2014.
Survei terhadap cagar budaya bawah air di wilayah perairan Pantai Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem,dimaksudkan untuk menjaring data cagar budaya bawah air kapal karam tinggalan dari masa kolonial Jepang (Japanese Wreck) yang tenggelam di wilayah perairan tersebut. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah dalam upaya pelestariannya.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor metode kualitatif merupakan metode penelitian menurut yang disebut riset interpretasi (Moleong, 1994: 3). Dalam pengertiannya, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik data tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilakunya yang dapat diamati, dengan penekanan pada uraian detail. Dalam konteksnya dengan kegiatan survei ini, data deskriptif adalah penggambaran situasi dan kondisi cagar budaya Japanese wreck saat ini, dan deskriptif dari penutur/informan. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut.
- Observasi : kegiatan langsung dilaksanakan di lapangan yakni pada lokasi dimana kapal itu ditemukan yakni di wilayah perairan Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem;
- Wawancara: dilakukan tanpa berstruktur dengan tokoh-tokoh/orang-orang yang dianggap mengetahui keberadaan cagar budaya yang menjadi obyek survei;
- Dokumentasi: pengumpulan data dengan mendokumentasikan objek dengan cara pemotretan (foto), dan perekaman video.
- Kepustakaan: dengan menelusuri sumber-sumber tertulis/media berupa, artikel, majalah, buku-buku dan/atau media elektronik antara lain internet berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran survei.
Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan analisis secara deskriptif kualitatif. Hasil akhir dari analisis tersebut berupa beberapa simpulan dan rekomendasi dalam upaya pelestariannya ke depan.
Letak dan Lingkungan
Secara administratif Dusun Banyuning termasuk dalam wilayah desa dinas Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Desa Bunutan mewilayahi sepuluh (10) Banjar (Br.)/Dusun dinas antara lain: Banjar Bunutan, Banjar Banyuning, Banjar Kusambi, Banjar Batu Keseni, Banjar As, Banjar Lean, Banjar Bangle, Banjar Sege, Banjar Gulinten, Banjar Canggwang. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur. Pertama jalur jalan raya Amlapura-Tulamben, dan kedua melalui jalur kota Amlpura-Amed melalui jalan raya kecil menyusuri pantai utara pulau Bali. Dari ibukota kabupaten dengan jarak kurang lebih 35 km.
Kondisi Geografis
Secara geografis Dusun Banyuning, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, berada pada posisi di sebelah timur pulau Bali. Berdasarkan bentangan alamnya, Desa Banyuning merupakan perkampungan penduduk di wilayah utara pulau Bali dengan karakteristik wilayahnya adalah pantai pantai. Di sepanjang pantai Dusun Banyuningn dan Desa Bunutan merupakan pantai berbatu yang tidak jauh berbeda karakternya dengan pantai Tulamben, Amed, dan pantai-pantai lainnya yang berada di posisi utara bagian timur pulau Bali. Secara virtual, wujud bentangan alam wilayah Dusun Banyuning dan dusun-dusun lainnya merupakan perpaduan antara lingkungan fisik pantai dan perbukitan. Kondisi fisik geografis Dusun Banyuning batas-batas, disebelah utara lautnya adalah laut Bali, di sebelah selatan dikelilingi oleh dua gugusan bukit yakni Bukit Nampu dan Bukit Blubuh. Di sebelah baratnya adalah jalur perkampungan yang meliputi dusun-dusun dan desa-desa antara lain: Banjar Kusambi, Banjar Batu Keseni, Banjar As, Banjar Lean, Banjar Bangle, Banjar Sege, Banjar Gulinten, Banjar Canggwang. Di sebelah timurnya dengan batasnya adalah Dusun Batu Letuh. Dengan menggunakan Villa Eka Purnama sebagai datum point, secara astronomi Dusun Banyuning terletak pada posisi 50 L 0312126, UTM: 9057867, dengan ketinggian 5-12 meter di atas permukaan air laut.
Mata Pencaharian Penduduk
Dusun Banyuning dengan karakteristik wilayahnya berupa perpaduan antara wilayah perbukitan dan wilayah pantai, dalam hal mata pencaharian hidupnyapun berasal dari kedua karakteristik tersebut. Sebagai penduduk yang berasal dari daerah pegunungan/perbukitan dengan mata pencaharian sebagai petani, dan peternak sapi. Penduduk yang berasal dari wilayah pantai, mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan pantai yakni sebagai nelayan pencari ikan. Dengan berkembangnya industri pariwisata bahari di wilayah dusun dan desa ini, masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, dan memiliki pengetahuan, kecakapan/skil mereka memilih pekerjaan pada industri jasa pariwisata, seperti sebagai pengelola vila, karyawan vila/resort selam, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan jasa kepariwisataan yang sedang berkembang di sekitar wilayah mereka tinggal.
Sosial Budaya Agama dan Kepercayaan
Sebagai bagian dari dusun yang berada di bawah Desa Bunutan, masyarakat Dusun Banyuning masih kental dengan ikatan kekerabatan keluarga termasuk dalam ikatan komunitas yang besar yakni terikat secara adat ke dalam satu wadah lembaga adat yakni Desa Adat Sege. Bagi yang belum berkeluarga, mereka terhimpun ke dalam satu organisasi sosial skhe teruna-teruni. Dalam hal agama dan kepercayaan, masyarakat Banyuning memeluk agama dan kepercayaan yang mereka yakini yakni agama Hindu.
Pengembangan Situs sebagai Daya Tarik Wisata
Pengembangan situs kapal Jepang di Dusun Banyuning sebagai daya tarik wisata sesungguhnya tidak terlepas dari konteks yang lebih luas, yakni pengembangan pariwisata di Bali. Berdasarkn hasil-hasil penelitian tentang kepariwisataan di Bali, pengembangan pariwisata yang berbasis budaya dan berbasis masyarakat telah memboming sekitar tahun 1980-an sampai sekarang. Pengembangan pariwisata berbasis budaya dan masyarakat adalah pariwisata dengan memberdayakan dan memanfaatkan sumberdaya budaya lokal sebagai modal utama. Berbasis masyarakat oleh karena dalam proses pengembangannya melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik budaya itu sendiri. Pengembangan sumberdaya budaya lokal berbasis masyarakat dapat dirujuk pada pengembangan situs kapal USAT Liberty Tulamben, situs Taman Sukasada Karangasem, Candi Dasa, dll.
Pengembangan situs kapal jepang di Dusun Banyuning sebagai daya tarik pariwisata, dari segi limut waktu besar sekali kemungkinannya sejajar dengan pengembangan situs kapal USAT Liberty Tulamben. Dari segi lokasi dan geografis, situs Banyuning berada pada satu ruang wilayah geografis yakni Kabupaten Karangasem. Pengembangan situs Banyuning sebagai daya tarik wisata pada awal mulanya dirintis oleh para penggemar dunia selam melalui posting-posting pada media elektronik webb site oleh orang asing, yang akhirnya diikuti oleh inisiatif pengusaha bekerjasama dengan masyarakat lokal. Sebagai satu contoh posting yang dilakukan oleh wisatawan asing tentang situs dan kapal Jepang Banyuning seperti kutipan berikut.
“The wreck is the “other” shipwreck in north-east Bali and although it plays second fiddle to the Liberty wreck at nearby Tulamben, is an excellent dive and well worth making the fairly short journey to Amed if you are staying in the Tulamben area. The wreck is located in shallow water, just off the beach in Lipah Bay near the small village of Banyuning, which places it close to Gili Selang where the forces of the Indonesian Throughflow are at their most powerful” (http://www.scubaboard.com/forums/indonesia/385797-bali-japanese-wreck-amed.html).
Dalam kenyataannya, di sepanjang situs Amed, Jumeluk, Lepah, Bunutan, dan Banyuning, daya tarik wisata bermodalkan keindahan bawah airnya berupa terumbu karang, biota laut, dan situs Banyuning dengan Japanese Wreck-nya kepariwisataan menjadi semakin hidup dan berkembang dengan melibatkan masyarakat lokal. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya industri pariwisata seperti: villa/hotel, resort dive, dan karyawan yang dipekerjakan adalah masyarakat lokal.
Sejarah Kapal
Terkait dengan keberadaan kapal jepang (Japanese Wreck) yang saat ini masih berada di perairan pantai Banyuning, terkait dengan bagaimana riwayatnya sampai karam di perairan Dusun Banyuning, jenis kapal, fungsi kapal dan aspek-aspek lainnya terkait dengan kapal ini belum dapat diketahui secara pasti. Hal tersebut karena data-data dan sumber-sumber maupun informasi sangat minim sekali. Sehingga berkaitan dengan riwayat/sejarah keberadaan kapal tersebut belum dapat diungkapkan. Walaupun demikian, yang jelas berdasarkan atas informasi dari beberapa masyarakat lokal yang ditemui, dan berdasarkan atas informasi yang diperoleh dari sumber media elektronik website, kapal tersebut adalah kapal jepang, dengan sebutan Japanese Wreck. Dari penyebutan namanya yakni Japanese, sudah pasti kata Japanese berarti Jepang atau Negara Jepang. Sedangkan istilah Wreck merupakan istilah yang lazim digunakan oleh para penyelam untuk menyebutkan suatu kegiatan penyelaman yang dilakukan pada kapal yang tenggelam yang berada di dasar laut. Berdasarkan penyebutan namanya (Japanese Wreck) berarti mengandung pengertian penyelaman pada kapal milik Negara Jepang. Menyebut Negara Jepang, mengingatkan pada masa lalu yakni sebelum diproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Indonesia pernah dijajah oleh Negara Jepang yang berakhir pada tahun 1945. Besar kemungkinannya bahwa Japanese Wreck yang terdapat di perairan pantai Dusun Banyuning merupakan milik dari angkatan laut negara Jepang pada waktu melakukan penjajahannya atas Indonesia dari tahun 1942-1945. Selain Japanese Wreck di Banyuning, Bali, sebagai bukti bahwa Negara Jepang pernah menjajah di Indonesia adalah sebuah kapal Jepang yang tenggelam di perairan Teluk Wodong Flores, NTT. Sebagai salah satu bukti sejarah yang memiliki nilai sejarah, dan pendidikan yang tinggi patut diupayakan pelestariannya.
Situs
Situs Kapal Jepang (Japanese Wreck) sangat mudah dijangkau, karena secara vertikal berada pada lingkungan geografis sebuah teluk dan garis pantai di sisi utara pulau Bali. Secara keruangan, situs ini merupakan perpaduan antara lingkungan alam daratan dan perairan. Situs ini dengan batas-batas, secara vertikal batas utara adalah perairan dengan kedalaman 15 – 32 meter. Batas selatannya adalah garis pantai Teluk Banyuning dan wilayah pesisir kampung Banyuning. Batas timurnya adalah perairan dan garis pantai Teluk Banyning dengan daratannya, dan batas baratnya adalah perairan pantai Banyuning dan daratannya. Di bagian garis pantai di depan lokasi tenggelamnya kapal Jepang (Japanese Wreck) difungsikan sebagai ruang untuk parkir perahu para nelayan dan beberapa buah villa, bungalow, resort sebagai fasilitas kepariwisataan. Bagian selatan setelah ruang parkir perahu dan fasilitas wisata adalah pemukiman penduduk dan jalan raya penghubung dengan kota kabupaten. Situs Japanese Wreck berada pada perairan dengan kedalaman rata-rata 6 – 12 meter, dasar perairannya pasir hitam, dengan vegetasi laut soft coral.
Benda Cagar Budaya
Cagar budaya yang terdapat di perairan Teluk Banyuning, dengan uraian/pemerian sebagai berikut.
Nama : Kapal Jepang (Japanese Wreck)
Bahan : baja
Ukuran : panjang 20 meter, lebar: 5 meter, dan tinggi 2,14 meter
Kedalaman : 6 – 12 meter
Visibility vertikal : 10 meter
Visibility horizontal : 12 -16 meter
Kordinat UTM : haluan kapal 50 L0355897; UTM 9075173, dan buritan kapal 50 L 0356924; UTM 90751181.
Pemerian/deskripsi : Kapal ini berada di atas dasar perairan dengan posisi buritan-haluan menghadap ke arah timur-barat (menghadap ke garis pantai), dan posisi dudukan kapal miring ke kiri (dilihat dari arah utara). Secara keseluruhan, kondisi kapal sudah dalam kondisi tidak utuh lagi. Badan kapal dalam kondisi terpecah/patah menjadi empat bagian. Bagian patahan ekor (buritan) dengan kemiringan sekitar 75 derajat. Bagian lambung telah pecah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, dan bagian rangka (gading kapal) dengan posisi berada pada bidang datar di atas pasir. Beberapa bagian alas (dek kapal) yang tersisa dalam posisi berdiri teggak. Bagian haluan kapal telah pecah menjadi bagian-bagian kecil, sehingga agak sulit diidentifikasi. Bagian-bagian yang dapat diidentifikasi adalah bagian-bagian dari badan kapal yang berukuran besar saja. Secara keseluruhan, bagian-bagian kapal telah ditumbuhi oleh karang laut dan beberapa jenis soft koral. Kebanyakan unsur-unsur bagian kapal telah terlepas dari kesatuannya, tetapi masih berada di sekitar fragmen/reruntuhan yang lebih besar. dari Di sekitar reruntuhan kapal terutama di sebelah kiri dan kanan dasar perairan tumbuh kelompok-kelompok beberapa jenis koral lunak (soft coral) yang menambah keindahan situasi di areal dasar perairan (lihat foto di bawah).
Deskripsi terhadap Japanese Wreck Banyuning dalam website posting David Pickell sebagai berikut.
“Dive Site : Japanese Wreck
Location : Banyuning, Bali, Indonesia
Description : Steel freighter
Length : 20 metres (65 feet)
Depth : 6 – 12 metres (20 – 40 feet)
Visibility : 15 – 30 metres (50 – 100 feet)
Rating: ***
Lipah Bay is a quiet, black sandy bay about 3km southeast of Amed and home of a 20 metre steel freighter wreck. The wreck sits at 6 – 12 metres between a reef and the sandy bottom and is encrusted with gorgonians, sponges and black coral bushes. The slope down away from the wreck is rich and healthy and fish life here is also good. Pipefish, shrimps, seahorses and dragonfish can be found in the right conditions here. Although the area is relatively small, Lipah Bay Reef makes a good snorkelling site. David Pickels’ wonderful book on diving in Bali described this dive site for the first time back in 1999 as the Lipah Bay Wreck, and he admitted his mistake in the meantime. Matter of the fact is that this little wreck is not located in Lipah Bay at all, but some villages further east along the coast, namely in the village of Banyuning! The dive site is locally known among the dive operators as “the Japanese Wreck”. Lipah Bay is a nice snorkel spot and actually also has a small wooden wreck in only 1.5 metres of water!!” (http://www.divesitedirectory.co.uk/dive_site_indonesia_bali_wreck_lipah_bay_wreck.html).